Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 198898 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ignatius Haryanto
"Perjalanan sejarah Per's Indonesia, selalu menunjukkan babwa Per's selalu berhadapan dengan masalah kekuasaan Kekuasaan Yang sebenarnya juga dimiliki oleh Pers rupanya tidak terlalu mengimbangi kekuasaan lain di luar dirinya. Hubungan Pers dan Pemerintah pada masa awal Orde Baru diwarnai dengan variasi hubungan, di satu masa, tahun-tahun awal Orde Baru, ada kepentingan yang berjalan beriringan antara Pers dan Pemerintahan. Orde Baru Tetapi pada masa selanjutnya, Pers merasa ia harus kembali kepada fungsinya semula yaitu, menjadi media informasi dan di sinilah terjadi perbedaan kepentingan antara Pers di satu pihak cier'icasan Pemerintah di lain pihak. Rupanya fungsi informasi, amat ditonjolkan efek Politisnya oleh Pemerintah. Hal ini bisa dilihat pada penanganan-penanganan kasus yang tidak melalui prosedur hukum yang wajar, dan ditambah pembenaran atas kondisi darurat yang dipahami oleh remerintah pada masa awal Orde Baru. Surat kabar Indonesia Raya adalah koran yang memilikd visi yang amat jelas dalam keberpihakannya pada kepentingan masyarakat, dan menolak segalabentuk korupsi atau manipulasi yang terjadi di awal masa Orde Baru itu. Sebagai salah satu implikasi kebijakan ekonomi yang menarik modal asing ke Indonesia, maka koran ini adalah Salah satu yang paling kritis menanggapi kebijakan tersebut. Sikap tersebut tercermin jelas dalam pemberitaan dan editorial yang dipimpin oleh Mochtar Lubis."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia , 1994
S4133
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Maman Soetarman Mahayana
"surat kabar Asia Raya pertama ka.li terrbit 29 April 1942, segera setelah Jepang menduduki Indonesia ,menggantikan peme­ rintah kolonial Belanda, dan berakhir penerbitannya 7 September 1945, selang beberapa hari setelah Indonesia menyatakan kemer­ dekaannya. sebagai sur at kabar yang didirikan dan dikelola bagi kepentingan pemerinatah pendudukan .:Jepang di Indoesia, surat kabar ini tentu saja dapat dianggap sebagai alat atau organ yang secara khas mewaki li sikap politik pemerintah Jepang waktu itu. Dengan demikian, isj surat kabar itupun niscaya diarahkan untuk kepentiugan propoganda plhak Jepang, Dengan dasar pemikiran di atas, penel itian terhadap surat kabar Asia Raya sedikit banyaknya akan mengungkapkan, bagaimana sikap pemerintah Jepang di bidang sastra dan budaya. Ternyata, apa yang diti ulis oleh para pengamat sastra Indonesia, seperti A. Teeuw, Ajip Rosidi 1 Jakob Soemardjo sebenarnya kurang tepat 1 jika tidak dapat dikatakan 'keliru'. Ada kesan kuat bahwa para pengamat sustra Indonesia tu lebih banyak mengandalkan sumber informasinya dari dua buku H.B. Jassin, yaitu Kesusasteraan In­donesia di masa Jepang dan Gema Tanah air, yang di dalamnya"
Depok: Universitas Indonesia, 1995
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Ignatius Haryanto
Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), 1996
079.598 IGN p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Desi Yasmini
"Surat kabar merupakan lawan nyata atau musuh penguasa mapan, seperti pemerintah yang diktator. Keadaan seperti ini mencontohkan kemampuan surat kabar untuk melakukan kontrol sosial dalam masyarakat. Pola hubungan pers semacam itu pernah dirasakan di Indonesia pada masa pemerintahan terdahulu (Orde Baru). Namun dalam beberapa mass pemerintahan terakhir terjadi beberapa perubahan yang sangat berarti di dunia pers, yaitu ketika dihapuskannya SIUPP dan dibubarkannya Departemen Penerangan (Deppen). Hegemoni pemerintahan pun memudar. Memudarnya hegemoni pemerintah tidak dengan serta merta memberikan kebebasan kepada media dalam menentukan arah, isi, dan bentuk pemberitaan. Karena ia pun harus berhadapan dengan kekuatan lain, yaitu pemilik atau pemodal, dan pasar. Kepemilikan media dan kepentingan si pemilik media menjadi fenomena yang menarik dalam penanganan bencana gempa dan tsunami di wilayah Aceh pada Desember 2004, dengan keikutsertaan pemilik Surat Kabar Media Indonesia (MI) Surya Paloh. Pada saat terjadinya gempa dan tsunami di Aceh, Surya Paloh yang pada saat itu menduduki posisi Pemimpin Umum Harian Umum Media Indonesia sekaligus pemilik, turut serta dalam penanggulangan bencana.
