Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 97208 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Mossadeq Bahri
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
M. Mossadeq Bahri
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
M. Mossadeq Bahri
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Angela Calista
"Jepang sejak pasca Perang Dunia dikenal sebagai negara pasifis. Hal ini terkait Pasal 9 Konstitusi Jepang yang menjadi dasar identitas Jepang. Kebijakan luar negeri Jepang tampak berfokus pada instrumen dan kebijakan ekonomi dalam mencapai kepentingan nasional. Semenjak Shinzo Abe menjabat sebagai Perdana Menteri di tahun 2012, literatur dan media menyoroti perubahan dalam kebijakan luar negeri Jepang yang diawali oleh pengajuan revisi Abe terhadap Pasal 9 sebagai tonggak identitas Jepang. Selain itu, kepemimpinannya turut disoroti sebagai Perdana Menteri dengan masa jabat terlama di Jepang. Untuk menelaah dinamika kebijakan luar negeri Jepang di era kedua Abe, tulisan ini memetakan 44 literatur dalam bentuk artikel jurnal dengan metode taksonomi yang dikategorisasikan ke lima tema utama, yaitu (1) elemen domestik dalam kebijakan luar negeri, (2) hubungan luar negeri Jepang, (3) isu keamanan dalam kebijakan luar negeri Jepang, (4) isu ekonomi dalam kebijakan luar negeri Jepang, dan (5) isu sosial budaya dalam kebijakan luar negeri Jepang. Dari tinjauan kelima tema utama ini, penulis memetakan konsensus, perdebatan, refleksi, dan sintesis untuk menelaah dan memaknai temuan dari persebaran literatur. Literatur-literatur utamanya memperlihatkan kontra terhadap pandangan negatif media massa dan literatur lainnya terhadap Jepang di era kepemimpinan Shinzo Abe. Penulis menemukan bahwa dinamika perubahan yang terjadi dalam kebijakan luar negeri Jepang di era Abe pada periode 2012-2020 dapat dijelaskan oleh faktor geopolitik dan signifikansi Abe sebagai pemimpin negara yang terletak pada peran pengatur proses pembentukan kebijakan luar negeri dalam politik domestik Jepang. Dari temuan tersebut, tulisan ini merekomendasikan beberapa analisis lanjutan dan pentingnya untuk tidak terfokus hanya pada unit analisis struktur ataupun individu, tetapi faktor domestik menjadi signifikan pula untuk dieksplorasi dalam analisis kebijakan luar negeri.

Japan has been known as a pacifist country since the post-World War II period, largely due to Article 9 of the Japanese Constitution, which serves as the foundation of Japan's identity. Japan's foreign policy appears to prioritize economic instruments and policies to pursue national interests. Since Shinzo Abe assumed the position of Prime Minister in 2012, literature and media have highlighted changes in Japan's foreign policy, initiated by Abe's proposal to revise Article 9 as a cornerstone of Japan's identity. Additionally, his leadership has been noted for being the longest-serving Prime Minister in Japan. To examine the dynamics of Japan's foreign policy in Abe's second era, this paper maps 44 literature pieces in the form of journal articles, using a taxonomy method categorized into five main themes: (1) domestic elements in foreign policy, (2) Japan's foreign relations, (3) security issues in Japan's foreign policy, (4) economic issues in Japan's foreign policy, and (5) socio-cultural issues in Japan's foreign policy. From the review of these five main themes, the author identifies consensus, debates, reflections, and syntheses to analyze and interpret the findings from the distribution of literature. The main literature shows contrasting views against the negative perceptions of mass media and other literature towards Japan during Shinzo Abe's leadership. The author finds that the dynamics of change in Japan's foreign policy during Abe's era from 2012 to 2020 can be explained by geopolitical factors and Abe's significance as a leader shaping foreign policy processes in Japan's domestic politics. Based on these findings, this paper recommends several further analyses and emphasizes the importance of not solely focusing on structural or individual units of analysis, but also exploring domestic factors in foreign policy analysis."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Gunawan
"Dalam tesis ini, penulis bermaksud menjelaskan "Kebijakan Luar Negeri Jepang terhadap Asia Tenggara pada Era Fukuda (1976-1978)". Tema ini amat menarik penulis mengingat kebijakan luar negeri terhadap Asia Tenggara yang diformulasikan oleh Perdana Menteri Jepang, Takeo Fukuda beserta para pembantunya merupakan dasar hubungan antara Jepang dengan ASEAN sebagai organisasi regional. Di samping itu, penulisan ilmiah mengenai proses pembuatan kebijakan luar negeri Jepang terhadap Asia Tenggara dengan menggunakan analisa kognitif terhadap aktor-aktor birokrasi maupun politisi amat jarang ditemukan. Sebagian besar studi mengenai kebijakan luar negeri Jepang lebih menekankan pada aspek implikasi kebijakan maupun strategi negosiasi.
