Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 178987 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Kuwat Wijayanto
"Dalam keadaan atau situasi segenting apapun fungsi-fungsi negara/kekuasaan negara tidak boleh absen. Oleh sebab itu menjadi penting suatu negara mempunyai pengaturan yang bersifat antisipatif guna menghadapi keadaan tidak normal atau situasi darurat yang serba mendesak, terutama bagi pejabat publik yang menjadi bagian dari penyelenggara negara, untuk memberikan dasar atas tindakan-tindakan yang harus dilakukan dalam jabatannya guna menghadapi situasi genting atau darurat tersebut.
Memasuki kuartal ke IV tahun 2008, Pemerintah memandang perekonomian Indonesia memasuki kondisi yang mengkhawatirkan. Mempertimbangkan kondisi makro ekonomi global dan domestik, dengan mengacu kepada Pasal 22 UUD 1945, maka Pemerintah menerbitkan 3 (tiga) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), salah satunya yaitu Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), yang memperjelas Protokol Manajemen Krisis Sistem Keuangan Indonesia, mengingat belum selesainya penyusunan RUU JPSK. Dalam perjalanannya, Perpu dimaksud baru dicabut pada tanggal 6 Agustus 2015, melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2015 Tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang JPSK.
Pencabutan Perpu JPSK tersebut membawa implikasi terhadap pelaksanaan fungsi Bank Indonesia sebagai lender of last resort, yaitu mengakibatkan tidak adanya payung hukum yang mengatur mengenai jaring pengaman sistem keuangan, sehingga ada kekosongan hukum yang diperlukan untuk membentuk konstruksi yang sempurna bagi Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi lender of last resort. Dengan kondisi yang demikian, dalam hal terjadi krisis di sistem keuangan dan terdapat bank yang mengalami kesulitan likuiditas dan berdampak sistemik, Bank Indonesia tidak dapat menjalankan fungsi sebagai lender of last resort dengan baik.

In any circumstance or urgent situation the functions of national/state power cannot be absent. Therefore becomes important to a country having regulation to face the emergency situation, especially for public officials who are part of the state, to provide the foundation for the actions that must be performed in order to confront his critical situation or emergency.
Entering the fourth quarter of 2008, the Government views the Indonesian economy entered a vulnerable phase. Considering the global and domestic macro economy, with reference to Article 22 UUD 1945, the Government issued three (3) of Government Regulation in Lieu of Law (decree), one of the decree No. 4 Year 2008 on the Financial System Safety Net (FSSN), which clarifies the Financial System Crisis Management Protocol Indonesia, particularly related to the authorities concerned and regarding the rights and obligations of the arrangement, given the completion of the drafting of laws FSSN. Along the way, the decree was revoked on August 6, 2015, through Act No. 11 of 2015 concerning Revocation of Government Regulation in Lieu of Law No. 4 of 2008 on FSSN.
Revocation of Exemption Law FSSN the implications of the implementation of Bank Indonesia function as a lender of last resort, which resulted in the absence of a legal framework governing the financial system safety net, so that there is a legal vacuum that needed to form a construction that is perfect for Bank Indonesia to perform the function of lender of last resort. With such conditions, in the event of a crisis in the financial system and some banks experiencing liquidity problems and systemic impact, Bank Indonesia cannot perform the function of lender of last resort as well."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T45500
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Heri Perdana
