Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 205793 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rina Marlina
"Tesis ini membahas tentang peran PPAT dalam jual beli harta pailit berupa tanah yang dikaitkan dengan Pasal 185 Ayat (2) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Tesis ini merupakan penelitian yuridis normatif. Tesis ini menyimpulkan bahwa dalam penjualan harta pailit berupa tanah yang menjadi penjual adalah kurator berdasarkan ketentuan Pasal 24 juncto 69 Undang-undang Kepailitan dan PKPU. Dalam menuliskan komparisi kurator selaku penjual, PPAT harus memberikan keterangan mengenai dasar kewenangan bertindak kurator yaitu putusan pailit yang menjadi dasar penunjukannya dan penetapan hakim pengawas yang memberikan izin penjualan harta pailit tidak melalui lelang.

This thesis discussed the role of PPAT in the bankruptcy assets purchase and sale in the form of land associated with article 185 paragraph 2 of Law Number 37 Year 2004 on Bankruptcy and Suspension of Payment. This thesis is a legal normative research. This thesis concluded that in the purchase and sale of bankruptcy assets in the form of land, curator acting as the seller under the provisions of Article 24 conjunction with Article 69 Law Number 37 Year 2004 on Bankruptcy and Suspension of Payment. In writing a curator position as a seller, PPAT should provide legal bases of curator's authority which are the bankruptcy decision that also mention curator appointment and stipulation from supervisory judge that authorize curator to sell bankruptcy asset without auction.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28998
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Trianto
"Setiap bentuk pemberian kredit memiliki risiko untuk mengurangi risiko dalam penyaluran kredit adalah melakukan kerja sama pemberian kredit atau disebut juga kerja sama pembiayaan antarbank. Bentuk kerja sama pembiayaan yang umum dilakukan oleh bank-bank lebih dikenal dengan kredit sindikasi. Dalam praktik, permasalahan mengenai kredit macet tetap saja muncul. Salah satu solusi yang dapat ditempuh untuk masalah tersebut adalah melalui hukum kepailitan. Permasalahan yang sering dihadapi dalam hal kepailitan kredit sindikasi adalah siapa yang berwenang untuk melakukan permohonan pailit kepada debitor apabila para kreditor terikat perjanjian kredit sindikasi, apakah pernyataan pailit tersebut harus dilakukan oleh seorang agen ataukah dibolehkan pula kreditur itu sendiri mengajukan permohonan pailit dengan atau dengan tanpa persetujuan kreditur lainnya? Menurut UUKPKPU, seorang debitor dapat dipailitkan oleh satu atau lebih kreditornya. Akan tetapi, dalam UUKPKPU tidak dijelaskan secara terperinci perihal kreditor mana yang berhak untuk mengajukan permohonan pailit apabila kreditor terikat perjanjian kredit sindikasi. UUKPKPU menyebutkan hanya satu kali perihal kreditor sindikasi, yaitu dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) sebagai berikut ?Bilamana terdapat sindikasi kreditor, maka masing-masing Kreditor adalah Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2?. Sedangkan Pasal 1 angka 2 menyebutkan ?Kreditor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan?.Hal ini berarti, UUKPKPU tidak membedakan kedudukan kreditur dari suatu perjanjian biasa atau perjanjian sindikasi. Seorang debitor dapat dipailitkan oleh salah satu atau lebih kreditornya. Mengingat dalam skema sindikasi kredit, terdapat agen fasilitas yang mendapatkan kuasa untuk bertindak untuk dan atas nama para kreditor termasuk untuk mewakili ke pengadilan. Kepailitan dapat terjadi dikarenakan debitur dalam keadaan tidak membayar hutangnya pada kreditor yang sudah jatuh tempo, dan bila kepailitan tersebut terjadi terhadap debitur yang terikat perjanjian kredit sindikasi, maka hal ini akan menimbulkan masalah bagi peserta kreditur sindikasi yang berhak mengajukan permohonan pailit, mengingat kreditor dalam kredit sindikasi dianggap sebagai kreditor Pasal 1 angka 2 UUKPKU. Dalam kredit sindikasi terdapat agen bank mempunyai peran yang besar, yaitu mewakili dan bertindak untuk kepentingan serta untuk dan atas nama para kreditur, pihak agen bank ini diangkat oleh para kreditur, serta hak atau kewenangan agen tersebut sudah diatur oleh para kreditor dengan agen itu. Masing-masing peserta sindikasi tidak mempunyai hubungan hukum yang langsung dengan debitur, karena itu tidak dapat berhubungan langsung dengan debitur, dengan demikian anggota dari peserta sindikasi tidak berhak menegur atau menagih pembayaran kredit pokok atau bunganya kepada debitur apabila debitur menunggak pembayaran, segala perbuatan hukum termasuk menyurati debitur hanya dapat dilakukan oleh agen. Penelitian ini akan berupaya untuk menjawab permasalahan-permasalahan berikut: Bagaimanakah ketentuan Pasal 2 ayat (1) disertai penjelasannya pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 diterapkan (ditaati) oleh para pihak yang terlibat dalam proses kepailitan di dalam kredit sindikasi? Bagaimanakah hakim menerapkan Pasal 2 ayat (1) disertai penjelasannya dalam putusan pengadilan yang dibuatnya? Bagaimanakah para pihak yang terlibat dalam kredit sindikasi khususnya peserta kredit sindikasi dan agen fasilitas mencari celah (loophole) untuk melakukan pengajuan permohonan pailit, mengingat ketentuan mengenai kepailitan terhadap kredit sindikasi masih belum diatur secara lengkap dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004? Analisis yang dilakukan untuk menjawab pokok permasalahan tersebut akan menggunakan metode penelitian normatif. Adapun pendekatan yang digunakan ialah pendekatan (approach) dari sudut pendekatraktan ilmu hukum, baik secara yuridis (apa yang tertulis di dalam undang-undang) maupun empiris (apa yang terjadi di dalam praktik).

