Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 155409 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Riski Bagus Purwanto
"Perkembangan Internet dan umumnya dunia cyber tidak selamanya menghasilkan hal-hal yang positif. Salah satu hal negatif yang merupakan efek sampingan atau memang menjadi tujuan, antara lain adalah kejahatan di dunia cyber atau disebut kejahatan mayantara (cyber crime). Dihadapkan dengan sistem hukum pidana di Indonesia, ada satu pertanyaan penting yang dapat diajukan. Apakah sistem hukum pidana ataupun perundang-undangan yang ada, sudah dapat menjangkau bentuk-bentuk kejahatan cyber crime. Untuk menjawab hal tersebut dilakukan dilakukan penelitian bersifat deskriptif, dengan metode penelitian hukum normatif. Berdasarkan penelitian ini disimpulkan penanggulangan kejahatan mayantara/cyber crime di Indonesia harus dilakukan dengan upaya penal yaitu dengan menggunakan sarana hukum dan sanksi pidana dan upaya non penal (tanpa menggunakan sanksi pidana). Meskipun secara substansial Indonesia belum memiliki undang-undang khusus tentang kejahatan mayantara/cyfter crime. berbagai undang-undang yang sudah ada, telah difungsikan untuk menanggulangi bentuk-bentuk kejahatan mayantara/cyher crime Terhadap kejahatan cyber crime ini, hukum pidana Indonesia, telah difungsionalisasikan dalam menindak para pelaku kejahatan mayantara Selanjutnya, terkait dengan Locus delicti (tempat terjadinya tindak pidana) kaitannya dengan aspek yurisdiksi kejahatan mayantara, masih menimbulkan permasalahan, karena hukum pidana Indonesia belum dapat menjangkau yuridiksi kejahatan mayantara yang dilakukan di luar wilayah Indonesia. Kedepan, sebaiknya penanggulangan dan penegakan hukum terhadap kejahatan mayantara pertama-tama harus dilakukan dengan menggunakan sarana penal. Untuk itu perlu diatur rumusan tindak pidana yang khusus mengatur mengenai bentuk-bentuk kejahatan mayantara/cyber crime dengan unsur-unsur tindak pidana yang lebih jelas dengan sanksi yang proporsional. Lebih lanjut, hal ini perlu didukung kesamaan persepsi dari aparat penegak hukum dalam memandang kejahatan mayantara. Selanjutnya, perlu dirumuskan di dalam RUU KUHP, tentang locus delicti (tempat terjadinya tindak pidana) dalam kaitannya dengan yurisdiksi yang berkaitan dengan kejahatan mayantara/cyber crime khususnya perlu diperluas rumusan mengenai tempat terjadinya tindak pidana.

Although cyber world has grown fast nowadays, we should consider its bad effect, one of the examples is called cyber crime. Related to the penal code in Indonesia, a question can be asked, has the penal code or the regulations in Indonesia reached out the cyber crime. To answer that question, a descriptive study has been done using a nonn law method. The result of the study is that penal remedy, using legal facility and penal sanction and non penal remedy (without penal sanction), should be used to cope with the cyber crime in Indonesia. Even though Indonesia has no specific regulations about the cyber crime substantially, there are some regulations which are functioned to cope with the cyber crime and also the criminal. Related to Locus delicti, Indonesian law still has some problems about the cyber crime happens outside the Indonesia regional. In the future, it is recommended that the law enforcement use a penal remedy. Therefore, it is necessary to have a formula related to forms of cyber crime with the penal substance and the sanction which is proportional. Moreover, locus delicti should be incorporated in RUU KUHP concerning jurisdiction in cyber crime, especially an extended formula about the Locus delicti itself."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26071
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Elwi Danil
"Tingkat pertumbuhan dan perkembangan korupsi di Indonesia telah menjadi sebuah fenomena yang sulit dibantah dengan- argumentasi apapun. Perilaku menyimpang ini tidak saja taelah berlangsung secam sisbematis dan bersifat institusional, melainkan juga telah masuk ke dalam wilayah institusi peradilan pidana yang semestinya bediri sebagai tulang penyangga.
