Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7189 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Poppy Novita Iriana
"Skripsi ini berisi mengenai isi prasasti Condrogeni I. Isi dari sebuah prasasti dapat memberikan keterangan mengenai kronologi, biografi, geografi, dan peristiwa dari suatu kerajaan yang akan membantu dalam penulisan sejarah kuna Indonesia. Prasasti Condrogeni I dengan angka tahun 1476 Ś atau 1554 M isinya memberikan keterangan mengenai seorang pengembara atau pertapa. Lingkungan tempat temuan prasasti ini juga ditemukan beberapa artefak lainnya yang mengindikasikan bahwa tempat tersebut digunakan untuk ritual keagamaan serta bisa juga menghasilkan prasasti.
This thesis contains the contents of the inscription Condrogeni I. Contents of am inscription can provide information about the chronology, biography, geography, and events of a kingdom that will assist in the writing of ancient history of Indonesia. Condrogeni I inscription dates to 1476 Ś, it gives a description of a nomad or hermit. Environment where the finding of this inscription is also found several other artifacts indicating that the place is used for religious rituals and can also result in the inscription."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S457
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dody Ginanjar
"Penelitian sejarah kuno di Indonesia bersumber pada berbagai informasi yang salah satunya adalah prasasti. Fungsi prasasti pada masanya sebagai dokumen resmi yang mempunyai kekuatan hukum karena merupakan suatu keputusan resmi. J. G De Casparis menyebut prasasti sebagai tulang punggung sejarah kuno Indonesia. Jumlah prasasti di Indonesia diperkirakan mencapai ribuan, tetapi pada kenyataannya sejarah kuno Indonesia masih banyak masa-masa yang belum diketahui dengan pasti. Oleh karena itu penting bagi peneliti epigrafi untuk meneliti prasasti-_prasasti yang belum diterbitkan dan prasasti-prasasti yang baru terbit dalam transkripsi sementara, kemudian diterjemahkan dalam bentuk alih aksara sementara, sekaligus menelaah isinya. Dengan demikian data yang terkandurng dalam prasasti tersebut dapat digunakan sebagai sumber sejarah kuno Indonesia. Prasasti dari Sidotopo merupakan prasasti dari peninggalan raja Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya pada tahun 1408 Saka (1486 Masehi). Kajian terhadap prasasti ini merupakan kajian awal. Prasasti terbuat dari batu andesit dan disimpan di Museum Trowulan, Jawa Timur. Prasasti dari Sidotopo berisikan tentang pengukuhan kembali anugerah sima yang telah diberikan oleh sira san mokta rii amretabhasalaya, bhatara prabhu san mokta rin amretawisesalaya dan san mokteri mahalayabhawana kepada Sri Brahmaraja Gangadara oleh Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Tokoh Dyah Ranawijaya selama ini hanya dapat diketahui dari sumber prasasati yang berasal dari masa Majapahit akhir. Di dalam prasasti-prasastinya Dyah Ranawijaya menggunakan Girindrawarddahanlancana yang berupa gambar atau tulisan, yaitu danda (tongkat pemukul yang dililit ular), kamandalu (kendi air), suryya (matahari), candra (bulan), padaraksa (telapak kaki), dan catra (payung) sebagai lambang kerajaannya. Dalam Prasasti dari Sidotopo ini disebutkan Brahmaraja Gangadara mendapat anugerah karena telah berusaha mencapai kemenangan bagi sang raja Majapahit pada waktu peperangan (sinun ganjaranira dukayunayunan yudha san ratu hin majapahit). Berdasarkan perbandingan dengan prasasti yang sejaman seperti Ptak, Trailokyapuri I, II dan III serta naskah-naskah mengenai kerajaan Majapahit dan sesudahnya dapat ditafsirkan ketika itu ada ada perebutan kekuasaan antara keluarga raja, di mana Dyah Ranawijaya dengan bantuan Sri Brahmaraja Gangadara seorang pendeta utama kerajaan, menyerang kerajaan Majapahit yang dikuasai Bhre Krtabhumi. Prasasati dari Sidotopo mempunyai huruf yang buruk selain juga batu andesit sebagai alas tulisan kualitasnya bukan merupakan yang paling baik. Karena itu, pembuatan alih aksara Prasasti dari Sidotopo ini diharapkan dapat memberikan koreksi kesalahan penulisan oleh citralekha. Sebab kesalahan dalam pembacaan bisa mengakibatkan salah penafsiran dan kesalahan penafsiran dapat mengakibatkan ketidaktepatan dalam penomoran sejarah yang terjadi."