Dalam beberapa edisi Media Indonesia, Surya Paloh diberitakan melakukan berbagai kegiatan yang terkait pada penanggulangan bencana. Tidak kurang enam hari (edisi 28 Desember 2004 hingga 2 januari 2005), pemberitaan Harian Umum Media Indonesia didominasi oleh berita dan foto bencana gempa dan tsunami di Aceh. Dari rata-rata 20 halaman berita setiap edisi, sebanyak 16 halaman digunakan untuk halaman khusus "Indonesia Menangis". Otomatis selama enam hari itu, banyak halaman regular yang dihilangkan. Atas dasar itulah peneliti melakukan penelitian bagaimana pola hubungan yang terbentuk antara redaksional Surat Kabar Nasional Harian Media Indonesia dan pemiliknya, khususnya pada kasus bencana gempa dan tsunami di Aceh pada Desember 2004. Untuk memahami permasalahan tentang pola hubungan yang terbentuk antara redaksional Surat Kabar Nasional Harian Media Indonesia dan pemiliknya, diperlukan berbagai teori dari berbagai kajian tentang media massa, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu penelitian yang ditujukan untuk memahami realitas yang diteliti dengan pendekatan yang menyeluruh, tidak melakukan pengukuran pada bagian-bagian dari realitas. Kesimpulan-kesimpulan penelitian tidak dibuat berdasarkan perhitungan-perhitungan kuantitatif, melainkan berdasarkan deskripsi cermat atas realitas.
Peneliti memusatkan penelitian pada hubungan yang terbentuk antara redaksional Media Indonesia dan pemiliknya. Dalam melaksanakan tugas keredaksionalan tentunya ada pola-pola tertentu yang pada akhirnya memengaruhi kebijakan redaksional Surat Kabar Media Indonesia. Peneliti menggunakan metode pengumpulan data berupa observasi, wawancara, dan dokumentasi. Tujuan peneliti adalah untuk mengamati pola hubungan yang terbentuk antara redaksi dan pemilik media, terkait pemberitaan gempa dan tsunami di Aceh. Kedua adalah untuk mengetahui bagaimana pers bersikap saat berhadapan dengan kepentingan pemilik media.
Berdasarkan penelitian pada hubungan yang terbentuk antara redaksional Media Indonesia dan pemiliknya, terlihat bahwa kebijakan redaksional di Media Indonesia masih dikuasai oleh elit dominan, dalam hal ini Surya Paloh sebagai pemilik media.
Keterlibatan pemilik media, meski hanya berupa arahan, tentunya juga berpengaruh pada proses produksi dan pola pemberitaan. Harian Umum Media Indonesia sebagai institusi pers harus tetap menjaga integritas dengan menjaga mutu dan bobot beritanya, sehingga dapat dipertanggungjawabkan di depan khalayak pembaca dengan tampilan harian umum yang tetap mengedepankan etika jurnalistik yang berlaku.
