Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160877 dokumen yang sesuai dengan query
cover
G. Ambar Wulan
"Sejak awal pembentukannya Jawatan Kepolisian Negara RI sebagai organisasi pemerintah menggunakan konsep veiligheid, rust en orde (keamanan, ketenangan dan ketertiban) dari Kepolisian Pemerintah Hindia Belanda. HIR (Herziene Inlichtingen Dienst) merupakan pedoman dalam melaksanakan fungsi kepolisian, yaitu mengamankan pemerintah dan lembaga-Iembaganya dari ancaman yang membahayakan. Sebagai organ pemerintah yang memiliki kontinuitas dengan pemerin_tah kolonial, pada permulaan republik Kepolisian Negara RI mengalami penolakan dari rakyat di tengah situasi yang menuntut perubahan nilai-nilai lama yang tidak sesuai dengan ideologi revolusioner. Dalam situasi yang diwarnai oleh pergolakan politik menyebabkan kepolisian negara melakukan konsolidasi organisasi sebagai kepolisian nasional. Hal ini terwujud dengan keluarnya Penetapan Pemerintah (PP) No. 11/SD Tahun 1946 yang berlaku sejak tanggal 1 Juli 1946 yang berisi perubahan kedudukan kepolisian dari Departemen Dalam Negeri kemudian berada di bawah Perdana Menteri. PP tersebut merupakan pangkal dari munculnya tindakan-tindakan kepolisian masuk ke dalam ranah politik. Perubahan ini terepresentasikan dari pember_dayaan Pengawasan Aliran Masyarakat (PAM) yang bertugas sebagai polisi preventif dan represif. Dalam situasi revolusi kekuatan kepolisian bergantung pada bagian penyelidikan di bidang ekonomi, sosial dan politik, di samping Mobrig (Mobile Brigade) yang berperan di garis depan pertempuran. Kapasitas PAM tersebut membawa pada munculnya pertanyaan terhadap penelitian, yaitu mengapa PAM berperan menonjol dalam pelaksanaan fungsi kepolisian di tengah intensitas perpolitikan pada masa revolusi. Dalam fungsinya sebagai badan penyelidik dengan tugas utama sebagai penyelidik dan pengawas pelbagai aliran-aliran politik yang tumbuh secara pesat di tengah masyarakat menyebabkan kepolisian melakukan tindakan-tindakan politik terhadap pengamanan kebijakan politik pemerintah. Meskipun demikian tindakan-tindakan PAM digunakan pula bagi institusinya sendiri guna memperkuat Kepolisian Negara RI yang pada awal pembentukannya mengalami krisis kepercayaan dari rakyat. Pada masa revolusi organ PAM secara struktur adalah PID (Politieke Inlichtingen Dienst = Dinas Intelijen Politik), dalam kerangka RI PAM mengalami perubahan fungsi guna menyesuaikan situasi revolusi saat itu. Keberadaan PAM dan fungsinya hanya berlangsung pada masa revolusi, karena pasca 1950 polisi preventif dan represif berganti nama menjadi Dinas Pengawasan Keselamatan Negara (DPKN) yang mengalami perluasan tugas guna menyesuaikan situasi demokrasi yang berlangsung saat itu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
RB 000 G 114 r
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
G. Ambar Wulan
"Sejak awal pembentukannya Jawatan Kepolisian Negara RI sebagai organisasi pemerintah menggunakan konsep veiligheid, rust en orde (keamanan, ketenangan dan ketertiban) dari Kepolisian Pemerintah Hindia Belanda. HIR (Herziene lnlichtingen Dienst) merupakan pedoman dalam melaksanakan fungsi kepoiisian, yaitu mengamankan pemerintah dan Iembaga-Iembaganya dari ancaman yang membahayakan.
