Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 99389 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Siti Soraya Devi Zaeni
"Mengingat begitu maraknya masyarakat Indonesia yang melangsungkan perkawinan sirri, baik masyarakat kalangan menengah kebawah, maupun komunitas pesantren yang kuat secara religius serta mempertimbangkan akibat yang sangat merugikan bagi perempuan dan khususnya anak yang dilahirkan dari kawin sirri tersebut, sedangkan bukti status hukum anak yang dituangkan dalam akta kelahiran yang berdasarkan sah tidaknya perkawinan orangtuanya, sebagaimana dalam pasal 2 Undang - undang perkawinan Indonesia seolah ambivalen, maka perlu dilakukan penelitian dengan pendekatan deskriptif kualitatif mengenai akta kelahiran bagi anak kawin sirri yang dilakukan dengan itikad baik. Akta Kelahiran merupakan bukti identitas diri seseorang mengenai asal usul berdasarkan nasab atau hubungan darah. Menurut Ilmu Biologi, tidak akan lahir seorang anak tanpa peran laki - laki (bapak) yang mengakibatkan wanita (ibunya) mengandung hingga melahirkan anak. Namun dalam hukum seorang anak dapat hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya dan keluarga ibunya saja, atau bahkan tidak memiliki hubungan hukum dengan keduanya (bapak dan ibunya). Ada atau tidak adanya hubungan hukum ini berdasarkan sah atau tidaknya perkawinan dan pengakuan dari kedua orang tuanya. Perkawinan adalah perbuatan hukum yang sangat penting untuk menentukan kedudukan hukum seseorang. Karena sah tidaknya perkawinan merupakan dasar yang menentukan status anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Hukum perkawinan Indonesia tidak mengenal istilah kawin sirri, kawin sirri yang diterjemahkan masyarakat Indonesia tidak sama dengan pemahaman kawin sirri dalam hukum Islam. Menurut Undang - undang perkawinan Indonesia, perkawinan sah apabila dilakukan menurut ketentuan masing - masing agama dan kepercayaannya. Maka kawin sini yang dilakukan dengan itikad baik dengan memenuhi seluruh rukun dan syarat sahnya perkawinan menurut hukum Islam adalah sah. Dengan demikian, sistem hukum yang memberlakukan anak kawin sirri yang dilakukan dengan itikad baik sama dengan anak luar kawin atau anak tidak sah adalah kurang tepat. Kelahiran anak tanpa kehadiran seorang bapak adalah bukan kesalahan anak itu, maka tidak sepantasnya seorang anak dihukum dengan tidak diperkenankan memiliki status hubungan dari bapaknya tersebut. Oleh karena itu, seyogyanya putusannya lembaga Itsbat nikah Pengadilan Agama sebagai solusi dari kawin sirri yang belum dicatatkan, harus dipatuhi oleh semua instansi, baik oleh Kantor Urusan Agama selaku lembaga pencatat nikah, maupun Kantor Catatan Sipil lembaga pencatat kelahiran.

Given so popular in Indonesia that perpetuate marriage under the hand, both the community down middle, and boarding a strong community of religious and consider the very harmful consequences for women and especially children who are bom from marrying under the hand, the proof of legal status while the child is poured in the birth of teaching license based on a valid marriage or not their parents, as in article 2 law - the Indonesia marriage law seems ambivalent, nccd to do the research with qualitative deseriptive approach of teaching license on the birth of children marrying under the hand made with good faith. Birth Certificate serves as proof of a person’s identity concerning origin based on family or blood relation. According to Biology, no child will be bom without the role of a male (father) causing a female (his (her) mother) pregnant and delivers a baby. However in legal perspective, a child may only have a legal relation with his (her) mother and the family of his (her) mother, or even have no legal relation with both of them (his (her) father and mother). Whether such legal relation exists or not depends on validity of marriage between and acknowledgment from both parents. Marriage is a very important legal act to determine a person’s legal position, because validity or invalidity of a marriage serves as basis to determine the status of child bom from the marriage. Indonesian marriage law does not recognize the term purely religious marriage (kawin sirri), the purely religious marriage translated by the Indonesian community is not similar to the understanding of purely religious marriage in the Islamic law. According to the Indonesian marriage law, a marriage is legal if it is held in accordance with each religion and belief. Therefore a purely religious marriage held in good faith by complying with all pillars and requirements of a valid marriage in accordance with the Islamic law is legal. Therefore, a legal system which enforces a child from a purely religious marriage conducted in good faith similar to a child outside marriage or illegal child is inappropriate. Birth of a child without the presence of a father is not the child’s mistake, therefore he (she) should not punished by not allowing him (her) to have a status of relation with his (her) father. Therefore, the institution should decide the Religious Itsbal marriage as the solution of marrying under the hands that have not been recorded."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25957
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Napitupulu, Debora M. I.
"Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yang menggunakan data sekunder sebagai sumber data, dimana dikaji secara mendalam mengenai norma-norma hukum pada hukum perkawinan, sekaligus menggali akibat hukum dari dikeluarkannya putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tentang Uji materil terhadap pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Adanya putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, membawa dasar pijakan baru bagi perlindungan anak luar kawin, akan tetapi juga membawa masalah baru berkaitan dengan anak luar kawin. Anak luar kawin, yang dimaksudkan dalam putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, adalah anak luar kawin dalam arti luas (anak hasil perkawinan yang tidak dicatatkan, anak hasil hubungan zina, anak sumbang/incest). Adanya putusan MK tersebut, berakibat adanya hubungan darah dan hukum antara anak luar kawin, bukan hanya dengan ibu dan keluarga ibunya, akan tetapi juga terhadap ayah dan keluarga ayahnya. Hal tersebut dimungkinkan, selama itu dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lainnya. Putusan tersebut jika dikaitkan dengan ketentuan KUHPerdata, tentang pengakuan dan pengesahan anak (Ps. 273 jo Ps. 49 UU Adminduk), serta ketentuan tentang larangan penyelidikan ayah seorang anak (Ps. 287 KUHPerdata), maka akan saling bertentangan, dan pada akhirnya tujuan dari putusan ini yakni untuk perlindungan anak, tidak sepenuhnya dapat terwujud sepenuhnya.
Sebagai hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa, putusan MK tersebut pada dasarnya tidak berkesuaian dengan ketentuan dalam KUHPerdata, dan sebagai akibatnya ada kekosongan hukum. Sehingga dengan demikian, pemerintah seharusnya membuat peraturan berkaitan dengan anak luar kawin, salah satunya dengan membuat PP berdasarkan amanat pasal 43 ayat (2) Undang-undang perkawinan, dan tetap melakukan perlindungan terhadap anak luar kawin, tidak sebatas keluarnya putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010. Selain itu perkawinan tidak dicatatkan/nikah sirri/nikah di bawah tangan, sebagai penyebab lahirnya anak luar kawin pun sebaiknya dicegah dengan jalan penyadaran masyarakatpun akan pencatatan perkawinan, serta pertimbangan akan keikutsertaan para tokoh agama untuk membantu pencatatan perkawinan."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
S43870
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Selly Suwignyo
"ABSTRAK
Perjanjian Kawin yang diatur dalam Undang Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
dalam Pasal 29 menyatakan bahwa pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan
kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan peijanjian “tertulis” yang
disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Ketentuan ini tidak menegaskan secara rinci
maksud dan isi dari tertulis itu sendiri, apakah secara otentik ataukah hanya bawah
tangan saja. Sehingga menimbulkan berbagai penafsiran yang berbeda. Sementara jika
ditelaah lebih jauh ketentuan tentang pembentukan perjanjian Kawin , maka berbagai
ketentuan dan syarat dalam pembuatan perjanian kawin maka semuanya masih
berpegangan pada ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
Bahkan dalam pasal peralihan Undang Undang Perkawinan dinyatakan jika telah diatur
maka berlaku ketentuan tersebut, maka sebaliknya jika tidak diatur maka berlaku
ketentuan yang Iama( KUH Perdata). Perjanjian Kawin secara otentik, kemungkinan
pelanggaran pelanggaran batas batas hukum dan kesusilaan tersebut dapat
dihindarkan. Perjanjian Kawin yang dibuat dibawah tangan dalam proses
pembuktian mengalami berbagai kelemahan. Bahkan pernyataan pegawai Catatan
Sipil secara tegas menolak jika perjanjian kawin dibuat dibawah tangan.

ABSTRACT
Marital agreement which arranged in Marital Act No 1 ,1974 in Article 29 declares that at
the moment or before marriage is performed thé both sides on a mutual agreement legalized
by the official of marital registry office . This definition doesnt assert the purpose and the
content of the written agreement it self it detail, if it is done authentically or it is un
officially registered at the marital registry office . Then it causes many different
interpretation. In the mean time, if we review about the forming of marital agreement are
still holding on the definition arranged in the code of civil of law. In the temporary of
Marital Act, it is even declared, if it has been arranged then the definition is valid and in
return, if it is not arranged then the previous definition is vail id (Code Civil Law).Therefore
I try to search and do research by doing field research and interview about the way and
valid definition in the purpose of making marital registry office. It is all about a matter of
concerning with the marital definiton made by is then analized according to the definition
and the rule of law in Marital Act and existing regulation. So the result of analysis and
conclution presented in an explanation of disscussion result can be achieved."
