Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 186617 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Ismet Karnawan
"Tesis ini membahas mekanisme dan penentuan pihak-pihak yang terlibat tindak pidana korupsi dalam Laporan Hasil Audit Investigasi (LHAI) Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta Penggunaan Laporan Hasil Audit Investigasi (LHAI) BPKP sebagai alat bukti dalam Sistem Peradilan Pidana. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundangundangan (statute-approach), pendekatan konsep (conceptual approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach) yang hasilnya lalu dideskripsikan. Hasil penelitian ini menyarankan bahwa mengingat bahwa banyaknya peraturan yang digunakan dalam pelaksanaan audit investigasi yang tumpang tindih satu sama lain, diperlukan sinkronisasi peraturan terutama tentang jenis-jenis bukti audit, pembicaraan dengan obrik (obyek yang diperiksa) pasca audit serta unsur-unsur perbuatan yang perlu diungkap dalam suatu audit investigasi. Dalam LHAI, secara hukum seyogyanya BPKP tidak melakukan penentuan pelaku yang diduga terlibat tindak pidana korupsi, karena penentuan pelaku adalah domain hukum pidana, dalam hal ini penyidik. BPKP lebih tepat kalau hanya hanya melakukan penghitungan kerugian keuangan negara dengan penggambaran secara deskriptif modus operandi tindak pidana korupsi sesuai dengan kompetensi BPKP selaku auditor intern pemerintah, MOU atau nota kesepahaman antara lembaga Kepolisian dan Kejaksaan dengan BPKP tidak perlu dipertahankan. Kerjasama penanganan perkara sebaiknya dilakukan dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berdasar undang-undang, agar lebih kuat dan independen dari sisi pembuktian bilamana dipertanyakan oleh pihak-pihak di persidangan.

This thesis discusses about the mechanism and the determination of the parties involved corruption in the Audit Report of Investigation (LHAI) Board of Finance and Development Control (BPKP) and the use of the Audit Report of Investigation (LHAI) BPKP as evidence in the Criminal Justice System. This study is a normative juridical approach to research legislation (Statute-approach), conceptual approach and the comparative approach the results and then described. The results of this study suggest that the number of rules used in the audit investigations that overlap each other, the synchronization rules are needed, especially regarding the types of audit evidence, talks with the ?obrik? (the object being examined) the post audit and elements that need to act disclosed in an audit investigation. In LHAI, legally BPKP should not make the determination of the parties allegedly involved in corruption, because the determination of the parties is the domain of criminal law, and not the investigator. BPKP more appropriate if only just calculating financial losses in a descriptive depiction of the state with the ?modus operandi? of corruption in accordance with the competence of internal auditors BPKP as government, MOU or a memorandum of understanding between National Police and State Prosecutor with BPKP not need to be maintained. Cooperation case handling should be done by the Supreme Audit Board (BPK) is based on legislation, to be more robust and independent of the evidence when questioned by the parties in court. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28984
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
cover
Muhammad Adnan Kohar
"Permasalahan yang timbul ketika harapan dan arah kebijakan pemberantasan korupsi oleh penyidik Polri tidak diikuti dengan pembangunan sistem penyidikan yang baik atau konsep yang luar biasa (extra ordinary measure) pada organisasi Polri. Terutama jika dikaji dari sudut pandang sistem hukum baik dari aspek substansi hukum, struktur hukum maupun kultur hukum, maka sistem penegakan hukum oleh Polri belum dapat menjamin terwujudnya pemberantasan korupsi yang optimal. Pada penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil Penelitian ini adalah bahwa kualitas Penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri berkaitan dengan pengungkapan Tindak Pidana Korupsi masih tergolong rendah. Rendahnya kualitas diketahui berdasarkan indikator-indikator sebagai berikut: 1) Kondisi proses penyidikan tindak pidana korupsi dilakukan oleh Direktorat Tindak Pidan Korupsi Bareskrim Polri saat ini masih belum efektif dan optimal. 2) Kondisi Penguasaan Undang-Undang Korupsi yang dikuasai oleh penyidik dan penyidik pembantu Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri masih sangat lemah sehingga penerapan pasal dan perundang-undangan menjadi kurang tepat. 3) Kondisi Sarana, Prasarana dan Anggaran yang dimiliki oleh Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri masih terbatas dalam rangka menopang kegiatan penyidikan perkara korupsi. Metode penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri dalam perspektif presisi studi kasus pada Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri dengan menggunakan layanan E-Manajemen Penyidikan.