Sebagai organ pemerintah yang memiliki kontinuitas dengan pemerintah kolonial, pada permulaan republik Kepolisian Negara Rl mengalami penolakan dari rakyat di tengah situasi yang menuntut perubahan nilai-nilai lama yang tidak sesuai dengan ideologi revolusioner. Dalam situasi yang diwarnai oleh pergolakan politik menyebabkan kepolisian negara melakukan konsolidasi organisasi sebagai kepcmlisian nasional. Hal ini terwujud dengan keluarnya Penetapan Pemerintah (PP) No. 11/SD Tahun 1946 yang berlaku sejak tanggal 1 Juli 1946 yang berisi perubahan kedudukan kepolisian dari Departemen Dalam Negeri kemudian berada di bawah Perdana Menteri, PP tersebut merupakan pangkal dan munculnya tindakan-tindakan kepolisian masuk ke dalam ranah politik. Perubahan ini terepresentasikan dan pemberdayaan Pengawasan Aliran Masyarakat (PAM) yang bertugas sebagai poiisi preventif dan represif.
Dalam situasi revolusi kekuatan kepolisian bergantung pada bagian penyelidikan di bidang ekonomi, sosial dan politik, di samping Mobrig (Mobile Brigade) yang berperan di garis depan pertempuran. Kapasitas PAM tersebut membawa pada munculnya pertanyaan terhadap penelitian, yaitu mengapa PAM berperan menonjol dalam pelaksanaan fungsi keporisian di tengah intensitas perpolitikan pada masa revolusi.
Dalam fungsinya sebagai badan penyelidik dengan tugas utama sebagai penyelidik dan pengawas pelbagai aliran-aliran poiitik yang tumbuh secara pesat di tengah masyarakat menyebabkan kepolisian melakukan tindakan-tindakan politik terhadap pengamanan kebijakan pulitik pemerintah. Meskipun demikian tindakan-tindakan PAM digunakan pula bagi institusinya sendiri guna rnemperkuat Kepolisian Negara RI yang pada awal pembentukannya mengalami krisis kepercayaan dari rakyat.
Pada masa revolusi organ PAM secara struktur adalah PID (Politieke Inffchtingen Dienst = Dinas Intelijen Politik), dalam kerangk RI PAM mengalami perubahan fungsi guna menyesuaikan situasi revolusi saat itu. Keberadaan PAM dan fungsinya hanya berlangsung pada rnasa revolusi, karena pasca 1950 polisi preventif dan represif berganti nama menjadi Dinas Pengawasan Keselamatan Negara (DPKN) yang mengalami perluasan tugas guna menyesuaikan situasi dernokrasi yang berlangsung saat itu.
Since the establishment of the National Police Service ofthe Republic of Indonesia as an organization, the govemment had applied the concept of veiligheid, rust en orde (security, peace, and order) adopted from the Police of the Netherlands East Indies Government. HIR (Herziene lnlichtingen Dienst) was guidance in implementing the duty of the police that was to preserve the government and its institutions from any threats.
As a government organization which had continuity with the colonial govemment, at an earlier date of the republic, the National Police Service of the Republic of Indonesia underwent resistance from the people amid the situation demanding the change of the old value which was no longer in line with the revolutionary ideology. The situation colored with turbulence had made the government do organizational consolidation as the national police. lt became a reality when the government decision N0.11/SD was issued on July 1, 1946. The decision had oflicially stated that the police was no longer subordinate to the Department of Home Affairs but the Prime Minister. The decision had also become the starting point for the penetration of the police into politics. The change was later represented by the empowerment of the Societal Ideology Supervision (PAM) which was in charge for being preventive and repressive police.
In the revolutionary era, the power of the police so much depended on the investigation division of economy, social, and politics, and the mobile brigade, which played crucial duty on the battle frontline. The capacity of PAM had resulted in questions around the research that is why PAM played prominent role in the implementation of the police function amid political intensity in the revolutionary era.
Functioning as investigation service whose primary duty was to be investigator and supervisor, had made the police do political acts against the security of the political police ofthe government. However, the PAM acts were used in order to strengthen the National Police of the Republic of Indonesia whose establishment at first underwent trust crisis from the people.
In the revolutionary era, PAM organization was structurally PID (Poiiiieke Inlichtingen Dienst = Political lnteligent Senrice). PAM underwent shift in function in order to make some adjustment to the revolution. PAM and its function established only in the revolutionary era because after 1950 the preventive and repressive police had changed its name into the National Security Supervision Agency (DKPN) which later had duty expansion to meet the situation of the democracy at that time.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
D1609
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
G. Ambar Wulan
"Sejak awal pembentukannya Jawatan Kepolisian Negara RI sebagai organisasi pemerintah menggunakan konsep veiligheid, rust en orde (keamanan, ketenangan dan ketertiban) dari Kepolisian Pemerintah Hindia Belanda. HIR (Herziene lnlichtingen Dienst) merupakan pedoman dalam melaksanakan fungsi kepoiisian, yaitu mengamankan pemerintah dan Iembaga-Iembaganya dari ancaman yang membahayakan.
