Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 200014 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Kiranya sudah cukup banyak karya tulis tentang Negara
Pasudan di Jawa Barat pada masa revolusi Indonesia. Makalah
ini berusaha memperlihatkan bagaimana dan mengapa sikap dan
tindakan Suria kartalegawa dengan Negara Pasundan-nya. Karya-
karya tulis yang pernah ada mengenai topik ini, pada umumnya
melihat revolusi Indonesia atau periode perang kemerdekaan
dalam aliran lurus satu arah menuju negara kesatuan. Terhadap
figur~figur yang pernah menunjukkan aspirasinya untuk memilih
bentuk negara federal, sceksklusif sekalipun seperti
diperlihatkan Kartalegawa, tidak mendapat kajian dari titik
tolak mercka. Padahal revolusi Indonesia telah memperlihatkan
kekacauan dan gejolak sosial.
Dipandang dari perspektif seperti di atas periode itu
harus sudah setayaknya dilihat dengan kerangka analisis
adanya" pilihan" dan "pe|uang". Semcntara itu kedua hai itu
sangat ditentukan oleh sejumlah dasar pertimbangan atau
perhitungan yang tidak mudah untuk dilakukan. Siapapun yang
melakukan hal itu hampir dapat dipastikan didasarkan oleh
pengetahuan yang terbatas. oleh nilni aspirasi dan kecemasan
dan perasaan di luar kemampuan dan pengetahuannya. Apalagi
ketika masa revolusi ditandai oleh peristiwa-peristiwa yang
dipercepat oleh emosi dengan intensitas tinggi, malahan
sering di Iuar pengendalian para pemimpinnya scndiri.
Dalam kurun waktu scperti itulah kajian tentang
Kartalegawa ingin dikcmukakan. Bukan oleh knrena kits
menyetujui atau tidak menyetujui sikap dan tindakannya,
melainkan mampukan kita memahami dan menjelaskan mengepa hal
itu terjadi. Pencarian suanu kerangka penjeiasan untuk
menjelaskan interaksi antara tindakan individu dengan
strhktur-struktur masyarakatnya kiranya perlu dilakukan. Ada
sejumlah peristiwa yang dialami Kartalegawa sehingga in
memilih tidak mendukung republik kesatuan, disamping tidak
mudahnya bagi Kartalegawa untuk keluar dari struktur
masyarakat kolonial, tempat ia dibesnrkan dan dimudahkan oleh
berbagai kescmpanan kariernya. Ia kurang menangkap bahwa
struktur sedang mengalami perubahan setidaknya ketika
slruktur pulilik sedang bergulir dari jaluhnya hegemoni
politik kolonial (Belanda) ke pemerintahan Republik
Indonesia. Dan in memegang taruhan pada "kuda? yang lerbukti
akan kalah"
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
LAPEN 04 Zuh s
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Jayadi Nas
"Tesis ini memhahas tentang aspek politik dalam rekrutmen Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah_ Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui aspek politik dalam rekrutmen pengumpulan data dengan wawancara mendalam (indepth interview) dan analisis data kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek politik dalam rekrutmen Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kota Depok Propinsi Jawa Barat Tahun 2000 memilikl pengaruh yang dominan. Hal ini dapat dilihat dari pemakaian kekuasaan dan pengaruh oleh Pemerintah, Partai Politik, DPRD, dan masyarakat setempat.
Dengan kekuasaan dan pengaruh yang dimiliki Pemerintah, Pattai Politik, dan DPRD Kota Depok menetapkan kebijakan dan melaksanakan pencalonan dan pemilihan Kepala Daera dan Wakil Kepala Daerah Kota Depok. Konsekuensinya, aspirasi politilk masyarakat setempat diabaiKan dan kurang memiliki pengaruh yang signifikan.
