Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 206351 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Pelvic Inflammatory Disease kondisi inflamasi rongga pelvis yang dapat mengenai uterus, tuba falopii, ovarium, peritoneum pelvis, atau sistem vaskuler pelvis. PLO dapat menyebabkan kehamilan ektopik, infertilitas dan kekambuhan penyakit. Banyak penelitian menyebutkan bahwa tingkat pengetahuan mempengaruhi motivasi seseorang sehingga peneliti merasa perlu untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan tentang Pelvic Inflammatory Disease (PID) dengan motivasi untuk mencari pengobatan. Desain yang digunakan dalam penelitian adalah desain korelatif dengan menggunakan kuesioner yang dibagikan ke 37 orang responden dengan cara Accidental sampling dari pasien di poli obstetrik dan ginekologi RS ASRI Jakarta yang sedang daises pengobatan. Analisa data dilakukan dengan uji univariat dan bivariat, dengan menggunakan program komputer SPSS 13. Hash penelitian menunjukan tingkat pengetahuan tinggi sebesar 62,2% yang memiliki tingkat motivasi rendah sebesar 56,8%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak adanya hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dengan motivasi untuk mencari pengobatan dengan P Value : 0,171 ; α: 0,05."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2009
TA5839
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Inflammatory bowel disease (IBD) has begun to emerge in Indonesia. The disease is further classified into two types, ulcerative colitic (UC) and crohn's disease (CD). Diagnosis of IBD is initiated from symptom findings such as diarrhea, abdominal pain, bleeding diarrhea, and weight loss, and supported by physical examination and additional tests. The options for additional examinations of IBD are mainly endoscopy (esophagogastroduodenoscopy, colonoscopy, and also intestinal endoscopy), imaging the techniques and laboratory examinations either from blood or feces. The application of these modalities should be prompted by sufficient clinical suspicion to promote their efficiency as well as prevent underdiagnosis or overdiagnosis. In primary health care settings, patients with IBD are expected to be recognized for therapy or to use appropriate referral system to warrant a proper treatment."
UI-IJGHE 15:1 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Angky Budianti
"COVID-19 merupakan penyakit penyebab pandemi pada akhir 2019. Perbedaan manifestasi klinis pada infeksi SARS-CoV-2 ini memicu banyak pertanyaan di kalangan peneliti dan medis. Perbedaan klinis COVID-19 tersebut dapat dipicu oleh faktor hospes, patogen maupun lingkungan. Infeksi SARS-CoV-2 terutama melalui saluran napas atas, tempat kolonisasi mikroba komensal dan patogen. Bagaimana interaksi antara mikroba yang berkolonisasi dengan SARS-CoV-2 dalam menimbulkan respons inflamasi di saluran napas atas masih belum diketahui dengan jelas. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara karakteristik mikrobiota, serta rasio kadar sitokin pro- dan anti-inflamasi dari saluran napas atas dengan beratnya COVID-19.
Penelitian ini merupakan studi potong lintang menggunakan 74 swab nasofaring dan orofaring di dalam viral transport medium (VTM) dari pasien COVID-19 berusia 18–64 tahun. Profil mikrobiota di saluran napas atas dan kadar IL-6, IL-1β, IFN-γ, TNF-α dan IL-10 diperiksa dengan metode sekuensing 16S ribosomal RNA dan Luminex assay, secara berurutan. Selanjutnya dilakukan analisis hubungan antara beratnya COVID-19 dengan OTU, keragaman alfa dan beta dari mikrobiota saluran napas atas.