2000
S11581
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Alexander Arifa
"Pada isi prasasti sima dari masa Jawa Kuna terdapat sapatha atau baris kutukan, yakni sebuah wacana yang berisikan seruan sumpah kepada dewa-dewa atau roh-roh agar memberikan perlindungan terhadap tanah sima yang ditetapkan oleh raja, beserta mantra kutukan bagi orang-orang yang berniat jahat terhadap tanah tersebut. Penelitian ini meneliti mengenai beberapa hewan yang disebutkan dalam sapatha prasasti sima sebagai ancaman bagi siapa yang melanggar, khususnya pada prasasti-prasasti sima yang berasal dari Kerajaan Mataram Kuno pada awal abad X Masehi. Penyebutan hewan dalam sapatha merupakan fenomena yang tidak biasa, jarang ditemui, namun ada di beberapa prasasti. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi ragam hewan yang disebutkan dalam bagian sapatha prasasti sima awal abad X Masehi, mengetahui alasan dipilihnya hewan-hewan tersebut, dan mengetahui kemungkinan adanya keterkaitan antara kuasa raja dengan penghukuman melalui fauna dalam sapatha prasasti sima. Metode yang digunakan dalam penelitian: tahap pengumpulan data yang merupakan tahap pengumpulan semua sumber data yang dibutuhkan, tahap pemrosesan data yang merupakan tahap pemrosesan dan penganalisisan semua data, dan tahap interpretasi data yang merupakan tahap pengaitan semua data yang sudah diproses dengan konsep pengetahuan yang diusulkan, yakni teori kekuasaan. Penelitian ini menunjukkan bahwa hewan dalam sapatha merupakan hewan buas serta dianggap suci. Tujuannya sebagai pemberat bahwa sapatha adalah alat kontrol sosial beserta cerminan kuasa raja yang dilakukan raja dengan menggunakan pendekatan ketakutan berbasiskan pengendalian pikiran atas lingkungan sekitar ditambah dengan pengetahuan beberapa binatang yang telah dikenal dalam konsep religi Hinduisme serta kebudayaan lokal yang dipakai agar tidak ada pihak yang berbuat diluar perintah raja.

On sima inscriptions from Ancient Javanese era, there is sapatha or cursing passage which is a small paragraph that consists of oaths to gods and deities to protect the land of sima that had been established by the king, along with spells or curse that was addressed to wrongdoers. This research discusses about some animals that were mentioned in sapatha of the sima inscriptions, especially incriptions that dated from Ancient Mataram Kingdom on early 10th Century AD. This was quite rare and uncommon phenomenon but were available in some inscriptions. Aims of this research are to identify the variety of animals that is mentioned on Sapatha of Sima Inscriptions from Ancient Mataram Kingdom on early 10th Century AD, to discover the reasons behind the chosen animals, and to know the possibility if there was a connection between the power of king and the chosen animals. Research method that is used: first, data-gathering step which collects all the data needed, data-processing step which analyzes all data that has been collected, data-interpreting step which all the data that has been analyzed be interpreted under the power-relation concept. The result of this research shows that animals are categorized as wild and sacred animals. The aim mentioning these animals is to emphasize that sapatha is a tool for controlling society and showing king’s power by using fear-based on mind-control over the environment approach added with the knowledge of the animals on Hinduisme and local belief concept so that no one will disobey the king"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ninny Soesanti Tedjowasono
"Penelitian ini adalah merupakan usaha untuk mengungkapkan peninggalan sejarah kuno sekitar kurun waktu abad 11 Masehi, yaitu secara khusus adalah masa pemerintahan raja Airlangga. Raja Airlangga merapakan seorang tokoh yang patut dikaji, karena selain kabijakan yang didalankan semasa pemerintahannya sehingga mengangkataya menjadi salah satu raja besar di sapanjang perjalanan sejarah kuno Indonesia, ia diperkirakan mempunyai jaringan politik, ekonomi dan agama dengan raja-raja di daratan Asia Tenggara. Bahkan ide pembaharuannya diperkirakan merupakan .pengaruh dari keterkaitannya dengan jaringan tersebut, demikian juga kebijakan pamerintahan yang dilakukan banyak diikuti oleh raja-raja,dikawasan Asia Tenggara itu.
Penelitian terhadap suatu masa yang telah lampau dimungkinkan dengan meneliti kembali data tertulis yang dihasilkan pada masa tarsebat di samping tinggalan materi yang masih ada hingga sekarang. Jelaslah prasasti menjadi tulang punggung data yang akan diolah di samping karya sastra pada masanya. Sebelum data tersebut, diinterpretasi dan diintegrasikan dengan data yang lain, prasasti-prasasti itu haruslah dianalisis tealebih dahulu sehingga layak dianggap sebagai data.