Sekalipun laporan resmi pemerintah mengindikaslkan adanya peningkatan intensitas penanganan kasus korupsi secara slginifikan; namun itu belum merefleksikan fakta yang sesungguhnya. Ungkapan "dark number of corruption! diperkirakan jauh Iebih besar daripada 'officially recorded corruplians" Oleh sebab itu, ketika Indonsia dinobatkan ke dalam kategori negara terkorup di dunia, tidak ada yang hefan, seolah-olah fenomena itu sudah "being taken for grantee", sehingga tidak periu diperdebatkan. Fenomena korupsi telah menimbulkan ketidakpercayaan publlk terhadap hukum dan sistem peradilan pidana, dan dikhawatirkan dapat mengakibatkan disfungsionalisasl hukum pidana. Penelitian ini mengungkapkan, sekalipun korupsi "merajalela" di Indonesia, namun hanya sedikit kasus korupsi yang diteruskan ke pengadilan. Kalaupun ada yang sampai di pengadilan, tidak jarang pula hakim menjatuhkan pidana yang terlalu ringan bila dibandingkan dengan tuntutan masyarakat agar kejahatan seperti itu dijatuhi pidana berat.
Perbedaan persepsi tentang penafsiran terhadap subyek dan rumusan tindak pidana korupsi temyata telah menimbulkan problem yuridis. Oleh karena itu, sudah sepatutnya dilakukan revisi dan reorientasi kebijakan pemberantasan korupsi dalam konteks pembaharuan hukum pidana. Seberapa jauh hal itu dapat dilakukan adalah titik berat permasalahan dalam disertasi ini. Pembaharuan hukum pidana dalam penanggulangan kompsi harus dilakukan secara komprehensif, yang meliputi legal substance legal structure dan legal culture? sebagai unsur utama sistem hukum sebagaimana di kemukakan Lawrence M. Friedman. Meskipun undang-undang merupakan aspek penting yang akan menentukan bekerjanya sistem peradilan pidana, namun keberadaan undang-undang saja tidak akan menjadi 'sufficient condition" Sekalipun ia merupakan suatu '"necessary condition" akan tetapi adanya 'political will' perilaku aparat penegak hukum, konsistensi penerapan hukum, dan budaya hukum adafah 'determining factors.?
Oleh karena itu, pembentukan UU No. 31 Tahun 1999 sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1971 dapat dijadikan sebagai titik pangkal untuk melakukan pembenahan terhadap sistem hukum. Undang-undang korupsi tidak saja memenuhi karakteristik sebagai undang-undang pidana khusus; melainkan juga sebagai hukum pidana khusus karena korupsi merupakan perbuatan yang bersifat khusus (bijzonderlijk feiten). Tindak pidana korupsi tergolong sebagai "extraordinary crime" sehingga untuk memberantasnya dibutuhkan "extraordinary instrumen".
Dalam hubungan ini, penerapan konsep "materiele wederrechtelijkheid, reversal of the burden of proof? (omkering van de bewijslast), dan pembentukan institusi khusus sebagai 'anti corruption agency? yang independen menjadi penting dan relevan dalam kerangka pembaharuan hukum pidana. Hal yang terakhir ini merupakan solusi untuk mengakhiri konflik antara penegak hukum dalam bidang penyidikan. Namun demikian, pembaharuan hukum yang hanya tertuju pada substansi dan struktur hukum saja tidak akan berhasil tanpa adanya upaya untuk mengubah budaya hukum dalam pemberantasan korupsi. Hanya saja, periu diperhatikan agar instrumen-instmmen khusus itu tidak digunakan secafa sewenang-wenang, sehingga tidak menjadi "monster" yang menakutkan yang merupakan ?dun? dalam hukum pidana, karena dapat melahirkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan.

The growth and rate of corruption in Indonesia have become a phenomena that is very difficult to rebuff with any argument whatsoever. This deviant behavior has not only taken place systematically and institutionally, but also has created problems in the area of criminal justice institution which actually should stand as "the guarofan pillion" Although formal government report has indicated a significant increase of corruption case processes, however, it has not yet similar increase in the judicial decision as expected.
The level of "dark number of com/prions" is estimated to be much larger than the 'officially recorded carruptionsf Therefore, when Indonesia is identified as the most corrupt country in the world, nobody is surprised, it is as if the phenomena is being taken for granted, that does not need further argument. The corruption phenomena is one of the main factors inflicting public distrust against the law and criminal justice system, that resulted in the possible disfunction of the criminal law. This research revealed that eventhough corruption is rampant in Indonesia, only a small number of corruption cases reached the court. Moreover, the lnfliction of punishment, if any, is considered as lenient in comparison with the public clamour for severe punishment for such crimes. Apparently there is a problem of different perception as to the interpretation of 'legal subject? and "legal formulalion?in corruption law.
