Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 114269 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Bertambahnya usia seseorang dan proses menua pada lanjut usia menyebabkan terjadinya penurunan fungsi berbagai organ dan sistem tubuh yang dipengaruhi oleh penyakit-penyakit degeneratif, kondisi lingkungan, dan gaya hidupnya. Bila perilaku lingkungannya tidak dapat bersikap empati dan terapeutik terhadap lansia, termasuk di dalam berkomunikasi, hal tersebut akan mempengaruhi respon kehilangan pada lansia tersebut. Karenanya, kemampuan komunikasi terapeutik dan efektif merupakan suatu hal yang mutlak dimiliki oleh perawat, sehingga lansia dapat menerima kondisi menuanya dengan lebih adaptif serta berespon lebih positif.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana hubungan komunikasi terapeutik perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien lansia terhadap respon kehilangan kemandirian akibat proses degeneratif. Desain penelitian ini adalah deskriptif korelasi. Populasi penelitian ini adalah lansia (>60 tahun) yang mampu diajak berkomunikasi yang telah kehilangan kemandirian akibat penuaaan (parsial maupun total), bukan karena penyakit, di Sasana Tresna Werda Yayasan Karya Bakti RIA Pembangunan (STW YKBRP) Cibubur, Jakarta Timur. Pengambilan sampel dilakukan secara simple random sampling. Data diambil dengan menggunakan kuesioner. Analisis data menggunakan uji statistik korelasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara komunikasi terapeutik dengan respon kehilangan kemandirian akibat proses degeneratif pada lanjut usia. Karenanya, perlu dilakukan peningkatan dan pengembangan kemampuan komunikasi terapeutik perawat lanjut usia di semua tatanan pelayanan keperawatan lanjut usia.
"
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2002
TA5259
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ikarie Monitha Arthos
"Kematian berarti berakhirnya daur kehidupan seseorang dan merupakan bagian dari eksistensi manusia yang perlu dikenali sebagai komponen yang alami dalam daur kehidupan, yang pada akhirnya dapat memberi arti pada keberadaanya sebagai manusia. Kematian menetapkan batasan dalam kehidupan dan mengingatkan manusia untuk memanfaatkan waktu yang dimiliki dengan sebaikbaiknya. Tetapi, bagi orang lain pada siapa kematian tersebut membawa pengaruh, hal ini tetap merupakan faktor yang harus diintegrasikan ke dalam daur kehidupan yang sedang berlangsung (Peterson, 1984). Sebab, bagi orang yang ditinggalkan, kematian tersebut dapat menimbulkan kesedihan yang dapat dianggap sebagai saat krisis dan berpengaruh besar terhadap perkembangan kehidupannya.
Ada 2 kehilangan yang dapat dikatakan paling mengganggu dan mungkin menjadi tekanan, yaitu kehilangan anak dan kehilangan pasangan. Dalam daur kehidupan manusia, terdapat suatu periode di mana masalah kehilangan pasangan merupakan salah satu penyesuaian yang harus dilalui dalam tahap perkembangannya, yaitu tahap dewasa akhir (late adulthood). Bagi pasangan lanjut usia, lamanya hidup bersama telah membuat mereka mengembangkan suatu hubungan yang nyaman melalui kegiatan rutin sehari-hari dan membuka kesempatan untuk memperdalam hubungan serta lebih menerima dan memahami pasangan. Oleh sebab itu, pasangan diasumsikan mengalami penderitaan paling besar dalam perpisahan karena kematian.
