Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 173936 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Leo Jimmi Agustinus
"Membahas penagnanan perkara tindak pidana pencucian uang khususnya dalam hal perlu tudaknya pembuktian tindak pidana asal dalam penanganan tindak pidana pidana pencucian uang dan kaitan antara dua tindak pidana tersebut. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bersipat deskriptis analisis, dimana data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif, Penelitian ini berkesimpulan bahwa adanya hubungan berkelanjtan yang terpisah dan berdiri sendii sendiri antara tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang, adanya kesamaan bentuk antara tindak pidana pencucian uang dngan tindak pidana penadahan, dan dalam penanganan tindak pidana pencucian uang tidak diperlukan untuk pembuktian terlebih dahlu tindak pidana asalnya. Penelitian ini juga menyarankan agar setiap komponen dalam sistem peradlan pidana untuk mempunyai kesamaan sikap mengenai kesimpulan penelitian ini menyarankan bagi penegak hukum untuk memberikan ruang seluasnya bagi terdakwa tindak pidana pencucian uang untuk menggunakan haknya sesuai UUPPTIPPU.

This thesis details on administering cases on money laundering criminal act specifically on whether or not os required origin criminal act burden of proof in money laundering criminal act and connection between both criminal act. This study shall be a normative legal study and analysis descriptive in nature, whereby the collected data will be analyzed qualitatively. This study concluded that there exists a separate and independent sustainable relationship between origin criminal act and money laundering criminal act, a similarity of form between money laundering criminal act and fencing criminal act, and in administering money laundry criminal act it is not required to first proof its origin criminal act. Further, this study suggests for each component in the criminal justice system to have a unity of attitude to the conclusion of this study for the formation of an integrated criminal justice system. This study also encourages legal practitioners to provide the broadest space to money laundering criminal defendant to utilize his/her right under UUPPTPPU."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28944
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Topik Gunawan
"Aktivitas pencucian uang merupakan modus tindak pidana yang semakin kompleks dengan menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup rumit. Tindak pidana pencucian uang merupakan mata rantai dari suatu kejahatan dan memiliki dampak yang luar biasa. Salah satu kendala yang dihadapi adalah mengenai hukum acara, khususnya dalam hal pembuktian. Pembalikan beban pembuktian diatur di dalam UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003, tetapi tidak jelas maksud pembuktian tersebut apakah dalam konteks untuk menghukum orang yang bersangkutan atau untuk menyita harta kekayaan yang bersangkutan. Tulisan dengan judul Penerapan Pembalikan Beban Pembuktian dalam Proses Peradilan Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang, menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan empiris yang bersifat kualitatif. Dari hasil penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa dasar pemikiran penerapan pembalikan beban pembuktian pada proses peradilan perkara tindak pidana pencucian uang di Indonesia adalah untuk memecahkan kesulitan Halam membuktikan masalah yang hanya diketahui oleh si pelaku, karena modus pencucian semakin kompleks dan canggih. Penerapan asas ini juga berdasarkan asumsi jika predicate erime belum diadili, sementara penegak hukum akan memproses perkara pencucian uang, maka konsekuensinya digunakanakan mekanisme pembalikan beban pembuktian. Secara politis Indonesia mengadopsi pembalikan beban pembuktian dalam UU TPPU karena adanya desakan dari FATF (Financial Action Task Force). Kesimpulan berikutnya adalah bahwa dalam praktek peradilan perkara tindak pidana pencucian uang di Indonesia, Pembalikan beban pembuktian belum pernah digunakan. Oleh karena itu, dalam kenyataannya peran jaksa dalam pembuktian perkara tindak pidana pencucian uang secara umum sama saja dengan pembuktian dalam perkara pidana lain. Perbedaannya tampak dalam penyusunan surat dakwaan dan pengajuan alat-alat bukti untuk mendukung pembuktian di persidangan. Di masa depan, pengaturan pembalikan beban pembuktian dalam proses peradilan perkara tindak pidana pencucian uang harus berangkat dari pendekatan mengejar uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan (follow the money), dengan maksud memupus motivasi seseorang untuk melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, kebijakan legislasi mengenai pengaturan pembalikan beban pembuktian tindak pidana pencucian uang hendaknya merupakan perpaduan antara criminal procedure (prosedur pidana) dan civil procedure (prosedur perdata). Di samping itu juga, dituntut peran hakim dalam menerapkan asas ini agar tujuan penegakan hukum anti pencucian uang dapat tercapai.