Dengan menggunakan kerangka pemikiran Allison mengenai pendekatan bureaucratic politics, tipologi hubungan antara politisi dan birokrat dari Yasunori Sone dan kerangka teori Coplin mengenai bureaucratic influencer pada proses pengambilan keputusan, penulis mencoba menguraikan proses pembuatan kebijakan luar negeri Jepang terhadap Asia Tenggara. Ditunjang oleh teori kognitif Harold dan Margareth Sprout, Steinbruner serta Goldman mengenai, ideo-sinkretik, penulis menganalisis karakter individual para aktor yang terlibat dalam formulasi kebijakan luar negeri Jepang tersebut.
Tesis ini merupakan penelaahan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Data penelitian diperoleh melalui pengumpulan data kepustakaan serta data yang berasal dari otobiografi dan dokumen resmi pemerintah Jepang.
Hasil penelitian terhadap proses pembuatan kebijakan era Fukuda menunjukkan bahwa keberhasilan formulasi kebijakan dimaksud dipengaruhi oleh hubungan yang erat antara para birokrat dari Kementrian Luar Negeri Jepang (Gaimusho) dengan para politisi, khususnya Perdana Menteri Takeo Fukuda. Dapat dikatakan bahwa pola pembuatan kebijakan politik luar negeri Jepang bersifat elitis yang merupakan hasil kerjasama antara politisi dan birokrasi. Salah satu manfaat yang dapat dipetik dengan membaca tesis ini adalah proses rekrutmen birokrasi maupun politisi yang baik pada sistem birokrasi dan sistem politik dapat menghasilkan birokrat dan politisi yang profesional dan berkualitas."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T1964
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Mossadeq Bahri
"ABSTRAK
Untuk saat ini, karena Jepang telah diterima dan diakui sebagai salah satu anggota dari kelompok negara adidaya dan maju, maka adalah penting baginya untuk terlibat dan bersaing dengan negara adidaya lain dalam kerangka dunia yang dikuasai dan diperintah oleh aturan dari negara-negara Barat. Oleh karena itu, sebagai partisipan baru dalam masyarakat internasional (setelah 1952, perjanjian San Fransisco) Jepang harus banyak belajar dari Barat dalam menjalankan kebijakan hubungan budaya antar bangsanya, terlebih lagi pada akhirnya, menciptakan gaya dan caranya sendiri.
Sepanjang menyangkut hubungan budaya antar bangsa yang Jepang jalankan, kita melihat bahwa strategi yang diambil adalah menjalankan kebijakan hubungan budaya antar bangsa yang menyeluruh sifatnya. Dalam hal ini, wilayah yang tercakup adalah menyebar untuk seluruh penjuru dunia. Meskipun. demikian, Jepang tetap juga menjadi daerah Asia Timur, Asia Tenggara, Amerika Utara dan Eropa Barat sebagai tempat strategis bagi program hubungan budaya antar bangsanya. Hal ini bisa dimengerti, sebab wilayah ini merupakan partner dagang Jepang yang paling utama.
Ide dari berbagai program dan kegiatan yang dijalankan Jepang dalam hubungan budaya antar bangsa ini pada dasarnya bisa dilihat dari Laporan Akhir Komite Penasehat Hubungan Budaya Antar Bangsa pada bulan Mei 1989. Laporan final inilah yang menjadi rambu atau pedoman bagi Jepang dalam menciptakan kebijakan guna menjalankan hubungan budaya antar bangsa. Dengan demikian, bagi Jepang, hubungan budaya antar bangsa merupakan aktifitas yang diakui sebagai alat untuk mempertahankan keberadaan nasionalnya. Hubungan budaya antar bangsa yang tercipta ini beroperasi dalam berbagai cara, seperti jaringan uang, jaringan barang dan jaringan informasi.

