Ditemukan 178121 dokumen yang sesuai dengan query
Hasibuan, H.D. Effendy
"Merek atau merek dagang (trademark) sebagai hak milik intelektual mempunyai nilai tinggi bagi pemiliknya disamping nilai ekonomi tinggi yang terkandung dalam merek itu sendiri, setelah merek itu terkenal. Menurut teori hukum alam, pencipta memiliki hak moral untuk menikmati hasil ciptaannya, termasuk di dalamnya keuntungan yang dihasilkan oleh keintelektualannya
adapun tujuan dari penelitian ini adalah: Pertama, ingin membuktikan ada perbedaan latar belakang lahirnya UU. Merek di Indonesia dan di Amerika Serikat. Kedua, mencoba membuktikan bahwa substansi UU. Merek Amerika Serikat masih lebih bervariasi dibandingkan dengan UU Merek Indonesia, walaupun UU Merek Indonesia yang telah beberapa kali diperbarui itu telah mengikuti sebagian besar ketentuan-ketentuan merek internasional. Selanjutnya, menooba membuktikan adanya perbedaan dan persamaan pcrtimbangan-pertimbangan pengadilan dalam memutus sengketa-sengketa merek di Indonesia dan di Amerika Serikat. Akhirnya, penelitian ini ingin membuktikan bahwa UU Merek 2001 dalam pengaturan kepastian hukumnya lebih baik dari UUU Merek 1961, baik yang berkenaan dengan perlindungan merek maupun dalam penanganan permasalahan merek atau persaingan curang melalui peniruan merek.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
D1058
UI - Disertasi Membership Universitas Indonesia Library
Hasibuan, H.D. Effendy
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
346.048 HAS p
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Devinka Myrella Lukito
"Persoalan merek dagang atau segala bentuk hak kekayaan intelektual selalu ada dalam Industri Mewah karena adanya permintaan konsumen terhadap tren yang menggeser perilaku konsumen terhadap barang-barang yang diproduksi oleh industri mewah. Dengan fenomena ini munculnya barang-barang impor pada barang-barang mewah dipertanyakan dalam hal distribusi dan penggunaan penjualannya. Legalitas Impor Paralel dapat diperdebatkan dimana barang asli yang dipasarkan didistribusikan melalui pengecer tidak resmi yang dapat menimbulkan masalah bagi industri barang mewah dalam melawan persaingan pasar dan hilangnya itikad baik yang mungkin timbul dari pedagang tidak sah yang menaikkan harga dan harga yang berbeda. dapat mengikis ekuitas merek dari merek tersebut. Karena distribusi barang-barang tersebut rumit karena adanya perbedaan hak yang diterapkan oleh negara-negara yang berbeda, maka dalam tesis ini akan mengeksplorasi perlindungan tentang bagaimana putusan Pengadilan Eropa dibandingkan dengan penegakan hukum di Indonesia dapat melindungi merek dagang terkenal. pemilik dari aktivitas impor paralel yang dapat melanggar merek dagang merek.