"Kebijakan keuangan Negara darurat Pandemi COVID-19, seharusnya dilaksanakan secara transparan dan akuntabel meskipun dilaksanakan dalam keadaan darurat dan terbatas. Hal ini disebabkan keuangan Negara merupakan sektor yang harus dikelola dan dipertanggungjawabkan sesuai dengan mekanisme Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis karakter hukum dan mekanisme kebijakan keuangan Negara darurat pada masa pandemi COVID-19, berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 Sebagaimana Ditetapkan Menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020.Berdasarkan kajian dan analisis atas peraturan yang berlaku, ditemukan bahwa karakter hukum dalam kebijakan keuangan Negara darurat berbeda dengan kebijakan pada umumnya.Karakter hukum pada sektor keuangan Negara darurat, membuat Pemerintah dapat mengeluarkan kebutuhan anggaran belanja Negara terlebih dahulu, yang kemudian diusulkan pada rancangan perubahan APBN dan atau disampaikan dalam laporan realisasi anggaran sebagai bentuk Pembahasan Pemerintah atas Hak Budget lembaga legislatif. Dalam kondisi tidak normal sekalipun pemerintah berkewajiban melaksanakan fungsi pemerintahanya secara baik dan efektif sehingga dibutuhkankonsep baku kedaruratan yang mengatur protokol mitigasi pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan Negara dalam keadaan darurat, melalui penguatan peran pengendalian internal Pemerintah yang dapat mencegah dan mendeteksi secara cepat atas potensi penyalahgunaan anggaran Negara

The state financial policy of the COVID-19 pandemic emergency, should be implemented in a transparent and accountable manner even though it is carried out in an emergency and limited manner. This is because State finances are a sector that must be managed and accounted for in accordance with the mechanism of the 1945 Constitution. By using normative juridical research methods, this study is intended to analyze the legal character and mechanism of emergency State financial policies during the COVID-19 pandemic, based on Government Regulation in Lieu of Law (Perppu) Number 1 of 2020 As Stipulated as Law Number 2 of 2020. Based on a study and analysis of the applicable regulations, it was found that the legal character of the emergency State financial policy is different from the policy in general. The legal character of the emergency State financial sector allows the Government to issue the needs of the State budget first, which is then proposed in the draft amendment to the APBN and or submitted in the budget realization report as a form of Government Discussion on Budget Rights of the legislature. Even in abnormal conditions, the government is obliged to carry out its government functions properly and effectively so that a standard emergency concept is needed that regulates the mitigation protocol for managing and accounting for State finances in an emergency, through strengthening the role of the Government's internal control which can prevent and detect quickly the potential misuse of the State budget"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Quraisi Sifhan
"Penelitian tesis ini difokuskan pada konsep dan pola hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang mendukung pencapaian tujuan bernegara menurut Undang-Undang nomor 1 tahun 2022 tentang hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Bentuk peneliitian yang digunakan adalah yuridis-normatif dan tipologi penelitian eksplanatoris. Hasil penelitian yakni terdapat perubahan secara konseptual baik dilihat dari perspektif norma maupun nomenklatur hukum dalam pengaturanya sejalan dengan tuntutan reformasi dan demokratisasi daerah namun dalam hubungan keuangan ini terlihat menonjolnya keterlibatan pusat dalam segala unsur penggunaan dana yang mereduksi kebebasan daerah otonom untuk menggunakan anggaran yang telah diberikan, terlebih keterlibatan pusat ini akan menimbulkan posisi yang paradoksial mengingat dalam urusan kebijakan penggunaan anggaran ditentukan secara rinci oleh pusat sedang didapati masalah di kemudian hari, yang bertanggung jawab adalah pemerintah daerah. Pola hubungan keuangan saat ini menggambarkan kedudukan sentralis dari pusat sebagai sumber perumus kebijakan yang merinci dengan kompleks pengaturanya sehingga daerah hanya diberikan ruang pada kewenangan pelaksanaan, demikian terlihat bahwa penekanan terhadap sinergi kebijakan fiskal nasional sangat kuat. Hal ini menandakan telah ada perubahan dari paradigma serta sistem hubungan keuangan yang dimaksudkan dapat mencapai tujuan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk dicapai namun mengorbankan prinsip otonomi itu sendiri dan menjadi persoalan baru dalam implementasi kebijakan anggaran dengan terlihatnya desentralisasi yang melemah dan sentralisasi yang menguat, kebijakan hukum dalam Undang-Undang hubungan keuangan ini sudah final tetapi kedepanya harus ditata kembali hal-hal yang lebih prinsipil yakni eksistensi kedudukan daerah (desentralisasi) yang tidak sepatutnya direduksi oleh kebijakan dari pemerintah pusat.