Kematian seseorang dapat menimbulkan kehilangan (bereavement) dan rasa sedih (grief) yang muncul sebagai reaksi normal terhadap kehilangan. Masa kehilangan kemudian membawa dua tantangan, yaitu menyelesaikan kesedihan akibat kehilangan orang yang dicintai dan membangun kehidupan baru sebagai individu (Brubaker, 1985 dalam Lemme, 1995). Ada tiga hal yang dapat dijelaskan sehubungan dengan pengalaman kehilangan, yaitu proses yang dilalui, faktor-faktor yang mempengaruhi dan konsekuensi yang timbul sebagai akibat kehilangan tersebut. Pengetahuan akan hal ini akan dapat digunakan sebagai dasar pemberian bantuan bila terjadi kesulitan saat menjalaninya. Dengan memperhatikan kekhususan pada tingkat perkembangan dewasa akhir dan perbedaan dalam respon terhadap rasa kehilangan pada pria dan wanita, dalam penelitian ini ingin diperoleh gambaran proses kehilangan dan kesedihan wanita lanjut usia yang kehilangan pasangan, dengan mengacu pada aspek proses yang dilalui, faktor-faktor yang mempengaruhi dan konsekuensi yang dirimbulkan.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dan menggunakan teknik wawancara dan observasi untuk mengumpulkan data. Subyek penelitian terdiri dari 5 orang wanita lanjut usia yang telah menjanda selama IV2 sampai 2 tahun 4 bulan. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap kelima subyek, yang dipandu dengan pedoman wawancara berstruktur. Setelah data selesai dikumpulkan, dilakukan analisa secara kualitatif untuk mendapatkan gambaran proses kehilangan dan kesedihan pada wanita lanjut usia akibat kematian pasangan. Proses analisa data yang digunakan berasal dari definisi analisa data yang dikemukakan oleh Miles & Huberman (1994).
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa gambaran proses berduka yang dialami oleh subyek mempunyai perbedaan-perbedaan bila dibandingkan dengan apa yang dikemukakan oleh teori mengenai proses berduka dari Phyllis Silverman dan Parkes. Pada faktor-faktor yang mempengaruhi proses berduka dan konsekuensi setelah kehilangan pasangan terlihat adanya keunikan pada tingkat perkembangan dewasa akhir ini, dengan faktor usia dan lamanya menikah sebagai dasar perbedaannya. Hal-hal yang terjadi dalam kehidupan subyek dan karakteristik dari tingkat perkembangan dewasa akhir kemudian digunakan untuk menjelaskan kenapa perbedaan dengan teori itu terjadi. Faktor agama yang muncul dalam menjalani kehilangan juga menjadi hal yang menarik untuk didiskusikan.
Saran terhadap penelitian meliputi penggunaan metode longitudinal untuk penelitian selanjutnya dan menambah penggunaan wawancara terhadap orang yang mengetahui bagaimana subyek menjalani kehilangannya. Selanjutnya penelitian mengenai fenomena yang sama pada tingkat perkembangan yang berbeda dan mengetahui pengaruh faktor-faktor lain terhadap pengalaman berduka seseorang akan menambah pengetahuan mengenai fenomena kehilangan dan kesedihan akibat kematian. Pada akhirnya pengetahuan yang dimiliki diharapkan dapat dijadikan dasar pemberian bantuan bagi orang-orang yang mengalami kesulitan dalam melalui proses tersebut."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2613
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ruby Valentine
"Tujuan : Mengetahui rerata waktu tempuh uji jalan 400 meter pada usia lanjut, mengetahui tingkat kemandirian fungsional berdasarkan instrumen FIM (Functional Independence Measure) pada usia lanjut, dan mengetahui hubungan antara waktu tempuh uji jalan 400 meter dengan tingkat kemandirian fungsional pada usia lanjut.
Metode: Disain penelitian ini adalah potong lintang. Populasi terjangkau adalah usia lanjut di Panti Sosial Tresna Werdha DKI Jakarta yang memenuhi kriteria dan mau berpartisipasi dalam penelitian selama kurun waktu April s.d. Agustus 2012. Sampel didapatkan berdasarkan cluster random sampling dari 5 panti di DKI Jakarta, yang memenuhi kriteria penerimaan dan pengeluaran. Utuk menilai kemampuan mobilitas digunakan waktu tempuh uji jalan 400 meter, sedangkan tingkat kemandirian dinilai menggunakan instrumen FIM.