Sebagai organ pemerintah yang memiliki kontinuitas dengan pemerintah kolonial, pada permulaan republik Kepolisian Negara Rl mengalami penolakan dari rakyat di tengah situasi yang menuntut perubahan nilai-nilai lama yang tidak sesuai dengan ideologi revolusioner. Dalam situasi yang diwarnai oleh pergolakan politik menyebabkan kepolisian negara melakukan konsolidasi organisasi sebagai kepcmlisian nasional. Hal ini terwujud dengan keluarnya Penetapan Pemerintah (PP) No. 11/SD Tahun 1946 yang berlaku sejak tanggal 1 Juli 1946 yang berisi perubahan kedudukan kepolisian dari Departemen Dalam Negeri kemudian berada di bawah Perdana Menteri, PP tersebut merupakan pangkal dan munculnya tindakan-tindakan kepolisian masuk ke dalam ranah politik. Perubahan ini terepresentasikan dan pemberdayaan Pengawasan Aliran Masyarakat (PAM) yang bertugas sebagai poiisi preventif dan represif.
Dalam situasi revolusi kekuatan kepolisian bergantung pada bagian penyelidikan di bidang ekonomi, sosial dan politik, di samping Mobrig (Mobile Brigade) yang berperan di garis depan pertempuran. Kapasitas PAM tersebut membawa pada munculnya pertanyaan terhadap penelitian, yaitu mengapa PAM berperan menonjol dalam pelaksanaan fungsi keporisian di tengah intensitas perpolitikan pada masa revolusi.
Dalam fungsinya sebagai badan penyelidik dengan tugas utama sebagai penyelidik dan pengawas pelbagai aliran-aliran poiitik yang tumbuh secara pesat di tengah masyarakat menyebabkan kepolisian melakukan tindakan-tindakan politik terhadap pengamanan kebijakan pulitik pemerintah. Meskipun demikian tindakan-tindakan PAM digunakan pula bagi institusinya sendiri guna rnemperkuat Kepolisian Negara RI yang pada awal pembentukannya mengalami krisis kepercayaan dari rakyat.
Pada masa revolusi organ PAM secara struktur adalah PID (Politieke Inffchtingen Dienst = Dinas Intelijen Politik), dalam kerangk RI PAM mengalami perubahan fungsi guna menyesuaikan situasi revolusi saat itu. Keberadaan PAM dan fungsinya hanya berlangsung pada rnasa revolusi, karena pasca 1950 polisi preventif dan represif berganti nama menjadi Dinas Pengawasan Keselamatan Negara (DPKN) yang mengalami perluasan tugas guna menyesuaikan situasi dernokrasi yang berlangsung saat itu.
Since the establishment of the National Police Service ofthe Republic of Indonesia as an organization, the govemment had applied the concept of veiligheid, rust en orde (security, peace, and order) adopted from the Police of the Netherlands East Indies Government. HIR (Herziene lnlichtingen Dienst) was guidance in implementing the duty of the police that was to preserve the government and its institutions from any threats.
As a government organization which had continuity with the colonial govemment, at an earlier date of the republic, the National Police Service of the Republic of Indonesia underwent resistance from the people amid the situation demanding the change of the old value which was no longer in line with the revolutionary ideology. The situation colored with turbulence had made the government do organizational consolidation as the national police. It became a reality when the government decision N0.11/SD was issued on July 1, 1946. The decision had oflicially stated that the police was no longer subordinate to the Department of Home Affairs but the Prime Minister. The decision had also become the starting point for the penetration of the police into politics. The change was later represented by the empowerment of the Societal Ideology Supervision (PAM) which was in charge for being preventive and repressive police.
In the revolutionary era, the power of the police so much depended on the investigation division of economy, social, and politics, and the mobile brigade, which played crucial duty on the battle frontline. The capacity of PAM had resulted in questions around the research that is why PAM played prominent role in the implementation of the police function amid political intensity in the revolutionary era.
