Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 153964 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dwi Heppy Rochmawati
"Tesis ini membahas bagaimana klien Diabetes Melitus memberikan makna kehidupan dalam kondisi sakitnya. Tujuan dalam penelitian ini menguraikan persepsi, respon psikososial, kebutuhan penatalaksanaan, harapan dan makna kehidupan klien. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian menemukan tujuh tema besar yang sesuai dengan tujuan penelitian dan satu tema tambahan yaitu beban yang dihadapi klien.
Kesimpulannya makna kehidupan klien didapatkan dalam kondisi penderitaan dan pendalaman nilai spiritual. Penelitian ini menyarankan penggunaan model Adaptasi Roy dalam pengembangan teori keperawatan khususnya masalah psikososial; tersusunnya format pengkajian psikososial sebagai panduan mengidentifikasi masalah psikososial di keluarga, rumah sakit maupun masyarakat.

This thesis discussed how the client Diabetes Mellitus give life meaning in the pain condition. The purpose of this study described the perceptions, psychosocial responses, needs management, client expectations and the meaning of life. This study is a descriptive qualitative research design. The study found seven broad themes consistent with the purpose of research and one additional theme is the burden faced by the client.
In conclusion the meaning of the life of the client obtained under conditions of suffering and deepening of spiritual values. This study suggests the use of Roy's adaptation model in nursing theory development in particular psychosocial problems; compilation format psychosocial assessment as a guide to identify psychosocial problems in families, hospitals and the community.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2011
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Dyah Purnamasari Sulistianingsih
"Latar Belakang. Terdapat dua hipotesis mengenai terjadinya diabetes melitus tipe 2 yaitu kegagalan sel beta pankreas dan resistensi insulin. Mengingat pengaruh faktor genetik pada kejadian DM tipe 2 maka diperkirakan resistensi insulin juga dipengaruhi faktor genetik. Sejauh ini data prevalensi resistensi insulin dan gambaran metabolik pads saudara kandung subyek DM tipe 2 di Indonesia belum ada.
Tujuan. Mendapatkan angka prevalensi resistensi insulin pada saudara kandung subyek dengan DM tipe 2 dan mendapatkan data profil metabolik (profil lipid, IMT, lingkar perut, konsentrasi asam urat darah), tekanan darah dan distribusinya pads seluruh saudara kandung subyek dengan DM tipe 2
Metodologi. Studi pendahuluan dan potong lintang dilakukan pada 30 saudara kandung subyek DM tipe 2 yang datang berobat di Poliklinik Metabolik dan Endokrinologi RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, untuk dilakukan wawancara, pemeriksaan fisik, konsentrasi insulin darah puasa, glukosa puasa, trigliserida, kolesterol HDL dan asam urat. Resistensi insulin ditentukan dari persentil 75 dari HOMA-IR.
Hasil. Nilai cut-off HOMA-IR pada penelitian ini sebesar 2,04. Frekuensi resistensi insulin pads saudara kandung subyek DM sebesar 26,67% dengan proporsi di tiap keluarga bervariasi dari 0-75%. Semua subyek dengan resistensi insulin memiliki obesitas sentral dan sebanyak 75% memiliki IMT > 25. Komponen metabolik yang paling banyak ditemukan adalah obesitas sentral (56,7%), menyusul hipertensi (46,7%), hipokolesterol HDL dan hipertrigliseridemia masing-masing 26,6%, dan hiperglikemia (20%).
Simpulan. Frekuensi resistensi insulin pada saudara kandung subyek DM tipe 2 sebesar 26,67% dengan proporsi yang bervariasi di setiap keluarga antara 0-75%. Komponen metabolik paling banyak ditemukan adalah obesitas sentral.

Backgrounds. There are two hypothesis in the pathogenesis of type 2 DM, beta cell failure and insulin resistance. As genetic background has significant role in type 2 DM cases, insulin resistance is also suspected to be influenced by genetic factor. Thus far, there are no insulin resistance prevalence data and metabolic abnormalities among siblings of subjects with type 2 DM available in Indonesia.
Objectives. To obtain prevalence figure of insulin resistance among siblings of subjects with type 2 DM and to obtain their metabolic abnormality profiles as measured by their BMI, waist circumference (WC), blood pressure, glucose intolerance, concentration of triglyceride, HDL cholesterol and uric acid.
Methods. Cross-sectional study is conducted to 30 siblings of subjects with type 2 DM who are still alive and agree to participate in this study. The subjects are interviewed, physically examined and go through laboratory examination (fasting plasma insulin, plasma glucose, serum triglyceride, HDL cholesterol and uric acid concentration). Insulin resistance is derived from 75 percentile of HOMA-IR.
