Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 46218 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ahmad Fauzi
"Pada tahun 1964, Gellman dan Zweig mengajukan hipotesis bahwa proton, neutron, dan hadron lainnya tersusun dari partikel elementer yang disebut quark. Setelah itu, Bodmer, Terazawa dan Witten mengajukan gagasan ten- tang adanya quark strange pada bintang kompak yang menyebabkan energi ikat quark up, down, strange lebih rendah dibandingkan energi ikat nuklir. Model yang mudah digunakan untuk mempelajari bintang quark yaitu dengan model bag MIT. Ukuran bag direpresentasikan oleh konstanta bag, B, dimana massa quark konstan. Pada temperatur T = 0, maka fraksi quark up konstan, sekitar 33%, sedangkan fraksi quark down turun diikuti fraksi quark strange yang naik. Fraksi quark up pada T ̸= 0, tanpa penangkapan neutrino, sekitar 33%, namun pada T ̸= 0, dengan penangkapan neutrino, fraksi quark up naik menjadi 42%. Massa bintang akan meningkat ketika nilai B turun.

In 1964, Gellman and Zweig proposed their hypothesis about the proton, the neutron, and all the other hadrons composed by elementary particle which were called quark. Afterwards, Bodmer, Terazawa and Witten proposed idea about strange quark in compact stars which binding energy of up, down, strange quark lower than nuclear. A simple model to learn quark stars is the MIT bag model. The size of the bag is represented by the bag constant, B, with mass of quark is constant. Temperature T = 0, the fraction of up quarks is constant, about 33%, the fraction of down quarks decreases followed by the increase of strange quarks fraction. The fraction of up quarks at T ̸= 0, without neutrino trapping about 33%, whereas at T ̸= 0, in case neutrino trapping, the fraction of up quarks increases to 42%. The maximum mass of the stars increases as the value B decrease."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S1097
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tjong, Po Djun
"Plasma sebagai material yang semakin banyak dipakai di dunia industri akan dibahas secara singkat. Kemudian, quark-gluon plasma sebagai salah satu jenis plasma akan ditinjau secara mendalam. Sebuah teori untuk quark-gluon plasma akan diformulasikan melalui penyusunan sebuah densitas Lagrangian. Simetri gauge untuk setiap suku di dalam Lagrangian akan tetap dipertahankan, kecuali untuk suku viskositasnya. Mekanisme transisi dari partikel titik ke medan alir, dan sebaliknya, didiskusikan dengan jelas. Kemudian akan diturunkan persamaan tensor energi-momentum yang relevan untuk plasma gluonik. Dengan menerapkan hukum kekekalan energi dan kekekalan momentum, viskositas shear dan viskositas bulk akan didapatkan dengan penurunan analitik. Hasil penghitungan menunjukkan bahwa pada tingkat energi yang dekat dengan hadronisasi, viskositas bulk akan jauh lebih besar dari viskositas shear. Penghitungan ini juga memberikan hasil yang cukup dekat dengan hasil yang didapat dari eksperimen.

Plasma as a kind of material that has become more and more commonly utilized in industry is introduced. A kind of plasma, which is called quark-gluon plasma is elaborated deeply. A theory for viscous quark-gluon plasma is formulated through the construction of a Lagrangian density. Gauge symmetry is preserved for all terms inside the Lagrangian, except for the viscous term. The transition mechanism from point particle field to fluid field, and vice versa, is discussed. The energy momentum tensor that is relevant for the gluonic plasma having the nature of fluid bulk of gluon sea is derived within the model. By imposing the law of energy and momentum conservation, the values of shear and bulk viscosities are analytically calculated. The result shows that at the energy level close to hadronization the bulk viscosity is bigger than shear viscosity. Also, the values are close to experiments result.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
D1986
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raditya Utama
"Pada suatu masa di awal alam semesta, semesta kita diprediksikan berada pada fase plasma berupa fluida ideal QCD relativistik yang dinamakan Quark-Gluon Plasma (QGP). Beranjak dari hipotesis ini, kita mencoba menganalisis efek relativitas umum pada kelengkungan ruang-waktu yang berasal dari keberadaan materi QGP. Kita memakai geometri FRW mengingat sifat distribusi materi di awal alam semesta yang homogen dan isotropik serta mengembang sebagai fungsi waktu seperti semesta yang kita dapat amati saat ini. Tujuan dari penelitian ini adalah mencari-tahu dinamika ruang-waktu serta hubungan antara tekanan terhadap kerapatan pada suatu masa di awal alam semesta.