Functioning as investigation service whose primary duty was to be investigator and supervisor, had made the police do political acts against the security of the political police ofthe government. However, the PAM acts were used in order to strengthen the National Police of the Republic of Indonesia whose establishment at first underwent trust crisis from the people.
In the revolutionary era, PAM organization was structurally PID (Poiiiieke Inlichtingen Dienst = Political lnteligent Senrice). PAM underwent shift in function in order to make some adjustment to the revolution. PAM and its function established only in the revolutionary era because after 1950 the preventive and repressive police had changed its name into the National Security Supervision Agency (DKPN) which later had duty expansion to meet the situation of the democracy at that time.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
D910
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
G. Ambar Wulan
Jakarta: Rajawali, 2009
363.2 AMB p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Awaloedin Djamin
Jakarta: [publisher not identified], 2005
363.2 AWA m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Sinar Grafika, 2003
342.041 8 UND
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ifa Nurkarimah
"Skripsi ini membahas mengenai Kabupaten Bogor pada masa Pemerintahan Darurat tahun 1947-1949 dibawah pimpinan Ipik Gandamana. Pemerintahan Ipik Gandamana ini menjalankan roda pemerintahan dengan cara bergerilya dari desa ke desa di pedalaman Kabupaten Bogor. Hal ini terpaksa dilakukan karena situasi didalam kota Bogor yang tidak memungkinkan lagi untuk menjalankan pemerintahan sehari-hari dengan semestinya. Sebab utama pemerintahan Kabupaten Bogor terusir dari Kota Bogor dan membentuk pemerintahan gerilya karena adanya Agresi Militer Belanda yang pertama dan kedua, serta usaha Belanda dalam membentuk negara boneka yaitu "Negara Pasundan" di Bogor.

This mini thesis research is about Bogor Regency in the past period of emergency administration from 1947 to 1949, under the ipik gandamana leadership. Ipik gandamana government started the role of government by doing warfare from village to village in the rural areas of Bogor Regency. This was urgently done because it was possible to run the dialy start government properly in Bogor areas. The were two main reason. First, Bogor regency government was expelled from Bogor city, there fore they set up a guerrillia government due to the aggression of Dutch military. The other reason was The Netherlannd tried to estabilish a puppet state wicha was called “ Pasundan Country” in Bogor.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S55147
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marsudi
"Pembentukan Negara Federal di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konteks revolusi nasional Indonesia Sejak tercapainya pemetujuan Linggaljaii Negara Kesauian Republik Indonesia diubah menjadi Negara Federal dengan nama Negara Indonesia Serikat. Negara bagian yang tergabung dalam Negara Indonesia Serikat terdiri dari Republik Indonesia, Kalimantan dan Timur Besar.
Berdasarkan persetujuan tersebut Jawa Timur sama sekali tidak disebut untuk dipersiapkan menjadi Negara bagian dari Negara Indonesia Serikat. Berdasaikan uraian tersebut masaiah yang dikaji dalam tulisan ini meliputi kepentingan-kepentingan yang mendorong pembentukan Negara Jawa Timur, susunan ketatanegaraan Negara Jawa Timur dan pembubaran Negara Jawa Timur.
Dari sudut kepentingan Belanda pembentukan Negara Jawa Timur setidaknya merniiiki dua sasaran Pertama, secara ekonomi pembentukan Negara Jawa Timur diharapkan dapat menjamjn kepentingun ekonomi Belanda. Seperti diketahui wilayah Negara Jawa Timur merupakan daerah-daerah yang potensial karena merupakan sumber penyediaan bahan pangan, memiliki banyak perkebunan dan pabrik Kedua, secara politis dengan membentuk Negara Jawa Timur Belanda bermaksud mengepung Republik Indonesia dari dalam. Dengan demikian Republik Indonesia akan semakin lemah, selain itu pembentukan Negara Jawa Timur akan mampu membantu diplomasi Internasional Belanda karena Beianda dapat menunjukkan bahwa tidak seluruh masyarakat Indonesia mendukung Republik Indonesia. Dari sudut pendulnmg Negara Jawa Timur yang terdiri dari Aristokrasi lokal dan Aponturir politik pembentukan Negara Jawa Timur diharapkan dapat tatap menjamin dan meningkatkan status sosial ekonomi mereka.