Results. The HOMA-IR cut-off value found in this study is 2,04. The frequency of insulin resistance is 26,67% among siblings of subjects with type 2 DM within variation range of 0-75%. All of subjects with insulin resistance have central obesity. About 75% subjects with insulin resistance have BMI ? 25. The metabolic components which are frequently found in this study can be ranked as follows; central obesity (56,7%), hypertension (46,7%), hypocholesterol HDL (26,6%), hypertriglyceridemia (26,6%) and hyperglycemia (20%).
Conclusion. The frequency of insulin resistance is 26,67% among siblings of subjects with type 2 DM within variation range of 0-75%. Among the metabolic components found in this study, central obesity is the most frequent."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21416
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jon Hafan Sutawardana
"Hipoglikemia adalah komplikasi akut diabetes melitus yang seringkali terjadi secara berulang yang ditandai dengan gula darah kurang dari 70 mg/dl. Kondisi tersebut akan berdampak secara psikologis yaitu ketakutan akan serangan ulang yang menciptakan perasaan traumatis pada penyandang diabetes melitus. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang pengalaman penyandang diabetes melitus yang pernah mengalami episode hipoglikemi di Persadia Kota Depok. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan fenomenologi terhadap enam partisipan. Hasil penelitian didapatkan enam tema utama yaitu penurunan fungsi fisik sementara sebagai respon hipoglikemia, perasaan traumatis ketika mengalami hipoglikemia, pemahaman partisipan terhadap penyebab hipoglikemia, kesadaran untuk pencegahan hipoglikemia, keyakinan internal menjadi sumber koping utama dalam menghadapi hipoglikemia, kebutuhan pelayanan keperawatan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam meningkatkan edukasi pada pasien yang mengalami hipoglikemia.

Hypoglycemia is an acute complication of diabetes mellitus which frequently occur repeatedly marked by blood glucose less than 70 mg/dl. The condition will affect the psychological fear of repeated attacks that create a traumatic feelings in people with diabetes mellitus. This study aims is to gain an in depth understanding of experiences of persons with diabetes mellitus who had experienced of hypoglycemia episodes in Persadia Depok. Qualitative descriptive phenomenology approach was applied to 6 participants. The findings revealed 6 themes: decline in physical function while in response to hypoglycemia, traumatic feelings when experiencing hypoglycemia, participants understanding that caused of hypoglycemia, awareness of hypoglycemia prevention, internal beliefs became the main source of coping to faced of hypoglycemia and nursing care needs. The results of this study suggest a need of improvement in nursing education for patients with hypoglycemia."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2015
T44450
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iin Nur Indahsari
"ABSTRAK
Diabetes merupakan penyakit progresif yang tidak hanya membutuhkan perawatan kuratif dan rehabilitatif tetapi juga perawatan paliatif.. Kepuasaan merupakan salah satu indikator penting tercapainya perawatan paliatif yang efektif sehingga pengukuran kepuasan pasien terhadap perawatan menjadi hal yang penting dilakukan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran tingkat kepuasan pasien diabetes yang mendapatkan perawatan paliatif. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain penelitian cross sectional menggunakan sampel pasien diabetes di balai asuhan keperawatan Jabodetabek sebanyak 43 responden yang dipilih dengan teknik purposive sampling. Instrumen yang digunakan adalah Home Care Client Satisfaction Instrument-Revised (HCCSI-R), Clien Satisfaction Inventory (CSI), dan Long-form Patient Satisfaction Questionnaire (PSQ-III). Hasil penelitian ini menunjukkan sebanyak 14% responden merasa cukup puas, 60,5% merasa puas, dan 25,6% merasa sangat puas. Pada penelitian ini juga ditemukan tidak ada perbedaan yang bermakna antara karateristik responden dengan tingkat kepuasan (p>0,05). Penelitian ini merekomendasikan kepada praktisi kesehatan untuk memperdalam pengetahuan mengenai perawatan paliatif dan mengaplikasikannya pada pelayanan kesehatan.

ABSTRACT
Diabetes is a progressive disease that needs palliative care aside from curative and rehabilitative. Satisfaction play as one of the most important indicator to get effective achievement of palliative care, so the measurement of patient satisfaction with treatment is necessary. This study was conducted to describe the level of satisfaction of diabetes patients who receive palliative care. This study used cross sectional approach with 43 respondents of diabetic patients accommodate under nursing care centers in Jabodetabek selected with purposive sampling technique. This study used Home Care Client Satisfaction Instrument-Revised (HCCSI-R), Clien Satisfaction Inventory (CSI), and the Long-Form Patient Satisfaction Questionnaire (PSQ-III) to measure satisfaction level. The results showed that 14% of respondents felt quite satisfied, 60.5% were satisfied, and 25.6% felt very satisfied. This research also found that there is no significant differences between the characteristics of the respondents with the level of satisfaction (p> 0.05). The study recommend healthcare practitioners to deepen their knowledge about palliative care and apply it to health services."
