Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 95342 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dewi Ratna Wulan
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2010
S3635
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Komang Rahayu Indrawati
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3239
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Sara
"Holmes & Rahe (1967) pemah membuat sebuah tabel yang mengurutkan hal-hal apa saja yang dapat membuat orang menjadi stres. Pada tabel tersebut, perceraian merupakan urutan kedua setelah kematian pasangan hidup. Oleh karena itu orang yang bercerai harus segera menyesuaikan dirinya, sehingga orang tersebut dapat segera mengatasi rasa sedih, dan marah, menerima dirinya sendiri, anak-anak dan mantan suaminya, kembali bekeija dan mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di lingkungan sekitar, dan Iain-lain masalah yang biasanya timbul setelah perceraian. Adapun masalah-masalah yang biasanya dialami oleh mereka yang bercerai adalah masalah secara psikologis/emosi, dalam mengasuh anak, pelaksanaan tugas-tugas rumah tangga, keuangan, sosial hingga seksual (Hurlock, 1980).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui masalah-masalah apa saja yang dialami pada wanita dewasa muda yang berpisah/bercerai. Selain itu ingin dilihat pula gambaran dan dinamika penyesuaian diri mereka setelah berpisah/bercerai. Untuk menjawab tujuan penelitian di atas, maka dilakukan wawancara mendalam terhadap empat orang subyek. Hasil wawancara yang diperoleh akan dianalisis dan diinterpretasi dengan menggunakan teori-teori yang sudah ada. Penyesuaian diri tidak selalu dilakukan setelah terjadi perceraian, mengingat adapula orang yang telah melakukan penyesuaian diri jauh sebelumnya, yaitu pada saat mereka berpisah dengan suaminya (Lasswell & Lasswell, 1987). Oleh karena itu penelitian ini akan menggali penyesuaian diri subyek setelah bercerai, maupun pada subyek yang berpisah lalu bercerai. Adapun subyek penelitian ini adalah wanita yang berpisah/bercerai pada usia dewasa muda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah yang ditemukan pada keempat subyek penelitian adalah masalah secara psikologis/emosi, yaitu subyek merasa sedih dan kecewa karena rumah tangga mereka berakhir dengan perceraian. Selain itu mereka juga merasa kesepian dan kehilangan sejak berpisah bercerai dengan suami mereka. Masalah lain yang ditemukan pada subyek adalah masalah dalam mengasuh anak, masalah dalam hal keuangan, dan sosial. Subyek dalam penelitian ini tidak raengalami masalah dalam pelaksanaan tugas rumah tangga sehari-hari dan pemenuhan kebutuhan seks. Waktu yang diperlukan subyek untuk dapat menyesuaikan diri mereka setelah berpisah^e^cerai adalah bervariasi, antara satu/dua sampai lima tahun, bahkan hingga saat subyek diwawancara. Hal ini disebabkan faktor-faktor tertentu seperti apakah subyek masih mencintai suaminya atau tidak, lama dan kualitas perkawinan subyek, siapakah yang berinisiatif untuk bercerai, pandangan subyek terhadap perceraian, jumlah anak yang dimiliki, apakah subyek bekeija dan mempunyai penghasilan sendiri, dan lain.lain."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
S2701
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pohan, Lifina Dewi
"ABSTRAK
Kematian merupakan suatu peristiwa yang tidak hanya melibatkan orang yang meninggal, namun juga orang yang ditinggalkan. Peristiwa ini merupakan awal dari suatu proses transisi bagi orang yang ditinggalkan. Kematian dianggap wajar dan lebih mudah diterima jika terjadi pada orang berusia lanjut, namun kematian anak berusia muda yang mendahului orangtuanya seringkali dianggap sebagai peristiwa tragis dalam suatu keluarga yang bertentangan dengan kondisi alamiah manusia. Orangtua yang mengalami kematian anak seringkali mengalami grief selama bertahun-tahun setelah kematian terjadi (Sarafino, 1994). Dalam menghadapi kematian anak usia remaja, orangtua seringkali mengalami saat-saat yang dirasakan menyulitkan untuk menyadari apakah mereka telah mengambil keputusan yang tepat dengan membebaskan anak mereka saat memasuki masa remaja, terutama jika kebebasan yang diberikan mengakibatkan kematian anak tersebut.