Money laundering activity is crime modus that its increasingly complex by using technology and finance engineering that is complicated enough. Money laundering crime is link from a crime and has remarkable impact. One of constraint faced is criminal procedure, especially in the proof. Reversal burden of proof as arranged in Law No. 15/2002 as has been changed with Law No. 25/2003, but it doesn’t defined intended the proof in context to punish the persons or confiscate their properties. Article with title Application of Reversal Burden of Proof in juridical process of money laundering cases, applies research method of yuridis normatif and empiric having the character of qualitative. Applying rationale of reversal burden of proof at jurisdiction process of money laundering crime case in Indonesia is an effort to broke the difficulty to proving problem which only know by the criminal, because wash modus increasingly complex and sophisticated. Applying of this principle also based on assumption if predicate crime had not been judged, where as law enforcer will process money laundering case, so the consequence by using the reversal burden of proof mechanism. Politically Indonesia adopts reversal burden of proof in money laundering acts, caused by pressure from FATF (Financial Action Task Force). However, jurisdiction in action of money laundering crime case in Indonesia, reversal burden of proof have never been done. Therefore, the role of prosecutor in prove of money laundering crime case in general equal to prove in other criminal. The difference is seen in compilation of accusation and proffering of evidences to support verification in court. In the future, arrangement of reversal burden of proof in process of jurisdiction of money laundering crime case leaves from approach to pursue money or properties by obtained from result of crime (follow the money), extinctly motivated someone to do a crime. Therefore, policy of legislation about arrangement of reversal burden of proof in money laundering crime shall be solidarity between criminal procedure and civil procedure. Beside that, it is claimed the role of judge in applying this principle for the purpose of law enforcement on money laundering can be reached."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T37124
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Annissa Kusuma Hasari
"Tesis ini membahas mengenai kewenangan penyidikan tindak pidana pencucian uang. Indonesia memiliki PPATK sebagai Financial Intelligence Unit yang hanya bersifat memberikan informasi kepada Polri dan Kejaksaan RI. Hasil laporan analisa yang disampaikan oleh PPATK belum cukup memadai untuk dilakukan penyelidikan maupun penyidikan tindak pidana pencucian uang. Maka dapat dikatakan bahwa rezim pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia belum berjalan dengan maksimal. Selain itu apabila penyidik (selain Polri) menemukan adanya indikasi perbuatan pencucian uang, namun penyidik tindak pidana asal remyata tidak memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang. Untuk itu perlu diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang kepada penyidik tindak pidana asal (multi investigators system).

The focus of this studi is about authority in money laundering investigation in Indonesia. Indonesia has PPATK as a Financial Intelligence Unit that only feeds informations to Police and General Attomey. The infonnations that given by PPATK is not enough to start an money laundering investigation. That is why we can say Indonesian anti money laundering rezim is not running effectively. The problem occurs, when an investigator (except Police) finds some money laundering offences from predicate crime that they are investigating, but that investigator does not have investigation authority. That is why some investigators of predicate crime need giving investigation authority of money laundering (multi investigators system)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26107
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Richard Loekito
"Pertanggungjawaban pidana korporasi bukan hal yang baru di hukum Indonesia. Terbukti dengan sejak tahun 1951 sudah terdapat perundang-undangan di Indonesia yang menerima korporasi sebagai subjek hukum pidana. Selanjutnya perkembangan pertanggungjawaban korporasi semakin terlihat dalam peraturan perundang-undangan diluar KUHP. Namun sangat di sayangkan bahwa di dalam KUHP, korporasi belum dianggap sebagai subjek hukum pidana. Ditambah dalam KUHAP yang kita milikipun belum terdapat hukum acara mengenai korporasi. Dengan tidak adanya pedoman pasti mengenai pertanggungjawaban korporasi baik dalam KUHP dan KUHAP, maka dalam setiap perundangundangan pengertian dan sebutan korporasi pun berbeda-beda, sehingga hal tersebut menimbulkan permasalahan.
Dalam tesis ini akan dibahas secara khusus apakah partai politik termasuk kedalam pengertian korporasi, khususnya dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Kemudian akan dibahas mengenai bagaimana melakukan pencucian uang melalui partai politik, apa dampak yang ditimbulkan apabila terdapat partai politik yang melakukan pencucian uang serta, apa akibat hukum dari partai politik yang terlibat melakukan tindak pidana pencucian uang. Sebagai bagian terakhir akan diberikan kesimpulan dan saran mengenai permasalahan tersebut agar hukum Indonesia dapat menjamin keadilan dan kepastian hukum.