2015
S60556
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adang Sabarudin
"Diabetes melitus merupakan masalah kesehatan yang serius dan menurut survei PAPDI (1993) menempati urutan nomor lima sebagai penyebab ra\'vat inap1. Berdasarkan surYei epidemiologis, kekerapan diabetes melitus di Indonesia berkisar 1,4%-2,3% 2. Sejak ditemukannya insulin oleh Banting dan Best pada tahun 1921, komplikasi diabetes melitus berangsur-angsur bergeser ke komplikasi menahun. lmpotensi merupak.an salah sa tu komplikasi menahun diabetes melitus. lmpotensi adalah suatu keadaan ketidakmampuan penis untuk ereksi baik parsial maupun menyeluruh dan atau mem.pertahankannya agar dapat penetrasi ke dalam vagina 3. Penelitian yang dilal.-ukan The h1assachussets h1ale Aging Study (MMAS) pada tahun 1987-1989 yang melibatkan 1290 orang, mendapatkan angka kejadian impotensi 5% - 15% pada pria sehat usia 40 - 70 tahun. Angka ini menjadi 3 kali lipat apabila menderita diabetes melitus4. Penelitian di Indonesia yang melibatkan subyek dalam jumlah besar belum ada. Ian Effendi dkk5, mendapatkan angka kejadia11 impotensi pada pasien diabetes melitus sebesar 43% sedangkan Nasution AW dkk6, mendapatkan angka sebesar 46%. Angka yang tepat sukar ditentukan karena kelainan ini, apabila ti.dak ditanyakan, tidak selalu dikemukak.an pasien karena malu. Meskipun demikian, tidak jarang bahwa in1potensi merupakan keluhan utama yang membawa pasien maupun istrinya mengunjungi dokter.

Diabetes mellitus is a serious health problem and according to the PAPDI survey (1993) ranks number five as a cause of hospitalization1. Based on epidemiological surveys, the frequency of diabetes mellitus in Indonesia is around 1.4% -2.3% 2. Since the discovery of insulin by Banting and Best in 1921, diabetes mellitus complications have gradually shifted to chronic complications. Impotence is one of the chronic complications of diabetes mellitus. Impotence is a condition of the inability of the penis to erect either partially or completely and/or maintain it so that it can penetrate into the vagina. 3. Research carried out by The Massachusetts Age Aging Study (MMAS) in 1987-1989 involving 1290 people, found an incidence of impotence of 5% - 15% in healthy men aged 40 - 70 years. This figure triples if you suffer from diabetes mellitus4. There is no research in Indonesia involving large numbers of subjects. Ian Effendi et al5, found that the incidence rate of impotence in diabetes mellitus patients was 43%, while Nasution AW et al6, obtained a figure of 46%. The exact figure is difficult to determine because this disorder, if not asked, is not always brought up by the patient because of embarrassment. However, it is not uncommon for in1potency to be the main complaint that brings the patient and his wife to visit the doctor."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Frida Soesanti
"ABSTRAK
Latar belakang: Vitamin D dianggap berperan dalam patogenesis diabetes melitus tipe 1 (DMT1), memperbaiki kontrol metabolik dan menurunkan risiko terjadinya komplikasi mikrovaskuler.
Tujuan: Mengetahui profil kadar vitamin D remaja DMT1 dan hubungan kadar vitamin D dengan retinopati dan nefropati diabetik.
Metode: Penelitian potong lintang pada remaja DMT1 usia 11-21 tahun dengan lama sakit minimal satu tahun. Semua subjek dilakukan wawancara menggunakan kuesioner, pemeriksaan fisis lengkap, kadar 25(OH)D, HbA1c, rasio albumin/kreatinin urin, dan fotografi fundus.
Hasil: Terdapat 49 subjek, 34 (69,4%) perempuan dan 15 (30,6%) lelaki dengan median lama sakit lima tahun (1-16 tahun). Sebanyak 96% subjek menggunakan insulin basal bolus. Median HbA1c adalah 9,5% (6,3% - 18%). Tidak ada subjek dengan kadar 25(OH)D ≥ 30 ng/mL, 6 subjek (12,2%) dengan kadar 25(OH)D 21-19 ng/mL dan 87,8% memiliki kadar 25(OH)D ≤ 20 ng/mL. Rerata kadar 25(OH)D adalah 12,6 ng/mL (SD ±5,4 ng/mL). Faktor yang berhubungan dengan kadar vitamin D adalah lama pajanan matahari (RP 13,3; 95%IK = 1,8-96, p= 0,019). Jenis pakaian, penggunaan sunblock, IMT, lama sakit, konsumsi susu tidak berhubungan dengan kadar vitamin D. Prevalens retinopati pada penelitian ini adalah 8,2%, mikroalbuminuria 28,5%, dan nefropati 16,3%. Tidak terdapat hubungan bermakna antara kadar vitamin D dengan retinopati, mikroalbuminuria, dan nefropati diabetik.