Hasil : 58 subyek penelitian usia 60 tahun ke atas dianalisa pada penelitian ini. Nilai waktu tempuh uji jalan 400 meter pada usia lanjut di PSTW adalah median 413 detik (6:53 menit) dengan minimum 281 detik (4:41 menit) dan maksimum 901 detik (15:01 menit). Tingkat kemandirian fungsional berdasarkan instrumen FIM pada usia lanjut adalah sebesar rerata 120 ± 5, dengan 13,8% subyek mempunyai tingkat mandiri penuh. Terdapat hubungan kuat antara waktu tempuh uji jalan 400 meter dengan tingkat kemandirian fungsional (r = - 0,941, Spearman p < 0,001), dengan nilai 7 menit sebagai batas waktu yang membedakan kemampuan kemandirian secara signifikan.
Kesimpulan : Terdapat hubungan yang kuat antara waktu tempuh uji jalan 400 meter dengan kemandirian fungsional pada usia lanjut. Kemampuan kemandirian terendah yang harus diperhatikan pada usia lanjut adalah pada domain locomotion (stairs, walk), transfer (toilet dan shower), dan social cognition (problem solving dan social interaction). Waktu tempuh cukup baik untuk memprediksi kemampuan kemandirian usia lanjut di aspek locomotion, transfer dan selfcare (dressing lower body, bathing, dan toileting), tapi tidak akurat untuk memprediksi sphingter control dan kognitif. Batas waktu tempuh uji jalan 400 meter sebesar 7 menit, dapat menjadi cut-off point yang membedakan kemampuan kemandirian pada usia lanjut.

The aim: To know the avarage of timed to finish 400 meter walk test in elderly, to know the functional independency level in elderly, and to know the correlation between timed to finish 400 meter walk test and functional independency in elderly.
Methods: The design of the study was cross sectional. The population was the elderly at Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) DKI Jakarta who fit the criteria and want to partcipate in April-August 2012. Sampling method was cluster random sampling from 5 PSTW in DKI Jakarta. The mobility capacity was assessed by measure the timed to finish 400 meter walk test, and to asses the functional independence was used the Functional Independence Measure (FIM) instrument.
Results: 58 subjects aged 60 years old and above were analyzed in this study. The median value of 400 meter walk test timed was 413 seconds (6:53 minutes) with minimum 281 seconds (4:41 minutes) and maximum 901 seconds (15:01minutes). The mean of functional independence level according to FIM tools was 120 ± 5, with 13,8% subjects were complete independence. There were strong correlation between timed to finish 400 meter walk test and functional independency in elderly (r = - 0,941, Spearman p < 0,001), with the boundary seven minute as the cut-off point that differentiate independence level significantly.
Conclusions: There was strong correlation between timed to finish 400 meter walk test and functional independency in elderly.The lowest functional independence level in elderly that must be concerned of were on locomotion (stairs, walk), transfer (toilet and shower), and social cognition (problem solvingand social interaction) domain. Timed to walk 400 meter was good enough to predict functional indenpendence in elderly, at locomotion, transfer, and selfcare (dressing lower body, bathing, and toileting) domain, but can’t predict sphincter control and cognitif level accurately. Seven minutes is a cut-off point time to differentiate independence level among elderly.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Penelitian ini dilaksanakan umuk mengetahui sejauh mana hubunan antara
komunikasi terapeutik yang dilakukan perawat dengan tingkat kecemasan klien
dengan penyakit Asma di IGD RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Dari hasil
penelitian terhadap 12 orang klien Asma yang dirawat di IGD RSUPN Cipto
Mangunkusumo dengan cara total sampel. Kriteria responden adalah klien dengan
Asma yang dirawat di IGD RSUPN Cipto Mangunkusumo. Pada tanggal 30 Juli s/d 4
Agustus 2001 dilakukan uji coba terhadap 3 orang responders sebelum digunakan
dalam penelitian. Kemudian dilakukan penelitian selama satu minggu dari tanggai 30
Juli s/d 4 Agustus 2001. Data yang terkumpul diperoleh dengan menggunakan
statistik korelasi untuk menjawab pertanyaan penulisan dengan menggunakan
korelasi persamaan produk momen dan selanjutnya dibuktikan dengan T. test dengan
tingkat kemaknaan 0,05."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2001
TA4966
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vani Natasha
"Latar Belakang: Kesadaran masyarakat dalam mengganti kehilangan gigi posterior masih berada dalam angka yang rendah. Padahal, banyak studi menyatakan kehilangan gigi yang tidak diganti akan menyebabkan perubahan lengkung oklusal karena pergerakan patologis geligi sisa terutama dalam bidang vertikal. Pergerakan vertikal tersebut dipengaruhi berbagai hal, antara lain usia pasien. Akibat perubahan lengkung oklusal antara lain mastikasi menjadi tidak efisien serta akan mempersulit rencana perawatan dan prognosis pembuatan protesa.