Abstract
At least within an epoch of early universe, our universe is predicted to be in a plasma phase of relativistic ideal QCD fluid which is called Quark-Gluon Plasma (QGP). Arise from this hypothese, we try to analyze the effect of general relativity through the curvature of space-time that comes from QGP matters existence. We apply the FRW geometry because of the properties of the matter distribution in early universe which are homogene and isotropic yet expanding as the function of time like the universe we observe today. The goals of this research are to find out the space-time dynamics and the relationship between pressure upon density of certain epoch in early universe. "
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S936
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hertog Nursanyoto
"Masalah gizi mutakhir di Indonesia mempunyai fenomena unik dan disebut sebagai double burden in health problem karena ditandai oleh dua masalah yang berbeda yang terjadi pada saat bersamaan. Sementara penyakit infeksi akibat kekurangan gizi belum sepenuhnya dapat diatasi, pada saat yang sama penyakit degeneratif akibat kelebihan gizi mulai meningkat secara tajam.
Salah satu masalah gizi lebih yang menjadi sorotan pada dewasa ini adalah penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler). Secara umum penyakit ini didefinisikan sebagai gangguan akibat adanya penyempitan pembuluh darah (aterosklerosis) dan secara spesifik ditandai dengan adanya kelainan metabolisme lipoprotein.
Diantara berbagai faktor etiologi yang teridentifikasi sebagai faktor risiko, terdapat enam faktor yang dianggap memiliki kontribusi penting. Keenam faktor tersebut menarik untuk dikaji iebih lanjut, karena memiliki akronim yang bisa dipakai sebagai slogan untuk pencegahan risiko. Oleh Hamilton faktor risiko ini dibuat menjadi matriks H.E.A.L.T.H yang merupakan singkatan mnemonik dari [H]eredity, [E]xercise, [A]ges, [L]bs, [T]obacco dan [H]abits of fat consumption.
Penelitian bertujuan untuk menganalisis model hubungan yang terjadi antara faktor risiko pada matriks H.E.A.L.T.H dan peningkatan kadar kolesterol plasma. Diharapkan model hubungan ini dapat diaplikasikan sebagai bahan pertimbangan bagi terapi pencegahan aterosklerosis, karena dengan diketahuinya model hubungan yang terjadi dapat dirancang suatu tindakan preventif untuk mengurangi besarnya risiko dari masing-masing faktor.
Penelitian dilakukan dengan mengambil sampel penduduk usia dewasa ( _> 18 tahun) yang berte mpat tinggal di kotamadya Denpasar. Analisis data dilakukan dengan strategi model regressi linier berganda dengan menempatkan kadar kolesterol plasma sebagai variabel dependen.
