Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 155564 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ali Akbar
"Beliung persegi adalah salah satu artefak prasejarah yang cukup banyak ditemukan di Indonesia. Berdasarkan laporan penduduk diketahui bahwa benda ini tersebar luas di pulau Jawa. Penelitian arkeologi juga menunjukkan telah terdapat beliung persegi di situs-situs seperti: (1) Kampung Kramat di Jakarta Timur, (2) Pejaten di Jakarta Selatan (3) Condet di Jakarta Timur, (4) Tanjung Barat di Jakarta Selatan, (5) Pondok Cabe di Tangerang, (6) Bantarjati di Jakarta Timur, (7) Pondok Cina di Depok, (8) Kelapa Dua di Depok, (9) Buni di Bekasi, (10) Pasir Angin di Bogor, (11) Panumbangan di Sukabumi, (12) Cipari di Kuningan, (13) Limbasari di Purbalingga, (14) Tipar Ponjen di Purbalingga, (15) Ngerijangan di Pacitan, dan (16) Kendeng Lembu di Banyuwangi. Salah satu hal yang belum banyak diketahui adalah mengenai kebudayaan neolitik di Pulau Jawa. Untuk mengenali kebudayaan tersebut dilakukan kajian produksi, distribusi, dan konsumsi beliung persegi. Kajian mengenai hal ini merupakan usaha rekonstruksi kebudayaan terutama menggambarkan kembali cara-cara hidup manusia masa lalu. Penelitian ini berlandaskan konsep-konsep yang dikenal baik di dalam ilmu arkeologi itu sendiri maupun ilmu lain, misalnya ilmu_ilmu sosial dan ilmu-ilmu alai. Menurut Clarke (1978), analisis dilakukan secara khusus dan kontekstual. Analisis khusus nondestruktif mencakup analisis morfologi, analisis teknolo i, dan analisis jejak pakai dengan menggunakan program computer PSS (Statistical Program for Social Science). Analisis kontekstual dilakukan dengan mengacu pada pendekatan arkeologi permukiman yang mengkaji beliung persegi, temuan lain, dan data lingkungan seperti geologi dan geomorfologi situs. Produksi, distribusi, dan konsumsi adalah suatu sistem yang masing-masing terdiri atas subsistem-subsistem. Produksi mencakup subsistem: pengumpulan bahan baku dan peralatan, pembentukan bahan baku menjadi calon beliung persegi, dan pembentukan calon beliung persegi menjadi beliung persegi jadi. Distribusi mencakup: distribusi bahan baku, distribusi calon beliung persegi, dan distribusi beliung persegi jadi. Konsumsi mencakup: pemakaian praktis, pemakaian non praktis, dan perbaikan untuk dipakai kembali. Kesemuanya saling terkait dan membentuk rangkaian produksi, distribusi, dan konsumsi. Berdasarkan hal-hal di atas, dapat disusun suatu rekonstruksi masyarakat masa neolitik di Jawa. Rekonstruksi produksi terkait dengan teknologi yang mencakup teknik, peralatan, rancangan, dan pengetahuan. Masyarakat telah mengembangkan dan memantapkan teknik baru di dalam pembuatan alat batu yakni teknik asah dan teknik upam% yang diterapkan di dalam pembuatan beliung persegi. Rangkaian proses produksi memerlukan peralatan seperti batu pukul, tulang sebagai pahat, dan batu asah. Rancangan beliung persegi adalah sebuah benda dengan bentuk dasar tertentu yang simetris bentuknya, schingga ketika benda tersebut diiris secara membujur akan menghasilkan dua buah bagian yang relatif sama besar dan sama bentuk. Produsen juga merancang produknya dalam ukuran yang relatif kecil. Untuk menghasilkan sebuah alat yang simetr s dan proporsional tentu diperlukan