Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 210570 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Fauzy Marasabessy
"Tesis ini membahas mengenai korban kejahatan, yang akan mengalami viktimisasi lanjutan (post victimization) karena adanya penolakan dan pengabaian dari sistem peradilan pidana. Sebagai pihak yang menderita dan dirugikan akibat pelanggaran hukum pidana, korban kejahatan tidak pernah dilibatkan dalam proses peradilan pidana, mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, sampai pemeriksaan perkara di pengadilan. Korban hanya dilibatkan sebatas memberikan kesaksian sebagai saksi korban. Posisi korban sebagai pihak yang dirugikan, telah diambil alih oleh penyidik dan penuntut umum yang mengatasnamakan negara. Sementara itu dalam proses peradilan seringkah hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa, sedangkan hak-hak korban diabaikan. Penelitian tesis ini merupakan penelitian yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Hasil penelitian menyarankan korban kejahatan dapat dilindungi hak-hak yuridisnya serta lebih berperan dalam sistem peradilan pidana dimana korban kejahatan dapat ikut menentukan mengenai model penghukuman apa yang diinginkannya terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana atas dirinya. Apakah model penghukuman (retributif) atau ganti kerugian (restoratif).

This thesis topics about criminal casualties, that will get post victimization because of the existence of the refusal and carelessness from the criminal justice system, as the side that suffer and is damage resulting from the violation of criminal law, criminal casualties had not been involved in the process of the criminal judicature, from the investigation stage, the demanding, to the case inspection in the court, casualties are only involv in being limit gave the testimony as casualties 's witness, the position of casualties is as the side that incure a loss, taken over by the investigator and the public prosecutor by the name of State. In the meantime in the process of the judicature often the law too much put the rights forward deffendant, where as casualties 's rights are ignored, this thesis research is the juridical research normative and juridical sociological, results of the research suggest criminal casualties could be protect by his juridical rights as well as more play a role in the criminal judicature system where criminal casualties could be decisive."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26103
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Joyo Supeno
"Secara universal pada dekade ini penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia semakin tinggi, namun pada ruang lingkup yang kecil (sistem peradilan pidana) masih terdapat pihak yang belum diperhatikan kedudukan dan peranannya, yaitu korban tindak pidana kejahatan. Korban tindak pidana kejahatan konvensional
pada hakekatnya mempunyai hak dan kewajiban dalam sistem peradilan pidana, sebagaimana yang dirumuskan secara
konstitusional dalam Pasal 27 Undang Undang Dasar 1945,
secara idiologis tercermin dalam nilai-nilai dari sila-sila Pancasila dan secara moral terumuskan dalam Declaration of Human Rights, Declaration o f Basic Principles o f J u s t i c e for Yictims o f Crime and Abuse o f Power dan I n t e r n a t i o n a l Covenant on Civil and Political Rights. Namun secara yuridis-formal kedudukan dan peranan korban tindak pidana kejahatan masih belum diperhatikan secara optimal, bahkan para ilmuwan Hukum Pidana dan Kriminologi secara
sinis mengatakan, bahwa korban tindak pidana kejahatan merupakan pihak yang terlupakan. Perundang-undangan pidana Indonesia (KUHP dan KUHAP) lebih banyak mengatur kepentingan hukum tersangka/terdakwa dan fungsionalisasi tanggungjawab aparat peradilan pidana. Kedudukan dan peranan korban tindak pidana kejahatan dalam sistem peradilan pidana hanya sebagai pelapor/pengadu dan saksi. Kepentingan hukumnya sebagai pihak yang dirugikan (pencari keadilan) hanya terumuskan dalam Pasal 14 c KUHP dan Pasal 98 ayat (1) KUHAP, itu pun tidak pernah terealisasi. Ada suatu kondisioning yang berpengaruh terhadap kondisi korban tindak pidana kejahatan, yaitu pertama, perundang-undangan yang belum jelas dan tegas, meskipun ada indikasi diperhatikannya korban tindak pidana kejahatan dalam Konsep Rancangan KUHP 1987/1988, namun masih perlu dilakukan reorientasi, reevaluasi dan reformasi
terhadap hukum formil (KUHAP). Kedua, belum optimalnya realisasi tanggung jawab hukum dan moral aparat peradilan pidana terhadap upaya pemulihan penderitaan korban tindak pidana kejahatan. Ketiga, masih rendahnya partisipasi masyarakat, baik secara individu maupun secara kolektif. Akibatnya dengan kondisi tersebut diperlukan pembaharuan hukum melalui kebijakan hukum pidana yang berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan dengan tidak meninggalkan
nilai-nilai hukum dan keadilan."