Berdasarkan hasil analisis diperoleh gambaran bahwa diantara keenam faktor yang ada dalam matriks H.E.A.L.T.H., faktor [H]eredity dengan OR 4,375(95% CI : 2,149-8,908) dan faktor {ff]abits of fat consumption dengan OR 3,038(95% CI : 1,317-7,009) merupakan kandidat terkuat sebagai determinant factor. Kedua faktor tersebut memiliki kontribusi yang dominan dalam model untuk menerangkan pola hubungan antara matriks H.E.A.L.T.H. dan hiperkolesterolemia Jana keberadaan keduanya sekaligus pada individu akanmemberi efek interaksi yang sinergis dalam mempertinggi risiko ateroskerosis. Faktor [E]xercise dan [L]bs pada dasarnya merupakan faktor yang mengukur gejala yang sama. Secara statistik keduanya memiliki hubungan linier dengan [E]xereise sebagai prediktor. Atau dengan kata lain [L]bs memang merupakan indikator dari level [E]xercise individu. Penyertaan keduanya didalam model akan menimbulkan gejala kolinieritas sehingga menghasilkan model yang over parameter. Dengan pertimbangan praktis di lapangan, penyertaan faktor [L]bs akan menghasilkan model yang lebih balk (well formulated model) dibandingkan penyertaan faktor [E]xercise ke dalam model.
Dapat disimpulkan bahwa hubungan antara kadar kolesterol plasma dan matriks H.E.A.L.T.H. ternyata menghasilkan matriks rumusan yang sederhana dan dapat digunakan secara self asessment untuk mengukur risiko aterosklerosis individu. Meski demikian, sebelum diaplikasikan secara meluas, masih diperlukan penelitian gold standard untuk mengukur sensitifitas dan spesifisitas dan matriks rumusan tersebut, agar secarapositifdapat diprediksi peluang terj adinya aterosklerosis, jika berdasarkan rumusan matriks H.E.A.L.T.H. individu dinyatakan sebagai kelompok yang berisiko."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T5149
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ziyan Muhammad Aqsha
"Teknologi micromixing telah mengalami perkembangan yang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Micromixer merupakan salah satu komponen penting dalam sistem mikrofluida terintegrasi untuk aplikasi kimia, biologi, dan medis. Pencampuran yang homogen dan cepat dalam skala mikro menjadi tantangan tersendiri dalam dunia medis, contohnya pada pencampuran plasma darah. Plasma yang dianalisis pada penelitian ini adalah plasma darah dan air destilasi. Proses dilakukan secara passive mixing yang didasarkan pada struktur saluran mikro untuk meningkatkan difusi molekul untuk pencampuran yang efisien. Bentuk panah dipilih sebagai desain micromixer karena memiliki kinerja pencampuran yang lebih baik daripada bentuk T dan Y. Jenis-jenis rintangan juga digunakan untuk meningkatkan proses pencampuran meliputi bentuk berlian, lingkaran, elips, segitiga ke dalam, dan segitiga ke luar. Simulasi dilakukan pada software COMSOL Multiphysics versi 5.6. Hasil penelitian menunjukan hasil pencampuran yang lebih baik untuk desain micromixer dengan rintangan. Bilangan Reynold juga diperoleh untuk setiap desain, dimana semakin tinggi nilai Reynold maka pencampuran mendekati aliran turbulen. Rintangan dengan bilangan Reynold tertinggi dicapai oleh desain dengan rintangan segitiga ke dalam dengan nilai 9,4326. Kemudian diikuti desain dengan rintangan elips dengan nilai 9,4322 , lalu tanpa rintangan yaitu 9,4309, setelah itu segitiga ke luar dengan nilai 9,4006 , dan terakhir bilangan Reynold terendah adalah desain dengan rintangan berlian yaitu 9,2514.