Pembentukan Negara Jawa Timur dipelopori oleh Recomba Jawa Timur Ch.O. van der Plass. Hampir seiuruh inisiaiip pembentukan Negara Jawa Timur berasal dari Belanda walaupun menggunakan orang-orang Indonesia Pembentukan Negara Jawa Timur mengalami berbagai rintangan karena besarnya perlawanan dari masyarakai. Beberapa Iaugkall yang ditempuh Van der Plass dalam membentuk Negara Djawa Timur antura lain rnendukung Partai Rakyat Djawa Timur, mendukung Partai Kebangsaan Madura, membentuk dawan Islam Djawa Timur, membentuk Organisasi Rahasia di bawah Gajado Neiis, membenlnk Perkumpulan-Perkumpulan Wanita untuk melemahkan semangat perjuangan, membentuk Persatuan Rakyat Djawa Timur, membentuk Gerakan Rakyat Djawa Timur, membentuk Dewan Kabupaten/Kota dan mengadakan Muktamar Jawa Timur di Bondowoso. Melalui Muktamar Jawa Timur di Bondowoso imlah Negara Jawa Timur terbentuk. Kendatipun para utusan Muktamar yang hadir di Bondowoso tersebut diberi kebebasan imtuk menyampaikan pendapat, tetapi dilihat dari proses pemiiihnn Dewan Kabupaten/Kota yang diaertai ancaman dan penangkapan terhadap orang-orang yang tidak dikehendaki Belanda, dapat dikatakan bahwa proses pembentukan Negara Jawa Timur masih jauh dad Demokralis.
Mengenai susunan Ketatanegaraan Negara Jawa Timur diatur daiam suatu Undang-Undang Dasar yang disebut Peraturan Hukum Tata Negara Negara Jawa Timur. Peraturan itu terdiri dari 17 Bab, 144 Pasal dan 11 Pasal Aturan Peralihan Sistem pemerintahan Negara Jawa Timur dapal dikatakan sederhana karena hanya terdiri dari 7 Departemen yaitu, Departemen Dalam Negeri, Seketaris Umum, Depariemen Pengajaran dan Lalu Lintas, Departemen Pengajaran, Kesenian dan Keilmuan, Departemen Urusan Ekonomi, Departemen Keuangan dan Departemen Pengacara Umum. Di Negara Jawa Timur ada 4 jabatan strategis yang diduduki Belanda, yailu, Mr. CC, de Rooy sebagaj Sekretaris Umum Mr. CCd.W. Uffelle sebagai Kepaln Departemen Keuangan, Mr. AF. Van Grambhel sebagai Kepala Departemen Pengacara Umum dan Mr. Baiietta sebagai Sekretaris Kabinet. Kenyaiaan ini menunjukkan bahwa Belanda memiiiki kepentingan besar lerhadap Negara Jawa Timur. Dengan demikian pembentukan Negara Jawa Timur yang didirikan untuk mentukan nnsib rakyat Jawa Timur hanyalah kedok semata. Ha] ini diperkual dengan adanya kenyataan bahwa ada sejumlah kekuasaan yang tidak diserahkan kepada Negara Jawa Timur.
Negara Jawa Timur hanya berkuasa sekitar empat bulan saja, mulai bulan Oktober 194 9-Januari 1950. Dalam jangka walctu yang sangat singkat itu Negara Jawa Timur beium dapat berbuat banyak karena sebelulnya sejak berkuasa tems menerus mendapat gangguan keamanan di wilayalmya Para gerilyawan lerus melakukan sabotase dan ganggnan keamanan. Disisi lain berbagai Resolusi muncul unlnk menuntut pembubaran Negara Jawa Timur. .Iika dicermati pembubamn Negara Jawa Timur disebabakan oleh 3 hal yailu karena tuntutan masyarakat melalui aksi demo dan pengiriman Resolusi karena adanya kesetian rakyat terhadap Republik Indonesia dan persepsi bahwa Negara federal henlul-can penjajah dan ketiga katena desakan tentara. Negara Jawa Timur tidak meiniliki tentnra sendiri, mereka mengandalkan tentara. Belunda Ketika tentara Belanda meninggalkan Indonesia setelah penyerakan kedaulatan (Konfereusi Menja Bandar), Negara Jawa Timur Lidak memiliki pelindung. Karena pos-pos tentara Belanda yang ditinggalkan diisi oleh tentara Nasional Indonesia.