Lima filum terbanyak di saluran napas pasien COVID-19 di Indonesia berusia 18-64 tahun adalah Firmicutes (32,3%), Bacteroidota (27,1%), Fusobacteriota (15,2%), Proteobacteria (15,1%) dan Actinobacteria (7,1%). Analisis indeks Shannon dan ACE menunjukkan bahwa tidak ada penurunan keragaman microbiota saluran napas atas dengan bertambah beratnya penyakit. Namun, ada perbedaan bermakna keragaman beta pada mikrobiota saluran napas atas antara COVID-19 ringan dan berat. Keberlimpahan filum Firmicutes (p = 0,012), dan genus Streptococcus (p = 0,033) dan Enterococcus (p = 0,031) lebih tinggi pada COVID-19 berat dibandingkan yang ringan, sedangkan keberlimpahan filum Fusobacteriota (p = 0,021), Proteobacteria (p = 0,030), Campilobacterota (p = 0,027), genus Neisseria (p = 0,008), dan Fusobacterium (p = 0,064), spesies Porphyromonas gingivalis (p = 0,018), Fusobacterium periodonticum (p = 0,001) dan Fusobacterium nucleatum (p = 0,022) lebih tinggi pada COVID-19 ringan dibandingkan berat. Keberadaan bakteri Prevotella buccae (p = 0,005) dan Prevotella disiens (p = 0,043) lebih rendah pada COVID-19 berat. Rasio TNF-α/IL-10 lebih tinggi pada COVID-19 berat (p < 0.05). Selanjutnya, rasio IL-6/IL-10, IFN-γ/IL-10, dan IL-1β/IL-10 juga lebih tinggi pada COVID-19 berat, namun tidak berbeda bermakna jika dikaitkan dengan beratnya penyakit.
Penelitian ini mendukung adanya hubungan antara karakteristik mikrobiota di saluran napas atas dengan beratnya COVID-19 pada pasien dewasa. Studi lebih lanjut diperlukan untuk memeriksa mekanisme bagaimana mikrobiota mencegah beratnya COVID-19. Rasio TNF-α/IL-10 dari saluran napas dapat menjadi prediktor beratnya penyakit dan sebagai alternatif pemeriksaan kadar sitokin pada COVID-19 yang kurang invasif dibandingkan serum.

COVID-19 is a disease that caused a pandemic at the end of 2019. Clinical manifestations difference in SARS-CoV-2 infection has raised many questions in research and medical provider. The clinical differences in COVID-19 can be triggered by host, pathogen and environmental factors. SARS-CoV-2 mainly enters through the upper airway, with colonization of commensal and pathogenic microbes. How the interaction between colonized microbes and SARS-CoV-2 in causing an inflammatory response in the upper airway is still not clearly known. Therefore, we examined the association between the diversity of microbiota, pro- and anti-inflammatory cytokines ratio of upper respiratory and COVID-19 severity.
This research is an observational cross-sectional study using 74 nasopharyngeal and oropharyngeal swabs in viral transport medium from COVID-19 patients aged 18-64 years. We examined microbiota profile in the upper airway using 16S ribosomal RNA sequencing method and levels of IL-6, IL-1β, IFN-γ, TNF-α and IL-10 were examined by Luminex assay. We also examined the association between COVID-19 severities with OTU analysis, alpha and beta diversity of upper respiratory microbiota.
The top five phyla in upper respiratory tract of Indonesian COVID-19 patients with aged of 18–64 years old were Firmicutes (32,3%), Bacteroidota (27,1%), Fusobacteriota (15,2%), Proteobacteria (15,1%) and Actinobacteria (7,1%). Shannon and ACE index analysis showed no decline of microbiota diversity in upper airway with the increase of disease severity. However, there were significant differences of beta diversity in the upper airway microbiota between mild and severe COVID-19. The abundance of the Firmicutes phylum (p = 0,012), Streptococcus (p = 0,033) and Enterococcus (p = 0,031) genera were significantly higher in severe COVID-19 than mild, while the abundance of the Fusobacteriota (p = 0,021), Proteobacteria (p=0,030), and Campilobacterota (p = 0,027) phyla, Neisseria (p = 0,008), and Fusobacterium (p = 0,064) genera, Porphyromonas gingivalis (p = 0,018), Fusobacterium periodonticum (p = 0,001) and Fusobacterium nucleatum (p = 0,022) species were significantly higher in mild. The presence of Prevotella buccae (p=0.005) and Prevotella disiens (p=0.043) bacteria was lower in severe COVID-19. The TNF-α/IL-10 ratio was significantly higher in severe COVID-19 (p < 0.05). Furthermore, IL-6/IL-10, IFN-γ/IL-10, and IL-1β/IL-10 ratio was also higher in severe, but those were not significantly related to the disease severity.