Indonesia is already acknowledge Corporate crime responsibility. Its proven that since 1951 indonesia already have a regulation that accepted corporation as a subject of criminal law. After that in the progress about corporate criminal responsibility, theres a lot of regulation outside the criminal code that legislate about it. That makes in Indonesia criminal code, does not have the regulation about corporate criminal. The same goes to the regulation of procedural law in Indonesia. The problem that we have is because the rule about corporate criminal responsibility is spread in many regulations, that makes the definitions about it is based on many regulation.
This thesis will explain about the definition about corporate criminal responsibility especially about political parties. Is the definition of political parties are included in the definition of corporation based on regulation about money laundering. It will be discussed about how to do it in political party. Last but not least it will discuss about legal consequences if political parties are proven doing a money laundering. At the end of this thesis there will be a conclusion and suggestion about the problems so that Indonesia will have a better regulation about corporate criminal responsibility especially about political party criminal responsibility.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41567
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Rejeki
"ABSTRAK
Kedudukan Pelapor dan Saksi tindak pidana pencucian uang dalam sistem
peradilan pidana berpotensi mendapatkan ancaman dari pihak-pihak yang tidak
menginginkan kasusnya terbongkar sehingga mereka tidak berani
mengungkapkan kesaksiannya. Kebutuhan atas perlindungan terhadap Pelapor
dan Saksi suatu tindak pidana pada umumnya tidak terlepas dari pentingnya
peranan Pelapor dan Saksi dalam proses peradilan pidana. Khusus untuk
perlindungan bagi Pelapor dan Saksi TPPU, ketentuannya telah ada sejak
Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang disahkan pertama kali tahun
2002, selanjutnya diubah pada tahun 2003 hingga pada tahun 2010 disahkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang menggantikan Undang-Undang yang lama.
Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif berupa studi
kepustakaan yaitu meneliti dokumen berupa literatur buku-buku, peraturanperaturan
dan pedoman-pedoman, dan juga melakukan wawancara dengan
narasumber. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan : Apa yang
menjadi dasar pemikiran dari ketentuan pemberian perlindungan bagi Pelapor dan
Saksi tindak pidana pencucian uang?, Bagaimana pelaksanaan ketentuan
pemberian perlindungan bagi Pelapor dan Saksi TPPU setelah keluarnya Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2010? dan Kendala apa yang akan muncul dalam
pelaksanaannya?. Teknis pelaksanaan pemberian perlindungan bagi Pelapor dan
Saksi TPPU mengacu pada PP Nomor 57 Tahun 2003 dan Peraturan Kapolri
Nomor 17 Tahun 2005 yang mengamanahkan pelaksanaan pemberian
perlindungan khusus bagi Pelapor dan Korban kepada Kepolisian RI. Pada tahun
2006 disahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban yang berlaku sebagai ketentuan payung dalam pemberian
perlindungan Pelapor, Saksi dan/atau Korban di tanah air. Undang-Undang
tersebut mengamanahkan pemberian perlindungan dilaksanakan oleh lembaga
khusus bernama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Undang-
Undang Perlindungan Saksi dan Korban ternyata memiliki berbagai kelemahan
yang sedikit banyak akan mempengaruhi implementasi dalam pemberian
perlindungan. Dalam pelaksanaan pemberian perlindungan bagi Pelapor dan Saksi
TPPU, LPSK dapat bekerja sama dengan instansi lain yang menjadi sub sistem
dalam Sistem Peradilan Pidana yakni, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan
Lembaga Pemasyarakatan. Selain itu LPSK juga dapat bekerja sama dengan
PPATK yang mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana
pencucian uang.