Jakarta: Universitas Indonesia, 1993
T36430
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mudzakkir
"Korban kejahatan, setelah menjadi korban kejahatan, harus menghadapi suatu problem hukum yang krusiai yang menyebabkan dirinya mengalami viktlmlsasi sekunder (secondary victimization) karena adanya penolakan secara sistematis oleh sistem peradilan pidana. Sebagal pihak yang menderita dan dirugikan akibat pelanggaran hukum pidana yang sedang diperiksa, korban kejahatan tidak dillbatkan dalam proses peradilan pidana (atau out sidet), keouali hanya sebagai saksi, dan semua reaksi terhadap pelanggar dimonopoli oleh negara (polisi dan jaksa). Hubungan hukum antara korban kejahatan di satu pihak dengan pelanggar hukum pidana dan negara (polisi dan jaksa) di lain pihak tidak diatur secara jelas. Masalah posisi hukum korban ini menjadi problem hukum yang mendasar karena menyangkut keberadaannya dalam hukum pidana secara menyeluruh.
Disertasi ini mengkaji tentang posisi hukum korban kejahatan dalam sistem peradilan pidana yang diatur dalam hukum positif (ius constitum) dan pengaturannya di masa datang (ius constituendum) melalui kajian peraturan perundang-undangan, yurisprudensi MARI, dan telaah pustaka serta dilengkapi dengan kajian hukum pidana Belanda sebagai contoh atau bahan analisis pengaturan korban kejahatan dalam sistem peradilan pidana.
Nilai keadilan yang menjadi pangkal tolak pengaturan korban kejahatan dalam hukum pidana dan sistem peradilan pidana adalah keadilan retributif (retributive Justice) dan keadilan restoratif (restorative Justice). Kedua konsep Ini memiliki sejumlah perbedaan dalam memahami konsep dasar dalam hukum pidana dan sistem peradilan pidana dan posisi hukum korban. Sebagai elemen fiiosofis dari suatu sistem hukum (pidana) perbedaan ini adalah mendasar — atau perbedaan paradigmatik — yang mempengaruhi elemen substantif lainnya. Perkembangan pemikiran hukum pidana hingga sekarang menunjukkan adanya pergeseran perspektif dari retributive Justice kepada restorative Justice. Pengaturan korban kejahatan dalam sistem peradilan pidana melalui pembaruan hukum pidana Tahun 1981 (UU. No. 8 Tahun 1981, tentang KUHAP) secara umum telah mengubah elemen filosofis dan asas-asas hukum sebagai landasan filosofis peraturan hukum dari undang-undang sebelumnya (HIR), tetapi sejauh mengenai pengaturan korban kejahatan perubahan tersebut tidak sampai mengubah elemen filosofis dan asas-asas hukumnya. Masuknya 'hak-hak korban kejahatan' dalam KUHAP tidak diperkuat oleh landasan filosofis dan teori hukum yang mengakibatkan korban kejahatan tetap tidak diakui eksistensi dan posisi hukumnya sebagai korban dari pelanggaran hukum pidana yang menjadi baglan dari hukum pidana. Kelemahan aspek pengaturan korban ini berlanjut dalam praktek hukum yakni tidak dikembangkannya metode penemuan hukum yang inovatif untuk mendukung keadilan bagi korban kejahatan. Yurisprudensi MARI cenderung mempersempit (restriksi) dalam melakukan penafsiran hukum tentang penegakan hak-hak korban. Sesuai dengan dasar falsafah Pancasila dan konsep hukum pengayoman, kebijakan pembaruan hukum pidana yang beroiientasi kepada korban kejahatan (victim oriented) yang bertitik-tolak pada keadilan restoratif (restorative justice) diperlukan sebagai kebljakan penyeimbang (balance) pembaruan hukum sebelumnya yang berorlentasi kepada peianggar (offender oriented), atau sebagai kebijakan yang parity bukan priority, dikuatkan oleh kenyataan praktek hukum sehari-hari (aspek empirik), perkembangan teori hukum pidana (aspek teoretik), ketentuan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan pokok serta kecenderungan masyarakat Internasional atau PBB (aspek yuridik/normatif). Keadilan restoratif (restorative Justice) dijadlkan kerangka dasar pengaturan korban kejahatan menuntut adanya perubahan pemahaman mengenal beberapa konsep dasar dalam hukum pidana dan sistem peradilan pidana, yaitu kejahatan atau pelanggaran hukum pidana adalah utamanya melanggar hak korban kejahatan, di samping melanggar kepentingan masyarakat dan negara; pengakuan eksistensi dan posisi hukum korban kejahatan; sistem peradilan pidana sebagai sistem penyelesalan konflik; dan restitusi dan kompensasi sebagai baglan dari hukum pidana dan pemidanaan. Strategi kebijakan terhadap korban kejahatan dilakukan; pertama, memberi perspektif baru (restorative Justice) dalam penyelenggaraan peradilan pidana tanpa campur tangan legislatif dan, kedua, kemudian mengubah peraturan hukum. Dalam penataan sistem peradllan pidana, pertama, mendampingkan penyelesaian perkara pidana menurut konsep restorative Justice dengan sistem peradilan yang berlaku sekarang sebagai sarana penyaring masuknya perkara ke pengadilan dan mencangkokkan restorative Justice ke dalam sistem peradllan pidana sekarang."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
D1783
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Narsanto
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990
S21895
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mudzakkir
"ABSTRAK
Tesis ini mengkaji masalah korban kejahatan dalam
sistem peradilan pidana yaitu mengenai kedudukan korban
dalam proses penyelesaian perkara pidana, persepsi korban
terhadap proses penyelesaian perkara melalui peradilan
pidana dan proyeksi pengaturan masalah korban dalam sistem
peradilan pidana.
