Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 200472 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2010
S3610
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michael Widi Susanto
"Kehidupan manusia terbagi dalam tahapan-tahapan perkembangan sejak lahir sampai meninggal dunia, dan diantaranya adalah masa remaja. Pada setiap tahap perkembangan, ada tugas-tugas yang harus dipenuhi yang biasa disebut tugas perkembangan. Begitu pula pada masa remaja yang salah satu tugas perkembangannya adalah mencapai hubungan sosial yang lebih matang dengan teman sebaya baik yang sejenis maupun lawan jenis. Hubungan dengan lawan jenis biasanya dipenuhi atau muncul dalam perilaku berpacaran. Tugas perkembangan mempunyai peran yang penting, karena jika tidak dilalui dengan baik, seseorang akan cenderung mengalami kesulitan pada tahapan berikutnya. Berpacaran itu sendiri merupakan budaya atau fenomena yang cukup menonjol pada remaja. Berpacaran bagi remaja dapat berfungsi untuk belajar bergaul, mendapatkan identitas diri, dan lain-lain. Selain itu perkembangan seksual yang cepat mengakibatkan munculnya ketertarikan pada lawan jenisnya.
Ada beberapa alasan yang mendorong remaja berpacaran seperti untuk bersenang-senang, mencari status, belajar bersosialisasi, memilih pasangan hidup, mendapatkan persaha- batan, memperoleh keintiman atau kedekatan. Selain alasan-alasan diatas, ternyata masih ada kemungkinan alasan yang lain seperti konformitas, atau berpacaran karena konform dengan teman-teman. Pada pola alasan berpacaran ada beberapa faktor yang mungkin berkaitan, yaitu jenis kelamin, usia, pengalaman pacaran, kelompok peer dan status sosial ekonomi.
Kelompok peer juga menjadi ciri yang cukup menonjol. Kelompok peer mempunyai arti cukup penting bagi remaja, misalnya sebagi pendukung pengembangan identitas diri, minat, kemampuan. dan lain-1ain. Dalam kelompok peer inilah kemudian muncul konformitas. Tekanan untuk berbuat sesuai atau konform dengan kelompak terasa sangan kuat pada masa remaja. Disamping itu konformitas dapat terlihat dalam banyak dimensi kehidupan remaja seperti cara berbicara, berpakaian, minat, nilai-nilai, dan lain-lain.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa saja alasan berpacaran pada remaja, serta kemungkina konformitas termasuk alasan berpacaran dan juga faktor-faktor apa saja yang berkaitan dengan pola alasan berpacaran. Remaja yang menjadi subyek penelitian adalah remaja sekolah menengah atas yang berusia 15-17 tahun. Selain itu subyek penelitian adalah remaja yang sudah berpacaran atau pernah berpacaran, serta berasal dari golongan sosial ekonomi menengah ke atas. Penarikan sampel penelitian menggunakan metode incidental sampling yaitu sampel yang paling mudah ditemui. Instrumen untuk penelitian ini menggunakan kuesioner alasan berpacaran yang terdiri dari 32 item.