The issue of trademark or any sorts of intellectual property rights is always existing within the Luxury Industry due to the fact of consumer’s demand of on-going trends that shifts consumer’s behavior towards goods produced by luxury industries. With this phenomenon the rise of imported goods on luxury goods are being questioned in terms of their distribution and use of sales. Parallel Imports legality is open to argument where the authentic goods that are placed into market are distributed through an unauthorized reseller which may lead to problems for luxury industry in combating market competition and a loss of goodwill that may arise from unauthorized dealers marking up different prices and may erode the brand equity of the brand. Since the distribution of such goods are complicated due to different exhaustion of rights implemented by different countries and therefore in this thesis it will explore the protection on how the rulings of the European Court of Justice in comparison with the Indonesian enforcement may protect well-known trademark owners from parallel import activity that may infringe the trademark of brands."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Raissa Richka Jonah
"
ABSTRAKTujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji keberlakuan hukum jaminan atas benda virtual yang dewasa ini telah diberikan status hukum sebagai objek dari hukum benda pada umumnya. Sebagai objek dari hukum benda, maka seharusnya benda virtual juga dapat digunakan sebagai objek dari perjanjian penjaminan utang. Penelitian ini berusaha memahami apakah benda virtual dapat digunakan sebagai objek jaminan dalam sistem hukum Indonesia, memahami pengaturan virtual property di Amerika Serikat berdasarkan kasus digunakannya nama domain dan storefront dalam dunia virtual sebagai objek jaminan oleh perusahaan penjual peralatan musim dingin bernama eSnowshoes, mengetahui lembaga jaminan apakah yang tepat untuk dibebankan pada benda virtual dalam sistem hukum Indonesia, serta bagaimana kreditur dapat melakukan eksekusi atas benda virtual yang menjadi jaminan apabila debitur berada dalam keadaan wanprestasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif dengan pendekatan perundang-undangan, perbandingan hukum, dan kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa benda virtual memiliki peluang untuk menjadi objek jaminan dalam sistem hukum Indonesia tetapi terdapat tantangan seperti metode valuasi yang belum jelas dan status kepemilikan benda virtual yang tidak melindungi hak pengguna dunia virtual atas benda virtual yang diciptakannya. Sementara pengaturan mengenai benda virtual di Amerika Serikat belum jelas karena inkonsistensi putusan pengadilan. Kemudian lembaga yang paling tepat untuk dibebankan atas benda virtual di Indonesia adalah fidusia karena benda virtual dapat dikategorikan sebagai benda bergerak tidak berwujud. Dengan demikian, proses eksekusinya juga dapat dilakukan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia.
ABSTRACTThe purpose of this study is to examine the application of Guarantee Law on virtual property which has been a legal status as an object of Property Law in general. As an object of the Property Law, virtual property should be used as object of a loan guarantee agreement. This study seeks to understand whether virtual property can be used as collateral in Indonesian legal system, to understand virtual property arrangements in the United States based on the case of domain name and storefront in virtual world used as collateral by winter equipment sales company called eSnowshoes, to find out which security rights in Indonesian legal system to be imposed on virtual property, as well as how creditors can execute virtual property that is used as collateral if the debtor is in the event of default. The method used in this study is juridical-normative with statute approach, comparative approach, and case approach. The results showed that there is an opportunity for virtual property to be used as collateral in Indonesian legal system but there are challenges such as unclear valuation methods and the ownership status of virtual property that do not protect the rights of virtual world users over the virtual property they have created. Meanwhile, the regulation of virtual property in the United States is unclear because of inconsistencies in court decisions. The most appropriate security right to be imposed on virtual property in Indonesia is fiduciary because virtual property can be categorized as intangible movable property. Thus, the execution process can also be carried out as regulated in Law No. 42 of 1999 on Fiduciary. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Rajulur Rakhman
"
ABSTRAKSetelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis, Negara Indonesia akhirnya mempunyai dasar hukum tentang pelindungan merek Suara. Oleh sebab itu, diperlukan penelitian yang lebih mendalam terkait aturan tentang pelindungan merek suara di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan berdasarkan kepada penelitian yuridis normatif. Dari permasalahan yang ada, kesimpulannya antara lain suara dapat dijadikan sebagai merek, tanda suara memiliki kelebihan-kelebihan khusus dan masih terdapatnya kekurangan dalam aturan yang berlaku saat ini terkait dengan pelindungan merek suara di Indonesia. Penelitian menyarankan agar segera dibuat pedoman standar teknis dari merek suara.
ABSTRACTFollowing the enactment of the Regulation Number 20 Year 2016 on Trademarks and Geographical Indications, the Republic of Indonesia finally has a legal basis on the protection of sound mark. Therefore, more in depth research on the regulation is needed. The research method is based on normative juridical research. From the existing problems, the conclusions are sound can be used as a trademark, sound marks as a trademark have special advantages among others and there are still deficiencies in the current rules related to the protection of sound marks in the Republic of Indonesia. Research suggests that a technical standard guidance of the sound marks to be created immediately."