This research supports the relationship between the severity of COVID-19 and microbiota diversity in the upper airway in adults. Further studies are needed to examine the mechanism by which microbiota prevents the COVID-19 severities. The ratio of TNF-α/IL-10 from upper airway swab may be as a predictor of disease severity and alternative for examining cytokine levels in COVID-19 which is less invasive than serum.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mifta Rahmiza
"ABSTRAK
Nama : Mifta RahmizaProgram Studi : Ilmu Kesehatan MasyarakatJudul : Konsentrasi PM2,5 dalam Rumah dan Asma Pada Ibu Rumah Tangga diPemukiman sekitar Industri Semen Kecamatan KlapanunggalKabupaten Bogor Tahun 2018Pembimbing :Dr. R. Budi Haryanto SKM., M.Kes., M.Sc.Asma merupakan penyakit inflamasi peradangan kronik saluran napas. Asmatermasuk penyakit dengan fatalitas yang rendah namun kasusnya cukup banyakdijumpai di masyarakat. WHO memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia menderitaasma dan akan terus bertambah sebesar 180.000 orang setiap tahunnya. Asma pada usiadewasa dapat disebabkan oleh polusi udara. Ibu rumah tangga yang tinggal dipemukiman sekitar industri semen serta menghabiskan sebagian besar waktunya didalam rumah dengan berbagai aktivitas rumah tangga berisiko terpapar polutanpartikulat PM2,5 . Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi hubungan konsentrasiPM2,5dalam rumah dan asma pada ibu rumah tangga di pemukiman sekitar industrisemen Kecamatan Klapanunggal. Penelitian menggunakan studi cross-sectionalyangdilaksanakan pada April-Mei 2018. Jumlah sampel sebanyak 110 ibu rumah tanggadengan metode simple random sampling. Rata-rata konsentrasi PM2,5dalam rumahsebesar 50,5 ? g/m3. Ditemukan sebanyak 30 ibu rumah tangga menderita asma. Hasilpenelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara konsentrasiPM2,5dalam rumah dan asma pada ibu rumah tangga di pemukiman sekitar industrisemen Kecamatan Klapanunggal, namun terdapat satu variabel konfounding, yaitulubang asap dapur dimana p=0,013; OR= 3,52 1,38-8,93 . Penelitian inimengkonfirmasi bahwa terdapat hubungan antara konsentrasi PM2,5dalam rumah danasma pada ibu rumah tangga yang dipengaruhi oleh lingkungan fisik rumah, sumberpolutan dalam rumah, serta faktor individu tertentu. Perlu dilakukan pengendalian risikodengan pengaturan ventilasi untuk pertukaran udara, tidak merokok di dalam rumah,tidak menggunakan bahan bakar berisiko, tidak menggunakan obat nyamuk bakar, sertapengendalian status obesitas.Kata kunci:Polusi udara dalam ruang, PM2,5, Asma

ABSTRACT
Name Mifta RahmizaStudy Program Public Health SciencesTitle PM2,5 Consentrations in Home and Asthma on Housewives atSettlements around Cement Indusrty Klapanunggal sub DistrictBogor Regency 2018Consellor Dr. R. Budi Haryanto SKM., M.Kes., M.Sc.Asthma is a chronic airway inflammatory disease inflammation . Asthma is adiseasewith low fatalities yet the case is quite common in the society. WHO estimates 100 150million people of the world suffer from asthma and will continue to grow by 180,000people every year. Asthma in adulthood can be caused by air pollution. Housewiveswho live in settlements around the cement industry and spend most of their time in thehome with various household activities is at risk of exposure to particulate pollutants PM2.5 . This study aims to identify the relationship between PM2.5 concentrations in thehome with asthma on housewives at settlement around cement industry Klapanunggalsub District. The study used a cross sectional study conducted in April May 2018. Thesample size is 110 housewives with simple random sampling method. The averageconcentration of PM2.5 in the house is 50.5 g m3. Found as many as 30 ofhousewives suffered from asthma. The result showed no significant correlation betweenPM2.5 concentration in house with asthma on housewife at settlement around cementindustry Klapanunggal sub district, but there is still one confounding variable, that iskitchen smoke hole where p 0.013 OR 3.52 1.38 8.93 . This study confirms thatthere is a relationship between PM2.5 concentrations in the home and asthma onhousewives who are affected by the physical environment of the home, the source ofhome pollutants, as well as certain individual factors. Risk control is required withventilation arrangements for air exchange, non smoking within the home, no use ofrisky fuels, no use of mosquito coils, and controlling the obesity status.Keywords Indoor air pollution, PM2.5, Asthma"