2008
T37002
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Mutiara
"Perkawinan siri merupakan perkawinan yang dilakukan secara agama saja atau hanya di depan pemuka agama. Persoalan mengenai perkawinan siri memang masih menimbulkan pro dan kontra. Satu pihak ada yang beranggapan perkawinan seperti itu boleh saja dilakukan, di pihak lain meragukan ke absahannya. Sistem hukum Indonesia tidak mengenal adanya istilah perkawinan siri serta tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan siri dalam sebuah peraturan. Namun, secara umum, istilah ini diberikan bags perkawinan yang tidak dicatatkan kepada Pegawai Pencatat Nikah. Bagaimana status perkawinan siri dimata Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta akibat hukumnya terhadap istri yang dinikahi dan anak yang dilahirkan di dalam perkawinan siri, merupakan masalah yang diteliti dalam tulisan ini.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif yuridis. Perkawinan siri menurut. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan perkawinan yang tidak sah, karena perkawinan jenis ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yakni ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai pencatatan perkawinan. Sedangkan akibat hukum terhadap istri, istri bukan merupakan istri sah dan karenanya tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami serta tidak berhak atas harta gono-gini dalam hal terjadi perpisahan. Terhadap anak, statusnya menjadi anak luar kawin dan karenanya ia hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta sewaktu-waktu ayahnya dapat menyangkal keberadaan anak tersebut, selain itu ia tidak berhak atas nafkah hidup, biaya pendidikan, serta warisan dari ayahnya. Bahwa terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (2) mengenai sahnya perkawinan dan kewajiban pencatatan perkawinan sebaiknya dituangkan ke dalam satu pasal dan bagi yang ingin melakukan perkawinan tersebut dianjurkan untuk mengurungkan niatnya serta bagi yang telah melakukannya dianjurkan untuk mencatatkan perkawinan dengan itsbat nikah atau melakukan perkawinan ulang dan bagi yang non-Islam dianjurkan untuk melakukan perkawinan ulang."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16501
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trijono Rudy Laksono
"BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan hukum atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan, sedangkan hak atas tanah adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Untuk membuktikan adanya perbuatan hukum peralihan hak atas tanah kecuali pemindahan hak melalui lelang, sebagaimana dikehendaki dalam Undang-Undang Pokok Agraria harus dibuktikan dengan akta otentik yang dibuat oleh PPAT.
Sebagai salah satu pejabat yang berwenang untuk membuat akta perolehan hak atas tanah dan bangunan, PPAT tunduk pada ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Namun, dalam praktik masih ditemukan adanya penyimpangan terhadap ketentuan tersebut, dimana akta pemindahan hak atas tanah dan bangunan ditandatangani mendahului kewajiban pembayaran BPHTB. Salah satu contohnya adalah Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT X di Kabupaten Bogor, nomor 1029/2006, tanggal 22 Desember 2006, sedangkan BPHTB dibayarkan pada tanggal 26 Desember 2006. Atas dasar hal tersebut, dipandang perlu melakukan penelitian berkenaan dengan implementasinya dalam praktik terutama terkait dengan akibat hukum terhadap PPAT yang bersangkutan, dan bagaimana keabsahan terhadap akta tersebut.
Metode penelitian yang digunakan bersifat yuridis normatif, pengumpulan data menggunakan data sekunder yang dirangkaikan dengan hasil wawancara dengan informan yang terkait, sehingga diperoleh pembahasan yang sistematis. Hasil penelitian bersifat evaluatif analisis.
Hasil penelitian mengungkapkan, pelanggaran terhadap ketentuan tersebut, PPAT dikenakan sanksi administrasi dan Benda dari Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Kabupaten Bogor. Akta tersebut tetap bisa dipakai sebagai dasar peralihan hak di Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor, dan akta tersebut tetap absah. Pemenuhan BPHTB dapat dilaksanakan apabila PPAT milaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan dengan tegas. Disamping itu adanya bentuk peraturan yang lengkap dan jelas sehingga mudah dimengerti dan dilaksanakan baik oleh masyarakat maupun aparatur perpajakan serta PPAT.

BPHTB is the obtainable tax that is connected with land building rights, which further more called tax. The obtainable of the land and building rights is the law action that's caused the obtainable of land and building rights privately or institutionally. Meanwhile, the land rights that's stated on the legislation no.5, 1960 about the basic agrarian affair regulation. In order to prove that there is a law action on the transferring of the right for land use except the auction transferring of land right. Considering the agrarian affair regulation it must be proved by the authentic deeds which are made by PPAT (The Official Authorized to Make Land Deed).