2018
T49744
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Rizki Iman Faiz Pratama
"Merek merupakan salah satu jenis hak kekayaan intelektual yang penggunaannya umum ditemukan di bidang perdagangan dan berbagai industri lainnya. Sebagai salah satu cabang dari cakupan kekayaan intelektual, merek mendapatkan hak perlindungan hukum. Pasal 20 huruf f Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis menjelaskan bahwa merek tidak dapat didaftar jika mengandung nama umum dan/atau lambang umum, namun pada praktiknya terdapat beberapa kasus penggunaan nama umum untuk digunakan sebagai merek. Disisi lain DJKI sebagai otoritas yang berwenang atas pendaftaran merek juga menyetujui merek yang mengandung unsur nama dan/atau lambang umum yang diajukan oleh pemohon merek. Salah satu kasus yang cukup terkenal dan muncul menjadi pemberitaan adalah sengketa kasus merek Open Mic Indonesia antara Perkumpulan Stand Up Indonesia dengan Ramon Pratomo. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan doktrin
generic term/istilah umum terhadap peraturan perundang-undangan terkait merek di Indonesia dan istilah umum terhadap merek Open Mic Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yang mana penelitian ini memperoleh data dari bahan hukum primer antara lain asas-asas hukum, filsafat hukum, norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan didukung oleh bahan hukum sekunder berupa buku, jurnal, artikel, makalah, penelitian terdahulu yang berkaitan dengan masalah penelitian dan juga bahan hukum tersier berupa kamus, dan ensiklopedi.
Brand or trademark is one type of intellectual property rights whose use is commonly found in trade and various other industries. As one of the branches of intellectual property coverage, brands get legal protection rights. Article 20 letter f of Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications explains that a mark cannot be registered if it contains a common name and/or common emblem, but in practice there are several cases of using a common name to be used as a mark. On the other hand, DJKI as the competent authority for trademark registration also approves marks containing elements of common names and/or symbols submitted by trademark applicants. One case that is quite famous and appears in the news is the dispute over the Open Mic Indonesia brand case between the Indonesian Stand Up Association and Ramon Pratomo. This study aims to determine the application of generic term doctrine to laws and regulations related to brands in Indonesia and general terms to the Open Mic Indonesia brand. This research is a normative legal research where this research obtains data from primary legal materials including legal principles, legal philosophy, legal norms, contained in laws and regulations supported by secondary legal materials in the form of books, journals, articles, papers, previous research related to research problems and also tertiary legal materials in the form of dictionaries, and encyclopedias."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Shafa Andien Hanifa
"Penetapan PP No. 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif memuat ketentuan mengenai skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual yang memberikan sarana baru bagi pelaku ekonomi kreatif untuk menjaminkan kekayaan intelektual serta mendapatkan pembiayaan. Akan tetapi, dalam UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis tidak diatur mengenai bentuk penjaminan merek. Namun, penetapan PP No. 20 Tahun 2022 masih sangat baru maka penulis mengkritisi dan menganalisis pengaturan terkait penjaminan merek sebagai objek jaminan utang untuk memperoleh pembiayaan dengan membandingkan pengaturan dan penerapannya di Amerika Serikat. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis-normatif, dan menggunakan bahan-bahan kepustakaan seperti bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yaitu PP No. 24 Tahun 2022, UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dan Article 9 Uniform Commercial code kemudian menganalisis kelebihan dan kekurangan serta memberikan rekomendasi terkait implementasi pengaturannya. Hasil dari penelitian oleh penulis adalah merek sebagai jaminan utang dapat dibebankan atas jaminan fidusia dan implementasi harus memerhatikan penilaian kekayaan intelektual sebagai jaminan.