This thesis research is focused on the concept and pattern of financial relations between the center and the regions that support the achievement of state goals according to Law number 1 of 2022 concerning financial relations between the center and the regions. The research forms used are juridical-normative and explanatory research typology. The results of the study are that there is a conceptual change, both from the perspective of norms and legal nomenclature in its regulation in line with the demands for regional reform and democratization, but in this financial relationship, the central involvement in all elements of the use of funds reduces the freedom of autonomous regions to use the budget that has been given. Moreover, the involvement of the center will lead to a paradoxical position considering that in matters of policy the use of the budget is determined in detail by the center, while problems are found in the future, which is responsible for the regional government. The current pattern of financial relations illustrates the centralist position of the center as a source of policy formulation detailing the complex arrangements so that regions are only given space for implementing authority, it can be seen that the emphasis on national fiscal policy synergies is very strong. This indicates that there has been a change from the paradigm and system of financial relations which is intended to achieve the goal of welfare for all Indonesian people but sacrifices the principle of autonomy itself and becomes a new problem in the implementation of budget policies with the visible weakening of decentralization and strengthening of centralization, legal policies In this Law, financial relations are final, but in the future, more principal matters must be reorganized, namely the existence of regional positions (decentralization) which should not be reduced by policies from the central government.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Demetrio Reinhart Priono
"Penerapan sanksi pidana denda atas pelanggaran hukum memiliki sejarah panjang, di mana setiap peradaban dan budaya memiliki bentuk hukuman sendiri untuk pelanggaran hukum. Pemidanaan, yang identik dengan pemberian hukuman, mengacu pada penderitaan yang sengaja diberikan kepada individu yang melanggar hukum, sebagaimana didefinisikan oleh para ahli hukum. Penelitian ini mengkaji penerapan pidana denda dalam tindak pidana persaingan usaha di Indonesia setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, yang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas pidana denda sebagai instrumen hukum dalam menegakkan persaingan usaha yang sehat serta implikasi hukum dari perubahan regulasi tersebut. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan studi kasus. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 telah menyebabkan dekriminalisasi terhadap beberapa tindak pidana persaingan usaha, mengalihkan pendekatan dari penegakan pidana ke penegakan administratif. Dekriminalisasi ini bermasalah karena berpotensi mengurangi efek jera yang dapat diberikan oleh sanksi pidana, termasuk denda. Penegakan pidana yang efektif dapat memiliki efek jera yang signifikan terhadap pelanggar, seperti yang dibuktikan oleh praktik di yurisdiksi lain seperti Amerika Serikat. Potensi denda sebagai alat penegakan hukum yang kuat belum sepenuhnya dioptimalkan dalam kerangka regulasi baru ini. Penelitian ini menyimpulkan bahwa sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, pendekatan penegakan hukum pidana dalam persaingan usaha telah bergeser, lebih memilih penegakan administratif daripada sanksi pidana. Dekriminalisasi ini dianggap kurang menguntungkan karena penegakan pidana yang efektif, termasuk denda, dapat memberikan efek jera yang signifikan, seperti yang dibuktikan oleh praktik di Amerika Serikat. Selain itu, potensi denda sebagai alat penegakan hukum yang kuat belum sepenuhnya dioptimalkan. Rekomendasi penelitian ini termasuk tinjauan lebih mendalam oleh pemerintah mengenai potensi re-kriminalisasi terhadap tindak pidana persaingan usaha yang serius, terutama kartel hardcore seperti penetapan harga, pembatasan produksi, dan pembagian pasar. Selain itu, perlu ada evaluasi mekanisme saat ini untuk menghitung denda dan menghapus batas maksimum denda untuk meningkatkan kepatuhan dan menciptakan lingkungan usaha yang lebih kompetitif dan adil di Indonesia.