PPAT as one of the official that has an authority to make the obtainable deed of land and building right. Its surrender to the obtainable of land and building tax 24:1 No.20, 2000. Hence, practically we still found the deviation of regulation. It happened when the transferring of the right for land and building has been signed before the advance payment of BPHTB. As we can see in the example here that the trade (buy and sell deed) made by the PPAT X in Bogor District No.1029/2006 December 26th, 2006. Other wise BPHTB was paid in December 2'1 2006. Based on the fact above, the research need to be done on dealing with practical implementation, especially related to the law effect toward it (PPAT) and the legality of its deed.
The research methodology use the juridical normative, data collection for collecting the data the systematical study has been used where the secondary data was connected to the data result of interviewers.
The result of the study is the evaluative analysis. It showed that the there is the infraction rule. PPAT will be taken administrative measures against PPPBB (The Land and Building Tax Service Office of Bogor). The deed can still be used as the basic transferring of the land right in Bogor Agrarian Office and it still legalized. The fulfillment of BPHTB can be applied when PPAT do the rule that has been legalized. On the other hand for the understanding, the complete and brief regulation must be stated and it can be done by the citizen and also by the official authorized tax (PPAT).
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19621
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nitra Reza
"Pada saat ini perbuatan perjanjian kawin masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat tidak setuju karena perjanjian kawin dianggap tidak etis sehingga dapat menyinggung perasaan suami. Sebagian kecil masyarakat setuju dengan perjanjian kawin karena merupakan salah satu kebutuhan bagi yang membutuhkannya. Perjanjian kawin merupakan suatu upaya yang dapat dilakukan oleh isteri untuk melindungi harta yang dimilikinya. Pada saat ini perjanjian kawin dapat dibuat secara tertulis balk notariil maupun dibawah tangan. Dari beberapa macam perjanjian kawin yang aria, maka perjanjian kawin yang tepat untuk melindungi harta isteri dalam perkawinan ialah perjanjian kawin diluar persekutuan harta benda dalam perkawinan. Dengan adanya perjanjian kawin maka isteri dapat melakukan berbagai perbuatan hukum. Misalnya menandatangani perjanjian kredit dan juga berbagai macam perbuatan lainnya antara lain yang berkaitan dengan tanah dalam rangka menandatangani Akta Jual Beli, Akta Hibah, Akta Pemberian Hak Tanggungan dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan tanpa meminta persetujuan suami sebagai teman nikahnya. Peranan Notaris sangat dibutuhkan untuk melayani kepentingan masyarakat umum dalam hal membuat akta otentik maupun legalisasi akta dibawah tangan. Perbedaan antara akta notaril dengan dibawah tangan terletak pada daya pembuktiannya. Akta notaril memiliki daya pembuktian secara lahiriah sehingga menjamin kepastian hukum dan tanggal. Dengan metode kepustakaan dan wawancara dengan informan, terbukti bahwa semua akta perjanjian kawin yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan semuanya dibuat secara notariil."
2005
T14532
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erika Nurul Jauhary
"Pada 1974 Indonesia memiliki undang-undang mengenai perkawinan yaitu UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai unifikasi landasan hukum perkawinan untuk bangsa Indonesia, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan paua dasarnya berasaskan monogami tetapi di dalam Pasal 3 ayat (2) terdapat suatu pengecualian sehingga asas monogami bergeser menjadi asas monogami tidak mutlak, hal ini berdampak membawa peluang bagi para pria untuk melakukan poligami. Berkaitan dengan hal tersebut maka yang menjadi pokok permasalahan adalah apakah akibat hukum dari perkawinan yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan? Apakah di dalam praktik izin untuk berpoligami telah sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Putusan Nomor Z/Pdt.G/2004IPAJS)? Apa akibat hukum apabila persetujuan tertulis dari isteri ternyata merupakan hasil rekayasa suami? Dan perlindungan hukum apa yang dapat diberikan kepada isteri?
Bentuk penelitian dari tesis ini adalah evaluatif-analitis-preskriptif di mana penulis akan mengevaluasi Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di dalam praktik, menganalisis pokok permasalahan yang ada, dan memberikan saran. Dengan demikian, simpulan dari tesis ini adalah akibat hukum dari perkawinan poligami yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah tidak sah karena pengadilan tidak akan mengeluarkan izin poligami dari pemohon.