2018
T51348
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anyta Hera Wahyuni
"Asma adalah gangguan inflamasi kronik pada saluran nafas. Penderita yang rentan inflamasi akan mengalami wheezing berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang bersifat reversibel. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi faktor-faktor pencetus serangan asma pada pasien asma di salah satu rumah sakit di Jakarta . Penelitian ini merupakan deskriptif kuantitatif dengan desain cross sectional yang menggunakan teknik purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi faktor pencetus asma karena alergen adalah 94,1%, faktor pencetus asma karena infeksi pernapasan adalah 26,7%, faktor pencetus asma karena latihan fisik adalah 94,1%, faktor pencetus asma karena sensitif terhadap obat dan makanan adalah 28,7%, faktor pencetus asma karena polusi udara adalah 89,1%, faktor pencetus asma karena penyakit refluks gastroesophageal adalah 68,3%, faktor pencetus asma karena perubahan psikologis/emosi adalah 88,1%, faktor pencetus asma karena perubahan cuaca adalah 79,2%. Pada penelitian ini didapatkan bahwa pasien asma tidak hanya memilki satu faktor pencetus serangan asma namun didapatkan juga banyaknya responden yang memilki dua atau bahkan tiga faktor pencetus serangan asma. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi tentang faktor-faktor pencetus asma sebagai landasan bagi perawat untuk memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien asma beserta keluarga.

Asthma is a chronic inflammatory disorders of the respiratory tract It causes recurrent wheezing shortness of breath chest distress and coughing especially at night or early morning. The symptoms are associated with the reversible of airway narrowing. This study aims to identify the prevalance of asthma triggers at one of hospitals in Jakarta. This study was a descriptive quantitative with a cross sectional design and applied a purposive sampling technique. The results showed that the distribution of allergens factors was 94 1 26 7 respiratory infection 94 1 physical exercise sensitive to the drug and food 28 7 89 1 of air pollution disease gastroesophageal reflux 68 3 psychological emotional 88 1 related to weather was 79 2. This study also concludes that asthma patients were triggered by multiple allergens. The results of this study are expected to provide information on asthma triggers that would be used as a bases for nurses to educate asthma patients and their families Key word Asthma Asthma Triggers prevalance.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
S55279
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novita Lianasari
"Penyakit Jantung Koroner PJK adalah penyakit pada jantung yang terjadi karena otot jantung mengalami penurunan suplai darah. Kurangnya pengetahuan pasien mengenai faktor risiko penyakit jantung koroner berkaitan dengan terjadinya serangan jantung berulang yang akan berdampak pada meningkatnya biaya perawatan dan psikologis pasien yaitu depresi, bahkan dapat menyebabkan komplikasi ataupun kematian. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif komparatif dengan pendekatan cross- sectional. Sampel penelitian berjumlah 67 orang dengan diagnosis penyakit jantung koroner. Pengambilan sampel dengan metode non- probability sampling yaitu consecutive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan faktor risiko penyakit jantung koroner dengan serangan jantung berulang p= 0,43, 0,05. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan faktor risiko penyakit jantung koroner dengan frekuensi serangan jantung berulang p=0,57, 0,05 . Penelitian ini merekomendasikan pemberian edukasi yang disertai dengan motivasi kepada pasien untuk dapat mengubah perilaku sehingga memiliki kesadaran yang tinggi untuk mengontrol faktor risiko dengan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari agar terhindar dari serangan jantung berulang.