The problem that arises when the expectations and direction of the anti-corruption policy by Polri investigators are not followed by the construction of a good investigation system or an extra ordinary measure in the Polri organization. Especially if it is studied from the point of view of the legal system both from the aspects of legal substance, legal structure and legal culture, then the law enforcement system by the National Police has not been able to guarantee the realization of optimal eradication of corruption. In this study, the researcher used a qualitative approach. The result of this study is that the quality of investigators from the Directorate of Corruption Crimes of the Civic Police related to the disclosure of Corruption Crimes is still relatively low. The low quality is known based on the following indicators: 1) The condition of the corruption investigation process carried out by the Directorate of Corruption And Corruption of the Police Civic Police is currently still not effective and optimal. 2) The condition of control of the Corruption Law controlled by investigators and auxiliary investigators of the Directorate of Corruption Crimes, Civic Police, is still very weak so that the application of articles and laws is not appropriate. 3) The condition of the facilities, infrastructure and budget owned by the Directorate of Corruption Crimes of the Civic Police is still limited in order to support the investigation of corruption cases. The method of investigating the Directorate of Corruption Crimes of the Police CID in the perspective of precision of case studies at the Directorate of Corruption Crimes of the Police Circumcision using the E-Management Investigation service."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darwis Ahmad Naomi
"ABSTRAK
Maksud dari tulisan ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai upaya pencegahan tindak korupsi yang marak terjadi di Indonesia dan menyebabkan kerugian secara ekonomi bagi Indonesia. Untuk mencegah terjadinya tindak korupsi terutama dalam instansi pemerintah, didirikannya Badan Pengawasan Keuangan dan Pembagunan BPKP. Berdirinya BPKP sebagai perwujudan pencegahan penyalahgunaan keuangan pada instansi pemerintah. Salah satunya dengan menggunakan sistem Fraud Control Plan yang dilakukan dengan lima tahapan yaitu Sosialisasi, Diagnostic Assessment, Bimbingan Teknis Implementasi, dan Evaluasi Atas Implementasi. Pada sistem ini terdapat kaitannya dengan teori pilihan rasional dan kontrol sosial, dimana kedua teori tersebut membantu pemahaman mengenai ruanglingkup sosial PT. XYZ. Sehingga sistem Fraud Control Plan dapat terlaksana dengan baik dan menghasilkan kinerja para pegawai PT. XYZ yang sesuai dengan keinginan yaitu bebas dari adanya tindak penyimpangan.

ABSTRACT
The purpose of this paper is to provide an overview of the prevention efforts of corruption that are rampant in Indonesia and cause economic losses for Indonesia. To prevent the occurrence of acts of corruption, especially in government agencies, the establishment of the Financial and Development Supervisory Board BPKP . Establishment of BPKP as a manifestation of the prevention of financial misuse on government agencies. One of them is by using Fraud Control Plan system which is done with five stages Socialization, Diagnostic Assessment, Technical Implementation Guidance, and Evaluation on Implementation. In this system is related to the theory of rational choice and social control, where both theories help understanding the social scope of PT. XYZ. So that Fraud Control Plan system can be done well and produce performance of employees of PT. XYZ in accordance with the desire that is free from the existence of acts of irregularities."