Dari hasil penelitian didapatkan ada beberapa alasan berpacaran yang dikemukakan oleh remaja yang menjadi subyek penelitian yaitu, karena saling tertarik satu sama lain, untuk saling membantu dan membutuhkan, untuk belajar saling mengenal serta mencari pasangan yang cocok, untuk saling memotivasi, untuk rekreasi dan memperoleh kesenangan, koform terhadap teman-teman kelompok, serta untuk ajang prestasi dan sumber status. Diantara alasan-alasan tersebut, ternyata konformitas termasuk alasan berpacaran pada remaja. walaupun bukan merupakan alasan utama atau alasan yang paling penting bagi remaja. Faktor-faktor seperti jenis kelamin, usia, pengalaman pacaran, kelompok peer, status sosial ekonomi mempunyai peran atau berkaitan dengan pola alasan berpacaran pada remaja. Sedangkan khusus untuk alasan konformitas faktor-faktor tersebut tidak berkaitan atau tidak mempunyai peranan yang berarti."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2678
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti R. Ngadawiyah
"ABSTRAK
Titik tolak dari kegiatan pemasaran adalah memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Perusahaan yang menggunakan konsep pemasaran sebagai falsafah bisnisnya, harus menghasilkan produk yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan dari target. konsumennya. Untuk itu perusahaan harus mampu mengidentifikasi kebutuhan dan keinginan konsumen, kemudian merumuskannya menjadi strategi produk yang akan di jalankannya. Atas teori yang diajukan oleh Philip Kotler akan strategi produk "item" maka PT. Gaya Favorit Press menetapkan strategi produk yang berkenaan dengan produk inti dan fisik dari majalah Gadis. Terhadap strategi produk inti ada dua puluh satu informasi yang ditetapkan oleh penerbit untuk disajikan pada majalah Gadis. Sedangkan terhadap fisik majalah ada dua puluh lima ciri-ciri yang ditetapkan untuk ditampilkan pada majalah yang bersangkutan. Studi ini mencari tahu apakah kedua puluh satu informasi yang merupakan isi majalah Gadis dan kedua puluh lima ciri fisik majalah Gadis yang ditetapkan sebagai strategi produksi sesuai dengan kebutuhan dari keinginan konsumen. Tingkat kesesuaian tersebut diukur melalui skor-skor, sehingga akan diketahui apakah strategi produk inti dan fisik majalah Gadis itu sangat sesuai, sesuai atau kurang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumennya. Untuk itu penarikan sampel menggunakan tehnik penarikan sampel bertahap. Hasil studi menunjukkan bahwa kedua puluh satu informasi yang ditetapkan sebagai strategi produk inti sudah sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen. Artinya keduapuluh satu informasi tersebut lebih banyak remaja putri yang membutuhkan dan menginginkannya daripada yang kurang atau tidak membutuhkan dan menginginkannya. Untuk keduapuluh lima ciri-ciri fisik majalah Gadis yang di tetapkan sebagai strategi produk intinya, delapan belas ciri-ciri fisik itu sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen. Untuk kedelapan belas ciri-ciri fisik ini lebih banyak konsumen yang membutuhkan dan menginginkannya dari pada yang kurang atau tidak membutuhkan dan menginginkannya. Untuk tujuh ciri-ciri fisik lainnya kurang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen, yaitu jumlah konsumen yang kurang atau tidak membutuhkan dan menginginkan ciri-ciri fisik tersebut lebih banyak dari pada yang membutuhkan dan menginginkan ciri-ciri fisik tersebut. Ketujuh ciri-ciri fisik tersebut adalah ukuran dari model sampul, posisi model sampul, warna dasar sampul, tata letak teks sampul, warna teks sampul, penggunaan gadis "tomboy" yang merupakan ciri khas majalah Gadis, dan pemunculan dari ciri khas tersebut Untuk kedua strategi produk ini melalui pengukuran yang dibuat baik strategi produk inti maupun strategi produk fisik yang ditetapkan dan dijalankan oleh penerbit majalah Gadis sudah relatif sangat sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumennya. Analisa hubungan antara variabel umur, pendidikan, pendidikan orang tua dan penghasilan orang tua terhadap kesesuaian strategi produk inti maupun strategi produk fisik menunjukkan bahwa keempat variabel tersebut menunjukkan hubungan yang lemah. Hal ini juga ditunjukkan melalui hasil perhitungan kendali bahwa hubungan keempat variabel tersebut kurang dari 0,20 yang menunjukkan bahwa keempat variabel tersebut memiliki hubungan yang lemah sekali dengan tingkat kesesuean stategi produk inti tersebut. Berarti usia, pendidikan, pendidikan orang tua dan penghasilan orang tua sangat kurang berpengaruh dengan kebutuhan dan keinginan konsumen terhadap strategi produk inti maupun strategi produk fisik yang ditetapkan oleh penerbit majalah Gadis. Berarti strategi produk yang telah ditetapkan penerbit dapat tetap dipertahankan, .kecuali tujuah ciri-ciri fisik majalah Gadis yang banyak kurang diinginkan oleh konsumennya sebaiknya dirubah sesuai dengan keinginan konsumen. Untuk ukuran model sampul nya sebaiknya berganti-ganti antara close-up, hingga dada dan hingga tiga perempat badan. Posisi model sampul ada di tengah-tengah. Warna dasar sampul adalah warna-warna cerah. Tata letak teks sampul menyebar. Warna teks sampul sebaiknya Tata letak teks sampul menyebar. Warna teks sampul nomor penerbitan dan digunakan sebagai ilustrasi apa saja."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anindha Ayu Pramesti
"Makalah ini membahas fenomena geng remaja dari perspektif komunikasi. Secara khusus, mengkaji konsep konformitas dan kepercayaan diri dengan fokus pada remaja anggota geng di Jakarta: kesenangan dan kesulitan remaja menjadi bagian dari geng demi pengakuan dan rasa hormat dari orang lain, motif di balik kenakalan remaja sebagai hasil dari konformitas selama proses penyesuaian, juga konformitas dan kepercayaan diri remaja dalam geng. Melalui analisis penelitian sebelumnya (tinjauan pustaka), penelitian ini menunjukkan hal-hal berikut sehubungan dengan fenomena geng remaja: (a) geng remaja adalah fenomena yang diakui secara luas yang memiliki peran positif dan negatif; (b) terdapat memiliki faktor internal dan eksternal yang memotivasi remaja untuk bergabung dengan geng; (c) konformitas adalah upaya remaja dalam mengurangi ketidakpastian; (d) kenakalan remaja merupakan salah satu akibat konformitas; dan (e) kepercayaan diri remaja anggota geng disumbangkan dalam konformitas selama proses penyesuaian.