Abstract
The formation of Federal States in Indonesia may not be separated with the context of national revolution of Indonesia. After accepting Linggarjati agreement, Republic of Indonesia was changed into Federal States called Negara Indonesia Serikat (United States of Indonesia). The states included into United States of Indonesia are Republic of Indonesia, Kalimantan, and Timur Besar.
Based on the agreement, East Java was not prepared at all as a state of United Stated of Indonesia. Deal'ing with the description above, the problem studied in this study includes the interest supporting the formation of East Java Country, the arrangement of nationality of East Java County and the dismissal of East Java Country.
From the interest of Netherlands, the formation of East Java Country had two target. First, from economical side, the formation of East Java Country is expected to grant economical demand of Netherlands. As we know, East Java Country comprised potential areas possessing the source of food material, farms and factories. Second, from political point, with the formation of East Java Country, Netherlands tried to encircle Republic of Indonesia from inside. Therefore Republic of Indonesia will be weaker, besides the formation of East Java Country will support international diplomatic of Netherlands for Netherlands may show that not all Indonesian support Republic of Indonesia. From the point of view East Java Country proponents comprising local aristocracy and politic adventurer, the formation of East Java Country was expected to grant and improve their social economy status.
The formation of East Java Country was lead by East Java Recomba Ch.O. van der Plass. Almost all of the initiatives in the formation of East Java Country came from Netherlands although using Indonesian persons. The formation of East Java Country encountered various obstacles because of the struggle of the people. Many steps taken by Van der Plass in forming East Java County was by supporting Partai Rakyat Djawa Timur, Partai Kebangsaan Madura, forming Dewan Islam Djawa Timur, fonning Clandestine Organization under Gajado Nefis, forming Woman Organizations to weaken struggle spirit, forming Persatuan Rakyat Djawa Timur, Gerakan Rakyat Djawa Timur, Dewan KabupatenfKota, and conducting Muktamar Jawa Timur in Bondowoso, During Muktamar Jawa Timur in Bondowoso, East Java Country was formed. Although the representatives of the conference in Bondowoso were free to present their opinion, but noticed Hom the process of the selection of Dewan Kabupaten/Kota incorporated with the intimidation and arrest toward the people not preferred by Netherlands, it may be said that the formation process of East Java Country was far from democratic.
The arrangement of national administrative of East Java Country determined in a Constitution called The Rule of National Administrative of East Java Country. This rule comprised I7 chapters, 144 paragraphs, and I1 sections of alternation rule. The governmental system of East Java may be considered simple since it consisted only 7 Departments, namely Domestic Affairs Department, Secretary General, Irrigation and Traffic Department, Department of Education, Art and Science, Economic Affairs Department, Financial Department and Department of General Attorney. In East Java Country, there are 4 strategic position hold by Netherlands, namely Mr. CC de Rooy as Secretary General, Mr. CCd. W Uffelle as Director of Financial Department, Mr. AF Van Grambhel as Director of Department of General Attomey and Mr. Bajjetta as Cabinet Secretary. This fact indicated that Netherlands has big interest toward East Java Country. Therefore the formation of East Java Country to determine the fate of East Java people was only a mask This was strongly indicated that in fact there were authorities not submitted to East Java Country.