The imposition of criminal fines for legal violations has a long history, with each civilization and culture having its own forms of punishment for such violations. Penalization, synonymous with sentencing, refers to the suffering intentionally imposed on individuals who break the law, as defined by legal experts. This study examines the application of criminal fines in business competition offenses in Indonesia following the enactment of Law No. 6 of 2023, which established the Government Regulation in Lieu of Law No. 2 of 2022 on Job Creation as law. The research aims to analyze the effectiveness of criminal fines as a legal instrument in enforcing fair business competition and the legal implications of the regulatory changes. The method used is normative juridical with a legislative and case study approach. The enactment of Law No. 6 of 2023 has led to the decriminalization of certain business competition offenses, shifting the approach from criminal enforcement to administrative enforcement. This decriminalization is problematic as it potentially reduces the deterrent effect that criminal sanctions, including fines, can provide. Effective criminal enforcement can have a significant deterrent effect on violators, as evidenced by practices in other jurisdictions such as the United States. The potential of fines as a powerful enforcement tool has not been fully optimized under the new regulatory framework. The study concludes that since the enactment of Law No. 6 of 2023, the approach to criminal law enforcement in business competition has shifted, favoring administrative enforcement over criminal penalties. This decriminalization is considered less favorable because effective criminal enforcement, including fines, can provide a significant deterrent effect, as evidenced by practices in the United States. Moreover, the potential of fines as a powerful enforcement tool has not been fully optimized. The study's recommendations include a deeper review by the government regarding the potential re-criminalization of serious business competition offenses, especially hardcore cartels such as price-fixing, production limitations, and market division. Additionally, there should be an evaluation of the current mechanisms for calculating fines and removing maximum fine limits to enhance compliance and create a more competitive and fair business environment in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vina Natalia
"Penelitian ini ditulis untuk dapat menjawab mengenai tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 (PMK 91/2020) atas perkara pengujian formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2020), yang ditindaklanjuti dengan penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu 2/2022). Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan menggunakan bahan-bahan pustaka atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Di samping itu, penelitian ini juga didukung dengan data primer yang dikumpulkan melalui wawancara narasumber terkait. Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan bahwa secara formil Perppu memang dapat menggantikan undang-undang sebagai tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi (Putusan MK). Sebab, kedua jenis peraturan ini memiliki hierarki, fungsi, dan materi muatan yang sama. Selain itu, Putusan MK sendiri pada dasarnya juga dapat ditindaklanjuti dengan jenis peraturan perundang-undangan apapun atau bahkan hanya dengan tindakan biasa. Hal tersebut dapat terjadi karena memang bergantung pada kasus yang diputus oleh MK. Akan tetapi, dalam konteks PMK 91/2020 yang ditindaklanjuti dengan Perppu 2/2022, maka kapasitas Perppu untuk melakukan hal tersebut tidak bisa serta merta dapat diterima dan oleh karenanya tindak lanjut tersebut menjadi tidak tepat. Sebagaimana PMK 91/2020 sangat menekankan bahwa perbaikan UU 11/2020 harus bersamaan menghadirkan partisipasi yang bermakna (meaningful participation). Artinya, dalam melakukan perbaikan UU 11/2020 harus dapat menciptakan partisipasi dan keterlibatan masyarakat secara sungguh-sungguh, yang mana dalam perbaikannya harus memenuhi 3 (tiga) prasyarat yakni right to be heard, right to be considered, dan right to be explaine. Sedangkan Perppu 2/2022 tidak mungkin dapat mengakomodir partisipasi masyarakat dalam proses pembentukannya, terlebih lagi dalam memenuhi esensi partisipasi yang bermakna. Sebab, Perppu 2/2022 tidak dapat mendetailkan right to be heard, right to be considered, dan right to be explained, melainkan Perppu 2/2022 adalah sebagai bentuk penerjemahan dari partisipasi yang pura-pura dan formalistik.

This research aims to review Government action after the Constitutional Court Decision Number 91/PUU-XVIII/2020 (PMK 91/2020) regarding the enactment review of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation (UU 11/2020), which was followed up with stipulation of Government Regulation in Lieu of Law Number 2 of 2022 concerning Job Creation (Perppu 2/2022). This research is a normative juridical research using library materials or secondary data which includes primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. In addition, this research is also supported by primary data collected through interviews with relevant source persons. This study found that formally a Perppu can indeed replace a law as a follow-up to the Constitutional Court's decision, because these two types of regulations have the same hierarchy, function, and substance. Moreover, the Constitutional Court's decision can also be followed up with any type of legislation or even just ordinary actions, depending on the case decided by the Constitutional Court. However in this case, it is inappropriate for the Government to follow up PMK 19/2020 with Perppu 2/2022 since Perppu is not capable and acceptable to replace UU 11/2020 immediately. PMK 91/2020 strongly emphasizes that revisions to Law 11/2020 must simultaneously bring about meaningful public participation. This means that in amending Law 11/2020, the Government must create genuine public participation and involvement, which must at least fulfill 3 (three) prerequisites: the right to be heard, the right to be considered, and the right to be explained. Meanwhile, the forming proccess of Perppu 2/2022 is unlikely to be able to accommodate public participation, especially in fulfilling the essence of meaningful public participation. Perppu 2/2022 is not able to pursue the right to be heard, right to be considered, and right to be explained, and instead is a form of pretend and formalistic participation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riska Purnamasari