Every form of credit has an inherent risk along with it. To reduce the risk in credit provision, a distribution of the risk can be done by the means of credit provision cooperation or also known as interbank financing cooperation, with its most common form known as syndicated loan. In its application, the problem of nonperforming loan still arises. One of the solutions to such problem is the mechanism of Bankruptcy Law. The most common issue to the bankruptcy of syndicated loan is determining the party authorized to file for the bankruptcy of the debtor. When creditors are bound by syndicated loan agreement, does the bankruptcy filing fall within the duty of an agent or can any creditor file by himself with or without the approval of other creditors? According to the Bankruptcy Law, a debtor can face a bankruptcy charge from one or more of her creditors. However, the Law does not elaborate on which creditor reserves the right to file for bankruptcy in the case of syndicated loan. Only once does the Law mention the syndicated loan, that is in the Explanation of Article 2 number (1) as follows: "When there is a syndication of creditors, then each creditor is a creditor as mentioned in Article 1 number 2". Where Article 1 number 2 stipulates "Creditor is a person owning a debt which, by agreement or law, is collectible in front of Court". This means that the Bankruptcy Law does not apply any differentiation to the creditor within either a normal agreement or a syndication agreement. A debitor can be made bankrupt by one or more of her creditors. Taking into account the credit syndication scheme, an agent is authorized to act for and on behalf of the creditors, including the presence in the Court. A bankruptcy can take place due to the debtor's failure in paying her debts in due time to her creditors. And when such bankruptcy happens to a debtor bound by the syndicated credit agreement, the creditors in the syndicated loan will face an issue given that creditors in such syndicated loan is treated as a creditor in accordance to Article 1 number 2 of Bankruptcy Law. In a syndicated credit, there is a bank agent playing an important role, that is to represent and to act for the interest of and on the behalf of all the creditors. This bank agent is appointed by the creditors, and the rights and authorities of the agent are already part of the agreement between the creditors and the appointed agent. Each of the participants to the syndication does not have any direct legal connection to the debtor and thus is not able to communicate directly to the debtor. As such, any participant to the syndication has no right to collect payments to the credit, both of the principal or the interest, from ttrak Bhe debtor in the case of payment arrears. All legal action including the correspondence to the debtor is only performable by the agent. This research attempts to answer the following issues: How is the stipulation of Article 2 number (1), along with its explanation, of Act No. 37 Year 2004 applied (or abided) by the parties involved in the bankruptcy proceedings in syndication credit? How do the Judges apply Article 2 number (1), along with its explanation, in rendering their Judgement? How can the parties involved in credit syndication, particularly the participants to the syndicated credit and the agent find a loophole in filing for the bankruptcy, taking into account that stipulations regarding bankruptcy in a syndicated loan are still seeing gaps in Act No. 37 Year 2004? Analysis held to answer the main issue employs the normative research methods, with both legal (according to the letters of law) and empirical (according to the real-life application) approaches.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinnisa Anadya
"Adanya perbedaan antara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PKPU berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang berlaku di Indonesia dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang terjadi akibat Rehabilitasi berdasarkan Financial Rehabilitation and Insolvency Act FRIA di Filipina menyebabkan perlunya perbandingan mengenai PKPU dengan negara lain. Filipina merupakan negara ASEAN pertama yang sudah mengadopsi UNCITRAL Model Law yang mengatur tentang kepailitan lintas negara. Undang-undang kepailitan di Filipina dianggap selangkah lebih maju daripada undang-undang yang berlaku di Indonesia. Tulisan ini akan mengkaji mengenai perbandingan PKPU di Indonesia dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang akibat Rehabilitasi di Filipina serta menjelaskan mengenai perbedaan apa saja yang ada dalam kedua sistem tersebut.