Based on the above, it is deemed appropriate to have revision and reorientation of eradication policy of cormption within the context of criminal law reform. Thus, how far it can be carried out becomes the focus in this dissertation. Criminal law reform for solving corruption problems shall be conducted comprehensively, to include ?legal substance legal smicture and legal culture" as there are the main elements of legal system, as proposed by Lawrence M. Friedman. Although laws are important aspects to determine the mechanism of criminal justice system, their existence alone will not be sufficient, since the presence of ?poHtical will good behavior of /aw enforcement officers, consistency of /aw implementation, and legal cu/ture are equally slgnihcant.
Nevertheless, the formulation of Law No. 31 of 1999 to replace Law No. 3 of 1971 may serve as a starting point to conduct correction of the legal system. Anti corruption act not only meets the characteristics as special criminal act, but also at the same time functions as special criminal law, because corruption has specific nature (byzonderlijk feiten). Corruption is classified as 'extra ordinary crime' so that to eradicate it needs ?extra ordinary instrument? In this relationship, the application of ?materiele wederrrechtelijkheid" reversal of the burden of proof" (omkering van de bewijslast), and formulation of special institution as ?and corruption agency? which is independent become very important and relevant in the frame of criminal law reform. The latter is a proposed solution for the ecisting institution conflict on investigative authority of corruption.
Last but not least, all refomrs conducted in conjunction with laws and structures would not be succesful, unless the present legal culture is simultaneously improved to combat corruption. However, it is necessary to observe that those special instruments should not be ?tnonsbe/? that becomes ?an obstacle? in criminal law. If such instruments are used arbitrarily, lt may, instead create the issues of legal uncertainty and injustices.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
D1017
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edi Setiadi
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Barda Nawawi Arief, 1943-
Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2008
345 BAR m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Upaya hukum pidana merupakan pilihan terakhir di antara upaya hukum andministratif dan hukum perdata. Upaya hukum pidanan ini dianggap tidak menyelesaikan masalah karena si perncemarnya akan dimasukkan ke penjara, sedangkan kerusakan yang ditimbulkannya tetap dalam keadaan semual. Meskipun demikian kehadirannya sangat diperlukan demi untuk memerangi pencemaran lingkungan. Sebab dengan adanya ancaman kurungan terhadap si pencemar, diharapkan akan membuat pencemar yang potensial merasa takut dan jera untuk berbuat hal yang sama."
Hukum dan Pembangunan Vol. 25 No. 6 Desember 1995 : 501-513, 1995
HUPE-25-6-Des1995-501
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Barda Nawawi Arief, 1943-
"Pidana penjara saat ini sedanc aengalami "masa krlsis". Jenis pidana ini terinasuk salah satu jenia sanksi yang kurang disukai. Banyak krltik tajam ditujukan terhadap jenis pidana perainpasan kemerdekaan ini, taik dilihat dari sudut efektivitasnya maupun dilihat dari akibat-akibat negatif lainnya yang, menyertai atau yang berhubungan dengan diraa^asnya kemerde kaan seseorang itu sendiri. Kritik ' . tajam dan negatif itu tidak hanya ditujukan teriiadap pidana pen jara raenurut pandangan retributif tradisional, tetapi juga terhadap pidana penjara menurut pandangan modern yang lebih bersifat kemanusiaan dan oenek^kan pada unsur perbaikan si pelanggar (reformasi, rehabilitasi dan resosialisasi). Sorotan dan kritik tajam 'inipun tidak hanya dikemukakan oleh nara ahli secara perseorangan, tetapi juga oleh masyarakat bangsa-ban^ sa di d\mia melalui beberapa kali seminar dan kongres internasional.
Di tengah gelorabang "masa krisis" yang demikian itu, ditambah pula dengan usaha pembaharuan hukum pidana yang diamanatkan oleh Perabukaan Undang-undang Dasar 1945, maka menjadi pentinglah nntuk raelakukan peninjauan kembali (reorientasi, re-evaluasi, reforma si dan reorganisasi) terhadap dua masalah kebijaksana an yang sangat raendasar mengenai penggunaan pidana penjara dilihat dari sudut politik kriminal. Pertama, mengenai perlu tidaknya pidana penjara itu tetap dipertahankan sebagai salah satu sarana kebijaksanaan penanggulangan kejahatan; dan kedua, mengenai sebera pa oauh kebi jaksanaan le'gislatif dalam menetapkan dan merumuskan pidana penjara selama ini dapat menun jang usaha mekanisme penanggulangan kejahatan.