Kesimpulan: Tidak ada remaja DMT1 dengan kadar vitamin D yang cukup dan tidak ada hubungan antara kadar vitamin D dengan retinopati, mikroalbuminuria, dan nefropati diabetik.;Background: Many studies showed that vitamin D involved in the pathogenesis of type 1 diabetes mellitus (T1DM), metabolic control and decreased the risk of microvascular complication.

ABSTRACT
Objective: To find out the vitamin D profile in adolescence with T1DM and its association with retinopathy and nephropathy diabetic.
Methods: This was a cross sectional study performed during April to May 2015 involving T1DM adolescence aged 11-21 years old with duration of illness ≥ 1 year. We used questionnaire to know factors associated with vitamin D level. We performed physical examinations, tests for level of 25(OH)D serum, HbA1c, urine albumin/creatinine ratio and fundal photographic.
Results: There were 49 subjects, 34 female (69.4%) and 15 male (30.6%) with median duration of illness was five years (1-16 years). Most of the subjects (96%) were on basal bolus regimen. Median of HbA1c level was 9.5% (range 6.3%-18%). None of the subject had 25(OH)D level ≥ 30 ng/mL, 12.2% with 25(OH)D level of 21-19 ng/mL and 87,8% was ≤ 20 ng/mL. Mean of 25(OH)D level was 12.6 ng/mL (SD ±5.4 ng/mL). Duration of sun exposure was associated with 25(OH)D level (prevalent ratio of 13.3; 95%CI = 1.8-96, p= 0.019); While type of clothing, sunblock, body mass index, milk and juice intake were not associated with 25(OH)D level. Diabetic retinopathy was found in 4 subjects (8.2%), microalbuminuria in 14 subjects (28.5%), and nephropathy in 8 subjects (16.3%). All the subjects who suffered from microvascular complication had 25(OH)D level ≤ 20 ng/mL. None of the subjects with 25 (OH)D > 20 ng/mL suffered had microvascular complication. There was no significant association between vitamin D level with diabetic retinopathy, microalbuminuria, or diabetic nephropathy.
Conclusion: None of the adolescent with type 1 DM had sufficient vitamin D level, and 87.8% had vitamin D deficiency. There was no association between vitamin D level with diabetic retinopathy, microalbuminuria, or diabetic nephropathy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hana DK Horasio
"Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit yang banyak diderita penduduk dunia dari segala tingkatan sosial. Di Indonesia prevalensi DM cukup tinggi yaitu berkisar antara 1,37%.-2,3%. Dengan menurunnya insiden penyakit infeksi diIndonesia, DM sebagai penyakit degeneratif kronis cenderung meningkat dari tahun ke tahun dan akan merupakan masalah kesehatan di kemudian hari. Banyak penyulit yang akan dialami oleh penderita DM antara lain nefropati diabetik, yang proses perjalanannya progresif menuju stadia akhir berupa gagal ginjal dan akan menyebabkan kematian. Gejala dini penyakit ini dapat dikenai dengan peningkatan ekskresi albumin urin yang lebih besar .dari pada normal, tetapi belum dapat dideteksi dengan Cara konvensional. Keadaan ini disebut mikroalbuminuria atau secara klinis disebut nefropati diabetik insipien. Pada stadium ini kelainan masih bersifat reversibel dan bila dilakukan penatalaksanaan yang baik maka proses nefropati diabetik (ND) yang akan berlangsung dapat dicegah. Dengan demikian, dapat diperpanjang harapan hidup penderita DM.
Penelitian ini bertujuan mendapatkan data kadar albumin urin kelompok kontrol sehat dan penderita NIDDM, membuktikan bahwa ekskresi albumin pada penderita NIDDM lebih besar dari pada kantrol sehat, serta ada korelasi antara lamanya DM dan peningkatan ekskresi albumin urin.
Penelitian dilakukan terhadap 25 orang kontrol sehat dan 100 penderita DM yang dibagi menjadi 4 kelompok, tiap kelompok 25 orang, menurut lamanya penderita diabetes yaitu kelompok DM I (<2 tahun), kelompok DM II (2-5tahun), kelompok DM III (5-10 tahun) dan kelompok DM IV (> l0 tahun). Urin kumpulan 12 jam (semalam) diperiksa terhadap albumin (makroalbumin) dengan carik celup Combur-9, kadar albumin kuantitatif dengan Cara RIA dan juga dihitung kecepatan ekskresinya. Sebelumnya dilakukan pemeriksaan penyaring untuk menyingkirkan faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan peningkatan proteinuria.