The difference between Suspension of Payment PKPU based on Law Number 37 Year 2004 applicable in Indonesia and Suspension of Payment due to Rehabilitation under the Financial Rehabilitation and Insolvency Act FRIA in the Philippines led to the need for comparison of PKPU with other countries. The Philippines is the first ASEAN country to have adopted the UNCITRAL Model Law that governs cross border insolvency. Insolvency law in the Philippines is considered one step ahead of Indonesian law. This paper will examine the comparison of PKPU in Indonesia and the Suspension of Payment due to Rehabilitation in the Philippines and explain what differences exist within the two systems."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fairus Harris
"Tesis ini membahas mengenai upaya yang dilakukan kreditor separatis melakukan eksekusi atas jaminan hak kebendaan yang dimilikinya dalam jangka waktu yang ditentukan Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Permasalahan dalam penulisan ini mengenai kedudukan kreditor separatis dalam proses kepailitan dan proses eksekusi jaminan yang dilakukan kreditor separatis dengan adanya pembatasan jangka waktu.
Penelitian hukum yang dilakukan adalah penelitian normatif, dengan metode pengolahan data yang bersifat kualitatif. Dalam proses kepailitan terdapat batasan-batasan terkait hak yang dimiliki kreditor separatis untuk mengeksekusi sendiri jaminan hak kebedaan. Pembatasan yang utama mengenai jangka waktu untuk memulai melaksanakan haknya dalam melakukan eksekusi jaminan tersebut.

This thesis discusses the efforts made by separatist creditors in order to execute their security right of goods in the prescribed period by law of Bankruptcy and Suspension Of Obligation For Payment Of Debts. Problems are regarding the separatist creditor in a process of bankruptcy and the process of execution by separatist creditor in restriction period.
The legal research was carried out through normative research with qualitative data processing. In a process of bankruptcy, there are limitations imposed related to the separatist creditor's rights, to execute by himself the security right of goods that his owned. The main limitation is the defined time period for separatist creditor to begin exercising his rights to execute that security right.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42682
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra
"Dalam hal harta debitor pailit yang ditemukan saat proses pengurusan dan pemberesan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan, Hakim Pengawas mengusulkan kepada Hakim Pemeriksa untuk melakukan pencabutan pernyataan pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UUK & PKPU. Namun, dalam Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 74/PAILIT/2009/PN.NIAGA.JKT.PST jo. Putusan Mahkamah Agung No. 1037.K/PDT.SUS/2010 yang mengajukan pencabutan pernyataan pailit adalah Kurator dengan hanya berdasarkan dugaan tidak ditemukan harta pailit. Permohonan pencabutan kepailitan oleh Kurator yang demikian tentu akan merugikan para kreditor untuk memperoleh pembayaran. Padahal, UUK & PKPU seyogyanya tidak hanya memberikan perlindungan kepada debitor, tetapi juga para kreditor.