Mengenai kebebasan dan kemandirian DPRD Kota Depok dalam rekrutmen Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kota Depok , hasil penelitian menunjukkan bahwa DPD Koa Depok rang bebas dan mandiri. Ada tiga faktor yang menyebabkan. Pertama, masih terlalu dominannya Pemerintah didalam menentukan kebijakan yang pada esensinyadapat ditentukan sendiri oleh DPRD bersangkutan. Kedua, campur tangan partai politik yang sangat dominan. Ketiga, keterbatasan kemampuan dan pengalaman anggota DPRD Kota Depok"
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T5038
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anto Dwiastoro Slamet
"Aksi-aksi gerilya dan anti-gerilya dari dua kekuatan yang bertarung merebut dominasi tidak bisa dilepaskan dari sebuah perang revolusioner. Fenomena demikian turut mewar_nai perjalanan sejarah Perang Kemerdekaan RI (1945-1949). Aksi-aksi gerilya RI, bagaimanapun, menampilkan suatu kecenderungan unik, yakni aspek pertempuran yang merupakan sisi yang tidak terlalu menonjol ketimbang aspek psikologis yang diwujudkan sebagai sebuah senjata nasional. Perbenturan senjata-senjata psikologis antara RI dan Belanda tampaknya menjadi dampak sampingan dari kegagalan--kegagalan di bidang strategi militer dan diplomasi. Perang urat-syaraf lantas menggeser dan menempatkan dirinya sebagai medium alternatif yang membelah perbedaan-perbedaan kepentingan antara penomorsatuan diplomasi atau, sebalik_nya, mengutamakan konflik bersenjata."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1993
S12114
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudi Fachrudin
"Disepanjang hidupnya Divisi bambu Runcing (DBR) menolak perundingan-perUndingan diplomatik sebagai cara menyelesaikan revolusi Indonesia. Mereka melihat bahwa cara ini membutuhkan sikap yang terbuka untuk bekerja sama dengan Belanda yang sedang berusaha merestorasi ponjajahannya di Indonesia. Tapi pada saat yang sema DBR menganggap bahwa sikap ini sama halnya dengan menerima Belanda di Indonesia. Karenanya, DBR mempersalahkatn strategi diplomasi sebagai jalan yang menyalahi prinsip-prinsip revolusi nasionalis. Bagi DBRBelanda hanya harus dihadapi dengan perlawanan yang tanpa kompromi. Untuk ini DBR melancarkan aksi-aksi gerilyanya selama revolusi di beberapa bagian Jawa Barat, sejak pembentukannya di akhir Juli 1947 hingga Oktober 1749. Sebab Jawa Barat juga menjadi daerah yang berhasil direbut Belanda, yang kemudian di_absahkan lewat perundingan-perundingan yang dilakukannya dengan pemerintah Republik. Sementara aksi gerilya DBR ditujukan agar Belanda terusir dari Jawa Barat, dalam rangka keseluruhan impian DBR untuk mewujudkan sebuah negara Republik yang tak berkonsesi apapun kepada Belanda.pada saat yang sama DBR pun menjadi penentang pemerintah Republik yang te1ah menempuh kebijaksanaan diplomasi. DBR mempersalahkan bahwa, akibat-akibat kebiiakan-kebilakan yang disepakati pemerintah Republik guna menghadapi Belandalah yang menyebabkan Belanda dapat menguasai Jawa Barat. Bahkan, karena Pemerintah Republik tak ambil perduli dengan penentangan ini, DBR kemudian ikut serta dalam gerakan pemerintahan sebagai tandingan atas pemerintah Republik di Yogyakarta.Namun hambatan dan tantangan yang dihadapi DBR dalam perjuangannya ternyata lebih besar dan berat dari_pada kemampuan dan semangat yang dimilikinya. Belanda tak apat ditandingi secara militer ikap menetang DBR erhadap pmerintah Republik: kemudian membawa DBR untuk berhadapan kesatuan Siliwangi yang mendukung tindakan perundingan-perundingan. Apalagi pada akhirnva DBR sendiri menghadapi dari dalam tubuhnya sendiri.mampukah DBR mencapai tujuan-tujuan perjuangannya?"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
S12404
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kurnia Warman, 1971-
Jakarta: KITLV, 2010
340.57 KUR h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Tonggo Uli Yusmaniar
"Tesis ini membahas proses pengorganisasian yang terjadi di Organisasi Tani Lokal Serikat Petani Pasundan (OTL SPP) di Desa Sagara. Termasuk membahas berbagai tantangan yang dihadapi organisasi dan bagaimana mereka menemukan penyelesaikannya. Penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan studi kasus di desa Sagara yang menggunakan metode wawancara mendalam dan diskusi.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pengorganisasian bukanlah proses yang liner tapi proses saling saling terkait dan dapat berjalan bersamaan yang berlangsung berulang dan terus menerus, yang tidak boleh berhenti karena jika tercapai tujuan yang satu, tujuan yang lain sudah menanti. Berbagai faktor yang mempengaruhi mobilitas organisasi harus dikelolah dengan baik.