Pada kelompok kontrol sehat didapatkan rata-rata kadar albumin urin (KAU) adalah 3,45 ug/ml (SD3,65 ug/ml; rentang nilai 2,02 - 4,90 ug/ml) dan rata-rata kecepatan ekskresi albumin urin (KEAU) 2,74 ug/menit {5D=2,60 ug/menit, rentang nilai 1,72-3,76 ug/menit), sedangkan pada kelompok DM didapatkan nilai rata-rata yang lebih besar dari pada kelompok kontrol sehat dan secara statistik ada perbedaan bermakna (p<0,05). Dari 100 penderita NIIDM yang diperiksa dengan carik celup Combur-9 didapatkan 91 penderita memberikan basil negatif dan 9 penderita positif. Dan dari 91 penderita ini bila diperiksa dengan RIA ternyata ada 10 penderita (11%) berdasarkan KAU dan 21 penderita (23,1%) berdasarkan KEAU telah menunjukkan mikroalbuminuria. Dari keseluruhan 100 penderita NIIDM berdasarkan KAU didapatkan 617. normaalbuminuria, 14% mikroalbuminuria dan 5x makroalbuminuria. Sedangkan berdasarkan KEAU didapatkan 70% normoalbuminuria, 26% mikroalbuminuria dan 4% makroalbuminuria.
Hasil pemeriksaan KAU dan KEAU pada penderita DM sangat bervariasi, namun dapat dilihat bahwa rata-rata KAU dan KEAU makin meningkat dengan bertambah lamanya menderita DM dan pada perhitunaan statistik ada korelasi antara lamanya DM dan meningkatnya eksxresi albumin urin (r=0,36). Juga didapatkan bahwa dengan bertambah lamanya DM, prevalensi mikroalbuminuria makin meningkat. Antara lamanya DM dan tingginya kadar glukosa darah tidak ada korelasi (r=0,04), sedangkan antara tingginya kadar glukosa darah dengan KAU dan KEAU didapatkan adanya korelasi yang cukup bail: yaitu r=0,47 an 0,56).
Prevalensi mikroalbuminuria didapatkan lebih tinggi bila dinyatakan dengan KEAU dari pada KAU, sehingga dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan berdasarkan KEAU Iebih sensitif dari pada KAU. Oleh karena itu dianjurkan memeriksa KEAU untuk menentukan adanya mikroalbuminuria?"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T2252
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
RR. Ajeng Arumsari Yayi Pramesti
"ABSTRAK
Prevalensi Diabetes Mellitus di Provinsi DKI Jakarta mengalami peningkatan dan
Kepulauan Seribu menempati peringkat ke 3 tertinggi setelah Jakarta Selatan dan
Jakarta Timur dengan proporsi 2,7% dengan jumlah kasus yang meningkat dari
tahun 2012 - 2015 di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui hubungan antara faktor pengetahuan, riwayat diabetes mellitus
keluarga, pola kebiasaan makan, aktivitas fisik dan perilaku merokok dengan
kejadian diabetes mellitus tipe 2 dan faktor mana yang paling dominan yang
berhubungan dengan kejadian diabetes mellitus tipe 2. Penelitian dilaksanakan pada
bulan Februari 2016. Desain penelitian menggunakan case control dengan jumlah
sampel penelitian sebanyak 80 kasus dan 80 kontrol. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa riwayat diabetes mellitus keluarga, faktor pengetahuan tentang diabetes
mellitus, pola kebiasaan makan berisiko dan pola kebiasaan makan serat
berhubungan signifikan dengan kejadian diabetes mellitus tipe 2. Hasil multivariat
menunjukkan bahwa penduduk dengan riwayat diabetes keluarga berisiko 6,2 kali
lebih besar menderita diabetes mellitus dibandingkan dengan penduduk yang tidak
memiliki riwayat diabetes mellitus keluarga setelah dikontrol variabel pengetahuan,
pola kebiasaan makan berisiko dan pola kebiasaan makan serat, aktifitas fisik, dan
perilaku merokok (95% CI: 2,810 ? 13,553). Dari penelitian ini disarankan untuk
melakukan upaya preventif dan promotif yaitu dengan upaya perubahan perilaku
untuk menjadi lebih sehat dengan meningkatkan asupan serat, mengurangi
kebiasaan makan berisiko, dan meningkatkan pengetahuan tentang DM.

ABSTRACT
Prevalence of Diabetes Mellitus in Jakarta increased and prevalence in Thousand
Islands District Administration was ranked the third highest after South Jakarta and
East Jakarta with a proportion of 2.7%. The number of cases increased from year
2012 to 2015 in the SubDistrict of Kepulauan Seribu Utara. This study aims to
determine the relationship between knowledge, family history of diabetes mellitus,
the pattern of eating habits, physical activity and smoking behavior with diabetes
mellitus type 2 and the most dominant factors that associated with the occurrence
of diabetes mellitus type 2. The research was conducted in February 2016. The
study design using the case control study with a sample size of 80 cases and 80
controls. Results showed that a family history of diabetes mellitus, diabetes mellitus
knowledge, the pattern of risky eating habits and patterns of fiber eating habits
significantly associated with diabetes mellitus type 2. Multivariate results showed
that the population with a family history of diabetes 6.2 times greater risk of
suffering from diabetes mellitus compared with people who do not have a family
history of diabetes mellitus after controlled variable of knowledge, the pattern of
risky eating habits and patterns of fiber eating habits (95% CI: 2.810 ? 13.553).