2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tiyas Widiarto
"Ketentuan undang-undang mensyaratkan perlu adanya ijin dari pejabat yang berwenang sebelum melakukan pemeriksaan terhadap pejabat-pejabat negara tertentu. Latar belakang dan pertimbangan ketentuan undang-undang yang mengatur tentang ijin pemeriksaan diantaranya adalah untuk menjaga kewibawaan, martabat dan kedudukan pejabat negara dalam menjalankan tugasnya. Ketentuan ini memberikan perlakuan yang berbeda (diskriminasi) antara pejabat negara tertentu dan warga negara biasa, sehingga tidak sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan didepan hukum (equality before the law) dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 serta ketentuan perundang-undangan lain. Prinsip ini mengharuskan negara tidak melakukan diskriminasi terhadap warga negaranya, baik dalam proses peradilan maupun pemerintahan. Ketika pejabat negara harus berhadapan dengan proses hukum, baik sebagai saksi ataupun sebagai tersangka, dia wajib diperlakukan sama, tanpa melihat status ekonomi, kedudukan maupun jabatannya. Ketentuan ini juga tidak sesuai dengan prinsip peradilan yang cepat dan sederhana. Seseorang yang diduga terlibat tindak pidana harus segera mendapat pemeriksaan guna memberikan kepastian hukum terhadap yang bersangkutan, dan penyidikan terhadap kasus tersebut berjalan dengan lancar. Sampai scat ini belum ada penolakan secara formal dari pejabat yang berwenang terhadap ijin yang diajukan oleh penyidik. Bentuk penolakan pemberian ijin dilakukan dengan tidak mengeluarkan ijin pemeriksaan dalam jangka waktu yang cukup lama tanpa alasan yang jelas. Lamanya tenggang waktu keluarnya ijin tanpa limitasi waktu yang pasti dan panjangnya alur birokrasi pengajuan ijin pemeriksaan berpengaruh terhadap jalannya penyidikan tindak pidana korupsi. Tertundanya pemberian ijin dari pejabat yang berwenang mengakibatkan tertundanya juga pemeriksaan terhadap yang bersangkutan, sehingga pada akhirnya penyelesaian terhadap kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat tersebut juga tertunda atau bahkan "mandek". Namun khusus pemeriksaan terhadap kepala daerah, dapat dilakukan tanpa menunggu ijin dari Presiden, karena menurut pasal 36 ayat (2) UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, proses penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tetap dapat dilakukan, apabila ijin pemeriksaan tersebut tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan.

The regulation set out the requirements of permit from authorized governmental officer prior to inspect any certain state officer. Consideration background of rules regulating regarding inspection permit, among other thing to maintain authority, prestige and position of such state officer in running his/her duties. It had resulted in the discrimination treatment among his/her with other large public citizens, and it had contradicted with principle of equality before the law and with Constitution 1945 as well as other legislations. Those principles had not discriminated among any citizen with Others either in judicature or governmental process.. When any state officer should present before the court either as witness or prosecuted then, she/he should be treated equally, without considering his/her economic status, position and others. Also it had not been suitable with principle of fast and simple judicature. Any person who had become involved in criminal case presumably, immediately, he/she should be inspected or investigated in order to give legal certainty with his/her, and such case investigation may be proceed fluently. To date the formal refusal from authorized governmental officer filed by investigator had never been found. The refusal of giving permit no conducted by issuing inspection permit for long enough period and without the real arguments. The length both of period to issue permit by unlimited time and bureaucracy process it had influenced the process of corruption commitment investigation. The postponement of giving permit from authorized governmental officer, also it had resulted in the cancellation of such person case, subsequently, the case of supposed corruption commitment of such person is cancelled or even stagnant. Nevertheless, specially, for case of Local Governmental Head, it may be conducted without waiting permit from President, because, according to Article 36 paragraph (2) UU.No.32 year 2004 on Local Government, inspection and investigation process to Head/Vice of Local Government it may be realized provided that such inspection permit no given by President at least sixty (60) days calculated since the receipt of application."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19446