ABSTRACT
The position of Reporting Parties and Witnesses of money laundering in
the criminal justice system, potentially under threat from those who do not want
the case revealed that they did not dare reveal his testimony. The need for the
protection of Reporting Parties and Witnesses of a crime is generally not
independent of the importance of the role of Reporting Parties and Witnesses in
the criminal justice process. Especially for the protection of Reporting Parties
and Witnesses of money laundering, the terms have existed since the law of
money laundering was first enacted in 2002, further it was amended in the year
2003. In the year 2010, The Legislature enacted Law No. 8 of 2010 Concerning
Prevention and Eradication of Money Laundering legislation replacing the old
law. By using the research method of normative juridical in which one of them is
library study, which is analysing documents such as books, provisions, guidance,
and also interview with experts. This study is aimed at answering some research
questions : What was the rationale thought of granting protection for Reporting
Parties and Witnesses of money laundering?, How the implementation of the
provisions granting protection for Reporting Parties and Witnesses after
discharge anti money laundering law No. 8 years 2010? and what obstacles
would arise in its implementation?. Technical provisions for the implementation
of Reporting Parties and Witnesses Protection of Money Laundering refer to
Regulation number 57 in 2003 and Chief of Police rule Number 17 0f 2005 which
mandated the implementation of granting special protection to Reporting Parties
and Witnesses to The Indonesian Police. In the year 2006 came out Law No. 13 of
2006 on the protection of witnesses and victims, which acted as a main provision
to protection Reporting Parties, Witnesses and/or victims in Indonesia. The Law
mandated the responsibility for providing protection implemented by specialized
institutions called the Witness and Victim Protection Agency (LPSK). The law of
protection of the witnesses and victims had a weaknesses that influenced the
implementation of granting protection. In the implementation of granting
protection for reporting parties and witnesses in Money laundering, LPSK could
cooperate with other institutions that included in sub system of criminal justice
system such as Police, Attorney, Court, and Prison. Besides, LPSK also could
cooperate with PPATK that has duty to prevent and eradicate of money
laundering.
"
2013
T32556
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daru Iqbal Mursid
"Korporasi didefinisikan sebagi kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisi baik merupakan badan hukum maupn bukan badan hukum. Salah satu bentuk korporasi yang berbentuk badan hukum adalah partai politik. Dalam negara demokrasi, partai politik memiliki peran yag sangat penting untuk menunjang kahidupan berbangsa dan bernegara. Namun, dalam perkembangannya di Indonesia, terdapat beberapa partai politik yang diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Meskipun secara normatif sistem hukum pidana Indonesia telah mengakui partai politik sebagai subjek hukum tindak pidana, namun sampai saat ini belum ada satupun partai politik yang dikenakan pertanggungjawaban pidana, khususnya dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Maka dalam penelitian ini akan dibahas tentang konsep pertanggungjawaban pidana terhadap partai politik yang terlibat tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang, konsep pemidanaan yang dapat dijatuhkan kepada parta politik yang terlibat tindak pidana korupsi dan pencucian uang, dan faktor-faktor yang menghambat dikenakannya pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan terhadap partai politik yang terlibat tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penilitian yuridis-normatif, dengan menggunakan pendekatan masalah peraturan perundang-undangan, perbandingan hukum, dan konseptual.

A corporation is defined as a collection of person and / or assets organized either as a legal entity and not a legal entity. One of corporation that defined as legal entity is a political party. In a democratic country, political parties have a very important role to support the life of the nation and the state. However, in Indonesia, there are several political parties allegedly involved in corruption and money laundering. Although Indonesian criminal justice system has acknowledged political parties as the subject of criminal law, yet to date no single political party has been subject to criminal responsibility, particularly in corruption and money laundering. In this research will be discussed about the concept of criminal liability for political parties that involved in corruption and money laundering crimes, the concept of punishment that can be imposed on political parties that involved in corruption and money laundering, and the inhibits factors for imposition of criminal liability of political parties that involved in corruption and money laundering. The research method used in this research is the method of juridical-normative method, and using statue approach, comparative approach, and conceptual approach.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54727
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gede Putu Darmawan
"Pencucian Uang DenganTindak Pidana Asal Narkotika di Direktorat TindakPidana Pencucian Uang Deputi Pemberantsan BNNPenelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan penyidikan tindakpidana pencucian uang pada Direktorat Tindak Pidana Pencucian Uang DeputiPemberantasan BNN serta mengidentifikasi faktor faktor dominan yangmempengaruhi keberhasilan Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancarasecara mendalam kepada para informan sebanyak 10 sepuluh orang yang adapada Direktorat TPPU Deputi Pemberantasan BNN seperti Direktur TPPU Kasubdit TPPU serta para penyidik TPPU Teori yang digunakan yaitu teoripenyidikan tindak pidana dan pencucian uang Hasil penelitian menjukkan bahwa proses penyidikan tindak pidanapencucian uang yang dilakukan oleh penyidik TPPU sudah berjalan dengan baikpada setiap tahapannya meski belum ada Peraturan Kepala BNN atau SOP yangmengatur khusus penyidikan TPPU Penelitian juga berhasil mengidentifikasibesaran anggaran dan sumber daya penyidik sebagai faktor dominan yangmempengaruhi keberhasilan penyidikan.