Penelitian ini menggunakan alat ukur Texas Revised inventory o f Grief (TRIG) yang dikembangkan oleh Thomas R. Faschingbauer, Richard A. DeVaul dan Sidney Zisook pada tahun 1981. Pengembangan TRIG dalam bentuk brief paper-and-pendi questionnaire bertujuan untuk mengukur intensitas dari reaksi grief individu. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif untuk menguji reliabilitas dan validitas dari Texas Revised inventory of Grief yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan untuk memperoleh gambaran mengenai kondisi grief pada orangtua yang mengalami kematian anak usia remaja.
Subyek dalam penelitian ini adalah individu yang mengalami kehilangan seseorang yang memiliki hubungan kedekatan (attachment) akibat kematian, yaitu hubungan keluarga antara orangtua dan anak. Pemilihan subyek tersebut didasari pemikiran bahwa ikatan antara orangtua dan anak merupakan ikatan yang kuat dan mendalam dalam sejarah kehidupan dan struktur psikologis orangtua. Hasil penelitian diperoleh dari 51 subyek yang menjadi responden dalam penelitian ini. Dari perhitungan uji reliabilitas terpakai dengan metode alpha cronbach terhadap TRIG bagian 1 didapat hasil koefisien reliabilitas sebesar 0,8685 dan terhadap TRIG bagian 2 didapat hasil koefisien reliabilitas sebesar 0,8986 yang berarti alat ukur ini mengukur behavior domain yang sama yaitu grief setelah kematian terjadi (melafui bagian 1) dan grief pada saat ini (melalui bagian 2).
Uji validitas dilakukan melalui corrected item-total correlation dimana nilai signifikansi untuk jumlah responden sebanyak 51 orang pada l.o.s.0.05 adalah 0,276, diperoleh hasil bahwa dari seluruh item dalam bagian 1 secara signifikan mengukur grief pada masa setelah kematian terjadi, sedangkan seluruh item dalam bagian 2 secara signifikan mengukur grief pada saat ini.
Dari seluruh subyek yang menjadi sampel dalam penelitian ini, sebanyak 45,1 % memperoleh total skor grief antara 21 hingga 62 pada bagian 1 dan bagian 2 , yang berarti kondisi grief yang dialami sehubungan dengan kematian anak tergolong cukup rendah hingga sedang, sedangkan 54,9 % memperoleh total skor grief antara 63 hingga 104 pada bagian 1 dan bagian 2t yang berarti kondisi grief yang dialami sehubungan dengan kematian anak tergolong cukup tinggi hingga tinggi.
Dari perhitungan korelasi antara jawaban subyek pada bagian 3 dengan skor grief, diperoleh hasil bahwa item 2 dan item 4 pada bagian 3 memiliki korelasi yang signifikan dengan skor grief pada bagian 1, skor grief pada bagian 2 dan total skor grief yang diperoleh Berdasarkan jawaban subyek pada bagian terakhir Texas Revised Inventory of Griefi diperoleh gambaran bahwa pada sebagian besar subyek, upaya yang dilakukan untuk dapat menerima kehilangan anak karena kematian dihubungkan dengan hal-hal keagamaan.
Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk menggabungkan metode penelitian kuantitatif dengan metode penelitian kualitatif, karena kondisi grief merupakan kondisi emosional tinggi dan mendalam sehingga diperlukan wawancara mendalam untuk memperoleh gambaran sebenarnya dari kondisi grief individu yang mengalami kematian orang yang dicintai. Hasil yang diperoleh dari penggunaan alat ukur dalam metode kuantitatif hanya menunjukkan indikasi kondisi grief namun dibutuhkan metode lain untuk memperoleh gambaran yang lengkap dan menyeluruh."
