Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 171280 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anhar Gonggong
"Tentara Keamanan Rakyat (TKR) ada adalah nama yang digunakan Abdul Qahhar Mudzakkar dalam menghimpun pasukan-pasuk_an bekas pejuang periode Perang Kemerdekaan (1945-1949) di Sulawesi Selatan dan menjadi pendukung daiam menuntut penggabungannya ke dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI). Namun, sampai saat proklamasi penggabungannya dengan NII pimpinan Kartosuwirjo itu, kehendaknya tidak pernah dipenuhi oleh pemerintah negara Republik Indonesia (RI). Istilah TKR sebenarnya pernah digunakan secara resmi untuk organisasi ketentaraan negara RI pada awal pembentukannya. Nama ini bermula dari Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang pada 5 Oktober 1945 diubah menjadi Tentara Keamanan Rak yat (TKR) dan tanggal ini menjadi hari kelahiran ABRI yang chiperingati setiap tahun. Namun TKR diubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI), yang kemudian pada 5 Mei 1947 diubah lagi menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Di dalam proses pembentukan organisasi ketentaraan negara RI digunakan pula istilah Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) atau Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) yang di dalamnya tercakup ke-tiga unsur Angkatan Perang, yaitu Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU) tidak termasuk Angkatan Kepolisian (POLRI) digunakan pula nama ABRI yang di dalamnya tercakup, disamping ketiga angkatan, juga POLRI. Nama ABRI sampai se-karang tetap dipertahankan, sedang istilah APRI sudah tidak digunakan lagi. Untuk memperoleh keterangan lebih lanjut ten tang pertumbuhan organisasi ketentaraan negara RI ini, lihat A.H. Nasution, TNI Tentara Nasional Indonesia, 3 jilid, ter_bitan 1971. Lihat juga Ulf Sundhaussen, The Road to power:"
Depok: Universitas Indonesia, 1990
D1607
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anhar Gonggong
"Pada tanggal 7 Agustus 1953 Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Sulawesi Selatan, Abdul Qahhar Mudzakkar memproklamasikan penggabungan pasukan-pasukan dan daerah yang dikuasainya, ke dalam Negara Islam Indonesia (NII) yang berada di bawah pimpinan Imam Kartosuwirjo yang berpusat di Jawa Barat. Dengan demikian jangkauan pengaruh Kartosuwirjo yang telah memproklamasikan berdirinya NIX pada tanggal 7 Agustus 1949 di Jawa Barat bertambah luas. Untuk menopang NXI yang didirikannya itu, Kartosuwirjo membentuk Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TXI), yang digunakan untuk menentang pemerintah negara Republik Indonesia (RI) yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 di Jakarta. Perlawanan pemberontakan gerakan DI/TII mampu berlangsung dalam waktu kurang lebih 15 tahun; perlawanan bersenjatanya baru dapat diakhiri pada tahun 1965. Gerakan DI/TXI yang digerakkan oleh Kartosuwirjo yang bertujuan mendirikan NII itu hanya merupakan salah satu dari sekian banyak peristiwa yang pernah terjadi dalam periode yang sama. Sekadar sebagai contoh, telah terjadi peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1948 dari pelakunya jelas kelihatan latar belakang ideologi komunis. Ada juga pemberontakan yang bersifat kesukuan, yaitu gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang berkehendak mendirikan negara kesatuan di daerah Maluku Selatan. Krisis tampaknya masih tetap berlanjut dan salah satu puncak dari krisis itu ialah lahirnya gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera. Gerakan ini kemudian bersekutu dengan gerakan Pembangunan Semesta (Perznesta), sehingga gerakan yang mereka ciptakan dikenal dengan gabungan nama : Gerakan PRRI/PERMESTA. Gerakan RMS berlangsung pada 1950-1962, sedang gerakan PRRI/PERMESTA berlangsung pada tahun 1958-1962.
Ketika peristiwa-peristiwa yang disebut di atas berlangsung, sistem pemerintahan dan atau kabinet serta sistem demokrasi yang dipergunakan untuk menata kehidupan bernegara sebagai bangsa merdeka, memang tidak dalam keadaan yang cukup baik untuk mendukung jalannya pemerintahan negara. Dalam periode Perang Kemerdekaan (1945-1949) sistem pemerintahan dan bentuk negara telah mengalami perubahan-perubahan, dari sistem presidensil ke sistem Kabinet Parlementer untuk kemudian kernbali lagi ke sistem Kabinet Presidentil yang kemudian berubah lagi menjadi sistem Kabinet Parlementer. Demikian pula bentuk negara kita; pada awal kemerdekaan, sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara yang berlaku ketika itu, UUD 1945, bentuk negara kita adalah negara kesatuan. Tetapi kemudian, sesuai dengan hasil Konperensi Meja Bundar (KMB) bentuk negara itu berubah menjadi bentuk negara federasi. Walaupun usianya sangat singkat, December 1949-16 Agustus 1950, namun di dalam perjalanan sejarah kemerdekaan Indonesia, kita pernah memberlakukan bentuk negara federasi dengan nama : Negara Republik Indonesia Serikat (RIS).