Criminal acts Money Laundering Directorate Deputy Pemberantasan BNNThis study aimed to analyze the implementation of the money laundering investigations on Money Laundering Directorate Deputy Eradication BNN and identify the dominant factors that influence the success of Money Laundering Investigation This study used a qualitative approach with in depth interview to the informant as much as 10 ten people there at the Deputy Directorate Combating Money Laundering BNN such as AML Director Head of AML and AMLinvestigators The theory used is the theory of investigation criminal offenses and money laundering Research results that the money laundering investigation is conducted by investigators of AML has been running well at each stage although no Regulation of BNN or SOP specifically governing the investigation of AML There search also identified the amount of budget and resource investigator as the dominant factor affecting the success of the investigation."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yunus Husein
"Money Laundering it considered as a transnational organized crime. T he logic of elimination money laundering it to omit the criminal motivation to enjoy their proceed of crime. The efforts to eliminate money laundering is much related to the issues of national jurisdiction. Thus, it requires international cooperation among countries, where international law is needed Even though there is still no specifyc convention about money laundering, but regulation about money laundering is* partially arranged in some conventions such os Wanna Convention l988 and in UN Convention on Transnational Organized Crimes 2000. ,indonesia has enected a regulation about money laundering that is' UU no. I5 year of.2000, which is amended by no. 25 year of 2003. This article will describe the implementation of international law on money laundering in Indonesia and the reason why Indonesia it still included in the list of non-cooperatives countries and territories (NCCI)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
JHII-1-2-Jan2004-342
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Darma Samadaya Zendrato
"Penjelasan dalam M.v.T (Memorie van Toelichting) menyebutkan bahwa semua unsur-unsur lainnya yang terdapat di belakang unsur opzettelijk, turut diliputi oleh opzet. Begitu juga pada unsur culpa, berlaku ketentuan yang sama seperti pada opzet. Ketentuan ini dapat pula diterapkan pada unsur kesalahan pro parte dolus pro parte culpa, dimana penempatannya berpengaruh pada pengetahuan pelaku mengenai keadan-keadaan yang disebutkan dalam unsur-unsur yang mengikutinya. Dalam rumusan tindak pidana pencucian uang, unsur pro parte dolus pro parte culpa diikuti oleh unsur hasil tindak pidana, dimana definisi unsur hasil tindak pidana mencakup predicate crimes dan double criminality principle.
Dengan perumusan yang demikian, secara teoritis unsur pro parte dolus pro parte culpa turut meliputi predicate crime dan double criminality principle. Artinya,harus dibuktikan bahwa terdakwa mengetahui atau patut menduga predicate crime-nya dan terpenuhi tidaknya double criminality principle. Akan tetapi, jika melihat tujuan pembentuk undang-undang, perumusan predicate crimes dan double criminality principle tidak ditujukan untuk dikaitkan dengan pengetahuan pelaku, karena pada terdakwa tidak dituntut pengetahuan semacam itu, melainkan sekedar pengetahuan bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari kejahatan/pelanggaran hukum. Dalam praktik peradilan di Indonesia, pembuktian pengetahuan pelaku mengenai asal-usul harta kekayaan ternyata masih menunjukkan belum adanya keseragaman pola.

Elucidation of Memorie van Toelichting (M.v.T) states that all other elements behind the element opzettelijk, are also influenced by opzet. Likewise on the element culpa, the same provision on opzet applies. This provision can also be applied on the element of pro parte dolus pro parte culpa, where its placement affect on perpetrator?s knowledge of conditions mentioned in the following elements. In the formulation of money laundering crime, pro parte dolus pro parte culpa element is followed by elements of proceeds of crime, while proceeds of crime are defined covering predicate crimes and double criminality principle.
With such definition, theoretically pro parte dolus pro parte culpa element influences predicate crime and double criminality principle. That is to say, it has to be proven that the perpetrator knows or should suspect the predicate crime and whether or not double criminality principle fulfilled. However, if we consider legislator?s intention, the formulation of predicate crimes and double criminality principle are not intended to be associated with perpretator's knowledge, because perpatrator is not supposed by that sort of knowledge, but mere knowledge that the proceeds of crime derived unlawfully/from crime. In Indonesian judicial practice,the process of proving on perpetrator's knowledge of deprivation of proceeds of crime still doesn't have a uniformed pattern.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46275
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tubagus Irman
"On money laundering based on Indonesian laws and regulations."
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017
345.023 TUB m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>