Micromixing technology has experienced rapid development in recent years. The micromixer is an important component in an integrated microfluidic system for chemical, biological, and medical applications. Homogeneous and fast mixing on a micro scale is a challenge in the medical world, for example in mixing blood plasma. The samples analyzed in this study were blood plasma and distilled water. The process is carried out by passive mixing which is based on a microchannel structure to enhance the diffusion of molecules for efficient mixing. The arrow shape was chosen as the micromixer design because it has a better blending performance than the T and Y shapes. The types of barriers also used to improve the mixing process include diamond, circle, ellipse, triangle inside, and triangle outside shapes. The simulation was carried out on COMSOL Multiphysics software version 5.6. The results showed better mixing results for the micromixer design with obstacles. Reynolds number is also obtained for each design, where the higher the Reynolds value, the closer the mixing is to turbulent flow. The obstacle with the highest Reynolds number was achieved by a design with an inward triangular resistance with a value of 9.4326. Then followed by elliptical obstacles with a value of 9.4322 , then without obstacles that is 9.4309, after that the outward triangle with a value of 9.4006 , and finally the lowest Reynolds number is a design with a resistance of 9.2514."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fauzi
"Penelitian ini dilakukan untuk memproduksi hidrogen secara intensif melalui sistem elektrolisis plasma dalam larutan NaOH menggunakan reaktor kompartemen ganda. Suhu proses pada penelitian ini dijaga 85-90oC, katode berjenis wolfram berdiameter 3 mm, dan anode berupa koil. Proses elektrolisis plasma menjadi alternatif untuk produksi hidrogen dalam memenuhi kebutuhan energi. Proses elektrolisis plasma lebih efektif dan efisien daripada proses elektrolisis Faraday untuk memproduksi hidrogen. Variasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah tegangan listrik 752 dan 801 V, jarak antarkatode 1, 2, dan 3 cm, rekayasa untuk daya yang sama, serta jumlah katode 1, 2, dan 3 katode.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah melakukan modifikasi penambahan katode ke dalam sistem untuk meningkatkan efektivitas produksi hidrogen. Pengujian yang dilakukan yakni pengukuran konsentrasi hidrogen menggunakan gas kromatografi, pengukuran laju alir gas menggunakan bubble soap flowmeter, dan pengukuran arus menggunakan multimeter. Produksi hidrogen terbaik diperoleh sebesar 15,56 mmol/menit dan konsumsi energi sebesar 4,24 kJ/mmol. Proses elektrolisis plasma pada penelitian ini menunjukkan peningkatan efektivitas proses sebesar 36,43 kali lipat dibandingkan dengan elektrolisis Faraday yakni dalam konsentrasi NaOH 0,05 M, tegangan 801 V, dan menggunakan 3 katode. Semakin banyak katode yang digunakan, maka semakin efektif dan efisien proses elektrolisis plasma untuk memproduksi hidrogen.

This research is done to produce hydrogen intensively through electrolysis system plasma within the NaOH solution using double compartment reactor. Temperature process in this study is kept 85-90oC, using tungsten cathode with diameter of 3 mm, and the anode in the form of coils. Plasma electrolysis process is an alternative for hydrogen production to fulfill the needs of energy. Plasma electrolysis process is more efficient than electrolysis Faraday process to produce hydrogen. The variation in this study are the electrical voltage 752 and 801 V, the distance between cathodes 1, 2, and 3 cm, engineered to the same power, and the number of cathode are 1, 2, and 3 cathodes.
The main purpose of this study is to modify the addition of cathode which is from tungsten material into the system to improve the effectiveness of hydrogen production. Tests which is conducted in this study are the measurement of the hydrogen concentration using gas chromatography, gas flow rate measurement using bubble soap flowmeter and current measurement using a multimeter. The highest hydrogen production obtained is 15,56 mmol/ min with 4,24 kJ / mmol. This experiment can reach up 36,43 times hydrogen production compared to Faraday electrolysis process. The more cathodes are used, the more effective and efficient for producing hydrogen in plasma electrolysis process.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
S58856
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
James Julian
"In recent developments in the area of thermofluid technologies, active flow control has emerged as an interesting topic of research. One of the latest methods, which will be discussed in this paper, is the application of a plasma actuator. Plasma actuation is achieved by conducting a high-voltage electric current through an actuator device. Our research was specifically conducted to discover its effect on the reduction of the drag coefficient, with Ahmed Body the experimental object put inside a suction-flow wind tunnel with varying inputs of flow velocity. The plasma actuator device was run with an A.C. power supply and installed in three different placement configurations on the aerodynamic model to determine which most optimally affected the aerodynamic drag, while the drag coefficients were acquired via the use of a load cell installed as the harness for the aerodynamic model inside the tunnel. The results of the experiments include that the optimal configuration of the actuator placement was on the leading edge, the optimal wind flow velocity of the experiment, which was essential for the actuation to be observed, was at 1.7 m/s, and the resulting drag reduction percentage, as a result of induced flow, was 22% of the initial drag coefficient."