Sistem demokrasi yang berlaku di dalam periode 20 tahun pertama {1945-1965) dari kemerdekaan itu juga telah berubahubah, dari sistem demokrasi liberal yang berlangsung pada tahun 1950-1959 untuk kemudian berubah menjadi sistem demokrasi terpimpin. Berlakunya sistem demokrasi liberal ditopang oleh UUD. Sementara 1950 dengan ciri pemerintahan sistem Kabinet Parlementer dan kekuasaan partai-partai politik amat menentukan jalan pemerintahan waktu itu, di samping juga keliberalan yang dilaksanlah persaingan antara partai-partai untuk menjadi pemegang pemerintahan negara. Salah satu hal yang nampak dalam persaingan partai-partai itu ialah tiadanya Kabinet yang berusia panjang dan mampu menjalankan programnya secara teratur, sebagaimana yang mereka rencanakan. Program partai dari formatur Kabinet yang menjadi Perdana Menteri sering dianggap lebih penting, walaupun sudah ada program Kabinet yang disepakati. Di dalam situasi persaingan antara partai-partai itu berlangsung pula persaingan ideologi di antara partai-partai pendukung, yaitu antara golongan yang berideologi Pancasila dan Islam."
Depok: Universitas Indonesia, 1990
D133
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rusmala Dewi Kabubu
"ABSTRAK
Nama : Rusmala Dewi KabubuProgram Studi : Ilmu SejarahJudul : Gerakan DI/TII Qahhar Mudzakkar di Tana Toraja,1953-1965 Tesis ini membahas tentang gerakan DI/TII Qahhar Mudzakkar di Tana Toraja sejak 1953 sampai 1965. Fokus kajian ini terkait bagaimana aksi DI/TII Qahhar Mudzakkar di wilayah yang ideologinya berbeda dengan DI/TII, dalam hal ini Tana Toraja. Adapun tujuan dari penelitian ini untuk menjelaskan latar belakang berkembangnya aksi DI/TII di Tana Toraja, aktivitas DI/TII, dan dampak yang ditimbulkan bagi kehidupan masyarakat. Kajian ini menggunakan metode penelitian sejarah dan menggunakan teori collective action untuk mejelaskan bagaimana aksi DI/TII di Tana Toraja. Ada tiga faktor yang mendukung berkembangnya aksi DI/TII di Tana Toraja, yaitu kondisi geografis yang ideal untuk taktik perang gerilya, kepercayaan dan budaya masyarakat Tana Toraja, dan pengaruh komunis di Tana Toraja. Walaupun DI/TII menggunakan ideologi Islam, bukan berarti orang Toraja tidak terlibat di dalamnya. Adapun motivasi orang Toraja untuk bergabung dengan DI/TII dilatarbelakangi oleh kekecewaan mereka terhadap Pemerintah Indonesia karena dibubarkannya Pemeritahan Tongkonan Ada rsquo; di Tana Toraja. Dalam melakukan aksinya, pasukan DI/TII melakukan berbagai tindakan yang menimbulkan kekacauan di Tana Toraja. Kesulitan diberbagai sektor kehidupan dirasakan masyarakat Tana Toraja kala itu. Tana Toraja terisolasi dari dunia luar akibat aktivitas-aktivitas DI/TII. Penderitaan itu berakhir ketika banyak pendukung dan pasukan DI/TII di Tana Toraja menyerahkan diri.