pula perhitungan dan pengukuran yang cermat. Masyarakat tampaknya telah mengenal sistem ukur dan mungkin pula alat untuk mengukur. Bentuk yang paling awal dibuat adalah Beliung Persegi disusul oleh Belincung dan terakhir adalah Beliung Penarah. Masyarakat mempunyai pengetahuan memilih batuan yang cukup baik, meliputi kemampuan menentukan daerah mana yang mengandung bahan baku, bagaimana menambangnya, dan akhimya mengolahnya menjadi barang jadi. Pengetahuan yang telah dimiliki adalah pengetahuan mengenai: lokasi sumber daya alam, penambangan bahan baku, keragaman jenis batuan, tingkat kekerasan batuan, sifat belahan batuan, dan pertumbuhan mineral. Masyarakat telah mampu memproduksi beliung persegi dalam jumlah besar yang tidak hanya digunakan untuk keperluan produsen atau masyarakatnya sendiri, namun juga sebagian disalurkan. Sehingga, sistem ekonomi yang dikenal pada masa neolitik adalah sistem ekonomi pasar bukan lagi ekonomi subsistensi. Selain itu, tergarnbar pula beberapa hal yang terkait dengan kegiatan distribusi, yaitu benda yang didistribusikan, distributor, dan mobilitas masyarakat. Masyarakat kemungkinan menggunakan beliung persegi untuk keperluan praktis khususnya untuk mengolah kayu, baik untuk meratakan pennukaan kayu maupun rnembuat lubang pada kayu. Masyarakat juga menggunakan beliung persegi untuk keperluan nonpraktis terutama untuk keperluan religi, seperti untuk bekal kubur dan benda upacara religi. Kebutuhan masyarakat akan beliung persegi dapat dipenuhi dengan cara memproduksi dan mendistribusikannya. Masyarakat memandang beliung persegi sebagai benda ekonomi yang mempunyai kegunaan dan bersifat langka. Mengingat kegunaannya yang cukup penting dalam beberapa aktivitas bermukim, maka benda ini sangat dibutuhkan. Kebutuhan konsumen akan beliung persegi inilah yang turut mendorong berjalannya proses produksi dan distribusi beliung persegi di Jawa pada masa neolitik. Hal ini semakin menegaskan bahwa masyarakat masa neolitik sudah hidup menetap dan mengorganisir dirinya dengan baik. Pada masa neolitik terdapat dua kompleks yaitu Ngerijangan dan Buni yang masyarakatnya mengembangkan kebudayaan yang berbeda. Masyarakat Kompleks Keblidayaan Ngerijangan mencakup Sims Ngerijangan, Limbasari, Tipar Ponjen, dan Kendeng Lembu. Masyarakat kompleks ini mempakan masyarakat yang berusaha mencukupi kebutuhan hidupnya sndiri dengan mengandalkan sumber daya alamnya. Produksi beliung persegi menjadi strategi subsistensi utama bagi masyarakat. Akan tetapi, ketika kebudayaan alat batu mulai digantikan oleh kebudayaan alat logam, maka kebudayaan masyarakat ini mengalami penurunan. Masyarakat Kompleks Kebudayaan Buni mencakup Situs Buni, Kelapa Dua, Kampung Kramat, Pejaten, Pondok Cina, Pondok Cabe, Condet, Tanjung Barat, Bantarjati, Pasir Angin, Panumbangan, dan Cipari. Masyarakat ini lelah mengembangkan kebudayaan dengan pusat produksi dan hasil produksi yang berbeda-beda yang akhirnya menghasilkan aktivitas pertukaran barang atau perdagangan yang intensitf Aktivitas tersebut membuat kebudayaan masyarakat ini lebih kompleks dan mampu bertahan pada masa kebudayaan logam atau paleometalik. Kebudayaan seperti inilah yang menjadi pondasi bagi terbentuknya kebudayaan masyarakat di Pulau Jawa pada masa sejarah.