The stipulation of PP No. 24 of 2022 concerning the Implementation Regulations of Law No. 24 of 2019 concerning the Creative Economy contains provisions regarding intellectual property-based financing schemes that provide new means for creative economy actors to pledge intellectual property and obtain financing. However, Law No. 20/2016 on Trademarks and Geographical Indications does not regulate the form of brand collateral. Nevertheless, the stipulation of Government Regulation No. 20 of 2022 is still very new, hence the author criticizes and analyzes the regulation related to brand collateral as an object of debt collateral to obtain financing by comparing the regulation and its application in the United States. The research method in writing this thesis is juridical-normative, and uses library materials such as primary, secondary, and tertiary legal materials, namely PP No. 24 of 2022, Law No. 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees, and Article 9 of the Uniform Commercial code then analyzes the advantages and disadvantages and provides recommendations regarding the implementation of its arrangements. The result of the research by the author is that the trademark as debt collateral can be imposed on fiduciary guarantees and the implementation must pay attention to the valuation of intellectual property as collateral."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Mohammad Andhika
"Pada era modern ini, kekayaan intelektual menjadi aspek penting dalam kehidupan manusia. Sebagai contoh, dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022, kekayaan intelektual dapat dijadikan jaminan untuk memperoleh pembiayaan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa praktik bisnis yang tidak adil terkait kekayaan intelektual sering terjadi. Di Indonesia saat ini, terdapat 2 (dua) jenis pelanggaran merek, yaitu merek yang identik dan yang serupa secara substansial. Dalam kasus pelanggaran merek (baik untuk merek yang identik maupun serupa secara substansial) pemohon/pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan ke pengadilan perdagangan untuk meminta pengadilan mewajibkan pemilik merek yang terakhir untuk mencabut pendaftaran mereknya. Penelitian ini berfokus pada penelitian yuridis deskriptif yang berfokus pada fenomena hukum berdasarkan literatur seperti jurnal dan/atau buku. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, terdapat beberapa jenis pelanggaran merek namun dengan dasar hukum yang sama, yaitu untuk memperoleh keuntungan kompetitif yang tidak adil terhadap merek terdaftar lainnya. Selain itu, dalam kasus pembatalan merek terkenal dan merek terdaftar, gugatan pembatalan dapat diajukan ke pengadilan perdagangan yang berada di pengadilan negeri. Para pihak juga dapat mengajukan banding jika tidak puas dengan pertimbangan dari majelis hakim.
In this modern day, intellectual property becomes an important aspect of human's lives. For instance, with the Promulgation of Government Regulation Number 24 Year 2022, an intellectual property could be put up as a collateral/security in order to receive financing. However, it could not be denied that unfair business practices regarding intellectual property is a regular occurence. In Indonesia now, there are 2 (two) types of trademark infringement which are identical mark and substantially mark. In an event that a trademark infringement has been done (both for identical marks as well as substantially similar mark) the plaintiff/owner of a registered trademark could file to the commercial court in order to ask the court to oblige the owner of the later mark to cancel the registration of mark. This research focuses on the descriptive juridical research which focuses on phenomenoms about the law basing it on literatures such as journals and/or books. Based on the research done, there are a few types of trademark infringement but with the same legal reasoning which is to gain unfair competitive advantage regarding other registered trademark. Other than that, in a case of dismissal towards a well-known trademark and registered mark, a dismissal claim could be submitted to the commercial court located in the district court. The parties could also file an appeal if they are not satisfied with the deliberation/consideration from the panel of judges."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Sinaga, David
"Masalah Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI) di Indonesia tidak hanya menyangkut tentang pemahaman masyarakat yang belum memadai, namun juga penegakan hukum yang dirasa masih lemah. Pelanggaran HaKI seperti pembajakan, pemalsuan, peniruan, pengakuan terhadap beragam hasil karya cipta milik orang lain atau institusi lain sering diidentinkkan dengan perilaku kriminal karena adanya kerugian secara ekonomi, padahal pelanggaranpelanggaran tersebut hanyalah sebagian saja dari fenomena HaKI yang akhir-akhir ini hangat dibicarakan. Skripsi ini membahas mengenai penerapan aspek hukum oleh penyidik Polri dalam penanganan kasus tindak pidana di bidang merek, dan skripsi ini mengambil suatu studi kasus yaitu kasus Merek Bell 999 dan Prima Bell. Tindak pidana yang dibahas dalam skripsi ini merupakan tindak pidana tanpa hak menggunakan Merek Bell 999 dan Prima Bell 999 yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik Bambang Santoso dengan merek Bell + lukisan dan Super Bell + lukisan untuk barang dan atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan dengan tersangka : HAJI HERRY DJUWASA, yang dimana telah melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana dalam Pasal 91 UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Penulisan Skripsi ini menyarankan kepada Pimpinan Polri, hendaknya melakukan kebijakan dalam memberikan petunjuk yang jelas kepada setiap penyidik Polri dalam menerima laporan polisi terutama yang berhubungan dengan tindak pidana dibidang merek, agar tidak bertentangan dengan Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara RI, sehingga proses penyidikan tindak pidana merek dapat berjalan sesuai dengan ketentuan.
