Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 97518 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Suoth, Nophy Tennophero
"ABSTRAK
Dewasa ini peranan dan aktivitas korporasi sangat strategis. Tidak jarang dalam
praktiknya korporasi dapat menjadi sarana untuk melakukan kejahatan dan
memperoleh keuntungan dari hasil kejahatan. Tesis ini membahas mengenai latar
belakang penetapan korporasi sebagai subyek tindak pidana dalam UU No. 31
Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, proses penuntutan
pidana terhadap korporasi, kendala-kendala dalam penegakan hukum pidana
terhadap korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi dan upaya mengatasi
kendala-kendala tersebut serta evaluasi terhadap jenis pidana denda terhadap
korporasi dalam UU tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif
yang didukung penelitian empiris. Sedangkan analisis hasil penelitian dilakukan
dengan menggunakan data sekunder sebagai data utama dan data primer sebagai
data pendukung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tuntutan dan penjatuhan
pidana hanya terhadap pengurus korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi
dianggap tidak adil sementara terhadap korporasinya tidak dilakukan penuntutan
pidana. Secara umum, proses penuntutan pidana bagi subyek tindak pidana
korporasi berlaku sama seperti halnya pada proses penanganan perkara terhadap
subyek tindak pidana perorangan. Namun terdapat hal-hal yang berbeda
khususnya dalam hal mengenai perwakilan korporasi, pencantuman identitas
tersangka/terdakwa, penyusunan konstruksi surat dakwaan dan mengenai
pelaksanaan putusan pidana denda terhadap korporasi. Dalam praktiknya, terdapat
kendala-kendala dalam upaya penegakan hukum pidana terhadap korporasi dalam
perkara tindak pidana korupsi yaitu meliputi faktor hukum dan faktor penegak
hukum. Penelitian ini menyarankan perlu adanya perubahan pola pikir dan pola
tindak dari aparat penegak hukum untuk melakukan penuntutan pidana terhadap
korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi dan pentingnya upaya
pembaharuan undang-undang tindak pidana korupsi yang meliputi materi
termasuk jenis pidana terhadap korporasi maupun hukum formilnya.

ABSTRACT
Today, the role and the activity of the corporation are very strategic, not rare in
practice the corporation could become means of carrying out the crime and
obtaining the profit from results of the crime. This thesis throughly overview it
backgrounds of appointment of corporation as a subject of criminal law in UU No.
31/1999 and revised with UU No. 20/2001, criminal prosecution of corporation,
obstacles and obvious hindrances in prosecuting corporation in infringement of
corruption crimes with any effort to overcome such prosecute obstacles as well as
evaluation of corporate criminal fine applied within the acts. This research
represents normative juridical research using secondary data as primary data and
primary data as supporting data. Research conclusion has indicated that
prosecutions and criminal penalties to corporate managements considered as
unfair without placing related corporation as a mutual subject of prosecution. In
general, prosecute process for corporate crime subject is identical with prosecute
process of personal crime. However, there are some dissimilarity, particularly
with regards to corporation representation, identity exposure of defendant,
configuration of allegation letter and concerning implementation of fine against
corporation. In practical matters, there are apparent obstacles within the law
enforcement process in corruption criminal cases by corporation namely the legal
factor and the law enforcer factor. This research recommended need the existence
of the change in the pattern thought and the pattern of the act from the upholder's
apparatus of the law to carry out the criminal demanding against the corporation
in the case of the criminal act of corruption and the importance of criminal efforts
of corruption that cover material including the criminal kind against the
corporation and his formal law of reform of act regulations."
2009
T37288
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Suoth, Nophy Tennophero
"Dewasa ini peranan dan aktivitas korporasi sangat strategis. Tidak jarang dalam praktiknya korporasi dapat menjadi sarana untuk melakukan kejahatan dan memperoleh keuntungan dari hasil kejahatan. Tesis ini membahas mengenai latar belakang penetapan korporasi sebagai subyek tindak pidana dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, proses penuntutan pidana terhadap korporasi, kendala-kendala dalam penegakan hukum pidana terhadap korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi dan upaya mengatasi kendala-kendala tersebut serta evaluasi terhadap jenis pidana denda terhadap korporasi dalam UU tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang didukung penelitian empiris. Sedangkan analisis hasil penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder sebagai data utama dan data primer sebagai data pendukung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tuntutan dan penjatuhan pidana hanya terhadap pengurus korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi dianggap tidak adil sementara terhadap korporasinya tidak dilakukan penuntutan pidana. Secara umum, proses penuntutan pidana bagi subyek tindak pidana korporasi berlaku sama seperti halnya pada proses penanganan perkara terhadap subyek tindak pidana perorangan. Namun terdapat hal-hal yang berbeda khususnya dalam hal mengenai perwakilan korporasi, pencantuman identitas tersangka/terdakwa, penyusunan konstruksi surat dakwaan dan mengenai pelaksanaan putusan pidana denda terhadap korporasi. Dalam praktiknya, terdapat kendala-kendala dalam upaya penegakan hukum pidana terhadap korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi yaitu meliputi faktor hukum dan faktor penegak hukum. Penelitian ini menyarankan perlu adanya perubahan pola pikir dan pola tindak dari aparat penegak hukum untuk melakukan penuntutan pidana terhadap korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi dan pentingnya upaya pembaharuan undang-undang tindak pidana korupsi yang meliputi materi termasuk jenis pidana terhadap korporasi maupun hukum formilnya.