This paper addresses the phenomenon of adolescent gangs from a communication perspective. Specifically, it examines the concepts of conformity and self-confidence with a particular focus on adolescents gang members in Jakarta: adolescents’ excitement and difficulty in being part of a gang for the sake of validation and respect from others, the motives behind juvenile delinquency as a result of conformity during the adjustment process, also adolescents’ conformity and self-confidence in gangs. Through the analysis of previous research (literature review), this research indicates the following with respect to the adolescent gang phenomenon: (a) adolescents gang are a widely recognized phenomenon that has both positive and negative roles; (b) adolescents have internal and external factors that motivate them to join gangs; (c) conformity is adolescents’ effort in reducing uncertainty; (d) juvenile delinquency is one of the outcomes of conformity; and (e) the confidence in adolescents gang members are contributed in conformity during the adjustment process."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Komang Bara Wedaloka
"Penelitian ini membahas hubungan antara keterlibatan ayah dan dukungan sosial teman sebaya pada remaja yang bersekolah di SMA. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain korelasional. Untuk mengukur keterlibatan ayah, penulis menggunakan alat ukur keterlibatan ayah oleh Carlson (2006) dan untuk mengukur dukungan sosial teman sebaya, penulis menggunakan alat ukur Child and Adolescent Social Support Scale (CASSS) oleh Malecki, Demaray, dan Elliott (2000). Kedua alat ukur tersebut diberikan kepada responden dalam bentuk kuesioner. Responden dalam penelitian ini adalah remaja kelas 10 SMA dan masih mempunyai ayah dengan jumlah responden 403 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara keterlibatan ayah dan dukungan sosial teman sebaya dengan r (401) = 0,158; p = 0,001.

This research discusses the relationship between father involvement and peer social support on adolescents who attend high school. This research is a quantitative study with a correlational design. To measure father involvement, the author using a father involvement instrument by Carlson (2006) and to measure peer social support, the author using an instrument Child and Adolescent Social Support Scale (CASSS) by Malecki, Demaray, and Elliott (2000). Both the instruments were given to respondents in the form of a questionnaire. Respondents in this research were adolescents who attend grade 10 of high school and still have a father with a number of respondents are 403 people. The result showed there is a significant positive relationship between father involvement and peer social support with r (401) = 0,158; p = 0,001.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S56530
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safrina
"ABSTRAK
Penelitian ini merupakan telaah terhadap konstruksi identitas berdasarkan subjektivitas dan agensi yang diberikan pada tokoh Lupus dalam empat buku serial Lupus yaitu 1) Interview with the Nyamuk, 2) Mission Muke Tebel, 3) Gone with the Gossip dan 4) The Lost Boy. Seral Lupus dipilih karena serial ini merupakan bacaan remaja yang digemari remaja dan mampu bertahan lama di pasaran. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan perihal bagaimana identitas Lupus dibentuk, dan apa dan bagaimana keterkaitannya dengan kondisi sosial-budaya saat karya tersebut diciptakan.