Tujuan: Mengetahui korelasi usia dengan perubahan lengkung oklusal berdasarkan ekstrusi gigi pada kehilangan gigi posterior yang tidak diganti.
Metode: Penelitian deskriptif dengan pendekatan potong lintang pada studi model dan kartu status pasien RSGMP FKG UI tahun 2006-2008. Metode pemilihan sampel penelitian adalah purposive sampling dan didapatkan sebanyak 64 sampel penelitian. Analisis statistik secara univariat berupa distribusi frekuensi dari variabel usia, nilai ekstrusi gigi, serta uji bivariat menggunakan korelasi Pearson.
Hasil: Didapatkan 64 sampel penelitian yang melengkapi kiteria inklusi. Usia sampel penelitian berkisar 20-58 tahun (usia rata-rata 38.53, SD ± 11.952). Hasil uji statistik korelasi Pearson menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna (p<0,01) dengan nilai korelasi Pearson (-0.402) dimana kekuatan korelasi adalah sedang dan berbanding terbalik antara usia pasien dengan perubahan lengkung oklusal berdasarkan ekstrusi gigi antagonis.
Kesimpulan: Usia memilki hubungan bermakna dengan kedalaman lengkung oklusal dari bidang sagital berdasarkan besar ekstrusi pada kasus kehilangan gigi posterior yang tidak segera diganti.

Background: The awareness of replacing missing posterior teeth is still very low within the public even though research have shown that unreplaced missing tooth will likely alter the occlusal curve caused by pathological movement of antagonist totth, mainly on the vertical plane. The vertical movement is influenced by many factors, including patient?s age. Altered occlusal curve will reduce the efficienct of masticatory process as well as increasing the complexities of prognosis of protheses production and treatment planning.
Aim: to study the correlation between aging on occlusal curve alteration as a result of unreplaced missing posterior tooth.
Method: Descriptive studies using cross-sectional study method based on 2006-2008 data of dental cast and dental record of RSGMP FKG UI patients. Purposive sampling will be the method used and 64 samples will be used. Statistical analusis approach used was univariate statistics using frequency distribution of age, and dental extrusion measurement. Bivariate statistic test based on pearson correlation was also used to test the correlation between the two variables.
Conclussion: All sixty four samples used met both inclusive and exclusive criteria. The samples age ranged from 20-58 years old, with a mean of 38.53 and standart deviation of 11.952. The Pearson correlation statistical test indicated a medium correlation and a inversed proportion relationship between age and occlusal curve alteration caused by antagonist tooth extrusion."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Beby Tri Anisa
"Dalam proses komunikasi terjadi penyampaian informasi, yang dapat digunakan sebagai alat yang efektif dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak. Salah satu cara untuk mengatasi masalah kecemasan dengan menggunakan komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik antara perawat dan anak adalah hubungan kolaboratif yang ditandai dengan tukar-menukar perilaku, perasaan, pikiran, pengalaman dalam membina hubungan intim yang terapeutik. Tujuan: Penelitian ini untuk mengetahui hubungan pengetahuan perawat dalam penerapan komunikasi terapeutik: persepsi pendamping klien anak usia prasekolah. Sampel penelitian ini berjumlah 56 responden (perawat dan pendamping klien) yang diambil melalui teknik non random sampling dengan metode quota sampling. Alat ukur berupa kuesioner pengetahuan dan penerapan komunikasi terapeutik. Analisis data menggunakan Chi-square. Penelitian ini menunjukkan pengetahuan perawat tentang komunikasi terapeutik (96,43%) dan penerapan komunikasi terapeutik baik (87,5%). Hasil uji statistik menunjukkan adanya hubungan bermakna antara pengetahuan perawat dalam penerapan komunikasi terapeutik pada anak usia prasekolah (p=0,14).