Secara akademis, penelitian ini bisa menjadi pemicu tumbuhnya ide untuk meneruskan penelitian dengan topik yang mengarah pada kasus-kasus tertentu. Di masa sekarang ini, di mana pemilik media menjadi salah satu kekuatan yang dihadapi media massa, pers diharapkan bisa bersikap lebih tegas mengedepankan etika jurnalistik."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22442
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Tjipta Lesmana
"Pekerjaan wartawan di era Orde Baru sering dilukiskan "sulit", karena di satu sisi wartawan gigih menuntut kebebasan seperti yang dijamin oleh Undang-Undang Pokok Pers, tetapi di sisi lain pemerintah menilai kebebasan pers tanpa pembinaan dapat menciptakan situasi yang tidak kondusif bagi stabilitas nasional; padahal stabilitas nasional diyakini sebagai persyaratan mutlak bagi keberhasilan pembangunan nasional. Bagaimana pers, yang direpresentasikan oleh majalah Tempo, mengatasi kendala struktur dalam menjalankan tugasnya, tetapi pada waktu yang sama berupaya agar eksistensi penerbitannya tetap terjaga, itulah masalah yang hendak diteliti. Teori interaksi simbolik dipakai sebagai instrumen. Tujuannya, kecuali untuk menguji kebenaran ketiga asumsi dasar interaksi simbolik (Blamer, 1969:2), juga untuk mengkaji kegunaan model aksi Charon (1998) yang bertumpu pada definisi situasi (definition of situation) dalam memahami perilaku wartawan Tempo dalam hubungannya dengan pejabat-pejabat Departemen Penerangan.
Hubungan Tempo dan pemerintah dibatasi pada hubungan yang terjadi setelah keluarnya Undang-Undang Pokok Pers No 21 tahun 1982 hingga pembredelan majalah tersebut pada Juni 1994.
Ada empat pertanyaan penelitian yang diajukan: (1) Bagaimana obyek sosial didefinsikan sebagai berita? (2) Faktor-faktor apa yang mempengaruhi definisi obyek sosial sebagai berita? (3) Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pelaksanaan keputusan publikasi berita? (4) Bagaimana proses terjadinya konflik antara Tempo dan pemerintah?
Penelitian menggunakan desain kualitatif model interaksi simbolik (Muhadjir, 1990:125), mengambil majalah Tempo sebagai kasus studi. Data diperoleh dari wawancara mendalam (depth interview), analisis dokumen dan studi pustaka. Unit analisis adalah action, tindakan (Meltzer, 1964) dan dokumen; tindakan dari individu-individu yang berinteraksi sosial dan dokumen sebagai produk dari interaksi sosial. Duabelas informan Tempo dipilih dengan menggunakan teknik purposive dan snowball (Cresswell, 1994:148). Di kalangan pejabat, diwawancarai Subrata (mantan Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika) dan Brigadir Jenderal TNI (Purnawirawan) Nurhadi Purwosaputro (mantan Kepala Pusat Penerangan ABM). Semua wawancara dilakukan oleh peneliti sendiri, berlangsung antara Juli 1996 sampai Nopember 1997, dengan menggunakan alat perekam. Dari hasil wawancara dibuat transcripts yang kemudian dituangkan ke dalam "kartu penulisan catatan" (Faisal, 1990) untuk dibuatkan kategori-kategori. Berita, laporan dan opini yang dianalisis, terutama, berita, laporan dan opini yang menimbulkan reaksi keras dari pemerintah. Sedang dokumen yang diteliti, antara lain, semua peringatan tertulis yang dikeluarkan Departemen Penerangan kepada Tempo, Keputusan Dewan Pers No 79/XIV/1974 tentang Pedoman Pembinaan Idill Pers, pidato-pidato Presiden Soeharto dan Menteri Penerangan Harmoko yang berhubungan dengan masalah pers.
Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa (1) ketiga asumsi dasar teori interaksi simbolik dan model aksi Charon, secara umum, dapat menjelaskan hubungan majalah Tempo dan pemerintah yang bernuansa konflik. Namun, action sesungguhnya tidak selamanya ditentukan oleh makna obyek atau definisi situasi. Faktor kekuasaan dapat menghambat publikasi berita oleh wartawan serta tersumbatnya proses negosiasi. (2) Konflik Tempo dan pemerintah terutama disebabkan oleh perbedaan perspektif dan tidak adanya shared-meaning tentang simbol-simbol signifikan serta pemaksaan makna berita oleh pemerintah. (3) Faktor budaya kiranya juga dapat menghambat efektivitas aplikasi teori interaksi simbolik. Budaya Tempo yang individualistis tidaklah cocok dengan budaya Orde Baru yang bersifat kolektivistis, sehingga konflik pun tidak dapat dielakkan. Konflik yang berakhir dengan pembredelan Tempo.

Symbolic Interactionism as a Perspective In Understanding Press-Government Relations A Case Study on Tempo magazineA tough working condition was facing every journalist during New Order. Press freedom, while rigorously fought by journalists due to its guarantee in the Press Law, was not regarded as a positive factor in the maintenance of national stability. The government even constantly and systematically obstructing freedom of the press. How journalists fight against structural constraints, while not embarrassing the government officials, especially those in the Ministry of Information that is the core issue to be explored in this study. Symbolic interactionism is used as the instrument. Its objective is to make a further comprehension on the three basic assumptions of the interactionism (Blumer, 1969:2), as well as to see the relevance of Charon's (1998) action model which put a heavy stress on definition of situation in understanding social interaction, i.e. Tempo journalists' actions vis-a-vis government officials.
The study is restricted to the era following the proceeding of 1982 Press Law (Law No 21/1982) up to the clamp down of Tempo license permit in June 1994.
Four research questions are raised: (1) How social object is defined as news; (2) What factors influencing object definition as news; (3) What factors influencing decision in news publication and (4) How conflict between Tempo and government is proceeded.
The study is qualitative in design using symbolic interactionism model (Muhadjir, 1990:125). Data is collected through in-depth interviews. Twelve Tempo journalists were selected according to the purposive and snowball techniques. The unit of analysis is action (Mmeltzer, 1964), individuals (journalists and government officials) interacting each other and documents, such as government press guidance policy, sanction letters issued by the Ministry of Information to Tempo and speeches by the President and Minister of Information relating to the press issue. On the government' side, two ex high-ranking officials were interviewed: Subrata, former Director General of Press and Graphics Guidance (Ministry of Information), and Army Brigadier General (retired) Nurhadi Purwosaputro, former Armed Forces spokesman. All interviews, conducted from July 1996 to November 1997 by the researcher himself, were taped.
It was found that (1) symbolic interactionism perspective and Charon's action model are very relevant in explaining Tempo﷓government relation that is frequently colored by conflicts. Action, however, is not always determined by the meaning of object (assumption No 1). External power is also to be taken for granted in making decision on news publication. Power could make negotiation process obstructed, as well; contrary to the belief that meaning could always be negotiated through interaction (assumption No 2). (2) Conflict between Tempo and government is notably caused by perspective differences in interpreting political and social phenomena which, in turn, blocking the process of shared-meaning on significant symbols. (3) Cultural determinant also plays vital role in the effectiveness of symbolic interactionism. Tempo's orientation to Time magazine, heavily influenced by individualist culture, is not in line with New Order dominant collectivist culture. In the event of such cultural differences, conflict is unavoidable. And whoever in power is on the upper hand in conflict resolution."