Rectangular adze is one prehistoric artifact frequently found in Indonesia. Reports from inhabitants indicate the artifact is widespread throughout Java Island. Archeological studies also found rectangular adzes in many sites, including: (l) Kampung Kramat in East Jakarta, (2) Pcjaten in South Jakarta, (3) Condet in East Jakarta, (4) Tanjung Barat in South Jakarta, (5) Pondok Cabe in Tangerang, (6) Bantarjati in East Jakarta, (7) Pondok Cina in Depok, (8) Kelapa Dua in Depok, (9) Buni in Bekasi, (10) Pasir Angin in Bogor, (ll) Panumbangan in Sukabumi, (12) Cipari in Kuningan, (13) Limbasari in Purbalingga, (14) Tipar Ponjen in Purbalingga, (15) Ngerijangan in Pacitan, and (I6) Kendeng Lembu in Banyuwangi. But one thing that many do not know yet is Neolithic culture in Java Island. T0 further comprehend the culture, an analysis on production, distribution, and consumption of rectangular adze is needed. This study is based on concepts well known to Archaeology and other disciplines, both social and natural sciences. According to Clarke (1978), the analysis should be taken specifically and contextually. Non-destructive specific analysis includes morphological, technological and microwear analysis, taking advantage of a computer program called SPSS (Statistical Program for Social Science). Contextual analysis refers to settlement archeology, which studies rectangular adze, other findings, and environmental data such as geology and gcomorphology of a site. Production, distribution, and consumption are systems where each has their own sub-systems. Production includes: the act of collecting raw materials and tools, the act of processing the raw materials into pre-manufactured rectangular adze, and the act of processing the pre-manufactured rectangular adze into a ready-to-use one. Distribution includes: distribution of raw materials, distribution of pre-manufactured rectangular adze, and distribution of ready-to-use rectangular adze. Consumption includes: practical use, non-practical use, and repair for re-use. Referring to the attributes, a reconstruction of Neolithic society in Java can be made. The society developed new methods in stone tools, i.e. grinding and polishing. Rectangular adze design is anything with a certain symmetrical form which, if it is cut horizontally, it will result in two relatively similar parts in size and in form. lt seems measurement systems and, probably, measuring tools were already known to the society. The society had the knowledge to choose a potential stone. That included the knowledge on where to find the raw materials needed, how to mine the materials, and how to manufacture the materials into a ready-to-use tool. The rectangular adzes were mass produced, not only to be used by the producers or their societies but also to be distributed elsewhere. Thus, market economy, instead of subsistence economy, was the prevailing system in Neolithic period. The society used rectangular adze for practical reasons, especially to work on woods. But the society also used this tool for non-practical reasons, especially religious ones, such as funeral gift and religious ceremonies. The society regarded the rectangular adze as a useful and rare economical tool. Those indicate that a Neolithic society is a settled well-organized one. And it is this culture that becomes the foundation for the development of historic cultures in Java Island."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
D1564
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Museum Nasional jakarta, 2004
913.598 MEN
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Febrika Widharini Widyaka
"[Penelitian mengenai menara gereja Protestan tahun 1901-1942 di Jakarta,
Bandung, Semarang, dan Surabaya dilakukan karena menara gereja dapat
memperlihatkan ciri arsitektur kolonial. Dua belas menara gereja dipakai dan
menjadi sumber data pnelitian ini, yaitu dua menara GPIB Pniel-Jakarta, empat
menara GPIB Koinonia-Jakarta, satu menara GPIB Paulus-Jakarta, satu menara
GPIB Bethel-Bandung, satu menara GPIB Maranatha-Bandung, satu menara GKI
Taman Cibunut-Bandung, satu menara GKI Gereformeerd-Semarang, dan satu
menara GPIB Immanuel-Surabaya. Semuanya merupakan menara gereja Protestan
yang dibangun pada masa Hindia Belanda. Penelitian ini diawali dengan
pengumpulan data dengan cara mendeskripsikan unsur bangunan yang dijadikan
unit analisis, yaitu menara gereja serta komponen bangunan yang ada padanya.
Kemudian dilanjutkan dengan menganalisisnya dengan cara memperbandingkan
dan melihat persamaan dan perbedaannya. Penarikan kesimpulan dilakukan
dengan mengintegrasikan komponen yang ada pada menara gereja. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa menara gereja Protestan tahun 1901-1942 di
Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya bercirikan arsitektur Indis dan Art
Deco, terlihat dari komponen bentuk, ukuran, denah, pintu, jendela, lubang
ventilasi, ornamen, serta lonceng atau jam.;This research on tower of the Protestant church in 1901-1942 in Jakarta, Bandung,
Semarang and Surabaya is conducted since church tower is considered as one of
architectural components that can show the characteristic of colonial architecture.