In the communication process accurs the delivery of information, which can be used effective tool in providing nursing care to children. One of the ways to overcome anxiety issues in children was by using therapeutic communication. Therapeutic communication between nurse and child is a collaborative relationship characterized by the exchange of behaviors, feelings, thoughts, experiences in fostering a therapeutic intimate relationship. Purpose: This study is to describe the relationship of nurses’ knowledge in the implementation of therapeutic communication: perceptions of caregivers of preschool-aged Children clients. The sample of this research is a total of 56 respondents who were taken through non-random sampling technique with quota sampling method. Measuring tools in the form of a knowledge and implementation about therapeutic communication questionnaire. Data analysis using Chi-square. This study shows that nurse knowledge (96,43%) and implementation of good therapeutic communication (87,5%). Statictical test result showed a significant relationship between the knowledge of nurses with the implementation of therapeutic communication in children age of preschool in the hospital (p=0,14)."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pramita Nastiti
"Banyak faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kecemasan pasien di ruang rawat ICU, di antaranya pengalaman dirawat di ICU itu sendiri serta lingkungan ICU yang banyak menimbulkan suara dari mesin dan monitor. Selain itu, pasien tidak mampu berkomunikasi secara lisan karena pemasangan endotracheal tube. Ketidakmampuan berkomunikasi ini membuat pasien merasa tidak berdaya, takut, kesepian, dan cemas. Untuk mengurangi dan mencegah kecemasan ini berkembang lebih lanjut adalah dengan menerapkan komunikasi terapeutik pada pasien. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional yang menggunakan purposive sampling dengan 69 responden. Sumber data merupakan data primer yang dikumpulkan peneliti menggunakan kuesioner. Data menggunakan analisa univariat dan bivariat dengan uji chi-square. Hasil penelitian menunjukan gambaran komunikasi terapeutik mayoritas baik (60.9%). Gambaran tingkat kecemasan mayoritras ringan (56.5%). Hasil uji statistic Chi Square di peroleh nilai ? 0,000 (<0,05) artinya ada hubungan antara komunikasi terapeutik dengan tingkat kecemasan pada masa penyepihan ventilator. Komunikasi terapeutik yang diterapkan oleh perawat efektif menurunkan kecemasan pasien dalam masa penyapihan ventilator. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan pasien selama perawatan di ruang ICU.

Many factors can affect the patient's anxiety level in intensive unit, including the experience of being treated in the ICU itself and the ICU environment which generates a lot of noise from machines and monitors. In addition, the patient was unable to communicate verbally because of the endotracheal tube placement. This inability to communicate makes patients feel helpless, afraid, lonely, and anxious. To reduce and prevent this anxiety from developing further is to apply therapeutic communication to patients. The research to be conducted is a quantitative study with a cross-sectional design using purposive sampling with a total sample of 69 respondents. The data source is primary data collected by researchers using a questionnaire. Data analysis used univariate and bivariate analysis with chi-square. The results showed that the majority of the therapeutic communication images were good (60.9%). The description of the level of anxiety of the majority is mild (56.5%). The results of the Chi Square statistical test obtained ? 0.000 (<0.05) meaning that there is a relationship between therapeutic communication and anxiety levels during ventilator withdrawal. Therapeutic communication implemented by nurses is effective in reducing patient anxiety during ventilator withdrawal. Further research is needed to look at the factors that influence the patient's anxiety level during treatment in the ICU.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fanny Wuryanti
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2010
S3582
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Faris Jaisyi Umam
"Diabetes mellitus (DM) tipe II merupakan penyakit kronis yang menjadi masalah
di Indonesia. Prevalensi DM tipe n terbesar berada pada kelompok usia lanjut.