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode yuridis-normatif yang menggunakan data sekunder atau studi kepustakaan dengan menggunakan bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier. Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara terhadap beberapa informan sebagai data tambahan yang menunjang atau melengkapi data sekunder.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa Kurator dapat mengajukan permohonan pencabutan pernyataan pailit dengan terlebih dahulu melakukan rapat panitia kreditor untuk memastikan bahwa debitor pailit sudah tidak memiliki harta lagi untuk membayar biaya kepailitan, dan Kurator juga harus memperoleh izin dari Hakim Pengawas. Sehubungan dengan hal tersebut maka ada beberapa saran dari peneliti untuk melakukan pembaharuan terhadap UUK & PKPU, khususnya terkait prosedur dan tahapan pencabutan kepailitan.

In case that the debtors assets discovered during the management and settlement process of the bankruptcy assets are insufficient to cover the bankruptcy charge, the Supervisory Judge shall propose to the Panel of Judges to revoke bankruptcy decision as stipulated under Article 18 paragraph (1) of Law No. 37/2004. Having said that, however, on the Central Jakarta Commercial Court Verdict Number 74/PAILIT/2009/PN.NIAGA.JKT.PST jo. the Supreme Court Verdict Number 1037.K/PDT.SUS/2010, instead of the Supervisory Judge, it is the Receiver who proposed to revoke the bankruptcy decision merely based on unreasonable assumptions stating the debtors assets were insufficient. Such revocation proposal may have harmed the creditors to receive immediate payment. Whereas, Law No. 37/2004 implicates that reasonable protection should not only be given for the interest of the debtor, but also the creditors.
This research is a juridical-normative using secondary data or library research comprising primary, secondary, and tertiary legal materials. Additionally, the researcher also conducted key informants interview to further support and complement the secondary data.
The research shows that the Receiver may propose to revoke the bankruptcy decision by covening the creditors meeting in advance to ensure that the debtor does not have sufficient assets, and the Receiver must have obtained an authorization from the Supervisory Judge prior to the revocation proposal. In connection therewith, some recommendations for possible amendments to the Law No. 32004 are provided, specifically on the procedure and phase of bankruptcy revocation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melanie Wijaya Oei
"Tesis ini membahas tentang Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang menolak permohonan pembatalan perdamaian penundaan kewajiban pembayaran utang yang diajukan oleh para kreditor pemegang obligasi dengan dasar pertimbangan bahwa Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Pasar Modal mengatur pemegang obligasi harus diwakili oleh wali amanat di dalam maupun di luar pengadilan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif untuk menghasilkan data bersifat deskriptif analitis.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemegang obligasi berhak untuk mengajukan tuntutan perkara kepailitan tanpa harus melalui wali amanat. Hal ini dikarenakan berlakunya asas perundang-undangan yaitu asas lex specialis derogat legi generali yang mengatur bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diberlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa itu meskipun untuk peristiwa khusus tersebut dapat pula diberlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa yang lebih luas namun dapat mencakup peristiwa khusus tersebut. Dengan demikian, untuk perkara kepailitan haruslah diberlakukan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Pemegang obligasi memenuhi segala syarat kreditor yang diatur dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU dan pada penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa bilamana terdapat sindikasi kreditor, maka masing-masing kreditor adalah kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2.

This thesis discusses the Decision of Central Jakarta Commercial Court that rejected the cancellation of a reconciliation request filed by bondholders under the basis of Article 51 paragraph (2) of the Capital Market Law which dictates that bond holders must be represented by a trustee in, or outside a court. This study uses library research methods in a normal juridical manner to provide descriptive analytical data.
This research concludes that bondholders are entitled to file a lawsuit directly to the defendant without the need of being represented by a trustee. Based on lex specialis derogat legi generali, in a specific circumstance, laws concerning that circumstance must be applied even though laws that cover more general circumstances may also be applied to the same specific circumstance. Therefore, for a bankruptcy case as such, Law No. 37 Year 2004 on Bankruptcy and Suspension of Obligation for Payment of Debts must be enacted. Bondholders must satisfy all the creditor requirements that is stated in Article 1 Paragraph (2) of Law No. 37 Year 2004, the article is interpreted as such: in case of syndicated creditors, each of the creditors shall mean the creditor as referred to in Article 1 Paragraph (2).
