Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 123523 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
Anis Idham
"Latar Belakang Permasalahan
1. Pertimbangan Teoritis dan Praktis
Penulisan tesis ini dilatarbelakangi oleh 2 (dua) pertimbangan, yaitu :
a) Pertimbangan teoritis,
b) Pertimbangan praktis dalam rangka usaha pengembangan armada Niaga nasional.
a. Pertimbangan Teoritis
Di kalangan masyarakat Indonesia sekarang sedang berkembang kegiatan penelitian dan pengkajian hukum yang relatif masih baru, yaitu hukum Ekonomi dan Hukum Maritim yang belum dikenal dalam Tata Hukum Indonesia sejak prokiamasi kemerdekaan 17-8-1945 seperti halnya dengan Hukum Perdata, Hukum Dagang, Hukum Pidana, dan sebagainya. Dimasukkannya Studi Hukum dan Ekonomi dalam program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia dimaksudkan untuk ikut menyebarkan Hukum Ekonomi sebagai penelitian dan pengkajian disiplin hukum yang baru dengan pendekatan dan pemikirannya yang khas dan berbeda dengan pendekatan maupun pemikiran Hukum Dagang cq W v K Disadari bahwa pendekatan pemikiran maupun luas lingkup Hukum Ekonomi itu sendiri belum benar diakui atau disepakati oleh para ahli."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Barkah
Depok: Universitas Indonesia, 1992
T36441
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sudargo Gautama
Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1977
346.043 SUD k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ashoya
"Sebagai negara maritim seharusnya pemerintah Indonesia memberikan sorotan khusus terhadap sektor perhubungan laut agar supaya negara Indonesia dapat bersaing lebih kuat dalam arena internasional. Bila kita tinjau peraturan-peraturan yang diberlakukan bagi pendaftaran dan hipotik atas kapal laut sebenarnya peraturan-peraturan ini belum dapat menunjang pengembangan armada nasional yang kuat. Hal ini menyebabkan jumlah kedudukan kapal milik asing yang beroperasi di perairan Indonesia setiap tahun meningkat. Selain hambatan diatas terbatasnya jumlah ship owning dan ship financing company juga menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi perusahaan pelayaran nasional dalam mengembangkan usahanya. 0leh karenanya sektor perhubungan laut benar-benar membutuhkan perhatian pemerintah untuk diberikan jalan keluar yang paling tepat, baik untuk mendorong berdirinya lembaga-lembaga keuangan atau sejenisnya yang sanggup membiayai dan mengarahkan usaha di bidang maritim, maupun menciptakan ketentuan-ketentuan hipotik kapal sebagai landasan yuridis."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
S20605
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elvi Hidayati
"Hipotek adalah salah satu hak kebendaan sebagai jaminan pelunasan utang. Ketentuan hipotek diatur dalam Buku II KUHPerdata Bab XXI pasal 1162 sampai dengan pasal 1232. Sejak diberlakukannya Undang- Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT) maka hipotek atas tanah dan segala benda benda yang berkaitan dengan tanah itu menjadi tidak berlaku lagi. Namun di luar itu berdasarkan Undang-Undang No . 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, hipotek masih berlaku dan dapat dijaminkan atas kapal terbang dan helikopter. Demikian juga berdasarkan pasal 314 ayat (3) KUHD, Undang-Undang No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran dan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan, maka kapal laut dengan berat minimal 20 m3 yang telah didaftarkan dapat dijadikan jaminan hipotek. Kenyataan saat ini, dunia usaha pelayaran nasional mengalami kesulitan di bidang pembiayaan (ship financing), baik untuk penambahan armada maupun untuk peremajaan armada. Pengadaan kapal-kapal dengan jaminan hipotek kapal laut memiliki berbagai kendala diantaranya adalah karena kpal tidak mudah untuk dijual, eksekusi atas hipotek kapal sulit dilaksanakan dan alasan dari bank ataupun lembaga keuangan bahwa bisnis pelayaran di Indonesia dianggap feasible, secara ekonomis. Kendala lain yang juga tidak kalah penting adalah kelemahan peraturan-peraturan yang ada yang mengatur hipotek kapal. Ditinjau dari segi materinya, pengaturan tentang hipotek kapal masih tersebar dan menggunakan kaidah-kaidah hukum peninggalan kolonial Belanda seperti yang terdapat dalam KUHPerdata, KUHD, HIR, Ordonansi Pendaftaran Kapal. Ketentuan-ketentuan tersebut dirasakan sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan dewasa ini. Oleh karenanya langkah pemerintah untuk membuat undang-undang tentang hipotek kapal sudah selayaknya didukung hingga dapat tercipta suatu kodifikasi hukum dan juga untuk menambah kepastian hukum bagi para pihak pelaksana hipotek kapal."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S20988
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1995
S20660
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Etty Roesmaryati Agoes
"Pada akhir tahun 1982 masyarakat internasional telah berhasil menyelesaikan tugasnya yang sangat berat untuk menyusun suatu perangkat pengaturan hukum yang baru tentang segala aspek penggunaan laut serta kekayaan yang terkandung di dalamnya. Hasi1 dari usaha-usaha tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk naskah perjanjian antar negara yang dikenal sebagai Konvensi Hukum Laut 1982.