ABSTRACT
Name Rusmala Dewi KabubuStudy Program Historical StudiesTitle The Movement of DI TII Qahhar Mudzakkar in Tana Toraja, 1953 1965 This thesis discussed about the movement of DI TII Qahhar Mudzakkar in Tana Toraja since 1953 until 1965. The focus of this study was concerning the action of DI TII Qahhar Mudzakkar in the region which had different ideology from DI TII, which was Tana Toraja. The purpose of this study was to elucidate the background of the development of DI TII action in Tana Toraja, the activities of DI TII, and its impact caused on communities rsquo life. This study applied historical research method and the use of collective action theory to explain how DI TII action in Tana Toraja was. There were three factors contributing to the development of the DI TII action in Tana Toraja, such as the ideal geographical condition for guerilla tactics, the beliefs and the culture of Tana Toraja communities, and the communist influence in Tana Toraja. In spite of the fact the DI TII utilized Islamic ideology, it did not mean that Toraja people did not involve. The motivation of Toraja people to join in with DI TII was because of their disappointment with Indonesia rsquo s Government due to the dismissal of Tongkonan Ada rsquo Government in Tana Toraja. In committing their action, the DI TII caused a lot of disorders. People underwent difficulties in several sectors of life. Tana Toraja was isolated from the out side world owing to the activities of DI TII. The suffering ceased when the DI TII armies and partisans conceded."
2017
T48254
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anhar Gonggong
Jakarta: Grasindo, 1992
923.292 ANH a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Erli Aqamus
Tangerang: Yayasan Al-Abrar, 2007
920 ERL p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Erli Aqamuz (Siti Maesaroh)
Tangerang: Yayasan Al-Abrar, 2007
923.55 ERL p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Abd. Rahman
"Penelitian ini membahas upaya yang ditempuh DI/TII dalam mempertahankan wilayah yang telah dikuasai di Enrekang. Enrekang sendiri menjadi panggung awal melebarnya pengaruh DI/TII di Sulawesi Selatan namun harus berhadapan dengan TNI yang terus berupaya memadamkan perlawanan. Penelitian ini bertujuan menjelaskan kondisi geografis dan demografis Enrekang selama masa DI/TII, upaya DI/TII dalam mempertahankan wilayahnya serta cara yang ditempuh TNI dalam menggagalkan strategi DI/TII. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang memanfaatkan arsip-arsip lokal dan menggunakan teori strategi untuk menganalisis berbagai strategi yang dikembangkan dan permasalahannya dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa DI/TII di Enrekang terpusat di  Duri dengan memanfaatkan kondisi geografis dan sumber daya manusia yang tersedia di Enrekang yang berbatasan dengan beberapa kabupaten. Upaya yang ditempuh DI/TII untuk mempertahankan wilayah  yang telah dikuasai juga melibatkan daerah-daerah yang tidak dikuasai sebagai pijakan untuk membangun kekuatannya. Hal ini berakibat pada putusnya akses kota dengan desa yang membuat kondisi kehidupan masyarakat tidak stabil. Keberhasilan TNI dalam menarik kembali perhatian masyarakat yang selama ini menjadi kekuatan tambahan sekaligus penyokong suplay DI/TII membuat berbagai strategi yang telah dikembangkan oleh DI/TII mulai tidak efektif. Hal ini berakibat pada lepasnya beberapa wilayah Enrekang dari pengaruh DI/TII.

This research discusses the efforts taken by DI/TII in defending the territory that has been controlled in Enrekang. Enrekang itself became the initial stage for the spread of DI/TII influence in South Sulawesi, but it had to deal with the TNI, which continued to try to extinguish the resistance. This research aims to explain the geographical and demographic conditions of Enrekang during the DI/TII period, the DI/TII's efforts to defend its territory,and the methods taken by the TNI in thwarting DI/TII's strategy. This research uses historical methods that utilise local archives and uses strategy theory to analyse the various strategies developed and their problems by utilising available resources. The results showed that DI/TII in Enrekang was centred in Duri by utilising the geographical conditions and human resources available in Enrekang which borders several districts. The efforts taken by DI/TII to defend the territory that had been controlled also involved areas that were not controlled as a foothold to build its strength. This resulted in the disconnection of access to cities and villages which made conditions in people's lives unstable. The success of the TNI in attracting the attention of the community, which had been an additional force as well as a supplier of DI/TII, made the various strategies that had been developed by DI/TII ineffective. This resulted in the release of several areas of Enrekang from DI/TII's influence."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Ayuwantira
"Artikel ini membahas kolaborasi Batalion 710 dan DI/TII dalam penyelundupan kopra di Afdeling Mandar kurun waktu 1950-1965. Ketidakstabilan politik dan ekonomi setelah kemerdekaan dirasakan sampai ke daerah Mandar Sulawesi Barat, kubu DI/TII di bawah pimpinan Qahhar Mudzakkar memilih menanggalkan tanda kemiliteran mereka lalu bersembunyi di hutan sebagai aksi ditolaknya integrasi KGSS ke dalam APRIS. Ketegangan ini memicu konflik internal dalam TNI AD, akhirnya pemerintah meresmikan Batalion 710. Namun, kebutuhan mendesak akan logistik dan persenjataan mendorong Batalion 710 pimpinan komando Andi Selle untuk menjalin kolaborasi ilegal dengan DI/TII Qahhar Mudzakkar di Afdeling Mandar. Penelitian ini menggunakan metode sejarah: heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi, dengan sumber Arsip Provinsi Sulawesi (Rahasia) 1945, No. Reg. 480, Arsip Saleh Lahade 1950-1967, No. Reg. 272, dan surat kabar sezaman. Hasil penelitian menemukan bahwa sumber daya ekonomi Mandar dan reorganisasi kelaskaran mempertemukan dua kepentingan: pemimpin Batalion 710 dan mantan atasannya, yaitu Qahhar Mudzakkar. Kolaborasi ini mendorong barter kopra dengan senjata, logistik sebagai alat politik untuk mendukung para pejuang di Mandar. Akibatnya, rakyat mengalami kesengsaraan yang ditandai dengan berbagai kebijakan dagang, pembakaran kampung, dan migrasi besar-besaran penduduk Mandar ke Kalimantan.