Coronary Artery Disease (CAD) is a disease caused by an imbalance between blood supply and heart muscle oxygen demand. Insufficient knowledge about risk factors contributing to CAD is associated with higher recurrence of heart attack, causing the rise of the hospitalitation cost, depression, others complications even death. This study employed comparative descriptive design with cross sectional method, involving a consecutive sample of 67 patients with CAD as their primary diagnosis. Our study showed that there was no relationship between knowledge of CAD risk factors with the recurrence of heart attacks p 0,43, 0,05. Similarly, the study revealed that there was no relationship between risk factors for coronary heart disease and the frequency of heart attack's recurrence p 0,57 0,05 . This study suggested nurses to provide health education along with continuous and effective motivation in order to help patients controlling their risk factors in order to avoid the recurrence of heart attack."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
S68824
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Anjar Nur Zhamaroh
"Salah satu upaya pemerintah dalam menanggulangi HIV/AIDS adalah dengan dilaksanakannya program screening HIV pada kelompok risiko tinggi. Pekerja Seks Komersial (PSK) sebagai salah satu kelompok risiko tinggi merupakan salah satu target untuk melakukan screening HIV/AIDS. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan motivasi eks PSK untuk meiakukan screening HIV yang nantinya akan dapat membantu menerapkan metode pendekatan terhadap kelompok risiko tinggi dalam meningkatkan kewaspadaan terhadap penularan HIV melalui screening HIV ini.
Penelitian ini menggunakan desain konelasi dengan jumlah sampel 39 orang eks PSI( yang berada di Panti Sosial Karya Wanita, Pasar Rebo Jakarta Timur yang dipemleh dengan metode quota sampling. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji chi square dengan tingkat kemaknaan 0,05.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan motivasi eks PSK untuk melakukan screening HIV (p=0,006). Hasil penelitian ini dapat digunakan referensi awal bagi pentingnya pelaksanaan program screening HW untuk kelompok risiko tinggi khususnya PSK dengan dasar pemberian motivasi melalui penyuluhan- penyuluhan kesehatan."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2007
TA5594
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Finish Fernando
"Latar Belakang: Prolaps Organ Panggul (POP) dikelompokkan menjadi prolaps dinding anterior, posterior dan puncak vagina. 40% wanita dengan POP dinding anterior vagina memiliki elongasio serviks yang akan mempengaruhi tatalaksana pembedahan POP. Terdapat beberapa alat untuk mengukur panjang serviks, diantaranya Pelvic Organ Prolapse Quantifications System (POP-Q), dengan mengukur perbedaan titik C dan D. Sampai saat ini belum terdapat penelitian yang menguji sensitivitas, spesifisitas dan akurasi pemeriksaan POP-Q dalam mengukur panjang serviks untuk mendiagnosis elongasio serviks pada pasien POP. Tujuan: Diketahuinya nilai sensitivitas, spesifisitas dan akurasi POP-Q untuk menilai panjang serviks sebagai diagnosis elongasio serviks pada pasien POP dengan baku emas pengukuran anatomi serviks dari hasil histerektomi. Metode: Uji diagnosis, potong lintang, consecutive sampling. Data diambil dari pemeriksaan POP-Q dan pengukuran anatomi serviks dari hasil histerektomi.