Selain menggambarkan usaha dari masyarakat internasional untuk mengkod1fikasikan ketentuan-ketentuan hukum laut yang telah ada, dan menggambarkan suatu perkembangan yang progresif dalam hukum internas1onal, Konvensi ini juga menggambarkan usaha pembentukan perangkat ketentuanketentuan, prinsip-prinsip, dan lembaga-lembaga hukum laut yang baru.
Dengan selesainya perumusan Konvensi Hukum Laut 1982, perjuangan Indonesia di forum internasional telah sampai kepada tingkat kemantapan kedudukan Indonesia sebagai suatu negara kepulauan. Hal ini berarti bahwa negara kepulauan yang telah diproklamirkan oleh Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957 tersebut telah diakui oleh masyarakat internasional sebagai bagian dari hukum internasional yang baru.
Dengan telah diundangkannya Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) pada tanggal 31 Desember 1985, Indonesia telah menyatakan dirinya terikat oleh ketentuan-ketentuan Konvensi tersebut. Oleh karena itu langkah selanjutnya bagi Indonesia adalah melaksanakan dan menuangkannya kedalam peraturan perundang-undangan nasional.
Salah satu penggunaan laut yang dapat menimbulkan sengketa adalah tentang hak lintas bagi kapal-kapal asing pada perairan yang berada dibawah yuirisdiksi suatu nagaira. Yang paling kontirovers ial dan sensitif dairi masalah ini adalah mengenal hak lintas bagi kapal-kapal perang. Dewasa ini sebagai akibat perluasan laut teritorial banyak selat-selat strategis yang tadinya merupakan bagian dari laut lepas, kini menjadi bagian dari laut teritorial bahkan laut pedalaman suatu negara.
Perubahan status wilayah perairan yang selama ini merupakan bagian dari laut lepas menjadi perairan yang berada di bawah yurisdiksi nasional suatu negara, telah menimbulkan permasalahan baru tentang hak lintas bagi kapal-kapal asing, khususnya kapal-kapal perang, seperti : apakah diperlukan izin dari negara pantai terlebih dahulu ? Atau apakah negara pantai dapat menetapkan persyaratan hanya untuk memberitahukan terlebih dahulu sebelum kapal-kapal perang berlayar melalui selat yang terletak pada laut teritorialnya ? Atau, apakah persyaratan-persyaratan tadi tidak diperlukan sama sekali.
Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional selama ini sangat menguntungkan baik bagi armada kapal-kapal niaga maupun armada kapal-kapal perang, karena sangat menghemat biaya dan waktu. Sebaliknya, bagi negara-negara yang berbatasan dengan selat-selat demikian (disebut negara tepi atau negara pantai), suatu pelayaran bebas pada jalur laut yang sebagian besar sempit dan ramai, akan menjadi masalah terutama di bidang keselamatan pelayaran, perlindungan lingkungan, dan pertahanan-keamanan. Keadaan demikian mengakibatkan negara-negara pantai menghendaki pengaturan yang lebih ketat terhadap pelayaran melalui selat maupun lintas penerbangan di atasnya.
Di lain pihak negara-negara maritim besar dengan Repentingan-kepentingan militernya, secara global ingin menerapkan rejim pelayaran yang bebas bagi kapal-kapal perang (termasuk j uga kapal selam) serta pesawat-pe.sawat udara militer mereka melalui selat-selat yang dianggap sangat strategis bagi Repentingan-kepentingannya.
Di dalam hukum laut selama ini, masalah ini belum mendapatkan pengaturannya secara pasti. Baik Konvensi Jenewa tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan 1958, maupun Konvensi Hukum Laut 1982 masih mengandung ketentuan-ketentuan yang tidak jelas, dan dapat menimbulkan tafsiran yang berbeda-beda.
Masalah hak 1intas bagi kapal asing melalui perairan yang berada di bawah yurisdiksi nasional ini sangat penting bagi Indonesia. Pentingnya perairan Indonesia bagi pelayaran internasional telah dibuktikan dengan kenyataan bahwa lalu 1intas pelayaran di kawasan ini (Asia Tenggara, yang menghubungkan Samudra Hindia dan Samudra Pasifik) akan melalui perairan yang berada di bawah yurisdiksi Indonesia.