ABSTRACT
Because Japan in contemporary history was accepted and admitted as a member of powerful and advanced industrialized countries, it was important for her to get involved and to compete with other powers in a situation wherein the rules were established by the Western industrialized countries. Therefore, as a new participant in the international community she had to learn the way to conduct cultural relations and eventually develop her own approach.
As far as cultural relations between Japan and other countries is concerned, we note that the strategy of her cultural relations was its wide-ranging geographical area coverage. However, Japan have choosen to focus on the strength of her cultural relations towards certain regions that serve her economic interests, namely, Southeast Asia, Western Europe, North America and East Asia. This situation can readily be understood because these regions are part of the major trading partners for Japan.
The idea that culture is important for Japan's foreign policy can be seen from the policy statements of the Advisory Group on International Cultural Exchange in May 1989. The Committee issued its final report describing a guide-line Japan is expected to follow in promoting her international cultural relations. Therefore, for Japan, international cultural relations is an activity that is recognised to sustain its national well-being. The exchanges in operating cultural relations are composed of various flows, e.g. flow of goods, money, and the flows of information."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
S5841
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Wibawarta
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Lis Riana Dora M.P.
"ABSTRAK
Sejak pembentukan negara Republik Rakyat Cina (1949), kebijakan Cina terhadap Korea sangat dipengaruhi oleh pertimbangan keamanan. Cina memandang Korea Utara sebagai wilayah penyangga antara dirinya dengan kekuatan-kekuatan lain, seperti: Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan dan Uni Soviet. Dalam masa Mao Zedong, kebijakan luar negeri Cina di Semenanjung Korea dipusatkan pada Korea Utara dan tidak menjalin hubungan dengan Korea Selatan. Berdasarkan politik dan ideologi, Cina memihak Korea Utara menentang Korea Selatan yang didukung Amerika Serikat dan Jepang. Berbeda dengan Mao, di bawah pimpinan Deng Xiaoping, Cina menjalin hubungan ekonomi secara informal dengan Korea Selatan pada tahun 1980-an. Selanjutnya dalam era pasca-Perang Dingin, tepatnya pada tanggal 24 Agustus 1992, Beijing menormalisasi hubungan diplomatik dengan Seoul. Namun, hal ini bukan berarti bahwa Cina meninggalkan Korea Utara. Beijing tampak berusaha memelihara hubungan baik dengan Pyongyang. Dengan menggunakan pendekatan keterkaitan antara faktor-faktor internal dan eksternal yang dikemukakan Samuel S. Kim, skripsi ini berusaha menjelaskan pelaksanaan kebijakan luar negeri Cina di Semenanjung Korea dalam era pasca- Perang Dingin (1989-1994), termasuk sikap Cina terhadap tiga isu penting di kawasan itu, yakni: nuklir Korea Utara, unifikasi Korea, dan masa depan Korea Utara. Ada beberapa faktor internal yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Cina di Semenanjung Korea, yaitu: kepemimpinan dan elite; kepentingan ekonomi; serta kepentingan politik dan keamanan. Sedangkan faktor-faktor eksternal utama yang mempengaruhi kebijakan Cina tersebut ialah normalisasi hubungan Cina-Soviet, serta jatuhnya rezim-rezim komunis di Eropa Timur dan runtuhnya Uni Soviet (berakhirnya Perang Dingin); serta hubungan Cina dan Amerika Serikat. Pembahasan permasalahan juga dikaitkan dengan tulisan Kenneth Lieberthal, A. Doak Bamett, Hans J. Morgenthau, Susan Shirk, dan William T. Tow."