From this research, it is advisable to carry out preventive and promotive efforts to
attempt behavioral changes become healthier by increasing fiber intake, reducing
the risk of eating habits, and increase knowledge about diabetes.
"
2016
T46002
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irlisnia
"[ABSTRAK
Latar belakang : Hiperglikemia kronik pada pasien Diabetes melitus tipe 1 (DMT1) dihubungkan dengan kerusakan jangka panjang, gangguan fungsi dan kerusakan berbagai organ tubuh lain seperti mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh kapiler. Salah satu gangguan fungsi organ yang sering diabaikan sebagai akibat hiperglikemia adalah faal paru. Uji fungsi paru dapat membedakan kelainan paru obstruktif, restriktif atau campuran antara obstruktif dn restriktif. Uji fungsi paru dengan spirometri tidak dapat dilakukan dengan baik pada anak dibawah usia 7 atau 8 tahun karena memerlukan koordinasi yang cukup sulit. Penelitian tentang dampak DMT1 terhadap paru di Indonesia belum ada sampai saat ini.
Tujuan : Mengetahui gambaran uji fungsi paru pada pasien DMT1 usia 8-18 tahun.
Metode : Penelitian potong lintang dilakukan di Poliklinik Endokrinologi dan Respirologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), serta Laboratorium Prodia Salemba pada bulan Januari 2015. Wawancara orangtua dilakukan dan data kadar HbA1c dalam rentang satu tahun terakhir diambil dari rekam medis subjek atau berdasarkan hasil pemeriksaan sebelumnya. Uji fungsi paru dilakukan sebanyak tiga kali dan diambil salah satu hasil yang terbaik. Kemudian subjek menjalani pengambilan darah untuk pemeriksaan kadar HbA1c dengan metode cation-exchange high pressure liquod chromatography (HPLC) di Laboratorium Prodia.
Hasil : Tiga puluh lima subjek berpartisipasi dalam penelitian, terdiri dari 68,6% perempuan. Rerata usia 14 ± 2,7 tahun dan median durasi DM adalah 4 tahun (1,3-10,2 tahun). Rerata parameter FEV1 adalah 86,8 ± 14%, FVC 82,7 ± 12% dan V25 83,1 ± 26,2%. Median FEV1/FVC adalah 92,4 % (77,6-100) dan V50 91,5 % (41,1-204). Fungsi paru normal didapatkan pada 19 subjek (54,3%) dan fungsi paru terganggu sebanyak 16 subjek (45,7%), terdiri dari 10 subjek (28,6%) gangguan restriktif, 2 subjek (5,7%) gangguan obstruktif dan 4 subjek (11,4%) gangguan campuran. Rerata HbA1c dalam 1 tahun terakhir pada subjek dengan gangguan restriktif adalah 10,3%. Simpulan : Nilai parameter uji fungsi paru pasien DMT1 usia 8-18 tahun masih dalam batas normal. Gangguan fungsi paru didapatkan pada 16 subjek (45,7%) dengan gangguan restriksi terbanyak yaitu 10 subjek (28,6%).

ABSTRACT
Background: Chronic hyperglycemia in patients with type 1 diabetes mellitus (T1DM) is associated with long term functional impairment and damage of several parts of the body, such as eyes, kidneys, nerves, heart, and capillary blood vessels. Among all systems, disorder of pulmonary function due to hyperglycemia is often neglected by physicians. Pulmonary function test could determine whether the lung impairment is obstructive, restrictive, or mixed. Pulmonary function test using spirometry could not be applied to children below 7 or 8 years old because they are not capable to do the test. Until now, research about the effect of T1DM to pulmonary function has never been done in Indonesia.
Objective: To obtain pulmonary function test profile in type 1 diabetes mellitus patients aged 8 to 18 years old.
Methods: This cross sectional study took place at Endocrinology and Respirology Outpatient Department of Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) and Prodia Laboratory Service in Salemba in January 2015. Parents of subjects were interviewed for history disease. HbA1c level of recent year was collected from medical records or from previous test results. Pulmonary function test were conducted three times to each subjects and among those three results, the best was chosen as data. Blood samples were collected for HbA1c level measurement. The HbA1c level was measured by cation-exchange high pressure liquod chromatography (HPLC) method in Prodia Laboratory.