Depok: Faculty of Engineering, Universitas Indonesia, 2016
UI-IJTECH 7:2 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fadli Cahya Megawanto
"Separasi aliran merupakan fenomena yang sangat mempengaruhi performa dari airfoil akibat adverse pressure gradient. Dimana daerah setelah terjadinya separasi terdapat kehilangan energi kinetik dan menghasilkan pengaruh yang tidak diinginkan, yaitu peningkatan gaya drag. Didalam mengatasi kondisi tersebut, salah satu metoda yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan momentum ke dalam fluida untuk melawan adverse pressure gradient sehingga mampu menunda atau bahkan menghilangkan separasi aliran.
Penelitian ini membahas mengenai penggunaan aktuator plasma yang ditempatkan pada 0.21 c dari leading edge airfoil NACA 4415. Bilangan Reynolds yang digunakan adalah 35,000, 100,000, dan 200,000. Penelitian ini menggunakan dua metode, yaitu komputasi dan eksperimental. Software CFD Fluent 6.3.26 digunakan pada metode komputasi guna mengetahui pengaruh aktuator plasma terhadap gaya aerodinamika serta menjelaskan medan aliran yang melalui model uji. Sedangkan load cell, digunakan guna mendapatkan hasil gaya aerodinamika sehingga dapat memvalidasi data dari metode komputasi. Selain itu, dilakukan pula visualisasi aliran untuk memahami fenomena aliran yang melintasi model uji.
Dari hasil percobaan penggunaan aktuator plasma secara umum mampu meningkatkan nilai koefisien lift (CL) dan menurunkan koefisien drag (CD) dengan rata - rata kenaikkan CL sebesar 24.90%, 7.81% dan 1.37%, serta rata - rata penurunan CD sebesar 8.45%, 0.86% dan 1.96% pada masing - masing variasi Reynolds number. Pengaruh paling optimal adalah pada Re 35,000 dan mampu melakukan penundaan titik separasi terbaik sebesar 0.0107 pada α = 90.

Flow separation is a phenomenon that greatly affects the performance of airfoil due to adverse pressure gradient. There is a loss of kinetic energy at the area after separation and produces undesirable effects, i.e an increasing in drag force. In dealing with the condition, one method that can be done is to provide momentum into the fluid to resist the adverse pressure gradient or even eliminate the flow separation.
This study discusses the use of plasma actuators placed at 0.21 c from the leading edge of airfoil NACA 4415. The used Reynolds number are 35,000, 100,000, and 200,000. This research uses two methods, namely computational and experimental. Software CFD Fluent 6.3.26 is used in the calculation method. Load cell, used for experimental in resulting aerodynamics force. In addition, there is also a visualization of the flow to understand the phenomenon.
In general, the experimental resulting the use of plasma actuators can increase the lift force and decreasing drag force. The average increasing in value by 0.40%, 7.81% and 1.37%, and the average decreased by 8.45%, 0.86% and 1.96% in each Reynolds number variation. The most optimal effect is at Re 35,000 and is able to prevent the best separation point of 0.0107 at α = 90."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2018
T49210
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Augustinus Arif Sartono
"Lapisan Stellite 6 dibuat dengan berbagai laju bubuk yang masuk dalam plasma pada proses pelapisan dengan teknik Plasma of Transferred Arc-Welding (PTAW). Sampel kemudian diperiksa dengan EDX, SEM dan XRD. Dari analisa data XRD serta pengukuran kekerasan, diperoleh bahwa kekerasan maksimum terjadi pada laju bubuk 1,6 Lb/jam atau ( 0,73 kg/jam) dan menurun terhadap laju bubuk.