Twelve church towers are taken as the subject of this research, namely two church
towers of GPIB Pniel-Jakarta, four church towers of GPIB Koinonia-Jakarta, one
church tower of GPIB Paulus-Jakarta, one church tower of GPIB Bethel-Bandung,
one church tower of GPIB Maranatha-Bandung, one church tower of GKI Taman
Cibunut-Bandung, one church tower of GKI Gereformeerd-Semarang, and one
church tower of GPIB Immanuel-Surabaya. These churches are built during the
Dutch East Indies period. This research started with collecting data in the way
making description of data collected from churches tower and its components.
Data that are collected is analysed by comparing to see the similarities and
differences, and conclusion is done by integrating the components revealed from
it. This research result shows that Protestant church tower from 1901-1942 period
in Jakarta, Bandung, Semarang, and Surabaya are characterized by Indis
architecture and Art Deco components that can be seen on the shape, size, layout,
door, window, ventilation holes, ornaments, and bell or clock.;This research on tower of the Protestant church in 1901-1942 in Jakarta, Bandung,
Semarang and Surabaya is conducted since church tower is considered as one of
architectural components that can show the characteristic of colonial architecture.
Twelve church towers are taken as the subject of this research, namely two church
towers of GPIB Pniel-Jakarta, four church towers of GPIB Koinonia-Jakarta, one
church tower of GPIB Paulus-Jakarta, one church tower of GPIB Bethel-Bandung,
one church tower of GPIB Maranatha-Bandung, one church tower of GKI Taman
Cibunut-Bandung, one church tower of GKI Gereformeerd-Semarang, and one
church tower of GPIB Immanuel-Surabaya. These churches are built during the
Dutch East Indies period. This research started with collecting data in the way
making description of data collected from churches tower and its components.
Data that are collected is analysed by comparing to see the similarities and
differences, and conclusion is done by integrating the components revealed from
it. This research result shows that Protestant church tower from 1901-1942 period
in Jakarta, Bandung, Semarang, and Surabaya are characterized by Indis
architecture and Art Deco components that can be seen on the shape, size, layout,
door, window, ventilation holes, ornaments, and bell or clock.;This research on tower of the Protestant church in 1901-1942 in Jakarta, Bandung,
Semarang and Surabaya is conducted since church tower is considered as one of
architectural components that can show the characteristic of colonial architecture.
Twelve church towers are taken as the subject of this research, namely two church
towers of GPIB Pniel-Jakarta, four church towers of GPIB Koinonia-Jakarta, one
church tower of GPIB Paulus-Jakarta, one church tower of GPIB Bethel-Bandung,
one church tower of GPIB Maranatha-Bandung, one church tower of GKI Taman
Cibunut-Bandung, one church tower of GKI Gereformeerd-Semarang, and one
church tower of GPIB Immanuel-Surabaya. These churches are built during the
Dutch East Indies period. This research started with collecting data in the way
making description of data collected from churches tower and its components.
Data that are collected is analysed by comparing to see the similarities and
differences, and conclusion is done by integrating the components revealed from
it. This research result shows that Protestant church tower from 1901-1942 period
in Jakarta, Bandung, Semarang, and Surabaya are characterized by Indis
architecture and Art Deco components that can be seen on the shape, size, layout,
door, window, ventilation holes, ornaments, and bell or clock.;This research on tower of the Protestant church in 1901-1942 in Jakarta, Bandung,
Semarang and Surabaya is conducted since church tower is considered as one of
architectural components that can show the characteristic of colonial architecture.
Twelve church towers are taken as the subject of this research, namely two church
towers of GPIB Pniel-Jakarta, four church towers of GPIB Koinonia-Jakarta, one
church tower of GPIB Paulus-Jakarta, one church tower of GPIB Bethel-Bandung,
one church tower of GPIB Maranatha-Bandung, one church tower of GKI Taman
Cibunut-Bandung, one church tower of GKI Gereformeerd-Semarang, and one
church tower of GPIB Immanuel-Surabaya. These churches are built during the
Dutch East Indies period. This research started with collecting data in the way
making description of data collected from churches tower and its components.