Results: Thirty five subjects participated in the research, 68.6% of them were female. The average age was 14 ± 2.7 years and the median duration of diabetes melitus was 4 years (1.3-10.2 years). FEV1, FVC, and V25 average was 86.8 ± 14%, 82.7 ± 12%, and 83.1 ± 26.2%, respectively. The median of FEV1/FVC and V50 was 92.4 % (77.6-100) and 91.5% (41.1-204) respectively. Nineteen subjects (54.3%) had normal pulmonary function and among 16 (45.7%) abnormal subjects, 10 (28.6%) had restrictive disorder, 2 (5.7%) had obstructive disorder, and 4 (11.4%) had mixed disorder. Average of HbA1c level of restrictive group was 10.3%.
Conclusions: Pulmonary function test parameter profile in type 1 diabetes mellitus patients aged 8 to 18 years old lies in normal range. Pulmonary function disorder was found in 16 subjects (45.7%). Among those 16 subjects, 10 (28.6%) had restriction disorder.;Background: Chronic hyperglycemia in patients with type 1 diabetes mellitus (T1DM) is associated with long term functional impairment and damage of several parts of the body, such as eyes, kidneys, nerves, heart, and capillary blood vessels. Among all systems, disorder of pulmonary function due to hyperglycemia is often neglected by physicians. Pulmonary function test could determine whether the lung impairment is obstructive, restrictive, or mixed. Pulmonary function test using spirometry could not be applied to children below 7 or 8 years old because they are not capable to do the test. Until now, research about the effect of T1DM to pulmonary function has never been done in Indonesia.
Objective: To obtain pulmonary function test profile in type 1 diabetes mellitus patients aged 8 to 18 years old.
Methods: This cross sectional study took place at Endocrinology and Respirology Outpatient Department of Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) and Prodia Laboratory Service in Salemba in January 2015. Parents of subjects were interviewed for history disease. HbA1c level of recent year was collected from medical records or from previous test results. Pulmonary function test were conducted three times to each subjects and among those three results, the best was chosen as data. Blood samples were collected for HbA1c level measurement. The HbA1c level was measured by cation-exchange high pressure liquod chromatography (HPLC) method in Prodia Laboratory.
Results: Thirty five subjects participated in the research, 68.6% of them were female. The average age was 14 ± 2.7 years and the median duration of diabetes melitus was 4 years (1.3-10.2 years). FEV1, FVC, and V25 average was 86.8 ± 14%, 82.7 ± 12%, and 83.1 ± 26.2%, respectively. The median of FEV1/FVC and V50 was 92.4 % (77.6-100) and 91.5% (41.1-204) respectively. Nineteen subjects (54.3%) had normal pulmonary function and among 16 (45.7%) abnormal subjects, 10 (28.6%) had restrictive disorder, 2 (5.7%) had obstructive disorder, and 4 (11.4%) had mixed disorder. Average of HbA1c level of restrictive group was 10.3%.
Conclusions: Pulmonary function test parameter profile in type 1 diabetes mellitus patients aged 8 to 18 years old lies in normal range. Pulmonary function disorder was found in 16 subjects (45.7%). Among those 16 subjects, 10 (28.6%) had restriction disorder., Background: Chronic hyperglycemia in patients with type 1 diabetes mellitus (T1DM) is associated with long term functional impairment and damage of several parts of the body, such as eyes, kidneys, nerves, heart, and capillary blood vessels. Among all systems, disorder of pulmonary function due to hyperglycemia is often neglected by physicians. Pulmonary function test could determine whether the lung impairment is obstructive, restrictive, or mixed. Pulmonary function test using spirometry could not be applied to children below 7 or 8 years old because they are not capable to do the test. Until now, research about the effect of T1DM to pulmonary function has never been done in Indonesia.
Objective: To obtain pulmonary function test profile in type 1 diabetes mellitus patients aged 8 to 18 years old.
Methods: This cross sectional study took place at Endocrinology and Respirology Outpatient Department of Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) and Prodia Laboratory Service in Salemba in January 2015. Parents of subjects were interviewed for history disease. HbA1c level of recent year was collected from medical records or from previous test results. Pulmonary function test were conducted three times to each subjects and among those three results, the best was chosen as data. Blood samples were collected for HbA1c level measurement. The HbA1c level was measured by cation-exchange high pressure liquod chromatography (HPLC) method in Prodia Laboratory.
Results: Thirty five subjects participated in the research, 68.6% of them were female. The average age was 14 ± 2.7 years and the median duration of diabetes melitus was 4 years (1.3-10.2 years). FEV1, FVC, and V25 average was 86.8 ± 14%, 82.7 ± 12%, and 83.1 ± 26.2%, respectively. The median of FEV1/FVC and V50 was 92.4 % (77.6-100) and 91.5% (41.1-204) respectively. Nineteen subjects (54.3%) had normal pulmonary function and among 16 (45.7%) abnormal subjects, 10 (28.6%) had restrictive disorder, 2 (5.7%) had obstructive disorder, and 4 (11.4%) had mixed disorder. Average of HbA1c level of restrictive group was 10.3%.
