Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2521 dokumen yang sesuai dengan query
cover
A.M. Hermina Sutami
"Huruf han berbeda dengan huruf latin. Dalam aksara latin setiap graf bersifat fonetis, yaitu mewakili bunyi tertentu. Misalnya graf a mewakili bunyi vokal [a], graf [b] mewakili bunyi vokal [b]. Karena itu kita dapat membentuk sebuah kata dengan merangkaikan graf-graf yang ada.
Berbeda dengan aksara latin, aksara Han--aksara yang dimiliki bangsa Han, merupakan aksara resmi di RRC dan Taiwan--tidak bersifat fonetis. Huruf Han terjadi dari sejumlah guratan yang tidak dapat menunjukkan bunyi. Dengan kata lain, aksara Han tidak bersifat fonetis tetapi morfemis.
Karena terdiri dari sejumlah guratan, membuat sebuah graf tidak jauh berbeda dengan membuat sebuah gambar. Pada waktu kita membuat sebuah gambar misalnya gambar orang, tidak ada aturan khusus bagian mana yang harus terlebih dahulu digambar. Kita dapat mulai dari kepala atau tangan atau bagian lainnya, yang penting pada akhirnya gambar tersebut akan berupa orang. Apakah hal itu berlaku sama untuk membuat huruf Han? Apakah boleh menggoreskan alat tulis semaunya saja, yang penting pada akhirnya tercipta huruf yang mirip dengan yang ditiru. Apakah tidak ada aturan guratan mana yang lebih dulu digoreskan dan mana yang mengikutinya, bagaimana cara menuliskannya, apakah ada aturan mengenai arah guratan, apakah guratan itu tersebut mewakili ide tertentu, dan sebagainya. Secara singkat, pertanyaan pokok adalah apakah ada kaidah tentang huruf, sehingga bila orang sudah menguasai kaidah tersebut tentu dapat menuliskan huruf yang belum pernah dilihatnya.
Penelitian ini diadakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, yaitu memberikan kaidah tentang jenis huruf, struktur huruf, jenis guratan dasar beserta variasinya, dan arah guratan. Metode yang medasari penelitian ini adlaah metode kepustakaan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada sejumlah kaidah untuk menulis huruf Han. Pertama, struktur terbentuknya huruf Han, misalnya atas bawah, kiri kanan, luar dalam. Kedua, jenis guratan dasar beserta variasinya dan arah menggoreskan guratan-guratan tersebut. Ketiga, kepastian tentang guratan misalnya bersilang atau tidak, menembus atau tidak, ada titik atau tidak. Bila kaidah diatas dikuasai dengan baik, maka huruf apapun yang ditemukan akan dapat ditulis dengan betul."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Depok: Fakultas sastra UI, 1984
410 DAS
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
[Depok]: Fakultas sastra UI, 1990
410 DAS
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 1996
S26960
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aitchison, Jean, 1938-
London: Hodder & Stoughton, 1992
410 AIT l
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Verhaar, J.W.M.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1990, c. 1982
410 VER p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sudaryanto
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992
410 SUD m (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
New York: St. Martin's Press, 1997
410 CON
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhayati
"Keaspekan merupakan salah satu makna kewaktuan yang bersifat semesta. Baik bahasa beraspek maupun bahasa takberaspek mampu mengungkapkan makna keaspekan tersebut. Keterkaitan antara keaspekan dan makna kewaktuan lain, yaitu keaksionalan dan kekaiaan, menyebabkan banyak ahli bahasa merumuskan ketiga konsep tersebut secara tumpang tindih. Di satu kelompok mereka merasa tidak perlu memisahkan keaspekan dan keaksionalan (lihat Verkuyl 1993), sementara kelompok lain berpendapat bahwa keaspekan, keaksionalan, dan kekaiaan harus diperlakukan sebagai konsep yang terpisah (lihat Bache 1997).
Penelitian ini bertujuan meneliti kesemestaan konsep keaspekan, khususnya keimperfektifan, dengan berpijak pada pendapat yang menyatakan bahwa keaspekan harus dipisahkan dari keaksionalan dan kekalaan meskipun ketiganya berhubungan sangat erat. Ancangan tersebut acapkali disebut sebagai ancangan komposisional.