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T46377
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marleen Josephine
"Skripsi ini membahas mengenai permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Efek yang diajukan oleh Krediturnya, dengan studi kasus Putusan Nomor 4/PDT.SUSPAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST. Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Efek hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Adapun ketentuan tersebut dimaksudkan untuk melindungi kepentingan pihak ketiga untuk berinvestasi melalui pasar modal. Kemudian, Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa panitera harus menolak permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Efek yang diajukan oleh pihak selain Otoritas Jasa Keuangan. Namun, pada praktiknya masih terdapat banyak pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Efek yang tidak diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Hal ini dapat dilihat pada Putusan Nomor 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST, yang mengabulkan permohonan pernyataan pailit Perusahaan Efek (PT Brent Securities) yang diajukan oleh Kreditornya karena izin usahanya telah dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap suatu Perusahaan Efek dan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam permohonan pernyataan pailit Perusahaan Efek dalam putusan Nomor 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST ditinjau dari Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan tipologi penelitian deskriptif. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Efek mutlak merupakan kewenangan khusus Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga negara yang melakukan pengawasan terhadap Perusahaan Efek, sekalipun izin usahanya telah dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan. Kemudian, putusan Majelis Hakim pada Putusan Nomor 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST, yang mengabulkan permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Efek oleh Krediturnya, tidak sesuai dengan pengaturan dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

This thesis discusses about bankruptcy against Securities Company filed by its Creditors, with a case study of Verdict No. 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST. Article 2 paragraph (4) of Law No. 37 year 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Payment states that the petition for a declaration of bankruptcy against Securities Company may only be filed by the Financial Services Authority. The existence of these provisions is intended to protect the interests of third parties to invest through the capital market. Then, Article 6 paragraph (3) of Law No. 37 year 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Payment states that the principal registrar is required to reject a petition for a declaration of bankruptcy against Securities Company if it’s filed by any other party besides the Financial Services Authority. However, in practice there are still many petitions for a declaration of bankruptcy against Securities Company that are not be filed by the Financial Services Authority. This can be seen on Verdict No. 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST, which granted the petition for a declaration of bankruptcy against Securities Company (PT Brent Securities) that filed by its creditors due to its business license revoked by Financial Services Authority. This research aims to identify the mechanism of filing an application for a bankruptcy against Security Company and the authority of Financial Services Authority for the bankruptcy petition of Securities Company in Verdict No. 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST. based on Law No. 37 year 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Payment. Type of research applied in this research is normative juridical approach with a descriptive typology. The result shows that the petition for a declaration of bankruptcy against Securities Company is the exclusive power of Financial Services Authority as a state institution that supervises Securities Company, even though their business license has been revoked by Financial Services Authority. Then, the decision of The Judges on Verdict No. 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST which granted the application for bankruptcy declaration against the Securities Company by its Creditors, was not in accordance with the regulations in Article 2 paragraph (4) of Law No. 37 of 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Payment."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia Prisillia
"Tesis ini merupakan analisa terhadap pengaturan mengenai rehabilitasi bagi debitur pailit dalam perkara kepailitan. Dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang berlaku di Indonesia, diatur mengenai rehabilitasi, dimana Rehabilitasi tersebut dapat memulihkan nama baik serta keadaan debitur pailit seperti sebelum terjadinya kepailitan. Namun dalam Undang-Undang Jabatan Notaris yang mengatur mengenai kepailitan notaris, sanksi dari kepailitan yang dialami notaris tersebut adalah pemberhentian secara tidak hormat. Mengenai rehabilitasi terhadap notaris yang telah dijatuhi kepailitan belum diatur lebih lanjut mengenai pengangkatan kembali apabila notaris tersebut telah direhabilitasi atau dipulihkan. Hal tersebut menimbulkan ketidak sesuaian antara Undang-Undang Kepailitan dan Undang-Undang Jabatan Notaris, dimana seharusnya rehabilitasi dapat memulihkan keadaan debitur pailit tetapi tidak mengembalikan keadaan notaris seperti sebelum dipailitkan. Untuk melihat pengaturan mengenai pemulihan keadaan terhadap notaris yang telah dipailitkan, penulis melakukan studi komparatif terhadap Peraturan Notaris di Jepang yang telah melakukan pengaturan lebih lanjut mengenai keadaan notaris yang telah pailit dan dipulihkan keadaannya.