Hasil penelitian menyarankan SPP untuk memperbaiki keorganisasiannya secara menyeluruh dan menjalankannya sesuai dengan kesepakatan yang dibuat.

This thesis studies about organizing process which happen at Pasundan Peasant Alliance generally and especially at Local Peasant Organization of Sagara. Including of the challenges which faced by the organization and how the handle and solve it. This research use qualitative research of Sagara village case study which use in depth interview and discussion.
The result of this research is that organizing is not a liner process but processes which related one an another and also can run in the same time, repeatedly and continuously which shouldn’t stop because if one purpose had reached, other objectives are waiting. Factors that influence organizing mobilization must be managed well.
Research results suggest Pasundan Peasant Alliance reorganize their whole organization in holistic and implement as agreement that they had made.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T35438
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Hayuni Wulandari
"Sejarah Indonesia bisa dikatakan bercorak androcentric, narasi tentang masa lalu di Indonesia hanya berpusat di sekitar kegiatan laki-laki. Sementara itu, studi tentang perempuan masih terbatas dan didominasi dengan tema pemberdayaan perempuan atau gender mainstreaming bukan women history yang lebih mengutamakan perspektif feminisnya daripada gender. Maka dari itu, penelitian ini akan membahas tentang pemberdayaan perempuan pada masa Pendudukan Jepang melalui Fujinkai.
Masalah yang dibahas adalah bagaimana negara mengubah Fujinkai menjadi mesin politik dalam memobilisasi kekuatan rakyat selama masa perang dengan menggunakan ideologi negara pada feminis Jepang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan perspektif baru tentang Fujinkai yang berbeda dengan penelitian sebelumnya, yaitu cara otoritas selama pendudukan Jepang menggunakan ideologi. Dalam kasus ini, ideologi negara tentang feminisme Jepang diinternalisasi dan diimplementasikan ke Fujinkai untuk membangun kekuatan masyarakat di daerah pendudukan di Jawa untuk mendapatkan kemenangan dalam Perang Asia Timur Raya.
Teori yang digunakan dalam memahami isu penelitian ini adalah teori ideologi dari Franz Schurmann. Sebagai ideologi praktis, penelitian ini juga menggunakan teori gender oleh Abbot, Moore, dan Suryakusuma. Bahkan, penelitian ini menggunakan pendekatan teori komparatif sebagai alat analisis dalam mengungkapkan permasalahan.

Indonesia history can be considered as having androcentric pattern since it rsquo s past narrations in Indonesia occured and centered solely on the men activity. The women, both as an object and a discourse in history are one of the missing elements in Indonesia history. Therefore, this study will discuss about the empowerment of women during the Japanese Occupation through Fujinkai.
The main issue discussed in this research is the way the state altered Fujinkai to political machine in mobilizing people power during war time by employing the state ideology on Japanese feminity. The objective of this research is to get a new perpective on Fujinkai which differed from previous researches, i.e.the way the authority during Japanese occupation used ideology. In this case, the state ideology on Japanese femininity internalized and implemented into Fujinkai to build people power in occupation area in Java to gain victory in Greater East Asia War.