Analisis yang dilakukan adalah kritik yaitu kritik ekstern dan intern. Kritik ekstern berkenaan dengan otentisitas sumber dan kritik intern berkenaan dengan kredibilitas sumber. Kritik intern berkenaan dengan deskripsi, transliterasi dan terjemahan.
penelitian awal ini adalah mengkaji 4 buah prasasti yang diterbitkan oleh raja Airlangga, ke empatnya dibaca ulang dialih aksarakan dan diterjemahkan. Hasil dari kritik intern yang dilakukan, selain memperbaiki pembacaan oleh peneliti sebelumnya juga dijumpainya beberapa hal baru yang memerlukan penelitian lanjutan yaitu munculnya kebiasaan menjabarkan berbagai tindak pidana dan perdata dalam masyarakat, kemudian munculnya hak-hak istimewa raja dan keluarganya serta membengkaknya jumlah abdi dalam raja.
Jelaslah hal tersebut pasti mempunyai kaitan dengan kaadaan politik, sosial dan ekonomi. Selain itu juga telah ditetapkan pembabakan terhadap masa pemrintahan Airlangga sesuai dengan data prasastinya (20 buah) yaitu masa awal pemerintahan yang diisi dengan peperangan untuk menegakkan hegemoninya, masa keemasan dan masa akhir yaitu saat-saat pembagian kerajaannya untuk menghindari perang saudara.
Keempat prasasti -yang dianalisis memunculkan 4 tema yang menarik. Prasasti Pucangan berbahasa Sanskerta adalah prasasti yang memuat tema legitimasi bagi kedudukan Airlangga sebagai raja, sedangkan prasasti Pucangan berbahasa Jawa kuno yang diterbitkan beberapa tahun kemudian, sarat dengan penjelasan kehidupan keagamaan Airlangga selama di pengasingan. Prasasti-Baru menggambarkan kedekatan raja dengan rakyatnya dan bersama dengan prasasti-prasasti lain yang bertema sama yaitu pemberian hadiah status-.sima merupakan tema sosial. Prasasti dengan tema sosial memperlihatkan bahwa Airlangga menjadi raja karena dukungan sepenuhnya dari_rakyatnya. Sedangkan tema ekonomi, dijumpai dalam isi prasasti Kamalagyan, yaitu perbaikan'bendungan untuk kelancaran pekerjaan pertanian dan perdagangan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1996
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Edhie Wurjantoro
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1993
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Coedes, George
Depok: Komunitas Bambu, 2014
959.8 COE k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Komaruzaman
"Prasasti sebagai sumber tertulis sebagai data utama yang bernilai tinggi (primary element) mempunyai peranan penting bagi penulisan sejarah kuna. Selain sebagai sumber penulisan sejarah, bila diteliti dengan seksama, isi prasasti dapat memberikan gambaran tentang struktur kerajaan, struktur birokrasi, kemasyarakatan, perekonomian, agama, kepercayaan, dan adat-istiadat dalam masyarakat Indonesia kuna. Pengkajian prasasti sebagai upaya untuk merekonstruksi sejarah kuna Indonesia sudah sejak lama dilakukan. Namun banyak prasasti yang belum diteliti secara tuntas dan hanya diterbitkan dalam bentuk alih aksaranya saja atau dengan terjemahannya, namun belum dilakukan suatu tinjauan kritis terhadap isinya. Prasasti Lawadan dikeluarkan oleh Sri Sarwweswara Triwikramawataranindita Spigalancana Digjayotungadewanama dan berangka tahun 1127 Saka. Merupakan salah satu prasasti yang belum diteliti secara tuntas. Prasasti Lawadan 1127 S itu merupakan prasasti terakhir yang diketemukan sebelum raja ini dikalahkan oleh Ken Angrok pada tahun 1144 S. Jika dilihat dari jumlah prasasti yang menyebut nama Krtajaya yaitu hanya 7 buah, sedangkan ia bertahta sekitar 30 tahun jumlah itu sangat sedikit sehingga keterangan sejarah yang diperoleh juga sangat minim. Penelitian yang dilakukan baik itu oleh Brandes ataupun Damais hanya sebatas alih aksaranya saja. Untuk itu suatu pembacaan ulang dengan disertai suatu telaah isinya berupa tinjauan kritis dirasakan perlu untuk dilakukan. Pembacaan ulang yang telah dilakukan menghasilkan beberapa hal diantaranya bahwa ada beberapa kesalahan pembacaan yang telah dilakukan oleh Brandes dan citralekha. Selain itu pembacaan ulang ini dapat mengisi atau melengkapi beberapa bagian kosong pembacaan Brandes. Beberapa keistimewaan Prasasti Lawadan diantaranya pada bagian lancana dibubuhkan nama raja yang mengeluarkan prasasti ini yaitu Krtajaya. Selain itu prasasti ini diawali dengan mantra