This article discusses the collaboration of Battalion 710 and DI/TII in copra smuggling in Mandar Afdeling during the period 1950-1965. Political and economic instability after Independence was felt in the Mandar Wets Sylawesi, the DI/TII camp under the leadership of Qahhar Mudzakkar chose to remove their military markings and hide in the forest as an action to reject the integration of the KGSS into APRIS. This tension sparked internal conflict within the Army, which eventually prompted the government to formalize Battalion 710. However, the urgent need for logistics and weapons prompted Battalion 710 under Andi Selle's command to establish an illegal collaboration with DI/TII Qahhar Mudzakkar in Afdeling Mandar. This research uses historical methods: heuristics, criticism, interpretation, and historiography, with the sources of Sulawesi Provincial Archives (Secret) 1945, No. Reg. 480, Saleh Lahade Archives 1950-1967, No. Reg. 272, and contemporaneous newspapers. The research found that Mandar's economic resources and the reorganization of the army brought together two interests: the leader of Battalion 710 and his former superior, Qahhar Mudzakkar. This collaboration encouraged the bartering of copra for weapons as a political tool to support the fighters in Mandar. As a result, the people experienced misery characterized by low various trade polocies, burning of villages, and massive migration of Mandar people to Kalimantan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anas Anwar Nasirin
"Tesis ini mengkaji Konflik ajengan dalam menyikapi Gerakan Darul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia (TII) di Priangan Timur tahun 1949-1962. Ajengan sebagai tokoh yang memiliki pemahaman dan pengamalan mumpuni tentang agama Islam mencipta pengaruh yang kuat di masyarakat Priangan Timur. Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan konflik yang dihadapi ajengan selama berlangsung hingga berakhirnya Gerakan DI/TII Kartosoewirjo di Priangan Timur. Kajian ini menggunakan metode penelitian sejarah dan pendekatan teori kewibawaan tradisional untuk menjelaskan pengaruh kewibawaan ajengan selama berlangsungnya gerakan DI/TII di Priangan Timur. Kewibawaan ajengan dan konflik yang dihadapinya selama berlangsung Gerakan DI/TII di Priangan Timur disebabkan oleh tiga faktor: Pertama, kewibawaan ajengan diikat oleh aspek ‘keberkahan’ sehingga seorang santri atau masyarakat jika ingin mendapat keberkahan harus hormat (takzim) kepada ajengan. Kewibawaan ajengan melebihi batas dalam kehidupan duniawi, tetapi menyangkut aspek ibadah, suatu perbuatan yang membuahkan keselamatan di dunia dan di akhirat; Kedua, ajengan pihak yang dibutuhkan oleh DI/TII sebagai penasehat dan penegak syariah Islam; Ketiga, ajengan menghadapi dilema dan ancaman dari kedua kelompok, yaitu DI/TII dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) jika diketahui memihak salah satu kelompok. Gerakan DI/TII telah menyebabkan konflik atas sikap ajengan yang bergabung dengan DI/TII, mendukung TNI, dan ajengan yang tidak menentukan sikap baik terhadap DI/TII maupun TNI. Gerakan DI/TII berakhir setelah ditetapkan Keputusan Mahader Djawa dan Madura Nomor KPTS-X/III/8/1962 Tanggal 15 Agustus 1962 tentang vonis hukuman mati terhadap Panglima Tertinggi DI/TII Krtosoewirjo. Gerakan itu telah menimbulkan dampak terhadap sosial ekonomi masyarakat di Priangan Timur (1949-1962).