Kajian mengenai sistem peradilan pidana pada umumnya
lebih banyak menyoroti masalah perlakuan terhadap
p elaku/terdakwa. Korban kejahatan sebagai pihak yang paling
banyak menderita kerugian, baik materiil maupun immateriil,
akibat perbuatan pelaku kejahatan, kurang mendapat
perhatian. Kenyataan semacam ini merupakan dampak dari
pandangan tentang (konsep) kejahatan dan hukum pidana.
Kejahatan merupakan pelanggaran terhadap ketertiban
umum atau kepentingan umum, dan semua yang berkaitan dengan
ketertiban umum menjadi monopoli negara. Hak-hak korban
d isubrogasikan pada kepentingan umum/negara tersebut. Atau,
karena hukum pidana termasuk hukum publik dan segala
kepentingan individu (korban) dalam hukum publik tidak
ditonjolkan. Akibatnya, dalam proses peradilan pidana korban
ditempatkan dalam posisi yang pasif dan sebagai bagian atau
alat pembuktian dalam proses peradilan pidana.
Dalam perkembangannya, pemahaman terhadap kejahatan
mulai berubah. Kejahatan tidak lagi dipandang semata-mata
pelanggaran ketertiban umum melainkan juga melanggar hak-hak
individu (korban). Sistem peradilan pidana mulai merespon
terhadap permasalahan korban, yang sebelumnya kurang
mendapat perhatian. Korban kejahatan ditempatkan dalam
posisi sebagai pihak yang dirugikan. Korban memiliki hakhak
yang dapat dituntut pelaksanaanya yaitu hak untuk
menuntut ganti rugi atau sebagai pihak ketiga yang
berkepentingan dapat mengajukan keberatan terhadap tindakan
polisi dan jaksa yang melakukan penghentian penyidikan atau
penunt utan.
Melalui analisis prosentase, dapat diketahui bahwa
persepsi korban terhadap penyelenggaraan peradilan pidana
yang diperankan oleh polisi, jaksa, dan hakim pada umumnya
baik. Penilaian korban yang demikian itu dipengaruhi oleh
pengalamannya berhubungan dengan aparat penegak hukum yang
berhasil membawa terdakwa ke sidang pengadilan dan berakhir
dengan penjatuhan pidana. Terhadap hal-hal yang bersifat
umum dalam penyelenggaraan peradilan pidana, pada umumnya
korban menilai bahwa serangkaian proses peradilan belum
sepenuhnya mewakili atau memenuhi keinginan dan kepentingan
kor ban. Peradilan pidana di masa mendatang perlu ditempatkan
sebagai media atau alternatif terakhir dalam penyelesaian
perkara pidana. Sebelum perkara masuk ke pengadilan, perlu
diseleksi dan ditempuh upaya antara lain cara perdamaian
atau mediasi melalui lembaga-lembaga yang oleh masyarakat
sering dijadikan sebagai sarana/tempat menyelesaikan perkara
(mediator). Demikian juga penegak hukum polisi dan jaksa,
seberapa jauh untuk menggunakan hak-hak yang diberikan oleh
undang-undang (misalnya, penghentian penyidikan, penghentian
penuntutan, penyampingan perkara atau deponer) sebagai
sarana penyaring (filter) perkara pidana sebelum masuk ke
pengadilan."
1992
T36434
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>