Conclusions: Pulmonary function test parameter profile in type 1 diabetes mellitus patients aged 8 to 18 years old lies in normal range. Pulmonary function disorder was found in 16 subjects (45.7%). Among those 16 subjects, 10 (28.6%) had restriction disorder.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lies Purnawati
"Dimasa lalu pembangunan nasional yang telah dilaksanakan di Indonesia dalam semua aspek kehidupan telah meningkatkan taraf hidup dan kualitas hidup masyarakat didaerah perkotaan maupun pedesaan. Hal ini berdampak meningkatnya perilaku kehidupan modern antara lain diet tinggi kalori, tinggi lemak dan rendah serat serta kurangnya aktivitas fisik sehingga berakibat pada meningkatnya prevalensi gizi lebih. Seiring dengan meningkatnya gizi lebih meningkat pula prevalensi penyakit degeneratif, seperti penyakit diabetes melitus khususnya Diabetes Melitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI). Penyakit tersebut sangat merugikan, karena disamping menimbulkan banyak penderitaan dapat juga menurunkan kualitas sumber daya manusia mengingat penyakit tersebut banyak menyerang pada usia produktif. Sementara perawatan dan pengobatannya membutuhkan biaya yang tinggi. Untuk itu maka diperlukan usaha untuk pengelolaan penyakit tersebut termasuk usaha pencegahannya.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang faktor-faktor yang mungkin berhubungan dengan kejadian penyakit tersebut. Dikatakan status gizi obesitas mempengaruhi kejadian DMTTI. Beberapa faktor yang diduga berpengaruh antara lain status gizi atau Indek MassaTubuh (IMT), tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, tingkat aktivitas dan ada tidaknya riwayat penyakit dalam keluarga. Desain penelitian ini menggunakan rancangan kasus kontrol dengan matching golongan umur dan jenis kelamin dengan jumlah responden 240 orang dimana masing-masing kasus dan kontrol sebanyak 120 responden. Pengolahan data menggunakan progam SPSS 6 dan stata 4, dimana analisis yang dilakukan meliputi analisis univariat, bivariat, dan stratifikasi.
Hasil penelitian rnenunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara IMT dengan terjadinya DMTTI , dengan OR sebesar 2 yang artinya pada EMT tinggi mempunyai resiko 2 kali lebih besar untuk terkena DMTTI dibandingkan dengan pada EMT rendah. Variabel aktivitas dan riwayat mempunyai hubungan yang bermakna terhadap kejadian DMTTI. Variabel aktivitas mempengaruhi hubungan antara IMT dengan DMTTI atau disebut sebagai konfounder. Demikian juga variabel riwayat mempengaruhi hubungan antara EMT dengan DMTTI atau disebut sabagai konfounder.
DMTTI dapat terjadi di semua golongan ekonomi dan tingkat pendidikan. Oleh karenanya sebagai tindakan pencegahan perlu adanya informasi tentang DMTTI secara luas kepada masyarakat agar mereka dapat hidup sehat dan terhindar dari penyakit DMTTI. Konsultasi genetik dapat dilakukan pada pasangan yang akan menikah tentang riwayat penyakit pada keluarga dan usaha untuk mengurangi resiko. Pola makan penderita sebelum sakit, dapat menjadi lanjutan penelitian yang sudah dilakukan.

A long time ago the national development has begun in Indonesia generally for all living aspects to improve the standard living and quality of human resources on the community in the urban and rural area. Because of that it can be improving of impact for changing of behavior to modern living among other high calorie diet high fat and low fiber also it can decrease physical activities so it makes an increase in over nutrition prevalence. During with improving of over nutrition can also increase the degenerative disease prevalence such as diabetes mellitus disease especially NIDDM. NIDDM is very detrimental because it can be making more suffering also it can decrease the quality of human resources. Considering that NIDDM mostly attack the productive age. Mean while its care and treatment need high cost. That is why we need an effort to manage including how to prevent the disease.
The aim of this research is to get a lot of information about factors which could be related to NIDDM. It is said that obesity influence NIDDM. Some factors as assumed can influence NIDDM among other nutrition status or BMI, income, education, activity and family history. The research design is matched case control study by using age and sex matching. With 240 respondents, each case and control is 120 respondents. Data analysis uses program of SPSS-6 and strata 4 where analysis conducted including univariate, bivariate and stratification analysis.
The result shows that there is a significant relationship between BMI and NIDDM with DR-2 which means that the high BMI has risk two times greater to be exposed NIDDM than the low BMI. The variable of activity and family history has a significant relationship to NIDDM. Activity influences the relationship between BMI and NIDDM or it's called as a confounder. Also family history influences the relationship between BMI and NIDDM or it is called as a confounder. NIDDM can attack every economic and education level. Because of that to prevent NIDDM it is necessary information about NIDDM spread out to the community. So that they can lived healthy and prevent NIDDM. Genetic consultation can be done to the couple going to the married, about family history and effort to lessen the risk. A further research about eating behavior before ill can be done."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>