This thesis examines the conflict in responding to the Darul Islam Movement (DI) and the Indonesian Islamic Army (TII) in East Priangan in 1949-1962. Ajengan as a figure who has a qualified understanding and practice of Islam creates a strong influence in the people of East Priangan. The purpose of this study is to explain the conflicts faced by the participants during the period until the end of the DI/TII Kartosoewirjo Movement in East Priangan. This study uses historical research methods and traditional authority theory approaches to explain the influence of authority during the DI/TII movement in East Priangan. The authority of the ajengan and the conflicts it faced during the DI/TII Movement in East Priangan were caused by three factors: First, the authority of the ajengan was tied by the aspect of 'blessing' so that a student or the community if he wanted to receive blessings must respect (takzim) to the ajengan. The authority of the world exceeds the limit in worldly life, but it concerns the aspect of worship, an act that brings salvation in this world and in the hereafter; Second, the support of parties needed by DI/TII as advisors and enforcers of Islamic sharia; Third, they face dilemmas and threats from both groups, namely DI/TII and the Indonesian National Army (TNI) if they are known to take sides with one of the groups. The DI/TII movement has caused conflicts over the attitude of the people who joined the DI/TII, supported the TNI, and the people who did not determine the attitude of both the DI/TII and the TNI. The DI/TII movement ended after the Mahader Decree of Java and Madura Number KPTS-X/III/8/1962 dated August 15, 1962 concerning the death sentence against the Supreme Commander of DI/TII Krtosoewirjo. The movement had an impact on the socio-economy of the people in East Priangan (1949-1962)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mustari Bosra
"Kebijakan pemerintah Belanda memperkenalkan unsur-unsur budaya Barat di Sulawesi Selatan segera setelah keberhasilannya menaklukkan semua kerajaan Islam di sana pada awal abad ke-20 menyebabkan terjadinya disekuilibrium sosial di kalangan umat Islam Bugis-Makassar. Pranata Sosial pangadereng (Bugis)/pangadakkang (Makassar), warisan budaya pra-Islam yang telah dilengkapi dengan sara' (syariat) pasca-Islam tidak lagi berfungsi secara penuh. Akibatnya, banyak ulama, baik yang modernis (tuangguru) maupun yang tradisionalis (anrongguru) yang melepaskan diri dari dan/atau tidak terakomodasi lagi dalam struktur birokrasi kerajaan sebagai parewa sara' (daengguru). Mereka memilih menjalankan tugas keulamaan di. luar ikatan struktural, sebagai "ulama bebas."
Bertolak dari keprihatinan mereka terhadap kondisi umat Islam yang terjajah dan terkebelakang dalam hampir segala hal, para "ulama bebas" (tuangguru dan anrongguru) bangkit melakukan gerakan sesuai dengan visi dan misi masing-masing. Tuangguru memulai gerakannya dengan mendirikan organisasi modern dan menyelenggarakan sekolah model Barat yang berdasarkan Islam. Sedangkan, anrongguru memulai gerakannya dengan memodernisasi lembaga pendidikan tradisional mangaji kitta mejandi madrasah dengan sistem klasikal. Merasa terdesak oleh gerakan yang dilancarkan tuangguru dan anrongguru, daengguru tampil pula melakukan gerakan dengan meniru pola gerakan yang dilancarkan lawan-lawannya.
Sebagai cultural broker dan Social agency yang terdorong oleh rasa tanggung jawab sebagai waratsatul anbiya yang berkewajiban melakukan amar tna'ruf nabi munkar dan sebagai Bugis-Makassar yang terikat oleh siri' dan pesse (bugis)/pacce (Makassar), tuangguru, anrongguru, dan daengguru, sama-sama berusaha mengendalikan proses transformasi sosial umat Islam Sulawesi Selatan sepanjang tahun 1914-1942 sehingga konflik dan persaingan di antara mereka tak terhindarkan.
Meskipun secara eksternal, mereka mendapatkan rintangan dan saingan dari cultural broker dan sosial agency yang lain, seperti tuangpeforo (pemerintah Belanda), tuangpandeta (pendeta), dan tuangpastoro (pastor), ketiga kelompok ulama itu tetap saja beristigamah melancarkan "gerakan Islam" dalam rangka mencapai tujuan masing-masing. Resonansi dan pengaruh gerakan mereka masih terasa hingga kini."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
D471
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>