"Pada penulisan tesis ini akan dibahas tentang Rahasia Jabatan Notaris Dalam Hal Berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan. Hal ini dilatarbelakangi oleh dilema bagi jabatan Notaris mengenai apakah Perppu 1/2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan dapat berlaku terhadap Notaris dan menjadikan Notaris sebagai entitas yang diatur di dalamnya sehingga Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan kemudian berwenang untuk mendapatkan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dari Notaris terhadap informasi klien-kliennya. Hal ini menjadi pertanyaan bagi para Notaris terhadap kemungkinan Perppu 1/2017 tersebut dapat menjadi dasar pembenaran bagi Notaris untuk membuka rahasia jabatan. Dari latar belakang tersebut maka muncul permasalahan bagaimana dasar pembenaran dalam membuka rahasia jabatan Notaris terhadap Akta yang dibuat oleh Notaris menurut Undang-Undang Jabatan Notaris dan di luar Undang-Undang Jabatan Notaris, kemudian bagaimana hubungan rahasia jabatan Notaris dan kewajiban Notaris dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Metode Penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian yuridis normatif yaitu studi kepustakaan dan didukung dengan studi lapangan berupa wawancara. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa konsep rahasia jabatan Notaris menganut teori rahasia relatif nisbi sehingga menyebabkan rahasia jabatan Notaris dapat dibuka jika memang ada kepentingan umum yang harus didahulukan atau adanya Undang-Undang yang memberikan pengecualian, terkait hal ini ada beberapa dasar pembenaran Notaris untuk membuka rahasia jabatannya. Jika Notaris diharuskan untuk membuka rahasia jabatan karena kewajiban hukum dalam rangka akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, maka hal tersebut harus secara tegas diatur dalam Undang-Undang.

In the writing of this thesis will be discussed about The Secrecy of Notary In the Application of Government Regulation in Lieu of Law No. 1 Year 2017 on the Access to Financial Information for Tax Interest. It is motivated by a dilemma that is questioned by Notaries whether the Government Regulation in Lieu of Law No. 1 Year 2017 on the Access to Financial Information for Tax Interest may be applied for them so thus makes Notary as the entity that is regulated inducing Directorate General of Taxes under Ministry of Finance could be authorized to obtain the access to financial information of Notary rsquo s clientele. It rsquo s then inquired by Notary to the possibility of that Government Regulation could be the justification of opening the classified information. The issues arising include on how does the justification to disclosure the Notary rsquo s secrecy toward deeds made by Notary under the law of Notary Act and apart from the law of Notary Act, then how is the connection of Notary rsquo s secrecy and obligations with The Government Regulation in Lieu of Law No. 1 Year 2017 on the Access to Financial Information for Tax Interest. The research method used in this writing is normative juridical research that is supporting by literature study and field study in the form of interviews. Data analysis is done qualitatively. The result of this research is that the concept of Notary 39 s secrecy embraces the theory of relative compelling that the Notary rsquo s secrecy could be revealed if there is public interest at stake that must take precedence or there are rules allowing exceptions. If a Notary is required to disclose a confidential information due to legal obligations in accessing financial information for tax purposes, it shall be firmly provided for in an Act."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T49500
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anisa Farida Amalia
"ABSTRAK
Dalam rangka mencegah penghindaran pajak, G20 setuju untuk memberlakukan Automatic Exchange of Financial Account Information AEOI dimana negara-negara G20 saling membuka data finansial di negaranya dan saling bertukar informasi keuangan. Sebagai pemenuhan syarat AEOI Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 2017 yang mengatur mengenai akses informasi keuangan. Dengan lahirnya undang-undang tersebut bank ada dalam persimpangan antara tugasnya memegang teguh rahasia bank dan di sisi lain bank harus secara suka rela memberikan data nasabah kepada aparat pajak. Tesis ini membahas pengecualian rahasia bank sebelum dan sesudah Undang-Undang No. 9 Tahun 2017 serta benturan kepentingan rahasia bank sebagai perlindungan hukum nasabah dan untuk kepentingan perpajakan. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif dengan tipologi komparatif dan berbentuk deskriptif analisis. Hasil penelitian menunjukkan persamaan dan perbedaan terkait ketentuan pengecualian rahasia bank untuk kepentingan perpajakan, dimana dengan adanya perubahan yang signifikan tersebut, khusus untuk kepentingan perpajakan, ketentuan rahasia bank telah dihapuskan. Antara rahasia bank sebagai perlindungan hukum nasabah penyimpan dengan pengecualian rahasia bank untuk kepentingan perpajakan tidak terdapat benturan kepentingan dikarenakan sifat relatif rahasia bank di Indonesia. Akan tetapi perlindungan hukum terhadap nasabah tetap ada dalam bentuk pasal yang menjamin bahwa data nasabah tersebut hanya akan digunakan untuk kepentingan perpajakan serta ancaman sanksi yang diberikan bagi pihak-pihak yang menyalahgunakan data nasabah tersebut. Dengan keterbukaan rahasia bank tersebut Notaris harus lebih berhati-hati dan memastikan itikad baik kliennya, serta memberitahukan klien agar nilai transaksi yang tercantum dalam akta harus sesuai dengan nilai transaksi sebenarnya.