Pertanyaan tersebut dijawab melalui analisis teks dan kajian budaya. Analisis teks mengidentifikasi adanya posisi Lupus sebagai subjek dan agen pada tepian tiga konteks yaitu kelas sosial, etnisitas dan gender yang melahirkan posisi-antara bagi Lupus. Melalui posisi-posisi diantara kelas atas dan kelas bawah, tepian dunia global dan dunia lokal juga di tepian maskulinitas kelaki dewasa, Lupus dikembangnkan menjadi identitas yang mudah diterima oleh remaja kebanyakan dan disukai juga dikagumi karena keberhasilannya mendekati pusat-pusat konteks yang secara umum didambakan oleh para remaja. Keberhasilan Lupus bergerak sangat ditentukan oleh perilaku keberaksaraannya (kegemaran membaca dan menulis), kemampuan berbahasa Inggris dan perilaku cuek yang mengejawantah dalam sikap berani mencoba dan tak takut gagal.
Walaupun demikian, Lupus sebagai teks bukanlah teks yang kritis karena kecenderungannya untuk mengukuhkan budaya dominan. Keberhasilan Lupus pada posisi antara itu dikontraskan dengan ketersisihan kelas bawah, etnis lokal, dan perempuan sehingga identitas Lupus mencuat di antara para remaja ini. Ngocol sebagai identitas Lupus yang menonjol memperkuat identitas Lupus di posisi antara, da, pada saat yang sama, menjadi identitas teks Lupus karena kengocolan yang hadir terutama menunjukan peran pencerita yang ngocol secara signofikan daripada peran tokoh Lupus. Ngocol sebagai kekhasan dan kekuatan Lupus dapat dikatakan sebagai identitas Lupus yang menjadi ideologi teks karena kehadiran ngocol dalam setiap peristiwa dalam Lupus diterima sebagai kewajaran walaupun pembacaan kritis terhadap kengocolan tersebut menunjukkan adanya relasi kuasa yang menyingkirkan kelompok tertentu. Ketersingkiran kelas bawah, etnis lokal dan perempuan sebagai pilihan tekstual demi kengocolan merupakan juga cerminan kondisi sosial politik masa itu. Identitas Lupus, di satu sisi, menampakkan adanya resistensi terhadap budaya dominannya tetapi, di sisi lain, ia merupakan pengukuhan terhadap budaya tersebut ketika pilihannya mencerminkan perilaku seperti umum ditemui dalam lingkungan sosialnya.

ABSTRACT
This is a study of identity which analyzes and interprets the construction of Lupus, an adolescent fictional character of the popular Lupus series. In particular, the sudy looks into the characters subjectivity and agency which forms the basis for the analysis of identity construction. Lupus is chosen for this study for the fact that Lupus is virtually the only popular fictional character in Indonesian Young Adult Literature for a period of more than two decades. This is the anchor for choosing this character for a study of identity construction as it poses questions as to how subjectivity and agency contribute to the construction of such a long lasting identity and how socio-cultural factors might have underpinned the construction. In addition, Lupus specific ngocol trademark character poses a set of different but related questions with regard to the role ngocol plays in Lupus identity construction and what meanings can be attributed to the role.
The questions were addressed by employing a textual analysis within the framework of narrative theory and cultural studies. For this purpose, Lupus texts were selected. The selected texts under investigation were four of the Lupus series namely 1) Interview with the Nyamuk, 2) Mission Muke Tebel, 3) Gone with the Gossipl and 4) The Lost Boy. These texts were selected for its evident relation to the context of their production as depicted in the parody titles, abd for the availability of linked short stories which should provide more possibilities for character exploration compared to individual short stories. Subjectivity and agency were traced in the narative events which constituted the linked short stories. Out of twenty two linked short stories, one hundred sixty one narrative events were analyzed and showed that Lupus subjectivity and agency were exercised from in-between positions available for Lupus in three contexts most frequently encountered. They were the contexts of the social class, ethnicity and gender. These in-between positions has enable Lupus to move fluidly along center of adulthood and childhood, upper social class and lower social class, global and local, and masculinity and femininity. These in-between positions empowered by his literacy behavior and English proficiency has established an empowering subjectivity and agency for a distinctive Lupus identity as a modern Jakarta adolescent treading his way to maturity by playing his subjectivity and agency along his chosen positions.