2004
T38124
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mita Harmita Mulyati
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan dimensi pengasuhan orangtua pada laki-laki transeksual dan laki-laki heteroseksual dewasa muda. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Baumrind (Bems, 1997), memfokuskan pada dua dimensi pengasuhan orangtua, yaitu dimensi pengendalian (demandingness) dan dimensi penerimaan (responsiveness). Dimensi pengendalian merujuk pada segala usaha orangtua dalam mengatur anak, sedangkan dimensi penerimaan merujuk pada dukungan orangtua terhadap keunikan anak sebagai individu. Partisipan penelitian ini adalah 40 orang laki-laki transeksual dan 40 orang laki-laki heteroseksual yang berada pada tahap perkembangan dewasa muda. Partisipan penelitian berdomisili di wilayah Jakarta dan Depok. Teknik pengambilan sampel menggunakan Occidental sampling dan pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan skala pola asuh orangtua yang diadaptasi dari skala pola asuh orangtua yang disusun oleh Sri Fatmawati Mashoedi, M.Si pada tahun 2003. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat perbedaan dimensi pengasuhan orangtua yang signifikan antara laki-laki transeksual dan laki-laki heteroseksual.

ABSTRACT
The purpose of this research to study the differences of parenting dimension in young adult transsexual male and heterosexual male. This research used quantitatif approach. Baumrind (Bems, 1997) focused on two parenting dimensions, which are demandingness dimension and responsiveness dimension. Demandingness dimension refers to all efforts of parents in managing children, and responsiveness dimension refers to parental support for the uniqueness of the child as an individual. Participants were 40 young adult transsexuals male and 40 heterosexuals male from Jakarta and Depok. This research used accidental sampling and the data collected by using parenting style scale which is adapted from Mashoedi parenting style scale. This research were proven that there was a significant differences in the parenting dimension between young adult transsexuals male and heterosexuals male."
2010
S3640
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutia Aprilia Permata Kusumah
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh atraktivitas wajah laki-laki pemberi pertolongan terhadap perilaku help-seeking perempuan pada masa emerging adult. Atraktivitas wajah laki-laki ditentukan berdasarkan total skor yang didapat pada pilot study. Lima wajah dengan skor tertinggi dijadikan sebagai stimulus untuk wajah atraktif, sementara lima wajah dengan skor terendah dijadikan sebagai stimulus untuk wajah tidak atraktif. Untuk mengukur perilaku help-seeking, peneliti memberikan lima gambaran situasi bermasalah pada partisipan.
Partisipan harus memilih satu di antara dua foto wajah laki-laki yang ditampilkan untuk dijadikan pemberi pertolongan. Dua foto tersebut terdiri dari foto wajah laki-laki yang atraktif dan tidak atraktif. Kriteria partisipan penelitian ini adalah mahasiswi Universitas Indonesia, berusia 18-25 tahun, dan memiliki daya penglihatan cukup baik untuk membaca tiap item dalam alat ukur.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa atraktivitas wajah laki-laki yang berpotensi memberi pertolongan memengaruhi perilaku help-seeking pada perempuan dewasa muda secara signifikan dengan t(2,667) = 11,841, p = 0,000, r2 = 0,773 dan estimated d = 1,828. Dengan kata lain, perempuan akan cenderung meminta pertolongan pada laki-laki dengan wajah yang atraktif dibandingkan laki-laki dengan wajah yang tidak atraktif.

This study examines the effect of male seeking behavior in emerging adult female. The male facial attractiveness is defined by total score that was obtained in pilot study. Five photos with the highest score are used for the stimulus of attractive face, while five photos with the lowest score are used for the stimulus of unattractive face. To measure helpseeking behavior, the researcher gave five description of troubled situations to the participant.
The participant should choose one from two photos of male face which was presented to be her helper. The two photos are consisted of a photo of attractive male face and a photo of unattractive male face. The criteria of participant in this study are female student of Universitas Indonesia, 18-25 years old, and having good enough vision to read each item in the measurement.