The theory used in understanding the issue of the research is the ideology theory by Franz Schurmann. As practical ideology, this research also used theory of gender by Abbot, Moore, and Suryakusuma. Moreover, this research used comparative theory approach as analysis tool in revealing the issue."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
D2526
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deliar Noer
Jakarta: Rajawali, 1982
991.320 Noe p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Didik Pradjoko
"Disertasi ini menunjukkan dinamika politik lokal di Kawasan Flores Timur, Kepulauan Solor dan Timor Barat sebagai akibat dari kebijakan politik kolonial Belanda antara 1851-1915. Fokus kajian disertasi ini adalah menganalisis sikap Kerajaan Larantuka terhadap kebijakan politik kolonial Belanda, Misi Katolik Belanda, penduduk negeri pegunungan, dan kerajaan lokal sekitarnya.Kerajaan Larantuka yang dipimpin oleh raja-rajanya melakukan strategi politik sekutu dan seteru dalam mempertahankan kedaulatannya menghadapi kekuatan-kekuatan yang mengancamnya. Selama Abad ke-17 hingga abad ke-18, Kerajaan Larantuka bersekutu dengan Portugis dan para Kapiten Mayor dari keluarga Portugis Hitam, keluarga da Hornay dan da Costa untuk menghadapi kekuatan Belanda VOC dan Kerajaan Muslim Lima Pantai Solor Watan Lema. Pada abad ke-19, Kerajaan Larantuka dipaksa menerima hasil perjanjian Portugal dan Belanda yang dimulai sejak 1851 dan disetujui pada 20 April 1859. Perjanjian tersebut berisi penyerahan wilayah Flores dan Kepulauan Solor-Alor kepada Belanda. Sejak saat itu, Kerajaan Larantuka menjadi kerajaan bawahan Pemerintah Hindia Belanda. Belanda kemudian mengikat kontrak dengan Kerajaan Larantuka pada 28 Juni 1861, namun Korte Verklaring tersebut masih memberikan keleluasaan Kerajaan Larantuka untuk menjalankan pemerintahan secara otonom/zelfbesturende.Raja-raja Larantuka sejak 1851 melakukan perubahan strategi politik sekutu dan seterunya sebagai upaya tetap mempertahankan kedaulatannya. Perubahan kebijakan politik sekutu dan seteru yang dilakukan oleh Kerajaan Larantuka itu berbeda dengan periode pada abad ke-17 hingga abad ke-18. Kerajaan Larantuka pada periode 1851-1915, menjalankan politik sekutu dan seterunya dengan tidak menetap. Kerajaan Larantuka bersekutu dengan penguasa lokal Belanda, dengan meminta bantuan Residen Timor dan daerah Taklukannya untuk menghadapi seterunya, yaitu Kerajaan Lima Pantai. Kebijakan bersekutu dengan Belanda juga dilakukan oleh Kerajaan Larantuka ketika menghadapi pemberontakan negeri-negeri bawahannya di pegunungan yang mengancam wilayah inti kerajaan di sekitar Larantuka. Dalam beberapa kasus yang lain Kerajaan Larantuka justru bersekutu dengan Kerajaan Muslim Lima Pantai untuk menghadapi pemberontakan negeri-negeri bawahannya sendiri, di Solor dan Adonara. Dalam menghadapi kebijakan politik kolonial Belanda yang menjadi seteru karena masalah intervensi Residen dan pejabat sipil Belanda di Larantuka, Raja Larantuka bersekutu dan bekerjasama dengan pihak misi Katolik Belanda di Larantuka, meskipun dalam kasus lain Raja dan pihak misi Katolik berseteru terutama tentang masalah poligami raja dan perilaku raja yang masih menjalankan kepercayaan-kepercayaan nenek moyang yang dianggap lsquo;kafir rsquo; oleh misi Katolik Larantuka. Secara umum persekutuan antara raja Larantuka dan para pastor Katolik Belanda pada akhirnya menunjukkan persekutuan yang lsquo;abadi rsquo; sampai diasingkannya Raja Don Lorenzo II DVG pada tahun 1904, yang dianggap membangkang terhadap kebijakan kolonial Belanda. Strategi sekutu dan seteru juga dipengaruhi oleh mitos konflik Demon-Paji, konflik dua bersaudara di jaman dahulu akibat bermacam sebab, tetapi terutama karena konflik memperebutkan istri, sehingga muncul istilah ldquo;Perang Tikar Bantal rdquo;. Demon menurunkan penduduk Kerajaan Larantuka yang beragama Katolik sedangkan Paji menurunkan penduduk Kerajaan Lima Pantai yang beragama Islam. Kedaulatan kerajaan-kerajaan di kawasan Flores dan Kepulauan Solor berakhir dengan adanya penataan wilayah yang dilakukan Belanda dengan mengintegrasikannya ke dalam Keresidenan Timor dan daerah Taklukannya pada tahun 1915.