Ngocol as one of his more outstanding quality was disclosed as the identity of the text rather than the characters. This is evident from the narrative events which revealed ngocol framing the overall structure of the story and was enable by the capacity and agility of the narrator. However, ngocol also served as the means with which the adolescents appropriated their readings of the real world and challenged the authority of adults in the real world by ridiculing the world they lived in by way of ngocol behaviors. Ngocol is a way of laughing at the world but it is also a way of strengthening dominant positions. As in Lupus, ngocol is often a discriminate act which excludes specific groups as objects of ridicule. These exlusions indicate inner workings of the texts which reflects the living ideology of the society.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
D602
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adhissa Qonita
"ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk melihat perbedaan emosi malu dan emosi bersalah pada remaja yang bersekolah di SMA umum dan SMA swasta berdasarkan agama Islam, Katolik dan Kristen. Dalam mengukur emosi malu dan emosi bersalah, digunakan alat ukur Test of Self Conscious Affect- 3 yang dikembangkan oleh Tagney, Dearing, Wagner, dan Gramzow (2000) dan direvisi kembali untuk disesuaikan dengan konteks remaja. Jumlah partisipan dalam penelitian ini berjumlah 217 remaja dengan rincian 59 remaja bersekolah di SMA umum, 50 remaja bersekolah di SMA swasta berdasarkan agama Islam, 52 remaja bersekolah di SMA swasta berdasarkan agama Katolik, dan 56 remaja bersekolah di SMA berdasarkan agama Kristen. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan emosi malu dan emosi bersalah pada remaja yang bersekolah di SMA umum dan SMA swasta berdasarkan agama (Islam, Katolik dan Kristen). Berdasarkan hasil pengolahan data dan analisis didapatkan pula bahwa terdapat perbedaan antara emosi malu dan emosi bersalah pada remaja baik yang bersekolah di SMA umum ataupun SMA swasta berdasarkan agama Islam, Katolik dan Kristen. Pada Hasil penelitian ditemukan bahwa remaja lebih cenderung merasakan emosi bersalah di bandingkan dengan emosi malu saat gagal untuk memenuhi standar sosial.

ABSTRACT
This research was conducted to see the differences between shame and guilt in adolescents who enrolled in state high school and private high school based on Islam, Catholic and Christian. The Test of Self Conscious Affect ? 3, developed by Tagney, Dearing, Wagner, and Gramzow (2000), was used to measure the shame and the guilt before it revised to adjust to the adolescent context. The number of participants in this study were 217 adolescents with details of 59 public high school?s adolescents, 50 adolescents attended a Islam private high school, 52 adolescents attended a Catholic private high school, and 56 adolescents in Christian private high school. The results showed that there are differences in the shame and guilt in adolescents who enrolled state high school and private high school based on religion (Islam, Catholic and Christian). Based on the results of data analysis, it can be concluded that there is a difference between the shame and guilt in high school adolescents either state or private high school based on Islam, Catholic and Christian. It is also found that adolescents are more likely to feel guilt rather than shame when failing to meet social standards.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S53553
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Allia Hani
"Pada masa remaja teman sebaya memegang peran penting, dimana pada masa ini ketergantungan anak pada keluarga menjadi berkurang dan kebutuhan akan rasa aman diperoleh melalui teman-teman kelompok sebaya (Tumer & Helms, 1995). Remaja umumnya tidak ingin dianggap beda dengan orang lain, akibatnya mereka cenderung melakukan konformitas dengan kelompok sebaya Konformitas itu sendiri adai ah suatu perubahan tingkah laku atau keyakinan sebagai hasil nyata dari tekanan yang diberikan kelompok Dengan keinginan untuk diterima secara sosial, remaja sangat memperhatikan karakteristikkarakteristik yang ditampilkan anggota kelompoknya seperti cara berpakaian, gaya rambut, selera musik, cara berbicara dan aktivitas waktu luang (Clasen & Brown, 1987 dalam Santrock, 2001). Konforaiitas terhadap kelompok sebaya kemudian dikaitkan juga dengan orientais tujuan akademik siswa.