Hasil: 66 subjek, 1.5% POP derajat 2, 45.5% POP derajat 3 dan 53.0 % POP derajat 4. Rerata (± sb) usia dan indeks massa tubuh (IMT) berturut-turut 59.88 tahun (± 9.347) dan 24.41 (± 3.67) kg/m2. Median (min-maks) PS POPQ dan PS Anatomi berturut-turut 4 cm (1-12) dan 5 cm (3-10). Sensitivitas, Spesifisitas dan Akurasi POP-Q berturut-turut 79%, 58% dan 68%.
Kesimpulan: Pemeriksaan POPQ memiliki spesifitas yang baik (79%) tetapi dengan sensitivitas yang kurang baik (58%) dan akurasi 68% untuk diagnosis elongasio serviks pada prolaps organ panggul.

Background: Pelvic Organ Prolapse (POP) categorized as anterior, posterior and apical prolapse. 40% women with anterior POP have cervical elongation. Cervical elongation will make difference in surgical POP treatment. There are several tool for measure cervical length, one of them is Pelvic Organ Prolapse Quantifications System (POP-Q), by measure difference in point C and D. Until now, there is no research to measure sensitivity, specificity and accuracy of POP-Q to measure cervical length for cervical elongation diagnose in POP patients. Objective: To know sensitivity, specificity and accuracy of POP-Q to measure cervical length for cervical elongation diagnose in POP patients with gold standard was anatomical cervical length from hysterectomy result.
Methode: Diagnosis research, cross sectional, consecutive sampling. POP-Q was taken before operation and anatomi cervical length was from hysterectomy result.
Result: 66 subject, 1.5% 2nd degree POP, 45.5% 3rd degree POP, and 53.0 % 4th degree POP. Mean (± sd) age and body mass index consecutively 59.88 years (± 9.347) and 24.41 (± 3.67) kg/m2. Median (min-max) cervical length POP-Q and anatomy consecutively 4 cm (1-12) and 5 cm (3-10). Sensitivity, Spesifisity dan Accuracy POP-Q consecutively 79%, 58% dan 68%.
Conclussion: POPQ has good specificity (79%) but with less sensitivity (58%) with accuracy 68% to diagnose cervical elongation in POP.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Oryza Gryagus Prabu
"Latar Belakang. Vitamin D merupakan salah satu komponen regulator yang berperan dalam respons imun humoral maupun adaptif yang memiliki peranan patogenesis dalam berbagai kondisi autoimun termasuk IBD. Defisiensi vitamin D diketahui dapat mempengaruhi derajat aktivitas pada pasien dengan IBD. Beberapa studi menunjukkan terdapat peran vitamin D dalam meningkatkan angka remisi pada pasien dengan IBD. Namun studi lain menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan terhadap aktivitas klinis IBD dengan defisiensi vitamin D. Belum ada studi di Indonesia yang menilai hubungan kadar vitamin D dengan aktivitas klinis pada IBD.
Tujuan. Mengetahui prevalensi defisiensi vitamin D pada pasien dengan IBD dan menilai perbedaan rerata kadar 25-OH D pada subjek dengan IBD aktif dengan remisi.
Metode. Penelitian ini merupakan studi dengan desain potong lintang yang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pasien dengan IBD yang datang ke Poliklinik Gastroenterologi dan dilakukan pemeriksaan kadar 25-OH-D. Subjek dengan kolitis ulseratif dinilai aktivitas klinisnya dengan menggunakan instrumen Simple Clinical Colitis Activity Index (SCCAI) dimana nilai <2 dikategorikan sebagai remisi, sedangkan subjek dengan penyakit Crohn dinilai aktivitas klinisnya dengan menggunakan instrumen Crohn’s Disease Activity Index (CDAI) dengan nilai <150 dikategorikan sebagai remisi. Dilakukan analisis perbedaan rerata kadar 25-OH-D antara subjek remisi dibandingkan aktif baik pada subjek dengan kolitis ulseratif dan penyakit Crohn.