Stellite 6 film was made by Plasma of Transferred Arc-Welding ( PTAW ), its powder deposition rate was varied. The specimen was then examined by EDX, SEM and XRD. The XRD analysis and hardness measurement show that the optimum hardness happened at powder flow rate 1,6 Lb/hr ( 0,73 kg/hr ) and it's decrease as function of powder rate deposition."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2008
T21375
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Santy Pudjianto
"Manifestasi klinis demam berdarah Dengue (DBD) adalah kebocoran plasma dan trombositopenia. Salah satu teori penyebab kedua hal tersebut adalah kadar trombin yang meningkat akibat aktivasi koagulasi. Kadar trombin dapat diwakili oleh kadar F1.2. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kadar F1.2 dengan kebocoran plasma dan trombositopenia pada infeksi Dengue. Desain penelitian ini adalah potong lintang, mengggunakan plasma EDTA dari pasien terinfeksi virus Dengue. Subyek penelitian adalah 10 subyek dengan kebocoran plasma dan 10 subyek tanpa kebocoran plasma pada infeksi Dengue, 6 sampel berpasangan untuk perbandingan fase kritis dan fase konvalesen, 26 sampel untuk uji korelasi antara kadar F1.2 dengan jumlah trombosit.
Hasil penelitian menunjukkan kadar F1.2 pada pasien terinfeksi virus Dengue dengan kebocoran plasma (rerata ± 2SD) 147,4 ± 105,82 pg/mL lebih tinggi secara bermakna dibanding tanpa kebocoran plasma 51,3 ±39,92 pg/mL. Kadar F1.2 pada fase kritis dengan median 186,3 (108,6-223,2) pg/mL lebih tinggi secara bermakna dibanding fase konvalesen 46,5(27,4-51,9) pg/mL. Terdapat korelasi negatif yang bermakna dengan kekuatan sedang antara kadar F1.2 dengan jumlah trombosit, nilai r = - 0,609. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa terdapat peningkatan aktivasi koagulasi yang ditunjukkan dengan peningkatan kadar F1.2 pada fase kritis, berkaitan dengan kebocoran plasma dan trombositopenia pada pasien terinfeksi virus Dengue.

Clinical manifestations of Dengue haemorrhagic fever are plasma leakage and thrombocypenia. Both manifestations are thought to be caused by an increased thrombin level due to activation of coagulation. The aim of this study was to look for any association between F1.2 level and plasma leakage and also between F1.2 level and thrombocytopenia in Dengue infected patients. The study design was cross sectional. This study used EDTA plasma from patients infected with Dengue virus. The thrombin level was represented by the prothrombin fragment 1.2 (F1.2) level. Twenty subjects were enrolled in this study, consisted of 10 subjects with plasma leakage and 10 without plasma leakage, 6 pair samples in critical phase and convalescent phase, 26 samples for correlation test between F1.2 level and platelet count. In this study, it was found that the F1.2 level in patients with plasma leakage (mean ± 2 SD) 147.4 ± 105.82 pg/mL was significantly higher compared to patients without plasma leakage 51.3 ±39.92 pg/mL, and the F1.2 level in critical phase had a median of 186.3 (108.6-223.2) pg/mL which was significantly higher compared to convalescent phase 46.5(27.4-51.9) pg/mL. Also there was a significant negative correlation with moderate degree of relationship between F1.2 level and the thrombocyte count, r = - 0.609.
The results of the study demonstrated that there was increased coagulation activation at critical phase in patients infected with Dengue virus, as shown by F1.2 as indicator, associated with plasma leakage and thrombocytopenia.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>