Dari penelitian yang dilakukan terhadap dua masalah sentral tersebut ternyata, bahwa walaupun kritik-kritik tajam banyak dilontarkan terhadap mas alah efektivitas pidana penjara, namun masih terdapat nilai-nilai positif yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai dasar pembenaran dipertahankannya pidana penjara sebagai salah satu sarana kebijaksanaan pen^ggulangan kejahatan. Dasar pembenarannya dapat dilihat dari praktek perabuatan atau penyusunan undang-undang selama ini, dari aspek-aspek pokok tujuan pemidanaan, dari ciri pemidanaan dalam masyarakat modern, dari perlunya upaya perlindungan dan pengamanan masyarakat terhadap meningkatnya kejahatan dan tindakan-tindakan kekerasan di luar hukiim, serta di lihat dari sudut dukungan masyarakat bangsa-bangsa di dunia melalui kongres-kongres internasional yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Walaupun pidana penjara masih patut dipertahankan sebagai salah satu sarana kebijaksanaan penanggulangan kejahatan, namun perlu ditempuh kebijaksanaan rasional yang selektif dan limitatif dalam pengoperasionalisasiannya.
Dalam penelitian ini dijumpai faktor-faktor kondusif dari kebijaksanaan legislatif selama ini yang kurang memberikan jarninan bagi terlaksananya kebijaksanaan yang demikian. Faktor-faktor kondusif tersebut, ialah :
a. sebagian besar perumusan delik kejahatfin di dalam produk perundang-undangan yang diteliti raemuat ancaman pidana penjara dan sebagian besar diantaranya memuat perumusan yang bersifat imperatif;
b. tidak adanya ketentuan perundang-undangan sebagai katup pengaman (veiligheidsklep) yang memberi pedoman dan kewenangan bagi hakim untuk menghindari, membatasi atau memperlunak penerapan pidana penjara yang dirumuskan secara imperatif;
c. lemahnya ketentuan pidana bersyarat selama ini sehingga kurang dapat mengatasi- sifat kaku dari sistem perumusan pidana penjara secara imperatif;
d. lemahnya kebijaksanaan legislatif selama ini dalam mengefektifkan operasionalisasi pidana denda yang sering dirumuskan secara alternatif dengan pidana penjara;
e. tidak adanya pedoman penjatuhan pidana penjara yang dirumuskan secara eksplisit dalam perundangundangan;
f. tidak adanya ketentuan prosedural yanp memberi kewenangan untuk melakukan penundaan penuntutan pidana.
Mekanisme pengoperasionalisasian pidana penjara yang rasional, selektif dan limitatif dalarn rangka usaha penanggulangan kejahatan akan dapat terjatmin apabila dalam kebijaksanaaji legislatif :
1. tersedia pembagian jenis dan kualitas pidana peram pasan keiherdekaan;
2. tersedia pedoman penjatuhan pidana penjara yang dirurauskan secara eksplisit;
3. sejauh mungkin menghindari perumusan pidana penjara secara imperatif, khususnya perumusan tunggal;
4. ada ketentuau-ketentuan yang merupakan katup-pengajnan untuk mengimbangi, dalam arti untuk dapat menghindari, membatasi atau memperlunak sistem perumusan pidana penjara secara imperatif, yang berupa:
a. ketentuan prosedural untuk melakukan penundaan penuntutan bersyarat;
b. ketentuan yang dapat lebih menjamin penerapan pidana (penjara) bersyarat secara lebih efektif;
c. pedoman untuk menerapkan sistem perumusan pidana penjara secara imperatif, khususnya secara tinggal, yang memberi kewenangan kepada hakim untuk tidak menjatuhkan pidana penjara dengan menyedia kan alternatif pidana atau tlndakan lain yang lebih ringan.
5. ada ketentuan untuk merubah atau menghentikan sama sekali pelaksanaan pidana penjara yang telah dijatuhkan hakim."
Depok: Universitas Indonesia, 1986
D240
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Barda Nawawi Arief, 1943-
Jakarta: Radja Grafindo Persada, 2007
345.026 BAR t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Barda Nawawi Arief, 1943-
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006
345.026 BAR t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>