Orientasi tujuan menurut Meece, Blumenfeld & Hoyle (1988). Orientasi tujuan siswa digambarkan sebagai suatu set perilaku yang bertujuan untuk menentukan bagaimana pendekatan dan keterlibatan siswa dalam belajar. Teori ini di bagi ke dalam 2 bagian besar yaitu : orientasi mastery dan orientasi performance (Henderson & Dweck, 1990; Dweck & Legget, 1988 dalam Santrock, 2001). Orientasi mastery mengacu kepada pencapaian kompetensi dengan jalan menambali atau meningkatkan pemahaman, pengetahuan dan ketrampilan individu. Penekanan pada proses belajar. Sedangkan orientasi performance mengacu kepada acuan yang dicapai orang lain dalam mencapai kesuksesan selain untuk menghindari pandangan sosial yang rendah terhadap kompetensi yang dimilikinya Penekanan kepada hasil yang dicapai.
Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara tingkah laku konforaiitas, orientasi mastery, orientasi performance, dengan prestasi akademik remaja Penelitian ini dilakukan di SMA 43, diperoleh hasil penelitian: tingkah laku konformitas dan orientasi mastery berkorelasi negatif signifikan (r = -0,230 p<0,05), orientasi mastery dan prestasi akademik berkorelasi positif signifikan (r= 0,167 p<0,05), dan orientasi mastery memberikan sumbangan sebesar 4,4 % pada prestasi akademik.
Dari hasil perhitungan statistik maka dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin tinggi tingkah laku konformitas yang ditampilkan maka semakin rendah orientasi siswa ke arah mastery. Begitu pula jika orientasi mastery siswa rendah maka prestasi akademik yang dicapainya puri akan rendah. Hubungan yang semula dihipotesiskan dan ditolak adalah: adanya hubungan positif signifikan antara tingkah laku konformitas dengan orientasi performancey hubungan yang signifikan antara orientasi perfonnance dengan prestasi akademik dan hubungan yang signifikan antara konformitas dengan prestasi akademik. Penyebab ditolaknya hipotesis mungkin disebabkan sampel yang homogen (berasal dari satu sekolah saja), adanya variabel lain yang lebih dominan (intelligensi merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh pada prestasi akademik).
Saran-saran yang diberikan diantaranya melakukan pengambilan data pada berbagai sekolah, mempergunakan kecerdasan sebagai variabel yang dikontrol dalam mengukur prestasi akademik."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S2925
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wirman Burhan
"Ketahanan Nasional seperti yang dirumuskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, pada hakekatnya adalah kemampuan dan ketangguhan suatu bangsa untuk menjamin kelangsungan hidupnya menuju kejayaan bangsa dan negara. Ketahanan yang demikian itu perlu pemeliharaan dan pengembangan terus menerus. Upaya ini dapat dilakukan melalui pembangunan nasional, dengan demikian pembangunan nasional itu pada hakekatnya merupakan upaya untuk mewujudkan ketahanan nasional. Ketahanan Nasional yang tanguh akan makin mendorong pembangunan nasional dan sebaliknya berhasilnya pembangunan nasional berarti meningkatnya kualitas ketahanan nasional.
Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materil dan spirituil berdasarkan Pancasila, didalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat, dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai. Pembangunan tersebut tidak mungkin terwujud dalam beberapa tahun, atau beberapa pelita atau satu dua generasi. Yang penting bahwa semua upaya pembangu nan harus di arahkan sedemikian rupa hingga setiap tahap makin mendekati kearah tujuan tersebut dan akhirnya mencapai tujuan nasional yang sesuai dengan apa yang digariskan dalam pembukaan UUD 1945.
Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam keberhasilan pembangunan. Sumber daya manusia Indonesia cukup besar, jumlah penduduk Indonesia sampai saat ini menduduki urutan kelima di dunia setelah RRC, India, Uni Soviet dan Amerika Serikat. Menurut sensus penduduk tahun 1961 penduduk Indonesia berjumlah 97.085.348 jiwa dan pada sensus penduduk tahun 1971 berjumlah 119.208.229, sensus penduduk tahun 1980 berjumlah 147.490.298 dan sensus 1985 berjumlah 163.875.899. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia tergolong cukup tinggi. Dalam kurun waktu 1964-1971 laju pertumbuhan penduduk rata-rata 2,1 persen pertahun, tahun 1971-1980 meningkat menjadi 2,3 persen , tahun 1981-1983 menjadi 2,2 persen dan tahun 1984-1987 menjadi 2,17 persen, sedangkan tahun 1988-1990 diperkirakan menjadi 2 persen pertahun. Dari laju pertumbuhan penduduk ini terlihat angka pertambuhan yang sangat menyolok pada penduduk yang berusia 0-20 tahun, dimana pada tahun 1985 berjumlah 82 juta (50%) , tahun 1987 berjumlah 85 juta (50%), tahun 1986 berjumlah 84 juta (50%), sedangkan pada tahun 1988 berjumlah 86 juta (49%).