Di dalam kasus putusan permohonan izin poligami Nomor Z/Pdt.G/2004/PAJS yang diajukan oleh Tuan X, pengadilan memberikan izinnya kepada Tuan X untuk berpoligami sehingga perkawinan poligami yang dilakukan Tuan X?adalah sah dan dapat dicatatkan. Akibat hukum apabila persetujuan tertulis dari istri guna mengajukan permohonan poligami kepada pengadilan terbukti merupakan hasil rekayasa suami maka perkawinan poligaminya dianggap tidak sah dan diancam dengan peabatalan, dan bagi suami dapat dikenakan sanksi pidana berkaitan dengan pemalsuan surat atau dokumen.
Saran yang dapat diberikan penulis adalah UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan perlu mendapat revisi terutama berkaitan dengan poligami, karena pengaturan tentang poligami dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan saat ini sangat umum sehingga banvak menimbulkan penatsiran dan mengeneralisasi posisi istri yang dianggap tidak dapat menjalankan kewajibannya."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16488
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Vina Prisilia Octaviani
"Tesis ini membahas mengenai hak mewaris Anak Luar Kawin secara penggantian terhadap harta peninggalan keluarga ibunya pada golongan Tionghoa Non Muslim setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Hukum Waris yang berlaku bagi golongan Tionghoa Non Muslim adalah sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam KUHPerdata seorang Anak Luar Kawin harus diakui lebih dahulu untuk menimbulkan hubungan hukum antara anak dan ibu yang melahirkannya. Namun setelah UU Perkawinan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ketentuan Pasal 43 ayat 1 harus dibaca, ldquo;anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. rdquo; Makna hubungan hukum yang diberikan antara anak luar kawin dengan keluarga ibunya menyebabkan banyak interpretasi, apakah kedudukan anak luar kawin menjadi sama dengan anak sah atau sama dengan anak luar kawin yang diakui sah tanpa perlu pengakuan sesuai ketentuan dalam KUHPerdata. Apakah kemudian anak luar kawin khususnya golongan Tionghoa Non Muslim memiliki hak untuk mewaris secara penggantian terhadap harta peninggalan ibu dan keluarga ibu? Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif bersifat deskriptif analitis. Menerapkan asas hukum Lex Specialist Derogat Legi Generali, ketentuan dalam KUHPerdata merupakan ketentuan khusus mengenai hukum waris, sedangkan UU Perkawinan merupakan ketentuan umum, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 842 KUHPerdata, dalam hal mewaris secara penggantian tempat hanya dapat dilakukan oleh keturunan yang sah. Jika kedudukan Anak Luar Kawin ingin diperbaiki dengan memberikan hak-hak waris yang lebih baik, perlu dibuat peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang di bidang hukum waris yang baru agar berlaku asas hukum Lex Posterior Derogat Legi Priori terhadap KUHPerdata.

This thesis is about the inheritance rights of Children Born out of Wedlock in Place Fulfillment to his her mother rsquo s family inheritance for Non Muslims Chinese Ethnic after the enacted of Article 43 paragraph 1 Law No. 1 Year 1974 concerning Marriage Law and The Constitutional Court Verdict No. 46 PUU VIII 2010. The Law of Inheritance applied for Non Muslims Chinese ethnic is in Indonesian Civil Code. According to Civil Code, a child born out of wedlock must be recognized to create legal relationship between the child and his her mother. But after the enacted of Marriage Law and The Constitutional Court Verdict No. 46 PUU VIII 2010, Article 43 paragraph 1 must be read, ldquo a child born out of wedlock has legal relations with his her mother and the mother rsquo s family, and with a man as his her father who can be proven on the science basis and technology and or other evidence according to the law has blood relations, including legal relationships with his her father rsquo s family rdquo . The meaning of lsquo legal relationship rsquo given between the child born out of wedlock and the family of the mother raise more than one interpretations, whether child born out of wedlock after the Marriage Law has equal rights with the legitimate child or even without recognition from the mother born out of wedlock has the same position as the recognized child as mention in inheritance law in Civil Code. Do child born out of wedlock have the right of place fulfilllment in inheritance from his her mother and mother rsquo s family especially for Non Muslims Chinese Ethnic according to Article 43 1 Marriage Law This research was conducted by normative juridical research method with descriptive analytical and qualitative approach. In accordance to legal principle Lex Specialist Derogat Legi Generali, Civil Code is the special law concerning the inheritance law, whereas the Marriage Law is the general provision. Consequently Article 842 Civil Code, that stated inheritance by place fulfillment can only done by legitimate descendant, is applied to child born out of wedlock. If we are willing to give child born out of wedlock a better inheritance rights, it is necessary to enact legislation at the Law level in order to apply Lex Posterior Derogat Legi Priori principle to Civil Code."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T51075
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>