ABSTRACT
In order to prevent tax evasion, G20 has commited to Automatic Exchange of Financial Account Information AEOI where G20 countries disclose their financial data and exchange their financial information to each other. As a condition of AEOI, Indonesian Government has issued Law No. 9 Year 2017 which regulates access to financial information. With such law, bank is in the intersection between its duty to keep its bank secrecy and to voluntarily provide customers rsquo data to the tax authority. This thesis aims to compare the exception of conventional bank secrecy, before and after Law No. 9 Year 2017 and also to analyze the clash of interests between bank rsquo s duties to protect their customers and to open bank secrecy for the benefit of taxation. Using juridical normative research method with comparation research typology. The results showed the similarities and differences regarding the provisions of bank secrecy for tax purposes, where wih such significant changes, specifically for the purposes of taxation, bank secrecy has been abolished. Between bank secrecy as a legal protection for bank rsquo s customers and the exeption of bank secrecy for tax purposes do not have conflict of interest due to the relative nature of bank secrecy. However, the legal protection of the bank rsquo s customers remain in the form of clause ensuring that the customer rsquo s data will only be used for tax purposes as well as the threat of sanctions are provided to those who are misusing such customer rsquo s data. With the disclosure of bank secrecy, Notaries have to be more careful and ensure their clients rsquo good faith and they must also notify their clients that the transaction value contained in the deed must be matched with the actual transaction value. "
2018
T49449
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Yuliani
"Penelitian ini bertujuan melakukan pendalaman dan penganalisisan mengenai kewenangan presiden dalam pembentukan perpu dan bagaimana kriteria Kegentingan yang Memaksa dalam pembentukan Perpu. Kriteria Kegentingan yang Memaksa dalam pembentukan Perpu semestinya diatur dengan jelas dalam suatu peraturan perundang-undangan, agar terwujud suatu mekanisme kontrol dalam pembentukan Perpu yang sesuai dengan kebutuhan. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu metode yang menggunakan norma hukum tertulis sebagai dasar penelitian. Penelitian ini diarahkan pada upaya mengkaji hukum positif terkait Kegentingan yang Memaksa dalam pembentukan Perpu.
Hasil penelitian menunjukkan kewenangan Presiden terlalu luas dalam menafsirkan hal ihwal Kegentingan yang Memaksa karena murni hanya bersandar pada subyektivitas Presiden semata. Hal ini merupakan suatu permasalahan dalam sebuah negara hukum, sehingga permasalahan ini sebaiknya harus segera diselesaikan dengan mengatur kriteria hal ihwal Kegentingan yang Memaksa dalam peraturan perundang-undangan, yang akan menjadi pijakan dalam pembentukan Perpu dan juga menjadi pijakan bagi DPR dalam mempertimbangkan persetujuan Perpu.

The study analyses of the authority of the president in The Government Regulation in Lieu of Law issuance and describes the define of an emergency situation. The criteria of an emergency situasion in The Government Regulation in Lieu of Law issuance should be well regulated in order to present a control mechanism in issuing The Government Regulation in lieu of Law.
The study uses a qualitative research method for generate descriptive-analytical result.