Data that are collected is analysed by comparing to see the similarities and
differences, and conclusion is done by integrating the components revealed from
it. This research result shows that Protestant church tower from 1901-1942 period
in Jakarta, Bandung, Semarang, and Surabaya are characterized by Indis
architecture and Art Deco components that can be seen on the shape, size, layout,
door, window, ventilation holes, ornaments, and bell or clock., This research on tower of the Protestant church in 1901-1942 in Jakarta, Bandung,
Semarang and Surabaya is conducted since church tower is considered as one of
architectural components that can show the characteristic of colonial architecture.
Twelve church towers are taken as the subject of this research, namely two church
towers of GPIB Pniel-Jakarta, four church towers of GPIB Koinonia-Jakarta, one
church tower of GPIB Paulus-Jakarta, one church tower of GPIB Bethel-Bandung,
one church tower of GPIB Maranatha-Bandung, one church tower of GKI Taman
Cibunut-Bandung, one church tower of GKI Gereformeerd-Semarang, and one
church tower of GPIB Immanuel-Surabaya. These churches are built during the
Dutch East Indies period. This research started with collecting data in the way
making description of data collected from churches tower and its components.
Data that are collected is analysed by comparing to see the similarities and
differences, and conclusion is done by integrating the components revealed from
it. This research result shows that Protestant church tower from 1901-1942 period
in Jakarta, Bandung, Semarang, and Surabaya are characterized by Indis
architecture and Art Deco components that can be seen on the shape, size, layout,
door, window, ventilation holes, ornaments, and bell or clock.]"
[, ], 2015
S62278
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sudiono
"ABSTRAK
Berdasarkan jenis dan tipe artefak Tejakula yang memperlihatkan ciri-ciri bagian, dapat dikemukakan bahwa permukiman di pantai utara Bali, khususnya la telah berlangsung sejak masa perundagian. Pilihan terhadap Tejakula sebagai permukiman lebih didasarkan pada kondisi lingkungan, seperti bentuk lahan an dan perbukitan), sumber bahan baku (bangunan tempat tinggal dan benda alit), keletakan yang strategis di pesisir pantai, kesuburan tanah, keberadaam er air bersih dan sungai-sungai besar yang mengalir di wilayah ini, seperti Tukad , Tukad Glagah, Tukad Julah, Tukad Song, Tukad Palad dan sebagainya. Keberadaan berbagai tipe artefak, menunjukkan bahwa aktivitas-aktivitas dupan telah berlangsung di lokasi permukiman Tejakula. Kehidupan sosial budaya hhatkan melalui aktivitas penggunaan peralatan hidup sehari-hari, seperti aktivitas mencari makanan (mata pencaharian hidup) dan aktivitas dagangan. Sementara kehidupan sosial budaya tergambar dari aktivitas yang kaitan dengan kepercayaan, seperti penguburan dan pendirian bangunan-bangunan Penggunaan peralatan hidup sehari-hari ditunjukkan dengan adanya berbagai tipe bah yang digunakan. Fungsi gerabah sangat penting dalam kehidupan masyarakat 'akula yaitu sebagai tempat untuk mengolah makanan, tempat menyimpan bahan.
Kajian terhadap peninggalan arkeologi di Tejakula, Bali melalui ciri budaya prasejarah bertujuan mengetahui corak budaya prasejarah yang berkembangan di situs ini pada masa perundagian dan melihat kemungkinan adanya hubungan antara masyarakat Tejakula dengan masyarakat lainnya pada masa ini."
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Sedikit riwayat / oleh R. Soekmono -- Riwayat penyelidikan prasejarah di Indonesia / oleh Hadimuljono -- Riwayat penyelidikan prasasti di Indonesia / oleh A.S. Wibowo -- Riwayat penyelidikan kepurbakalaan Islam di Indonesia / oleh Uka Tjandrasasmita -- Complementary notes on the prehistoric bronze culture in Bali / R.P. Soejono -- La date de la Charte de Pandaan / par Louis Charles Damais -- A newly discovered pillar-inscription of Sri Kesariwarma-(Dewa) at Malat-Gede / M.M. Sukarto, K. Atmodjo -- Sedikit catatan tentang wayang / oleh A.S. Wibowo -- Latar belakang keagamaan candi Plaosan / oleh Soediman -- Pura Puseh di Tenganan Pegringsingan di Pulau Bali / oleh I Made Sutaba."