2001
D198
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhendra
"Skripsi ini bermaksud membahas peranan pers, khususnya upaya sebuah surat kabar dalam mengungkap kasus korupsi, yang mengambil studi kasus harian Indonesia Raya (IR). Skripsi ini membahas tiga permasalahan utama, pertama apa pandangan IR terhadap korupsi? kedua mengapa IR mengungkap korupsi? ketiga bagaimana peranan IR dalam mengungkap kasus korupsi masa awal Orde Baru 1968-1974? Perubahan situai politik setelah tumbangnya Orde lama dan munculnya Orde Baru telah membawa suasana baru dalam kehidupan pers di Indonesia. Kebebasan pers telah mendapatkan tempatnya pada masa awal Orde Baru, kekangan-kekangan pada periode sebelumnya telah membawa kepada euforia kebebasaan pers pada masa awal Orde Baru. Maka banyak pers-pers baru bermunculan termasuk beberapa surat kabar baru bahkan beberapa surat kabar yang pada masa sebelumnya sempat dibredel muncul kembali, seperti harian Pedoman, Abadi, Nusantara dan Indonesia Raya (IR). Dari beberapa harian tersebut, IR menduduki posisi yang cukup unik karena karakternya yang khas yaitu cukup gencar mengungkap kasus korupsi pada masa awal Orde Baru. Hal ini tidak terlepas dari peranan Mochtar Lubis sebagai sosok sangat dominan dalam IR. Skripsi ini membahas peranan IR namun juga mencoba mengangkat persepsi atau pandangan IR terhadap korupsi, sehingga tindakan-tindakan atau upaya-upaya IR dalam mengungkap kasus korupsi dapat menjawab alasan IR mengungkap korupsi. Hal inilah yang merupakan landasan dari peranan IR dalam mengungkap kasus korupsi pada masa awal Orde Baru.."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S12621
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suratna
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola hubungan antara pers dengan Lembaga Legislatif. Bagaimana pers sebagai salah media komunikasi massa dalam era reformasi ini melakukan fungsi kontrol atas DPR-RI Bagaimana tanggapan DPR-RI terhadap pers, dan bagaimana pengelolaan manajemen Humas Sekretarait Jenderal DPR RI sebagai mediator antara pers dan DPR-RI.
Kerangka pemikiran dari penilitian ini adalah bahwa pers sebagai salah satu media komunikasi massa memiliki fungsi informasi, hiburan, pendidikan dan kontrol sosial. Fungsi kontrol sosial pers ini sangat terkait dengan pelaksanaan kelembagaan pemerintahan termasuk DPR-RI. Pers dan DPR adalah merupakan sub sistem dari sistem politik, sehingga Dinamika hubungan kedua institusi tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi politik yang sedang berlangsung. Reformasi telah mengubah wajah demokrasi Indonesia termasuk Pers dan DPR. Pers lebih bebas dalam melakukan aktifitas jurnalistiknya sementara itu hubungan antar lembaga tinggi negara lebih ditengarai adanya parliament heavy. Adanya penguatan fungsi dua lembaga tersebut menyebabkan kedua hubungan menjadi menarik untuk diamati.
Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan wawancara mendalam. Wawawancara dilakukan terhadap informan yang terdiri dari anggota DPR-RI, kelompok pers dan kelompok masyarakat.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pers di era reformasi diwarnai dengan semangat kebebasan yang sangat luar biasa. Hal ini disebabkan oleh karena adanya tuntutan perkembangan demokrasi. Pers Indonesia saat ini sedang mencari jati diri. Hal ini menyebabkan pers tidak mudah untuk diatur oleh siapapun, termasuk dewan. Saat ini belum jelas bentuk pers Indonesia.
Selain itu, Pers Indonesia yang baru saja bebas dari tekanan pemerintah dalam melakukan aktifitas jurnalistiknya merasa bahwa saat ini tidak ada suatu institusi yang dapat mengontrol pers. sehingga pers Indonesia saat ini merasa bebas untuk melakukan apa saja yang mereka kehendaki. Pers di era reformasi ini lebih suka menyerang siapa saja, hanya mengambil segi-segi negatif dari Dewan, dan tidak menempatkan isu tidak secara prosposional. Namun fungsi kontrol pers terhadap DPR-.RI dirasakan belum effektif. Hal ini disebabkan karena DPR di dalam era reformasi ini juga memiliki kekuasaan yang luar biasa.