The dissertation discusses the dynamic of local politics in East Flores region, Solor Islands and West Timor as a result of Dutch Colonial political policies between 1851 1915. The focus of dissertation is to analyze the response of Larantuka Kingdom about the policy of Dutch colonial politics, Dutch Catholic Mission, the people of Mountain country and surrounding local kingdom.The Kingdom of Larantuka that led by several kings conducted allied and enemy political strategy to defense the kingdom in fighting againts other powers that threatened their sovereignty. During the 17th until 18th century, the Kingdom of Larantuka allied with Portuguese and a couple of local commanders from black Portuguese family, da Hornay and da Costa to fight againts the VOC and Kingdom of Lima Pantai Solor Watan Lema. In 19th century, Kingdom of Larantuka was forced to accept the result of Portuguese and Dutch agreement which was started since 1851 and was ratified on April 20, 1859. The agreement was about the transfer of Flores region and Solor Alor Islands from Portuguese to the Dutch. Since the ratification of the agreement, the Kingdom of Larantuka became one of Dutch colonial government conquered areas. Subsequently, the colonial government binded a political contract with the Kingdom of Larantuka on June 28, 1861, however, the contract or Korte Verklaring still provided discretion to the kingdom to run autonomous administration or zelfbesturende. Since 1851, the Kings of Larantuka Kingdom conducted some changes of their allied and enemy political strategy as efforts to maintain the kingdom sovereignty. The change of the strategy was different with the policies which were taken by the kingdom in 17th and 18th centuries. During 1851 1915, the Kingdom of Larantuka applied temporary allied and enemy political strategy. The Kingdom of Larantuka allied with local Dutch rulers and asked for Resident of Timor and with their conqured areas to fight againts their enemies, Kingdoms of Lima Pantai. The allied policy with the Dutch was also conducted with the Kingdom of Larantuka when they overcame the rebellion of their vassals in mountain that threatened the center of the kingdom area around Larantuka. However, later in some cases, precisely the Kingdom of Larantuka allied with Kingdoms of Lima Pantai to fight against the rebellion of their vassals in Solor and Adonara. To response the Dutch colonial political policies that became the enemy because of Resident and Dutch civil officers intervention in Larantuka, the King of Larantuka allied and cooperated with Dutch Catholic Mission party in Larantuka although in other case the king and Catholic Mission had different opinion especially about the king poligamy and the king behavior who still practised their achestor beliefs that were considered lsquo heathen rsquo by Larantuka Catholic Mission. In general, the ally between the King of Larantuka and Dutch Catholic priests finally showed forever ally until the excile of the King Don Lorenzo II DVG in 1904 who was considered to resist to Dutch colonial policy. The strategy of allied and enemy was also influenced by myth of Demon Paji conflict. The conflict was about the two brothers in ancient time because of various causes, especially the rivalry to get wife that rose the term of lsquo the war of sleeping met and pillow rsquo. Demon desecended Catholic people of Larantuka Kingdom and Paji descended Islamic people of the Lima Pantai Kingdoms. The sovereignty of kingdoms in Flores region and Solor Islands came to end with the existence of the region structuring that was conducted by the Dutch colonial government by integrating the areas into the Residency of Timor and its conqured areas in 1915.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
D2355
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anderson, Benedict Richard O`Gorman, 1936-2015
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988
992.07 AND r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>