Jakarta: Proyek Pelita Pembinaan Kepurbakalaan dan Peninggalan Nasional, Departemen P & K, 1977
959.801 LIM (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sudarti
"Perunggu merupakan salah satu artefak peninggalan masa Perundagian memiliki suatu potensi yang cukup penting untuk mengungkapkan teknologi logam purba, Perunggu tersebut umumnya ditemukan sebagai bekal kubur di beberapa situs yang tersebar di wilayah Jawa dan Bali. Oleh beberapa ahli arkeologi artefak tersebut diklasifikasikan dalam peninggalan dari tradisi masa Perundagian. Penelitian artefak perunggu yang dilakukan adalah terdiri dari analisis komposisi unsur-unsur kimia, dan analisis teknik-teknik pembuatan yang pernah diterapkan di dalam proses produksi.
Hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa teknik pembuatan benda perunggu secara cetak atau penuangan, dan penempaan erat kaitannya dengan kemampuan manusia dalam menyerap teknologi yang berkembang pada saat itu. Ditemukan adanya kecenderungan bagi para undagi untuk mempermudah, dan mempercepat proses pembuatan benda-benda perunggu cetakan yang dibuktikan dengan penambahan unsur timbel (Pb) yang berlebihan. Kehalusan penampilan suatu benda perunggu juga menjadi perhatian, yaitu dengan dipakainya silika sebagai bahan untuk mengupam atau menggosok permukaan benda, sehingga diperoleh hasil yang mengkilap dan halus."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djakarta: Dinas Purbakala Republik Indonesia, 1951
930.1 IND p (2)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Yani Yuniawati Umar
"Kubur batu waruga yang diteliti terdapat di wilayah Kecamatan Tomohon (Kabupaten Minahasa) clan Kecamatan Wenang (Kodia Manado), Provinsi Sulawesi Utara. Pendukung dari kubur batu waruga di wilayah ini adalah Sub Etnis Tou'mbulu yang merupakan salah sate sub etnis yang ada di Etnis Minahasa. Kubur batu waruga merupakan salah sate unsur peninggalan megalitik yang berupa kubur peti batu. Dilihat dari konstruksinya waruga mempunyai wadah yang berbentuk empat persegi panjang serta tutup yang berbentuk prisma (menyerupai atap rumah), yang hanya terdapat di wilayah Sulawesi Utara khususnya di daerah kawasan Minahasa dan Manado. Pembahasan waruga di Sub Etnis Tou'mbulu ini difokuskan pada bagian tutupnya saja, terutama pada bagian muka dari tutup waruga. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah: 1) untuk mendapatkan data sedini mungkin sebelum data-data tersebut hilang dan musnah, dengan cara demikian maka botch dikata semua waruga masih sempat didokumentasikan sebelum Benda-benda tersebut lenyap sebagai dokumen sejarah, serta mendukung atau melanjutkan penelitian-penelitian sebelumnya agar lebih akurat terutama dalam pendeskripsian, sehingga dapat diolah dan digolongkan secara kornprehensip, cermat dan akurat, 2) mengadakan pendeskripsian terhadap seluruh jenis peninggalan megalitik khususnya waruga di sub-ctnis Tou'mbulu, Minahasa, sehingga diketahui keragaman maupun kekhasannya, 3) mengetahui poly persebaran waruga ditinjau dari bentuk, hiasan dan Iingkungan tisiknya. Diharapkan dari pokok bahasan mengenai waruga ini, kiranya dapat digunakan sebagai salah satu pangkal tolak dalam menyusun gambaran tentang kehidupan masa lalu, sebagai Benda kebudayaan yang memperlihatkan ciri-ciri yang dapat memberikan petunjuk tentang beberapa kondisi sosial, kulturil dan kronologinya (relatif) dari para pendukung waruga tersebut. Dari has""iI penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa di Sub Etnis Tou'mbulu terdapat 39 bentuk tutup waruga bagian muka. Secara keseluruhan jenis tipe yang