Ristriksi politik yang mempengaruhi kehidupan pers, di era reformasi ini relatif sudah tidak dirasakan oleh pers. Namun Penyelesaian sengketa masyarakat dengan pers melalui lembaga peradilan yang mengacu pada KUHP, dirasakan sangat merugikan pers. Sementara ristriksi ekonomi yang berupa pertimbangan bisnis perusahaan pers mempengaruhi kebijakan redaksi.
Peran Bagian Pemberitaan dan Penerbitan (Humas) DPR RI dirasakan belum mampu membantu meningkatkan citra positif DPR-RI. Hal ini disebabkan karena kurang terbangunnya hubungan yang baik antara wartawan yang ada di DPR dengan Bagian Pemberitaan dan Penerbitan. Selain itu masih rendahnya kreatifitas Bagian Pemberitaan dan Penerbitan dalam membangun citra, lambannya kinerja staf karena mental pegawai masih diwarnai sebagai seorang birokrat, jumlah personil yang terbatas, kurang jelasnya otoritas kewenangan, serta anggaran yang belum memadai.
x + 108 halaman + Lampiran
Daftar Pustaka : 30 buku (Tahun 1971 s.d. 2003) + 2 Artikel."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13711
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indi Kurniaini Ns
"Sebagai institusi sosial, komunikasi dan ekonomi sosial-kemasyarakatan. sebagai media pers mempunyai peranan dalam kehidupan Peranan itu berkaitan dengan fungsi pers informasi, pendidikan, hiburan, dan warisan sosial. Begitu pula pers Islam yang ada di Indonesia yang mempunyai peran dalam kancah perjuangan kemerdekaan bangsa. Bahkan berperan sebagai cikal-bakal tumbuh-kembangnya dunia penerbitan pers di Indonesia. Peranan itu memang mengalami perubahan seiring dengan perkembangan masyarakat industri dan informasi yang sekaligus terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Perubahan peranan pers Islam yang terkait dengan perubahan sosial kemasyarakatan itu ternyata menghadapi faktor-faktor yang menyebabkan kendala bagi perkembangan pers Islam di Indonesia. Faktor-faktor tersebut yang paling utama adalah masalah profesionalisme yang berhubungan dengan semu aspek manajemen penerbitan pers seperti peliputan, percetakan, peredaran dan pemasaran. Di samping masalah teknis, ada pula masalah esensi ajaran Islam yang harus berhadapan dengan realitas sosial dan politik. Masalah esensi ajaran Islam ini menjadi persoalan tersendiri bagi perumusan pers Islam yang lebih sesuai bagi tuntutan tersebut. Ada sekelompok penerbit dan pengelola pers Islam yang lebih memilih sekadar bertahan hidup dari pada mengikuti tuntutan perkembangan tersebut, namun ada pula yang mencoba melakukan terobosan/melalui format pers Islam yang lebih bisa diterima oleh semua kalangan. Baik masalah teknis maupun esensial mempunyai jalan keluar untuk diatasi jika diiringi oleh keinginan kuat dari penerbit dan pengelola pers Islam. Terutama menyangkut masalah teknis, bisa diatasi dengan beberapa cara. Sedangkan untuk mengatasi masalah esensi ajaran diperlukan kajian yang lebih dalam terhadap ajaran Islam yang relevan dengan kehidupan masyarakat industri. Karena itu rumusan pers Islam yaitu pers yang menonjolkan aspirasi dakwah perlu mendapat kajian-ulang. Kalau perlu simbol-simbol keagamaan yang ditonjolkan oleh pers Islam dihapuskan saja, diganti dengan penampilan yang lebih inklusif. Yakni penampilan yang mengena untuk semua kalangan Islam. Pers dakwah Islam menjadi pers umum yang bernafaskan Islam."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1993
S3797
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Yayasan Obor Indobnesia, 1997
959.8 TAJ
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>