Hasil. Sebanyak 76 subjek memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, 48 subjek termasuk ke dalam kolitis ulseratif dan 28 lainnya penyakit Crohn. Sebanyak 65,3% subjek perempuan dengan rerata usia subjek adalah 46,39 (SB 16,25). Prevalensi defisiensi vitamin D pada pasien IBD adalah sebesar 46,1% dengan 32,1% pada penyakit Crohn dan 54,2% pada kolitis ulseratif. Tidak didapatkan adanya perbedaan median yang signifikan antara subjek dengan penyakit Crohn pada remisi (20,7 (12,25 – 32,55) ng/ml) dan aktif (15,7 (12,03 – 28,6) ng/ml) (p = 0,832), maupun subjek dengan kolitis ulseratif pada remisi (26,05 (19,33 – 30,73) ng/ml) dan aktif (25,05 (14,43 – 33,37) ng/ml) (p = 0,301).
Kesimpulan. Prevalensi defisiensi vitamin D pada IBD adalah sebesar 46,1%. Tidak terdapat adanya perbedaan yang signifikan terhadap kadar 25-OH-D pada pasien dengan IBD yang aktif dibandingkan dengan remisi.

Background. Vitamin D is one of the regulatory components that play a role in humoral and adaptive immune responses that have a pathogenesis role in various autoimmune conditions including IBD. Vitamin D deficiency is known to affect activity levels in patients with IBD. Several studies have shown that there is a role for vitamin D in increasing remission rates in patients with IBD. However, other studies have shown that there is no significant relationship between clinical activity of IBD and vitamin D deficiency. There are no studies in Indonesia that have assessed the relationship between vitamin D levels and clinical activity in IBD.
Aim. To determine the prevalence of vitamin D deficiency in patients with IBD and to assess the difference in mean 25-OH D levels in subjects with clinically active and remission.
Method. This is a cross-sectional study conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia. Patients with IBD who came to the Gastroenterology Polyclinic and have their 25-OH-D levels checked. Subjects with ulcerative colitis were assessed for clinical activity using the Simple Clinical Colitis Activity Index (SCCAI) instrument where a value <2 was categorized as remission, while subjects with Crohn's disease were assessed for clinical activity using the Crohn's Disease Activity Index (CDAI) instrument with a value <150 categorized as remission. An analysis of the difference in mean 25-OH-D levels between remission versus active subjects was performed both in subjects with ulcerative colitis and Crohn's disease.
Results. A total of 76 subjects met the inclusion and exclusion criteria, 48 subjects had ulcerative colitis and 28 had Crohn's disease. A total of 65,3% of female subjects with the mean age of the subject was 46,39 (SB 16,25). The prevalence of vitamin D deficiency in IBD patients was 46,1% with 32,1% in Crohn's disease and 54,2% in ulcerative colitis. There was no significant median difference between subjects with Crohn's disease in remission (20,7 (12,25 – 32,55) ng/ml) and active (15,7 (12,03 – 28,6) ng/ml) (p = 0,832), as well as subjects with ulcerative colitis in remission (26,05 (19,33 – 30,73) ng/ml) and active (25,05 (14,43 – 33,37) ng/ml) (p = 0,301).
Conclusion. Prevalence of vitamin D deficiency in IBD is 46,1%. There was no significant difference in 25-OH-D levels in patients with active IBD compared with remission.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vivien Maryam
"Inflammatory bowel disease (IBD) merupakan penyakit kronis saluran cerna dengan siklus eksaserbasi-remisi. Masih terdapat tantangan dalam mempertahankan remisi dan menunda flare pada pasien IBD. Asupan gizi tertentu dapat memodifikasi mediator inflamasi pada saluran gastrointestinal sementara aktivitas fisik dapat mempengaruhi kadar sitokin sehingga keduanya dapat mempengaruhi perjalanan IBD. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara potensi inflamasi diet dan aktivitas fisik dengan aktivitas penyakit IBD.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada pasien IBD yang melakukan kontrol di Poliklinik Gastroenterologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) selama periode Juli–September 2022. Pengambilan data mengenai potensi inflamasi diet berdasarkan skor Dietary Inflammatory Index (DII) dan aktivitas fisik berdasarkan skor International Physical Activity Questionnaire (IPAQ). Derajat aktivitas penyakit IBD diperoleh berdasarkan kuesioner Indeks Harvey-Bradshaw (HBI) untuk Penyakit Crohn (PC) dan Simple Colitis Clinical Activity Index (SCCAI) untuk Kolitis Ulseratif (KU). Analisis statistik dengan menggunakan uji KruskalWallis, Spearman, dan Regresi linear multipel.