The result of the study defines that the authority of the president is too spacious and subjective in interpreting the emergency situasion which becomes problems in rule of law. These problems can be solved by regulating the criteria of an emergency situasion in issuing The Government Regulation in lieu of Law.
"
Universitas Indonesia, 2016
T44801
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Robertus Seta Dyaksa Hanindya
"Dalam rangka mendukung pemberantasan pengelakan dan penggelapan pajak yang dilakukan lintas negara dibutuhkan kerja sama internasional yang memungkinkan adanya pemberian sanksi kepada para wajib pajak yang melakukan pengelakan dan penggelapan pajak tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mendukung hal tersebut adalah melalui pengimplementasian Automatic Exchange of Information in Tax Matter (AEOI). Untuk mendukung upaya tersebut, Pemerintah Indonesia menerbitkan ketentuan terkait AEOI salahs satunya melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017.
Diterbitkannya UndangUndang Nomor 9 Tahun 2017 sebagai payung hukum implementasi AEOI di Indonesia merupakan babak baru bagi dunia perpajakan khusunya berkaitan denan pembukaan rahasia bank untuk kepentingan perpajakan. Penerbitan undangundang sebagaimana dimaksud sebagai payung hukum implementasi AEOI diikuti dengan penerbitan ketentuan teknis di bawahnya yang berfungsi sebagai petunjuk teknis pelaksanaan. Penerbitan beberapa aturan tersebut tentunya memiliki konsekuensi berkaitan dengan harmonisasi dengan peraturan lain khususnya yang berkaitan dengan rahasia bank.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis permasalahan yang berhubungan dengan hal-hal tersebut yaitu, pertama, menganalisis pengaturan mengenai rahasia bank dan AEOI di Indonesia dan kedua, menganalisis harmonisasi peraturan pelaksanaan AEOI yang berkaitan dengan rahasia bank setelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder.
Kesimpulan yang didapatkan berdasarkan hasil penelitian ini adalah yaitu pertama, pengaturan mengenai rahasia bank dan implementasi AEOI terdapat pada beberapa peraturan perundang-undangan yang berbeda waktu penerbitannya dan latar belakang penerbitannya sehingga terdapat potensi permasalahan terkait harmonisasinya. Kedua, permasalahan harmonisasi terhadap ketentuan sebagaimana tersebut dapat diatasi melalui penegasan pengesampingan pasal yang telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017. Sementara isu harmonisasi terhadap peraturan di bawah perundang-undangan yang berfungsi sebagai petunjuk teknis dapat dilakukan melalui penyesuaian ketentuan yang lama dengan yang baru yang dapat dilakukan dengan penerbitan peraturan perubahan ataupun pencabutan peraturan yang lama.

The effort of tackle down the tax evasion and tax evading in the global scope requires international cooperation and instrument that allows the impose of sanctions to the taxpayers who are shifting their profit and revenue outside their home country. One of the actions that made by the global scope to support this, is through the implementation of Automatic Exchange of Information in Tax Matter (AEOI). Government of Indonesia issued regulations of AEOI in order to support to fight tax evasion and tax evading by the enactment of Act Number 9 of 2017.
The enactment of Act Number 9 of 2017 as the legal basis of AEOI implementation triggered the new phase for the world of taxation in Indonesia, especially concerning the bank secrecy in tax matters. The enactment of Act Number 9 of 2017 as a legal basis of the implementation of AEOI followed by the enactment of the technical regulations under the act as the technical guideline. The enactment of these regulations have consequences related to harmonization with other regulations, especially those related to bank secrecy.
This study aims to analyze the problems related to these matters, first, to analyze the regulation of bank secrecy and AEOI in Indonesia and second, to analyze the harmonization of AEOI regulations related to bank secrecy after the enactment of Act Number 9 of 2017. Research methods that used in this study is juridical normative based on literature study.
This study concluded that first, the regulations of bank secrecy and implementation of AEOI are found in several different laws and regulations that has the different time and background so there are potential problems related to harmonization. Second, the solutions of the harmonization of these issues of regulations can be overcome by the waiver of the old regulations by using the Act Number 9 of 2017. The harmonization issues of regulations under the Act Number 9 of 2017 can be done through the adjustment of the old regulations referring to the Act Number 9 of 2017."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T49234
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>