Jumlah penduduk yang besar dengan pertumbuhan yang cukup tinggi ini dapat merupakan modal dasar dalam pembangunan, tetapi dapat juga merupakan penghambat jalannya pembangunan itu sendiri. Jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan laju pertumbuhan dari seluruh aspek-aspek kehidupan nasional dapat menimbulkan berbagai kerawanan dan dapat mempengaruhi ketahanan nasional Indonesia. Sumber daya manusia yang tidak dapat dimanfaatkan menimbulkan pengaruh terhadap aspek-aspek sosial, ekonomi, politik dan pertahanan keamanan ke arah yang negatif.
Dalam pembangunan nasional, wawasan nusantara mencakup perwujudan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan politik, satu kesatuan sosial kebudayaan, satu kesatuan ekonomi dan satu kesatuan pertahanan keamanan dengan Pancasila sebagai landasan Idealnya dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusionalnya. Selanjutnya wawasan nusantara sebagai wawasan nasional yang melandasi konsepsi ketahanan nasional Indonesia.
Ketahanan Nasional pada hakekatnya adalah konsepsi pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan dalam kehidupan nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 atau dengan kata lain, konsep ketahahan nasional Indonesia adalah pengejawantahan Pancasila dan UUD 1945 dalam segala aspek kehidupan?"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Ardillah Pratiwi
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara sikap terhadap perilaku seksual dengan konformitas terhadap teman sebaya pada remaja madya. Pada sikap terhadap perilaku seksual, peneliti menggunakan tiga komponen sikap dari Myers (1996), yaitu kognitif, afektif, dan konatif. Perilaku seksual, yang merupakan obyek sikap, disusun berdasarkan teori Duvall dan Miller (1985), yaitu: bersentuhan, berciuman, bercumbu, dan hubungan seksual. Sedangkan domain konformitas terhadap teman sebaya disusun berdasarkan alasan untuk melakukan dan tidak melakukan konformitas (Baron & Byrne, 2003). Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan disain korelasional. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 132 orang dengan rentang usia 15 - 18 tahun. Nilai korelasi sebesar .002 (p = .978) diperoleh melalui korelasi Pearson's Product- Moment Artinya, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap terhadap perilaku seksual dengan konformitas terhadap teman sebaya. Analisis tambahan mendapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan sikap terhadap perilaku seksual yang signifikan ditinjau dari jenis kelamin. Selain itu, juga diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara sikap terhadap perilaku seksual dengan sejarah pacaran. Pada konformitas terhadap teman sebaya, diketahui bahwa terdapat perbedaan konformitas terhadap teman sebaya yang signifikan ditinjau dari usia, asal sekolah, dan kelas partisipan.

The purpose of this study is to examine the correlation between attitudes toward sexual behavior with peer conformity in middle adolescence. To measure attitude, the researcher uses Myer's (1996) components of attitude, which are cognitive, affective, and behavior. Sexual behavior, which is the object of attitude, is arranged according to Duvall and Miller's (1985) types of sexual behavior, which are: touching, kissing, petting, and sexual intercourse. While domains of peer conformity arranged by reasons to conform and not to conform (Baron & Byrne, 2003). The design of this research is correlational-quantitative. The participants of this research are 132 middle adolescents with age ranging from 15 - 18 years old. The Pearson's Product-Moment is .002 (p = .978). This result indicates that there was no significant correlation between attitudes toward sexual behavior with peer conformity. The other result showed that there is a significant difference in attitudes toward sexual behavior between sexes. It also revealed that there was significant correlation between attitudes toward sexual behavior with the number of dating, that participant had been through. For peer conformity, the result described that there was significant difference in peer conformity between ages, schools, and classes."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
306.7 PRA h
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>