Hasil: Sebanyak 100 subjek penelitian didapatkan rerata skor DII pada kelompok PC adalah 0,22± 2,20 dengan tren rerata yang meningkat signifikan seiring dengan keparahan PC: -0,13 ± 2,3 (remisi), 0,17 ± 2,51 (ringan), 0,65 ± 2,11 (sedang), 0,68 ± 1,60 (berat); p=0,02. Rerata skor DII pada kelompok KU adalah 0,11 ± 2,45 dan tidak ditemukan perbedaan bermakna antar subgrup keparahan. Rerata skor aktivitas fisik pada kelompok PC dan KU berturut-turut adalah 5097,4 ± 2955,7 dan 6023,7 ± 4869,4. Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara tingkat aktivitas fisik dan derajat aktivitas penyakit IBD. Skor DII secara independen dapat mempengaruhi aktivitas penyakit PC dari analisis multivariat (koefisien Î² 0,370; p= 0,006). 
Kesimpulan: Terdapat hubungan signifikan antara potensi inflamasi diet dengan derajat aktivitas penyakit PC. Tidak terdapat hubungan antara potensi inflamasi diet dengan derajat aktivitas penyakit KU maupun antara aktivitas fisik dengan derajat aktivitas penyakit IBD.

Background: inflammatory bowel disease (IBD) is a chronic gastrointestinal disease with exacerbation-remission cycles. There are still challenges in maintaining remission and preventing flares in IBD patients. Intake of certain nutrients can modify inflammatory mediators of the gastrointestinal tract while physical activity may affect cytokine levels, therefore both can influence the course of  IBD. This study aims to analyze the association between inflammatory potential of diet and physical activity with IBD disease activity.
Method: in this cross-sectional study, IBD patients who had regular control at the gastroenterology outpatient clinic of RSCM were recruited during the period of July–September 2022. The data of inflammatory potential of diet obtained through the dietary Inflammatory Index (DII) score and physical activity data obtained through the International Physical Activity Questionnaire (IPAQ) score. The degree of IBD disease activity based on the Harvey-Bradshaw Index (HBI) for Crohn’s Disease (CD) and the Simple Colitis Clinical Activity Index (SCCAI) for Ulcerative Colitis (UC). Statistical analysis using the Kruskal-Wallis test, Spearman test, and Multiple Linear Regression test.
Results: A total of 100 subjects obtained the mean DII score in the CD group was 0.22± 2.20 with an upward trend that increased significantly as CD disease severity progressed: -0.13 ± 2.3 (remission), 0.17 ± 2.51 (mild), 0.65 ± 2.11 (moderate), 0.68 ± 1.60 (severe); p=0,02. The mean DII score in the UC group was 0.11 ± 2.45 and there was no significant difference among severity subgroups. The mean physical activity scores in the CD and UC groups were 5097.4± 2955.7 and 6023.7 ± 4869.4 respectively. There was no significant difference of physical activity among various degrees of IBD severity. DII scores independently influenced CD disease activity based on multivariate analysis (β-coefficient 0.370; p= 0.006).
Conclusion: A significant association between the inflammatory potential of diet and CD disease activity was observed. There was no association between inflammatory potential of diet and UC disease activity, as well as between physical activity and IBD disease activity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>