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Farkhan Askari
"Hukum acara pidana ruengatur proses penyidikan dan penuntutan.Penyidik dan penuntut umum memiliki kewenangan untuk melakukan penghentian penyidikan atau penuntutan dengan syarat-syarat yang telah digariskan dalam KUHAP. Untuk menguji sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan tidak dilakukan secara sah maka terbuka kesempatan untuk melakukan pengawasan dan koreksi terhadapnya. KUHAP memberi hak kepada penyidik, penuntut umum serta pihak ketiga yang berkepentingan untuk melakukan pengawasan dan koreksi melalui lembaga praperadilan.Menjadi perdebatan adalah siapa pihak ketiga yang berkepentingan tersebut. Banyak pihak menafsirkannya sebagai saksi korban yang dirugikan atas terjadinya tindak pidana serta pelapor. Dalam tindak pidana korupsi maka masyarakat adalah korban. Korupsi telah melanggar hak sosial ekonomi masyarakat serta menghambat pembangunan yang hasilnya seharusnya dapat dirasakan dan memberikan kesejahteraan pada masyarakat. Sementara undang-undang tidak secara tegas dan jelas memberikan hak kepada masyarakat untuk mengambil langkah hukum apabila terusik rasa keadilannya dengan dilakukannya penghentian penyidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi. Penegak hukum, termasuk juga hakim yang mestinya dapat menemukan hukum yang lebih berpihak pada masyarakat dan lebih memenuhi rasa keadilan masyarakat justru sering bersikap tidak menerima apabila masyarakat hendak melibatkan diri dalam proses peradilan pidana sebagai pihak ketiga yang berkepentingan. Mereka lebih banyak berpikiran positivistik, legisme, yang hanya melihat pada undang-undang saja. Apabila tidak diatur dalam undang-undang bererti tidaka ada hak masyarakat melibatkan diri dalam proses peradilan pidana.Untuk itu tesis ini meneliti dan menganalisa tentang 1)siapa pihak ketiga yang berkepentingan yang dapat mengajukan praperadilan dalam penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tindak pidana korupsi, 2) apakah yang menjadi alas hak pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan praperadilan dalam penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tindak tindak pidana korupsi, dan 3) hambatan yang ditemui dalam praktek praperadilan oleh pihak ketiga yang berkepentingan dalam penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tindak pidana korupsi, bagaimana hukum acara pidana yang akan datang mengakomodirnya.

Code of criminal procedure regulates investigation and prosecution process. Investigator and prosecutor have authority to ceasing investigation or prosecution by requirement as provided in code of criminal procedure. Then, to test whether or not the ceasing of investigation or prosecution validly, it have opportunity to opened case to supervised and correct. Code of criminal procedure had entitled to investigator, prosecutor and third party concerned to supervised and correct with "pretrial" process. It had been debated on which third party concerned is? Mostly parties interpreted as victim who had been harmed from crime and the reporter. Actually, in corruption, the society is the victim. Corruption had broke social-economics right of community and blocked the development which the results should be enjoyed and contributed to society's welfare essentially. Meanwhile, the laws had not given right firmly and clearly to society to have law procedure when their sense of justice had been distract, by ceasing investigation or prosecution of corruption. In the other side, law enforcer including judge who ought to find law that more prone to society and comply with sense of justice of them indeed, they had not received society who will involve their selves in criminal justice process as such third party concerned. Most of them had more thought of positivistic legalism, solely, they laid case on legislation, so that, if it had not been provided with legislation, then, society having not right to involve their selves in criminal justice process. However, this thesis researches and analyze regarding . 1) which third party concerned that may apply "pre-trial" to terminate investigation or prosecution of corruption criminal act is?; 2) what kind of arguments of such third party concerned to apply "pre-trial" in terminating investigation or prosecution of corruption?; and 3) the obstacles founded in "pre-trial" practiced by such third party concerned in ceasing investigation or prosecution of corruption, finally, how code of criminal procedure may accommodate it in the future."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19634