This study result shows that facial attractiveness of male potential helper affect helpseeking behavior in young adult female significantly, with t(2,667) = 11,841, p = 0,000, r2 = 0,773 and estimated d = 1,828. In other words, female will prefer to seek help from facially attractive male than from facially unattractive male.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S54771
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmaya Sholiha
"Secara psikologis, gagal ginjal kronis dapat memunculkan beberapa gejala negatif, seperti stres pascatrauma, perasaan tidak berdaya, dan depresi. Dampak psikologis yang bersifat negatif tersebut, relatif dihayati lebih berat oleh penderita yang berjenis kelamin laki dan berusia dewasa muda karena mereka secara sosial dipandang sebagai sosok yang lebih aktif, dan sedang memusatkan perhatiannya pada pencapaian berbagai ambisi hidup. Selain memperoleh dampak negatif dari penyakitnya, penderita gagal ginjal kronis juga merasakan dampak yang positif, berupa posttraumatic growth (PTG). PTG merupakan pertumbuhan atau perubahan diri positif yang muncul setelah individu mengalami persitiwa traumatis. Salah satu bentuk intervensi yang dapat meningkatkan PTG individu adalah Model Posttraumatic Growth Path (PTGP). Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektivitas Model PTGP dalam meningkatkan PTG pada laki-laki usia dewasa muda yang mengalami gagal ginjal kronis dan menjalani pengobatan hemodialisis. Desain penelitian yang digunakan adalah one group pre-post design dan melibatkan 3 orang partisipan laki-laki berusia dewasa muda. Intervensi model PGTP dilakukan sebanyak 4 sesi. Dua dari tiga partisipan mengalami peningkatan PTG setelah mengikuti intervensi, yang ditandai dengan meningkatnya skor dimensi-dimensi PTG pada PTGI. Teknik yang dianggap banyak membantu partisipan adalah relaksasi, metafora pohon, hero archetype, analogi boks, dan penentuan PTG channeling serta tindakan spesifik yang bisa dilakukan.

Psychologically, chronic kidney failure can cause negative symptoms, such us posttraumatic stress, helpless, and depression. Young adult men perceive these psychologically effects harder than women and other cohorts because they feel they are perceived as more active figure and striving they ambitions. Instead of the negative effects, they experience the positive, called posttraumatic growth (PTG). PTG is self positive change after the person experience a traumatic event. Such intervention to enhance PTG is Model Posttraumatic Growth Path (PTGP). The aim of this study is to examine effectiveness of intervention with Model PTGP to enhance PTG in young adult men who suffer chronic kidney disease and have haemodialysis. The one group pre-post design applied in study with 3 participants during 4 session intervention. At the end of intervention, 2 of 3 participants have enhanced PTG indicated by the improvement of PTGI score. The techniques used in this intervention are relaxation technique, tree metaphor, hero archetype, box analogy, and PTG channeling.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
T34940
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Situmorang, Aprillany
"Di Indonesia angka perceraian pada pasangan suami istri mengalami peningkatan setiap tahunnya (Kompas, 2003). Walaupun yang mengalami perceraian adalah orangtua, namun anak-anak menyaksikan dan berada di tengah-tengah konflik dan ketidakbahagiaan orangtuanya. Hal ini akan menimbulkan dampak-dampak khusus pada anak-anak. Beberapa penelitian yang dilakukan pada anak-anak yang orangtuanya bercerai menunjukkan bahwa anak-anak tersebut mengalami kebingungan, sedih, ketakutan, turunnya prestasi belajar, marah dan konsep mengenai suatu hubungan yang dapat diandalkan menjadi terganggu (Committee on the Family Group forthe Advancement of Psychiatry, 1988).