Dengan menggunakan ancangan tersebut, kita dapat menentukan makna dasar keaspekan dan makna yang dihasilkan dari interaksi antara keaspekan, keaksionalan, dan kekalaan. Sifat kesemestaan tersebut diuji dengan menggunakan metode analisis kontrastif, yaitu membandingkan dua bahasa yang sistem pengungkapan keimperfektifannya berbeda. Kedua bahasa itu ialah bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Bahasa Inggris adalah contoh bahasa beraspek. Dalam mengungkapkan keimperfektifan, bahasa tersebut mempunyai peranti gramatikal yang berupa bentuk progresif, yaitu be-ing yang melekat pada predikat verba. Sementara itu, bahasa Indonesia adalah contoh bahasa takberaspek. Untuk mengungkapkan keimperfektifan, penutur bahasa Indonesia menggunakan pemarkah leksikal tertentu.
Penggunaan novel berbahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagai data didasari oleh kesistematisan pengungkapan keimperfektifan dalam bahasa Inggris, sementara dalam bahasa Indonesia, pemarkahan keimperfektifan yang sistematis, setahu saya, belum dirumuskan. Berdasarkan fakta tersebut, penelitian ini juga mempunyai tujuan menemukan pemarkah pemarkah yang berpotensi mengungkapkan keimperfektifan dalam bahasa Indonesia, serta merumuskan persamaan dan perbedaan sistem pengungkapan keimperfektifan tersebut.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa secara konseptual, bahasa Indonesia mampu mengungkapkan makna dasar keimperfektifan serta maka hasil interaksi antara keaspekan, keaksionalan, dan kekalaan yang terdapat dalam metabahasa dan dalam bahasa Inggris. Perbedaan sistem pengungkapan yang ditemukan disebabkan oleh perbedaan fungsi pragmatis antara dua bahasa tersebut. Di dalam bahasa Inggris, persesuaian antara bentuk progresif dan pemunculan elemen-elemen tertentu menentukan kegramatikalan suatu kalimat atau klausa. Sebaliknya, jika elemen-elemen yang mengimplikasikan keimperfektifan muncul dalam kalimat/klausa bahasa Indonesia, pemarkah keimperfektifan tidak harus diungkapkan secara eksplisit. Kesan bahwa penutur bahasa Indonesia merasa tidak perlu menggunakan alat keaspekan dalam berkomunikasi disebabkan oleh keleluasaan penutur dalam mengungkapkan situasi secara netral. Dalam bahasa Inggris, penutur jarang mengungkapkan situasi secara netral karena penggunaan bentuk verba simpleks atau progresif menghasilkan tafsiran pemfokusan situasi tertentu atau menghasilkan tafsiran penggambaran situasi yang legap. Oposisi bentuk verba simpleks vs. verba progresif dengan kala kini menghasilkan oposisi makna keimperfektifan vs. kehabitualan, sedangkan oposisi bentuk verba simpleks vs. verba progresif dengan kala lampau menghasilkan oposisi makna keimperfektifan vs. keperfektifan.
Perbedaan lain disebabkan oleh sifat pertelingkahan antara pemarkah keimperfektifan dengan elemen-elemen lain yang berbeda antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Di dalam bahasa Inggris, kata still atau always dapat berkombinasi dengan predikat verbal berbentuk progresif, sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata masih atau selalu harus berkombinasi dengan bentuk predikat simpleks. Sebaliknya, di dalam bahasa Indonesia, pemarkah keimperfektifan dapat berkombinasi dengan predikat nonverbal, sedangkan di dalam bahasa Inggris, tipe kombinasi itu hampir tidak ditemukan.

Aspectuality is one of the universal temporal-meanings found both in an aspect language and in a nonaspect language. The other temporal meanings are actionality and temporality. They are realized grammatically or lexically. The three meanings interact closely to express a situation perceived by the lectionary agent in a sentence or a clause. The close relationship has caused some grammarians conceive aspect and tense as the same concept (Comrne 1976:1). Other grammarians such as Lyons (1977), Alive (1992), and Verkuyl (1993) have also conceived the concept of aspectuality and actionality as one concept with different realizations.
Beside the two groups, there are other grammarians such as Brinton (1988), Smith (1991), and Bache (1997) that have treated actionality and aspectuality as different concepts, Their argument was aimed to solve the problem of the confusing definitions of aspect and Aktionsart. Bache (1997:12) even said that aspect, action, and tense should be kept distinct as separate categories.
This research aimed at proving that the features of the universal concept of aspectuality, especially imperfectivity can be expressed in a non-aspect language. This research is based on the notional approach that differenciates aspectuality from actionality and temporality in a sentence. The three meanings interact thightly. By using that approach, we could establish the basic meaning of aspectuality and meanings derived from the interaction among aspectuality, actionality, and temporality of object languages.