terbanyak adalah tipe 11I yang berbentuk trapesium (TPS), yang memiliki 17 variasi. Apabila kenyataan ini dihubungkan dengan uraian dari Deetz dan juga Sharer dan Ashmore tentang norma, maka dapat dianggap bahwa jenis tipe 111 yang berbentuk trapesium ini adalah jenis yang normatif untuk Sub Etnis Tou'mbulu. Norma yang diwakilinya adalah norma pembuatan bentuk tutup pada masyarakat di Sub Etnis Tou'mbulu., mengingat bahwa sampel tutup waruga bagian muka diambil dari seluruh situs di wilayah Sub Etnis Tou'mbulu yang tutupnya masih bisa diamati. Ada kemungkinan pula bahwa bentuk trapesium merupakan ciri atau bentuk tertua serta digemari dibanding dengan bentuk-bentuk lainnya, karena persebarannya terlihat hampir merata di daerah penelitian (lihat tabel 32-35 dan peta no. 8). Selain itu jika dilihat, bentuk trapesium menyerupai bentuk rumah adat di sub etnis ini (lihat gambar 1). Berdasarkan basil dari seriasi frekuensi yang telah dilakukan maka tampak bahwa tutup waruga yang paling digemari adalah tutup waruga dari bentuk 22 (TPS-B-b), yang kemungkinan muncul pertama kali di Situs Lansot (LS), kemudian berkembang kearah situs Kolongan B, Kakaskasen A, Woloan A, clan populer di Situs Kayuwu, kemudian tutup waruga ini mulali memudar berawal dari Situs Tara-tara menuju Kolongan A, dan berakhir di Winawanua. Dari seriasi frekuensi ini juga terlihat bahwa ada kemungkinan Situs Lansot merupakan salah satu pusat tempat munculnya bentuk-bentuk waruga, sedangkan situs Woloan merupakan pusat berkembangnya waruga. Pada sub etnis ini terlihat pula adanya konsep atau norma, bahwa didalam pembuatan kubur yang dinamakan waruga itu adalah harus terdiri dari wadah dan tutup. Bentuk wadah secara sepintas tampak sebagian atau seluruhnya tertanam, sedang tutupnya menonjol di atas...""
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11832
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wanny Rahardjo Wahyudi
"KESIMPULAN
Pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini berkenaan dengan usaha rekonstruksi perekonomian kuna di daerah aliran sungai Ciliwung, yang berdasarkan penelitian¬penelitian terdahulu -- baik yang berupa survei maupun ekskavasi -- diketahui mengandung peninggalan-peninggalan budaya masa lalu (situs-situs arkeologi) yang berasal dari tradisi prasejarah. Situs-situs tersebut adalah Kelapa Dua, Lenteng Agung, Tanjung Barat, Condet Balekambang. Kampung Kramat dan Pejaten.
Berdasarkan analisis temuan-temuan yang terkandung pada situs-situs tersebut dapat dikenali beberapa kegiatan masyarakat masa lalu di daerah aliran sungai Ciliwung yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah pembuatan alat, pertanian, pengolahan makanan dan perdagangan.
Kegiatan ekonomi pada dasarnya merupakan cara manusia dalam memenuhi kebutuhanya, baik yang bersifat biologis maupun psikologis. Kegiatan yang dilakukan itu dimulai dengan pencarign bahan baku, diikuti dengan perilaku pembuatan (manufacture) dan pemakaian. Pada jenis barang konsumsi seperti makanan, setelah dilakukan penyiapan makanan maka barang tersebut selanjutnya dikonsumsi. Demikian pula kegiatan-kegiatan pembuatan alat, pertanian, pengolahan makanan dan perdagangan yang dilakukan oleh masyarakat penghuni situs-situs di daerah aliran sungai Ciliwung pada masa lalu pada hakekatnya merupakan cara untuk memenuhi kebutuhan mereka.
"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
E. Wahyu Saptomo
"Liang panas merupakan sebuah ceruk besar, sebuah situs hunian dari masa prasejarah di daerah perbukitan Gamping."
2008
T24761
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>