Meningkatnya intensitas pelayaran kapal-kapal perang dari negara-negara adidaya beserta sekutu-sekutunya, menumbuhkan kekhawatiran akan kemungkinan timbulnya adu kekuatan dan konfrontasi di laut terutama pada perairan yang mrupakan bagian dari wilayah Indonesia.
Pada perairan Indonesia diketahui ada kurang lebih enam buah selat yang selama ini banyak digunakan untuk pelayaran Internasional, yaitu Selat Malaka. Selat Singapura, Selat Lombok, Selat Ombal-Wetar dan Selat Makasar. Yang paling penting di antaranya adalah Selat Malaka dan Selat Singapura. Selain penting bagi strategi militer, Selat Malaka-Singapura juga mempunyai arti ekonomis yang sangat tinggi baik bagi negara-negara tepinya maupun bagi negaranegara pemakai alur pelayaran ini.
Dewasa ini hak 1intas bagi kapal-kapal asing telah mendapatkan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan nasional, sedangkan hukum laut internasional telah mengalami perubahan-perubahan yang mendasar.
Konvensi Jenewa tentang Laut Territorial dan Jalur Tambahan 1958 merumuskan pengaturan tentang masalah ini ke dalam ketentuan-ketentuan tentang 1intas damai melalui laut teritorial. Menurut ketentuan Pasal 16 ayat 4 hak 1intas damai melalui selat demikian tidak dapat ditangguhkan.
Dari Rancangan Pasal-Pasal yang diajukan ke muka sidang UN Sea-bed Comm i ttee maupun Konperensi Hukum Laut III terlihat bahwa negara-negara maritim maju menghendaki hak 1in tas bebas baik bagi pelayaran maupun penerbangan melalui selat. Dalam pada itu negara-negara selat menghendaki rejim yang berlaku adalah rejim 1intas damai tanpa adanya penangguhan (non suspension') dan tidak disertai dengan hak 1intas penerbangan.
Perdebatan tentang masalah ini pada Konperensi Hukum Laut III berkisar pada posisi yang berbeda antara negaranegara maritim besar dan negara-negara pantai. Di satu fihak, negara-negara maritim besar menghendaki adanya keseimbangan kekuatan (.balance of power) dalam bentuk perlindungan terhadap kepentingan militer dan politik masingmasing negara yang saling bersaing. Di lain fihak, negaranegara tepi selat, yang sebagian besar merupakan negaranegara yang sedanng berkembang, menghendaki ditegakkannya kedaulatan negara pantai atas selat serta berusaha menghindari adanya ancaman-ancaman militer maupun politik.
Di dalam perkembangannya kemudian jarak antara posisi negara-negara kepulauan dan negara-negara maritim besar ini semakin mendekat dengan adanya perubahan sikap dari kedua belah pihak. Pada akhirnya Konvensl Hukum Laut 1982 mengandung tiga macam jenis hak lintas bagi kapal asing# yaitu :
(1) hak lintas damai;
(2) hak lintas transit; dan
(3) hak lintas alur laut kepulauan.
Dewasa ini di Indonesia pengaturan tentang hak lintas kapal asing melalui perairan Indeonesia diatur dalam UU No. 4/Prp. tahun 1960 dan PP No. 8 Tahun 1962 yang memuat jaminan hak lintas damai bagi kapal-kapal asing di Perairan Indones ia.
Menurut Memori Penjelasan terhadap UU No. 4/Prp. tahun 1960, di perairan pedalaman (dalam pengertian Konvensi yang baru, disebut perairan kepulauan) jaminan tersebut tidak diberikan dalam bentuk hak (.righf) melainkan hanya sebagai suatu kelonggaran (priveJege) saja. Hal ini berarti bahwa sebagai negara pantai Indonesia daoat mencabut kembali kelonggaran-kelonggaran yang diberikan ini.
Kapal-kapal perang dapat berlayar melalui alur-alur laut yang telah ditetapkan oleh Menteri/Kepala Staf Angkatan Laut. Di luar alur-alur laut tersebut, hak lintas damai oleh kapal-kapal perang dan kapal-kapal pemerintah bukan kapal niaga asing, memerlukan pemberitahuan terlebih dahulu kepada Menteri/Kepala Staf Angkatan Laut. Pemerintah Indonesia sampai saat ini belum menetapkan alur-alur laut demikian. Khusus bagi kapal-kapal selam asing yang berlayar melalui perairan Indone_sia diharuskan untuk berlayar di atas permukaan air."
Depok: Universitas Indonesia, 1989
D1146
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>