Hal ini dapat menimbulkan berbagai risiko karena DM tipe n berkaitan dengan
teIjadinya sarcopenia; kondisi penurunan massa dan kekuatan otot. Hal ini
mendorong peneliti untuk meneliti tentang hubungan dari DM ripe II pada pasien
lanjut usia dengan Kekuatan Genggam Tangan (KGT) yang mewakili kekuatan
otot tangan. Desain penelitian ini adalah cross-sectional. Sebanyak 164 pasien
usia lanjut poliklinik rawat jalan RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo diikutsertakan dalam penelitian ini. Variabel yang dikumpulkan meljputi penyakit DM tipe II sebagai variabel independen, kekuatan genggam tangan sebagai variabel dependen, serta status nutrisi, usia, hipertensi, dan dislipidemia sebagai
variabel perancu. Kriteria KGT menggunakan kriteria yang ditetapkan oleh Asian
Working Group for Sarcopenia (AWGS). Analisis statistik yang digunakan adalah
anal isis bivariat uji chi square dan analisis multivariat uji regresi logistik. Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 40,9% pasien menderita penyakit DM tipe II sementara pasien dengan kekuatan genggam tangan rendah berdasarkan kriteria sebesar 67,1 % dari total subjek. Pasien dengan DM tipe n yang memiliki kekuatan genggam tangan rendah adalah sebesar 31,7%. Hasil uji analisis bivariat, mendapatkan adanya hubungan yang berrnakna antara penyakit DM tipe n dengan KGT yang lemah (OR, 2,331; 95% CI, 1,154-4,710; p: 0,017). Pada analisis multivariat didapatkan variabel yang memiliki hubungan yang bermakna dengan KGT adalah DM tipe II (OR, 4,052; 95% CI, 1,776-9,245; p: 0,001), status nutrisi (OR, 2,369; 95% CI, 1,155-4,860; p: 0,019), dan usia (OR, 3,338; 95% CI, 1,547-7,203; p: 0,002)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70312
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zahrotun Nihayah
"Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh jawaban tentang hubungan
antara religiusitas dengan kebermaknaan hidup pada pensiunan lanjut usia anggota PWRJL Kotarnadya Malang.
Subyek penelitian di ambil dengan menggunnkan teknik ?fincidental
sampling? yang berjumlah 150 omng responden dengan pria dan wanita yang berusia 65 tahun keatas, berstatus ssbagai anggota PWRI Cabang Kodya Malang dan beragama Islam.
?Religiusitas diukur dengan instmmen berdasarkan teori Glock dan Stark yang telah diadaptasi oleh Juwarini dengan validitas p < 0,05 dan reliabilitas O,S27, ada penambahan item yang telah dikonsultasikan, sedangkan ?Kebermaknaan Hidup? diukur dengan skala makna hidup yang diadaptasikan dari PIL (Purpose in Life) yang disusun oleh Crumbaugh dan Maholick ; 'kedua
alat ukur tersebut telah diuji validitas dan reliabilitasnya.
` Skala ?religiusitas? mclipuli dimensi keyakinan, dimensi pengalaman,
dimensi pengetahuan, dimensi konsekuensi dan dimensi peribadatan. Skala ?kebermaknaan hidup" meliputi dimensi memiliki tujuan yang jelas, memiliki perasaan bahagia, memiliki tanggung jawab, mampu melihat alasan kebcradaan, memiliki kontrol diri dan tidak merasa cemas akan kematian.
Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi positif antara ?religiusitas? dengan ?makna hidup". Kombinasi kelima dimensi religiusitas mernberitkan
kontribusi terhadap makna hidup sebanyak 20,7 %. Ada korelasi yang signifikan antara dimensi religiusitas dengan karakteristik ?memiliki tujuan yang jelas? dari
makna hidup, yaitu, dimensi keyakinan. Ada korelasi yang signifikan antara dimensi religiusitas dengan karakteristik ?memiliki perasaan bahagia" dari makna hidup, dari kelima dimensi religiusitas hanya dimensi pengetahuanlah yang memberikan kontribusi terhadap ?memiliki perasaan bahagia?dari makna hidup.