To analize the universal meanings, I contrasted two object languages, English and Indonesian, which have different systems of expressing imperfectivity. English is an example of an aspect language. It has a grammatical form to express imperfective meaning. That form is be-ing embedded in a verbal predicate. In contrast, Indonesian is one of the nonaspect languages. It expresses the imperfective meaning by using certain lexical markers.
The data contrasted consist of some English sentences and their translations in Indonesian, I chose the type of the data because I assumed that imperfectivity is expressed systematically in English, whereas, as far as I know, the system of expressing imperfectivity in Indonesian has not been established systematically. Based on the fact above, the aim of this research is also to find out the potential imperfective marker of Indonesian. By finding out the markers, we could describe the similarities and the differences of the two systems. The result could be used as a test frame to prove whether Indonesian sentences or clauses theoretically containing the imperfective markers are always translated into English by using progressive form.
One of he findings of the research showed that Indonesian could express both the basic imperfective meaning and their interactional meaning as English does. The different system of expressing imperceptivity is as a result of the different feature of grammaticality and pragmatically function between the two languages. In English, the concord relation between the progressive form and the occurrence of the other Imperfectives, Meaning, English Language, Indonesian Language, Aspectuality, Novel, Translations, 1999.
LINGUISTICS
sentential elements concerns the grammatical acceptability of a sentence. On the contrary, the imperfective markers in Indonesian could be expressed explicitly or implicitly whenever there are other elements that imply the imperfective meaning.
An opinion that Indonesian speakers do not need aspectual markers in an act of communication is due to the fact that generally they express a situation without focusing on a particular situation. In English, it is difficult to get examples of expressing a situation without giving a certain focus.
The other difference concerns the different incompatibility of the imperfective markers and other sentence elements between English and Bahasa Indonesia. In English, we could combine adverbs still or always with the progressive verb. In bahasa Indonesia, the words masih and selalu are usually incompatible with an imperfective marker such as sedang. In Indonesian, we could combine the imperfective markers such as sedang, masih, and lagi with a nonverbal predicate, whereas we have hardly ever found the combination in English."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irzanti Sutanto
"Verba-verba berkata dasar sama yang mendapat gabungan afiks meN-i atau meN--kan (contoh: menulari-menularkan, melandasi-melandaskan, memayungi-memayungkan, dll.) tidak selalu jelas perbedaan maknanya sehingga menimbulkan pertanyaan: Apakah pasangan verba semacam itu bermakna sama atau berbeda? Kriteria apa yang menentukan persamaan dan perbedaannya?
Tujuan utama penelitian ini adalah mengidentifikasi kriteria persamaan dan perbedaan antarverba berkata dasar sama dengan gabungan afkis meN-i atau meN-kan selain, menginventaris kata dasar yang dapat bergabung dengan kedua afiks tersebut serta mendata makna kedua afiks tersebut yang tersebar pada beberapa tulisan.
Penelitian ini bersifat kualitatif. Objek penelitian adalah pasangan verba dengan afiks meN-i dan meN- kan; sedangan unit analisis adalah konteks (minimal kalimat) yang mengandung verba-verba tersebut. Karena sasaran penelitian adalah makna pasangan verba tersebut, analisis dilandaskan pada konsep-konsep semantis.
Hasil analisis memperlihatkan bahwa ada verba berkata dasar sama dengan afiks meN-i dan meN--kan yang (1) bermakna sama, ada yang (2) bermakna berbeda dengan kriteria tertentu, ada pula yang (3) bermakna berbeda tanpa kriteria.
Pada kelompok (1) dan (3), seolah-olah afiks meN-i dan meN-kan kehilangan maknanya. Verba yang terbentuk membentuk makna tersendiri. Pada kelompok (3) pasangan verba terkait secara semantis hanya oleh makna kata dasarnya saja. Pada kelompok (2), perbedaan ditentukan oleh makna afiks, kolokasi (peran semantis: benefaktif, sasaran, lokatif, alat) atau aspek luar bahasa (bergerak atau tidak bergeraknya unsur yang berfungsi objek).
Pengelompokan verba objek penelitian ini diharapkan dapat menjawab sebagian kebingungan para penutur bahasa Indonesia, terutama para pengajar bahasa Indonesia.
Bagian lain yang belum terjawab adalah: mengapa terjadi persamaan atau perbedaan dengan kata dasar tertentu? Mengapa ada pasangan verba yang berbeda maknanya, tetapi tidak memperlihatkan ciri-ciri seperti kelompok (2). Hal ini perlu diteliti lebih lanjut."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>