Problem of Intellectual Property Rights in Indonesia is not only connected with the lack of people?s understanding, but also the law enforcement. Breaking the rules of Intellectual Property Rights like piracy, counterfeit products, copying and claiming of other people?s or organization?s Property Rights usually identify as a crime because of the financial loss. On the other hand those crimes are only few of Intellectual Property Rights Phenomenon that become a current topic. This Undergraduate Thesis examines about The Law Implementation By POLRI Investigator in Trademark Crime Case Handling capturing the case study : Bell 999 and Prima Bell. The suspect, HAJI HERRY DJUWASA was using the same brand without right - Bell 999 and Prima Bell 999 - while the original brand is Bell + lukisan and Super Bell + lukisan owned by Bambang Santoso. The suspect was breaking the Regulation of Article 91 Law of Republic of Indonesia Number 15 Year 2001 Regarding Marks. This Undergraduate Thesis suggests that The Chief of POLRI to make specific regulation for POLRI Investigator to handle Trademark Crime. Therefore the investigator won't face the wrong way to handle the Trademark Crime having the reality that the Regulation of KAPOLRI Number 12 Year 2009 is not alligned with the Trademarks Regulation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S271
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Annisa Lintang Jantera
"Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif, Hak Kekayaan Intelektual sebagai suatu kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia dapat digunakan sebagai objek jaminan pembayaran utang dalam skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual di Indonesia. Berbeda dengan Hak Cipta, Merek sebagai salah satu hak kekayaan intelektual yang dapat dijadikan suatu jaminan belum diatur dalam peraturan perundang-undangan mana pun, khususnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Hal yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini adalah praktiknya penjaminan suatu Merek dalam skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual pada lembaga keuangan nonbank. Dalam Penelitian ini, Metode penelitian yang digunakan untuk mengkaji isu tersebut adalah yuridis normatif dengan menelaah dan dan menganalisis bahan pustaka, dokumen dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan substansi penelitian dan empiris dengan melakukan penelitian lapangan melalui wawancara dengan beberapa lembaga keuangan nonbank. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini digunakan sebagai pengetahuan konsep dan acuan referensi atas penjaminan suatu Merek sebagai objek jaminan pembayaran utang dalam skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual pada lembaga keuangan nonbank di Indonesia. Dalam implementasinya Merek sebagai benda bergerak tidak berwujud secara teori telah dapat dijadikan objek jaminan dalam skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual pada lembaga keuangan nonbank dengan Jaminan Fidusia. Namun pada praktiknya, skema pembiayaan tersebut masih belum dapat diterapkan dikarenakan belum adanya acuan untuk menilai suatu Merek yang akan dijaminkan serta pula karena belum adanya peraturan pelaksanaan yang mengatur secara terperinci terkait objek jaminan kekayaan intelektual. Sehingga jika diterapkan, dapat berpotensi menimbulkan resiko kerugian kepada lembaga keuangan nonbank terkait.
With the issuance of Government Regulation Number 24 of 2022 concerning implementing regulations of Law Number 24 of 2019 concerning the Creative Economy, Intellectual Property Rights as a property arising or born due to human intellectual abilities can be used as collateral for debt repayment in intellectual property-based financing schemes in Indonesia. In contrast to Copyrights, Marks as one of the intellectual property rights that can be used as collateral have not been regulated in any laws and regulations, particularly Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications. The subject matter of the discussion in this study is how the practice of guaranteeing a Mark in an intellectual property-based financing scheme at a non-bank financial institution. In this study, the research method used to examine these issues is normative juridical by examining and analyzing literature, documents and laws and regulations related to the substance of the research and empirical by conducting field research through interviews with several non-bank financial institutions. The results obtained from this study are used as conceptual knowledge and references for guaranteeing a Mark as an object of collateral for debt repayment in intellectual property-based financing schemes at non-bank financial institutions in Indonesia. The conclusion of this research is that in its implementation, marks as intangible movable objects can theoretically be used as collateral objects in intellectual property-based financing schemes in non-bank financial institutions with Fiduciary Guarantees. However, in practice, this financing scheme cannot yet be implemented due to the absence of a reference for assessing a Mark to be pledged as collateral and also because there are no implementing regulations that regulate in detail regarding the object of intellectual property guarantees. So that if implemented, it could potentially pose a risk of loss to the related non-bank financial institution."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library