1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Namzariga Adamy
"Tesis ini menggunakan perspektif realis untuk mengkaji fenomena kebijakan peacekeeping operation Jepang di Kamboja. Perspektif ini memberikan asumsi-asumsi common sense mengenai bagaimana politik internasional dan masalah masalah strategis dapat dianalisa dan diuji. Asumsi-asumsi common sense ini mencakup konsep bahwa perusahaan tidak dimungkinkan dalam sistem internasional. Sebagai suatu teori dalam hubungan internasional dan sebagai pandangan dunia dari para pembuat kebijakan, Realisme menekankan pada kekuatan (power) dan kepentingan nasional (national interest); memberikan suatu pandangan yang pada dasarnya konservatif dan pesimis terhadap hubungan internasional; dan yang paling penting, menekankan pada agenda keamanan nasional (national security) dari negara, serta perlunya kemampuan militer (military capability) dan suatu perimbangan kekuatan (balance of power) sebagai elemen utama dalam memelihara stabilitas politik internasional. Meskipun terdapat perbedaan interpretasi dan bahkan perdebatan diantara para penganut realis, mereka akan berpendapat bahwa paradigma ini mendasarkan pada beberapa asumsi pokok, yaitu: (1) konsekuensi dari sistem internasional yang anarkhi adalah bahwa tidak adanya otoritas utama yang dapat memaksakan penggunaan kekuatan atau menjamin perlindungan dari ancaman negara lain; (2) negara merupakan aktor utama (state actor) dalam politik internasional; (3) tujuan utama negara adalah keamanan (security), dan karena itu motif utama yang mendasari perilakunya adalah mempertahankan atau mempertinggi kekuatan relatifnya terhadap negara lain; (4) kebijakan luar negerinya didasarkan pada adanya ancaman-ancaman dan kesempatan-kesempatan dari lingkungan eksternalnya. Sehingga sistem internasional merupakan faktor yang menentukan dalam perilaku suatu negara dibanding karakteristik domestiknya; dan (5) para pemimpin negara merupakan aktor rasional (rational actor).
Perspektif Realis akan digunakan dalam tesis ini untuk menganalisa perkembangan kebijakan luar negeri Jepang pasea Perang Dingin dan menjelaskan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Jepang membuat kebijakan untuk berpartisipasi dalam peacekeeping operation PBB di Kamboja serta peran apa saja yang dilaksanakan Pasukan Bela Diri Jepang dalam misi peacekeeping operation di Kamboja.
Dengan dipicu oleh peristiwa Perang Teluk, Jepang melakukan reorientasi terhadap kebijakan luar negerinya dan mengirim Pasukan Bela Dirinya untuk berpartisipasi dalam PKO PBB di Kamboja. Peristiwa ini merupakan peristiwa yang sangat penting karena ini merupakan pertama kalinya Pasukan Bela Diri Jepang dikirim ke luar negeri sejak Perang Dunia II. Kebijakan Jepang untuk mengirim Pasukan Bela Dirinya ke luar negeri dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Perubahan lingkungan regional, pengurangan peran Amerika Serikat, tekanan Amerika Serikat, perubahan persepsi ASEAN, serta adanya dorongan ASEAN bagi Jepang untuk mereposisi kebijakan luar negerinya merupakan alasan-alasan yang terkait dengan struktur internasional. Selain itu faktor domestik juga mendorong kebijakan PKO Jepang, yang ditandai dengan adanya perubahan sikap publik Jepang pasca Perang Dingin, reinterpretasi terhadap Konstitusi khususnya Pasal 9, dan keinginan Jepang untuk mendapatkan kursi permanen dalam Dewan Kewan Keamanan PBB.
Pengesahan UU PKO memberikan kesempatan bagi Pasukan Bela Diri Jepang mengalami perluasan peran. Namun UU tersebut juga disertai dengan batasan-batasan terhadap keterlibatan Pasukan Bela Diri Jepang dalam PKO PBS. Batasan-batasan tersebut dibuat agar peran Jepang dalam PKO tidak melanggar Konstitusi Jepang. Selain itu juga untuk meyakinkan negara-negara lain bahwa keterlibatan Jepang dalam PKO di Kamboja bukan merupakan awal dari bangkitnya kembali militerisme Jepang.
Kesimpulan dari tesis ini menunjukkan bahwa kebijakan PKO Jepang merupakan salah satu keinginan Jepang untuk berupaya menghilangkan persepsi lama di Negara-negara Asia Tenggara khususnya bahwa pengiriman Pasukan Bela Dirinya bukan merupakan ancaman dan bukan awal dari. bangkitnya militerisme Jepang. Selain itu kebijakan PKO tersebut juga merupakan salah satu upaya Jepang untuk menjaga kepentingan nasionalnya di kawasan tersebut.
Daftar Pustaka: 32 buku, 34 jurnal, 10 terbitan khusus, 8 media massa, 5 website, 3 lampiran."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13882
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>