Ada korelasi yang signifikan antara dimensi religiusitas dengan karakteristik ?memiliki tanggung jawab? dari makna hidup. Dari kelima dimensi religiusitas hanya dimensi keyakinan, pengalaman dan konsekuensi yang memberikan kontribusi terhadap ?memiliki tanggungjawab? dari makna hidup sedangkan yang
memberikan kontribusi terbesar adalah dimensi pengalaman. Ada korelasi yang signifikan antara dimensi religiusitas dengan karnkteristik ?alasan keberadaan"
dari makna hidup akan tetapi keseluruhan dimensi tidak memberikan kontribusi secara signifikan terhadap karakteristik ?alasan keberadaan" dari makna hidup.
Ada korclasi yang signifikan antara dimensi religiusitas dengan karakteristik ?mcmiliki kontrol diri" dari makna hidup, Dari kelima dimensi religiusitas hanya tiga dimensi yang memberikan kontribusi terhadap karakteristik ?memiliki kontrol
diri? dari makna hidup, yaitu dimensi keynkinan, dimensi pengalnman dan dimensi konsekuensi. Dimensi pengalaman membcrikan kontribusi terbesar. Ada korelasi yang signifikan antara dimensi religiusitas dengan karakteristik ?tidak cemas akan kematian" dari makna hidup. Dari kelima dimensi religiusitas hanya
dimensi peribadatan yang memberikan kontribusi secara signifikan terhadap karakteristik ?tidak cemas akan kematian" dari makna hidup.
Sedangkan hasil wawancara kcpada tiga orang subyek, yaitu satu orang
perempuan dan dua orang laki-laki menunjukkan bahwa semua subyck
menjalankan pola hidup yang sehat. dan meningkatkan intensitas kegiatan-kegiatan kerohanian. Semua subyck juga memiliki cita-cita dan tujuan yang jelas dan dengan tercapainya tujuan tersebut menimbulkan perasaan tenang dan bahagia
yang disertai dengan rasa tanggung jawab dan kontrol diri yang baik. Selain itu
semua subyek adalah orang-omng yang pasrah dan ikhlas dalam menerima
kehendak Allah tidak terkecuali kematian sehingga tidak ada perasaan cemas sedikitpun. Keyakinan mereka kepada Allah sangat tinggi, hal ini mempengaruhi mereka dalam menjalani dan menerima kehidupan, mereka merasa puas dan memiliki makna hidup. '
Disarankan kepada lembaga-lembaga baik biro-biro/LSM maupun
departemen-departemen yang memperhatikan lanjut usia hendaknya. mengadakan suatu program untuk memperdalam pemahaman dan pengalaman keagamaan sehingga dapat membantu para lanjut usia dalam menjalani sisa hidupnya dengan tenang dan pasrah. Selain itu hendaknya para lanjut usia meningkatkan keyakinan,
pengamalan, pengetahuan, konsekuensi, dan peribadatan agar dapat mencapai makna hidup yang hakiki.
Temuan lain pada penelitian ini yaitu adanya perbedaan taraf pendidikan responden SLTP dengan PT pada kebermaknaan hidup. Tingkat golongan usia
pensiun terakhir pada lanjut usia berkorelasi secara signifikan terhadap variabel kebermaknaan hidup. Perbedaan jenis kelamin, bekerja kembali atau tidak setelah pensiun, dan status tempat tinggal tidak berkorelasi secara signifikan baik
terhadap variabel religiusitas maupun variabel kebermaknaan hidup.
Dalam penelitian berikutnya hendaknya peneliti lebih memfokuskan pada
penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif serta menyertakan
variabel-variabel psikologis seperti kepribadian, tingkat status sosial, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan' sebagainya. Selain itu peneliti dapat memperbanyak sampel, memperbanyak item dalam instrumen penelitian yang akan digunakan.
"
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>