East Java Country run only four months, from October 1949 to January 1950. In this very short time, East Java Country couldn?t do more since it underwent stability msturbance in its area. The underground fighter kept on sabotaging and disturbing the stability. Besides, various resolution emerges demanding the dismissal of east Java Country. The dismissal of East Java Country is caused by 3 things, namely the demand of people through demonstration, in resolution proposal because of the loyalty of people toward Republic of Indonesia, and the perception that Federal Sates formed by Netherlands; and the agitation of the army- East Java Country had no its ovm army, but depended on Netherlands army. When leaving Indonesia after submitting the sovereignty (Konferensi Meja Bundar), East Java Country didn?t have the protector, for the abandoned post of Netherlands army is occupied by Indonesian army."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T4854
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mashuri
"Berbagai daerah di Indonesia dalam periode 1947-1949 terlibat dalam perlawanan bersenjata dalam rangka menegakkan kedaulatan Indonesia yang terancam oleh kehadiran Belanda yang berkeinginan menguasai kembali Indonesia. Daerah Malang Selatan menjadi salah satu basis perjuangan sebagai akibat keputusan perjuangan diplomasi dalam bentuk Persetujuan Renville, namun yang menarik untuk dikaji adalah bagaimana para pejuang dan rakyat menjalankan strategi untuk melawan Belanda, tanpa mengabaikan kebijakan yang digariskan oleh pemerintahan pusat dan Masrkas Besar Komando Djawa (MBKD). Kegiatan penelitian disesuaikan dengan langkah-langkah yang terdapat dalam metode sejarah. Langkah yang dimaksud meliputi heuristik, kritik, interpretasi dan penyajian. Data yang terkumpul berupa data deskriptif. Sumber data berupa arsip, arsip yang diterbitkan, catatan kenang-kenangan yang tidak diterbitkan, hasil wawancara, surat kabar, majalah dan buku.
Agresi Militer Belanda tanggal 21 Juli 1947 membawa perubahan terhadap tatanan politik. Belanda yang menggunakan strategi pendadakan dan pemusnahan (annihililation) menyulitkan posisi tentara Indonesia yang menggunakan sistem Linier mengakibatkan jatuhnya Kota Malang dan sekitarnya. Aparat pemerintahan mengundurkan diri ke daerah Malang Selatan. Jumlah aparat pemerintahan dan rakyat serta tentara yang menuju ke Malang Selatan semakin bertambah setelah disepakatinya Persetujuan Renville yang memisahkan wilayah Republik dengan daerah pendudukan Belanda.
Menjelang berakhirnya tahun 1948 MBKD menetapkan pemilihan sistem wehrkreise sebagai upaya melanjutkan perjuangan. Sistem itu merupakan salah satu bentuk pelaksanaan Perintah Siasat Nomor 1 dari MBKD. Wehrkreise hakekatnya adalah upaya memobilisasi rakyat demi kepentingan perjuangan. Mobilisasi dana dan tenaga dilakukan dalam bentuk dukungan yang bervariasi. Kebutuhan logistik gerilyawan diperoleh berkat partisipasi rakyat dalam bentuk sumbangan wajib, sistem maro penggarapan tanah milik negara (PPN) yang terlantar. Partisipasi rakyat dalam perjuangan juga berupa terbentuknya Pasukan Gerilya Desa yang koordinasinya dibawah Komando Militer Karesidenan Malang.
Penyempurnaan organisasi perjuangan yang dilakukan secara terus menerus bersamaan dengan upaya pemberdayaan seluruh lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam, mampu meningkatkan operasi gerilya kedaerah pendudukan Belanda. Tekanan seperti itu membawa korban yang besar terhadap Belanda, lebih-lebih ketika dalam waktu yang sama mendapat tekanan diplomatik dari PBB. Perjuangan dalam diplomatik dan militer itu mampu memaksa Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Di Malang hal itu ditandai dengan kembalinya Walikota dan Bupati ke Kota Malang."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11794
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ngoei Sui Ling
"ABSTRAK
Skripsi mengenai Bangka Pada Masa Revolusi, mengkaji reaksi masyarakat Bangka terhadap pola-pola pemerintahan yang dijalankan pada masa revolusi. Untuk mengkaji masalah tersebut digunakan Metode Sejarah yang proses penelitiannya dilakukan dalam beberapa tahap. Mulai dari pengumpulan data melalui studi kepustakaan, kemudian melakukan kritik intern dan penafsiran terhadap data. Setelah itu kemudian melakukan penulisan dengan menggunakan metode deskriptif Analisis. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah dapat menambah wawasan pengetahuan bagi peminat studi sejarah Indonesia, khususnya pada masa revolusi. Hasil yang diperoieh dapat dipahami mengapa masyarakat Bangka sangat mendukung pemerin_tahan RI yang diproklamasikan Soekarno - Hatta. Sehingga setelah penyerahan Kedaulatan pada 27 Desember 1949, rakyat Bangka menyatakan keinginannya untuk bergabung dengan Republik Indonesia.

"
1996
S12579
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>