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Lowryanta
"Ketika Indonesia ditahbiskan menjadi negara ketiga paling korupsi didunia, mengherankan tidak ada yang heran sama sekali. Seakan semua fenomena ini sudah being firr granted yang tidak perlu di perdebatkan lagi di negara yang "berdasar pada hrrkum dan bukan pada kekuasaan" seperti yang diamanatkan oleh Konstitusinya. Ketidakherananan publik pada tingkat korupsi, oleh karenanya seringkali diikuti oleh apatisnie akan kemainpuan sistem hukum dan budaya yang ada untuk memberantas korupsi. Apatisme ini tidaklah berlebihan apabila dititik dari track record penegak hukum dalam penanganan tindak pidana korupsi, sehingga muncullah sarkas bahwa "Indonesia adalah negara yang sangat tinggi korupsinya namrm tidak ada koruptornya". r Korupsi di Indonesia yang tetjadi dalam 30 tahun keluarga Soeharto dan kroninya membuat masyarakat tercengang: Setelah Orde Baru berlalu, hingga saat ini tidak ada tanda-tanda kesadaran pemerintah bahwa "disamping krisis ekonomi yang dirasakan nyata oleh masyarakat, terdapat pula krisis hukum yang sudah sarnpai tahap rnenyedihkan Korupsi juga telah mempengaruhi kehidupan ketatanegaraan dan merusak sistem perekonomian dan macyarakat dalam skala besar. Pelaku perbuatan yang dipandang koruptif itu tidak ierjangkau oleh undang-undang yang ada dan selalu berlindung dibalik asas Iegalitas karena pada umumnya dilakukan secara terorganisir dan oleh mereka yang memiliki karekateristik high level educated dan status dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan pemahaman terhadap masalah tersebut diatas, pemerintah dan Lembaga Legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat} telah membentuk dan mensahkan Undang-Undang No: 30 tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Kebijakan ini merupakan "political will" dari pemcrintah dengan suatu tekad dengan membentuk suatu badan anti korupsi untuk meinberantas segala bentak penyelewengan dan korupsi yang terjadi selama 3 dasawarsa ini, demi menyelamatkan kcuangan dan pcrekonomian negara guna mewujudkan aparatur pemerintah dan aparat penegak kukum yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T19199
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nena Esse Nurasifa
"ABSTRAK
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah sebuah lembaga yang dibentuk
oleh Undang-Undang No. 32 Tahun 2010 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi, karena perlunya suatu upaya luar biasa untuk untuk mengatasi,
menanggulangi, dan memberantas korupsi di Indonesia. Apabila melihat kinerja
dari Komisi Pemberantasan Korupsi di beberapa kasus tindak pidana korupsi yang
ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi seperti kasus Djoko Susilo, Jaksa
Komisi Pemberantasan Korupsi, dalam dakwaannya juga mendakwakan Pasal
Tindak Pidana Pencucian Uang kepada para terdakwa. Skripsi ini akan membahas
lebih lanjut terkait dengan bagaimana kewenangan penyidikan KPK atas tindak
pidana pencucian uang sebelum adanya tindak pidana korupsi simulator sim yang
didakwakan kepada Djoko Susilo didasarkan pada Undang-Undang Tindak
Pidana Pencucian Uang dan apakah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 77/PUUXII/
2015 telah tepat dalam memberikan kewenangan penuntutan tindak pidana
pencucian uang kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

ABSTRACT
Corruption Eradication Commission (KPK) is an institution established by Act
No. 32 of 2010 on the Corruption Eradication Commission, because the need for
an extraordinary effort to to cope with, overcome, and eradicate corruption in
Indonesia. When looking at the performance of the Corruption Eradication
Commission in some cases of corruption handled by the KPK as the case of Djoko
Susilo, KPK prosecutor, the indictment also accuse Money Laundering Section to
the defendant. This paper will discuss more related to how the authority of KPK
investigation on money laundering before the driving licence simulator corruption
of which the accused to Djoko Susilo based on the Law on Money Laundering
and whether the Constitutional Court Decision No. 77/PUU-XII/2015 has the
right to authorize the prosecution of money laundering to the Corruption
Eradication Commission."
2015
S61106
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>