pujian terhadap dewa dan hal ini tidak terdapat pada prasasti Krtajaya lainnya. Prasasti Lawadan memberikan keterangan bahwa penduduk desa Lawadan beserta daerah sewilayahnya telah menerima anugerah raja yang berupa pembebasan pajak dan penerimaan sejumlah hak-hak istimewa. Hak-hak istimewa itu meliputi berbagai hal, seperti melakukan kegiatan-kegiatan tertentu di depan umum, mengenakan jenis-jenis pakaian dan perhiasan tertentu, memakan makanan istimewa, memiliki rumah dengan ciri-ciri tertentu serta memiliki pula tempat duduk, balai-balai, payung, serta tanaman di rumah mereka. Setelah melalui suatu tinjauan kritis yang dilakukan terhadap unsur-unsur ekstern meliputi bentuk prasasti, paleografi, dan kronologis serta unsur-unsur intern yang meliputi bahasa dan isi prasasti dapat disimpulkan bahwa Prasasti Lawadan ditulis sesuai dengan angka tahun yang dimuatnya, bukan merupakan prasasti yang palsu atau tiruan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2005
S11527
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Depok: Komunitas Bambu, 2014
959.8 KED t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Shalihah Sri Prabarani
"Prasasti Mātāji merupakan prasasti yang dikeluarkan pada tahun 973 Ś / 1051 M. Berdasarkan isinya, diketahui bahwa prasasti ini berasal dari kerajaan Pangjalu dan banyak menyebutkan unsur-unsur yang belum pernah dijumpai dalam prasasti sebelumnya. Prasasti Mātaji berisi uraian mengenai pemberian anugerah sīma oleh raja kerajaan Pangjalu, Śrī Mahārajyetêndrakara Wuryyawīryya Parakramā Bhakta, kepada penduduk desa Mātaji atas jasajasanya membantu raja menumpas musuh dalam peperangan yang sering terjadi di desa ini. Pangjalu merupakan pecahan kerajaan Airlangga setelah dibagi dua dengan kerajaan Janggala. Prasasti Mātaji merupakan prasasti pertama yang memuat informasi mengenai keberadaan kerajaan Pangjalu setelah peristiwa pembagian kerajaan oleh Airlangga. Prasasti ini juga menyebutkan berbagai informasi seperti unsur birokrasi kerajaan, nama raja beserta gelar lengkapnya, serta peristiwa perang yang sering terjadi di kerajaan Pangjalu pada masa itu. Minimnya sumber mengenai kerajaan Pangjalu mengakibatkan informasi yang dapat disampaikan tidak begitu lengkap.

The inscription of Mātaji was issued in 973 Ś / 1051 M by the kingdom of Paŋjalu and mentioned many elements that had never been found on other inscription from previous period. It commemorates the establishment of a freehold of Mātaji as a grant from the King, Śrī Mahārajyêtendra Wuryyawīryya Parakrama Bhakta, to the people of Mātaji. Its motive is that the people of Mātaji always helped the king to fight back those who attacked the kingdom for many times. It was said that some wars were often occurred at Mātaji for many times. Paŋjalu is a part of Airlangga?s kingdom after the partition, whereas the other side is Jaŋgala. The inscription of Mātaji is the first inscription mentioned about ?Paŋjalu? after the partition of Airlangga?s kingdom. Furthermore, it contains much information as bureaucracy elements, the King?s name and his title, and that there were some wars often occurred at Mātaji. For lack of the information about Paŋjalu, however, it is too insufficient in number to enable the historians to draw a clear and complete picture of Paŋjalu and Jaŋgala"
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S11980
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Richadiana Kartakusuma
"Nama Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung Sri Dharmmodaya Mahasambhu dikenal sebagai salah satu dari raja raja yang bertakhta pada periode Mataram kuno. Di antara raja-raja yang memerintah pada waktu itu Dyah Balitung termasuk raja yang banyak mengeluarkan prasasti setelah Pu Lokapala. Sekalipun demikian, keterangan keterangan yang diperoleh sampai saat ini belum dapat mengungkapkan secara lengkap kejadian di masa pemerintahannya yang dua belas tahun lamanya (898-910 M) Keterangan yang dianggap agak jelas tentang diri Dyah Balitung baru diketahui dari salah satu prasastinya yang terkenal, yaitu Prasasti Mantyasih yang berangka tahun 907 M ..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1981
S11614
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>