This thesis is an analysis of the regulation on rehabilitation of debtors in bankruptcy cases. Indonesia rsquo s Bankruptcy Law regulates the rehabilitation, which can restore the name and the condition of the bankrupt debtor as before the bankruptcy happened. Meanwhile, Indonesia rsquo s Notary Law which regulates a dishonorable dismissal as a sanction to a bankrupt notary, does not regulate more about the rehabilitation of the bankrupted notary. The notary who had been sentenced for bankruptcy can be rehabilitated as regulated by the Bankruptcy Law. However, the Notary Law does not regulate more about the reappointment of the notary who has been rehabilitated or restored. This circumstances causes a misalignment concept of rehabilitation between the Bankruptcy Law and Notary Law, in which rehabilitation that should be able to restore the debtor 39 s condition but does not restore the condition of a bankrupted notary as before the bankruptcy happened. To study more about the situation of a notary who has been bankrupted, the authors conducted a comparative study of the Japanese Notary Regulation who have regulate more about a bankrupted notary who has been restored."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T47086
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairun Nisa
"Kepailitan dan Penundaan Kewajiban dan Pembayaran Utang merupakan salah satu wadah yang disediakan oleh Hukum di Indonesia dalam menghadapi suatu keadaan tidak mampu membayar yang dihadapi oleh Debitor terkait dengan
utang-utangnya pada satu atau lebih dari satu kreditor, dimana dapat diajukan atas inisiatif Debitor sendiri maupun atas permohonan Kreditor. Apabila suatu entitas hukum dinyatakan pailit, bagaimanakah boedel pailit dapat dieksekusi secara benar sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Bila terjadi suatu keadaan dimana kreditor separatis mengeksekusi boedel pailit sebelum habis masa tunggu (stay) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban dan Pembayaran Utang pada Pasal 56, proses yang seperti apakah yang seharusnya dapat ditempuh bagi kreditor konkuren yang dirugikan atas eksekusi tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis.

Bankruptcy and Suspension of Obligations and Debt Payment is one of the containers provided by law in Indonesia in the face of a state unable to pay faced by the debtor related to debts of her on one or more than one creditor, which can be submitted at the initiative of the debtor itself or at the request of creditors. If a legal entity is declared bankrupt, how boedel bankruptcy can be executed properly in accordance with applicable laws and regulations. If there is a situation where separatist creditor executes boedel bankruptcy before the expiration of the waiting (stay) which is regulated in Law Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Obligations and Debt Payments on Article 56, the process as if that should be taken for creditors concurrent aggrieved over the execution. This research used normative juridical research with descriptive analytical research specifications."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48894
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gerindo Joyo Negoro
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai perlindungan terhadap pembayaran upah buruh dan pemenuhan hak-hak buruh yang timbul akibat PHK pada perusahaan yang dinyatakan pailit berdasarkan undang-undang kepailitan dan ketenagakerjaan, dengan studi kasus kepailitan PT Fit U Garment Industry. Penelitian ini menguraikan mengenai buruh sebagai salah satu kreditor dari debitor pailit yang harus bersanding dengan kreditor-kreditor lainnya dalam mendapatkan pembayaran upah buruh dan hak-hak buruh lainnya dari harta pailit. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan sebagai berikut; pertama, Bagaimana kedudukan tagihan upah buruh dan hak-hak buruh lainnya dalam urutan prioritas pembayaran utang. Kedua, Bagaimana upaya yang dapat dilakukan oleh buruh terhadap putusan kepailitan untuk mendapatkan hak-hak buruh yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan terakhir, bagaimana pembayaran upah buruh dan pemenuhan hak-hak yang timbul akibat PHK pada kasus kepailitan PT Fit-U Garment Industry.

ABSTRACT
This thesis discusses the protection of workers' wage payment and fulfillment of labor rights arising from layoffs at the company declared bankrupt under the laws of bankruptcy and employment, with the bankruptcy case studies PT Fit U Garment Industry. This study describes about the workers as one of the creditors of the bankruptcy debtor must be coupled with other creditors in obtaining payment of wages and other labor rights of the bankruptcy estate. This study aims to answer the question as follows; first, how the position of wage bills and other labor rights in order of priority debt payments. Second, how efforts to be made by the workers against the decision of the bankruptcy to obtain labor rights set out in the legislation in force. And lastly, how payment of wages and fulfillment of the rights arising from layoffs in the case of bankruptcy PT Fit-U Garment Industry."
2015
T46325
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>