Dampak yang dialami oleh anak-anak akibat perceraian orangtuanya masih memberikan pengaruh ketika mereka tumbuh besar dan memasuki masa dewasa muda (WallerSlein St Blakeslee dalam Zachra, 1999). Masa dewasa muda ialah masa dimana mereka memiliki banyak tugas perkembangan yang Salah satunya ialah mencari pasangan hidup. Disaat mereka di hadapkan pada tugas perkembangan ini, mereka juga harus menghadapi konflik-konflik dalam diri mereka akibat dari perceraiarl orangtua mereka. Beberapa penelitian mengenai kontlik-kontlik yang dialami oleh anak-anak tersebut antara Iain adalah takut mengalaml kegagalan dalam perkawinan seperti yang dlalami orangtua mereka (Papalia & Olds, 1994) serta takut membuat komitmen dan selalu merasa khawatir dikhianati (Zachra, 1999).
Salah satu tes proyeksi yang digunakan dalam setting psikologi klinis adalah Thematic Apperception Test (T.A.T). Alat tes ini adalah suatu tes proyeksi yang dapat digunakan untuk mengetahui dinamika kepribadian yang dimanifestasikan dalam hubungan interpersonal seseorang Tes ini terdiri dari satu seri gambar yang dapat memberikan data mengenai bagaimana hubungan interpersonal sesorang terhadap tigur otoritas pria atau wanita, pria dan wanita seusia dan juga hubungan dalam konteks keluarga, Penelitian ini bermaksud untuk melihat bagaimana dinamika hubungan interpersonal subyek dewasa muda yang orangtuanya bercerai, baik terhadap lawan jenis maupun dengan tigur orangtua yang tergambar lewat respon T.A.T. Hasil yang didapat dari respon T_A_T tersebut akan dibandingkan dengan anamnesa untuk mencari kesesuaiannya dengan apa yang sebenamya dialami oleh subyek.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa seluruh subyek memproyeksikan hubungan interpersonal mereka ke dalam situasi-situasi yang terdapat dalam kartu T.A.T Analisa respon TAT dan perbandingannya dengan anamnesa juga memberikan bukti bahwa dinamika, konflik-konflik maupun pandangan mereka terhadap lawan jenls dan Hgur otorilas yang ditampilkan dalam respon TAT memiliki kesesuaian dengan yang mereka alami dalam kehidupan nyata. Penemuan ini menunjukkan bahwa penggunaan T.A.T dapat membantu dalam penanganan kasus-kasus klinis yang berkaitan dengan masalah dalam hubungan interpersonal. Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk meneliti respon T_A_T pada kelompok dewasa muda yang telah meniKah atau kelompok usia dewasa."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38138
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Richa Mandasari
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran fear of intimacy dalam hubungan romantis pada dewasa muda yang mengalami perceraian orangtua. Fenomena yang seringkali terjadi pada dewasa muda yang mengalami
perceraian orangtua ketika menjalani hubungan romantis adalah kesulitan untuk mempertahankan hubungan dan memiliki fear of intimacy. Penelitian ini
merupakan penelitian yang menggunakan metode kuantitatif. Partisipan penelitian
ini adalah dewasa muda yang mengalami perceraian orangtua dan sedang menjalani hubungan romantis. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur fear of
intimacy dalam hubungan romantis adalah Fear of Intimacy Scale (FIS) yang terdiri dari 34 item yang sudah diadaptasi. Hasil penelitian dari 104 orang
partisipan menunjukkan bahwa mayoritas memiliki tingkat fear of intimacy yang rendah dalam hubungan romantis.

ABSTRACT
This research aims to have a description on fear of intimacy towards romantic relationship in young adult who have experienced parental divorce. When facing romantic relationship, young adult who have experienced parental divore are often difficult to survive and also have a fear of intimacy. This research is using quantitative methods. The participants of this research are young adult who have experienced parental divorce and currently is in romantic relationship. Fear of intimacy are measured by Fear of Intimacy Scale (FIS) that consists of 34 adapted items. The result from 104 participants shows that majority of research participants have low level of fear of intimacy."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S54086
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gultom, Sarah Regina
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3467
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>