Today, the role and the activity of the Corporation are very strategic, not rare in practice the Corporation could become means of carrying out the crime and obtaining the profit from results of the crime. This thesis throughly overview it backgrounds of appointment of Corporation as a subject of criminal law in UU No. 31/1999 and revised with UU No. 20/2001, criminal prosecution of Corporation, obstacles and obvious hindrances in prosecuting Corporation in infringement of corruption crimes with any effort to overcome such prosecute obstacles as well as evaluation of corporate criminal fine applied within the acts. This research represents normative juridical research using secondary data as primary data and primary data as supporting data. Research conclusion has indicated that prosecutions and criminal penalties to corporate managements considered as unfair without placing related Corporation as a mutual subject of prosecution. In general, prosecute process for corporate crime subject is identical with prosecute process of personal crime. However, there are some dissimilarity, particularly with regards to Corporation representation, identity exposure of defendant, configuration of allegation letter and concerning implementation of fine against Corporation. In practical matters, there are apparent obstacles within the law enforcement process in corruption criminal cases by Corporation namely the legal factor and the law enforcer factor. This research recommended need the existence of the change in the pattern thought and the pattern of the act from the upholder’s apparatus of the law to carry out the criminal demanding against the Corporation in the case of the criminal act of corruption and the importance of criminal efforts of corruption that cover material including the criminal kind against the Corporation and his formal law of reform of act regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26095
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hariman Satria
"ABSTRAK
Di Indonesia ada 2 putusan pengadilan terkait dengan pemidanaan korporasi dalam tindak pidana korupsi yakni Putusan PT GJW dan Putusan PT CND. Dalam kedua putusan itu, kesalahan (mens rea) korporasi dinyatakan terbukti sehingga dikenai pertanggungjawaban pidana. Kajian ini difokuskan pada cara pembuktian kesalahan korporasi dalam tindak pidana korupsi. Untuk mengurai permasalahan maka kajian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan dua pendekatan yakni pendekatan kasus dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: pertama, dalam menentukan kesalahan korporasi, menitikberatkan pada kesalahan yang dilakukan oleh pengurus korporasi, seperti direktur. Sehingga kesalahan direktur adalah juga sebagai kesalahan korporasi. Kedua, bila dikaitkan dengan teori pertanggungjawaban pidana korporasi maka majelis hakim pada dua perkara korupsi tersebut telah mengadopsi teori identifikasi. Ketiga, perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara dan dilakukan oleh direktur sebagai pengurus dianggap sama dengan yang dilakukan oleh korporasi. Keempat, mengenai sanksi pidana pokok, dalam dua putusan a quo adalah sama yakni pidana denda. Kelima, dalam putusan PT GJW selain pidana pokok, korporasi juga masih dikenai pidana tambahan berupa penutupan seluruh atau sebagian perusahaan. Sedangkan dalam putusan PT CND tidak ada sama sekali sanksi pidana tambahan yang dikenakan kepada terdakwa. Keenam, kedua putusan tersebut, tidak memuat pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti, padahal sebagaimana diketahui bahwa salah satu cara memulihkan kerugian keuangan negara adalah melalui pidana pembayaran uang pengganti."
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2018
364 INTG 4:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Lowryanta
"Ketika Indonesia ditahbiskan menjadi negara ketiga paling korupsi didunia, mengherankan tidak ada yang heran sama sekali. Seakan semua fenomena ini sudah being firr granted yang tidak perlu di perdebatkan lagi di negara yang "berdasar pada hrrkum dan bukan pada kekuasaan" seperti yang diamanatkan oleh Konstitusinya. Ketidakherananan publik pada tingkat korupsi, oleh karenanya seringkali diikuti oleh apatisnie akan kemainpuan sistem hukum dan budaya yang ada untuk memberantas korupsi. Apatisme ini tidaklah berlebihan apabila dititik dari track record penegak hukum dalam penanganan tindak pidana korupsi, sehingga muncullah sarkas bahwa "Indonesia adalah negara yang sangat tinggi korupsinya namrm tidak ada koruptornya". r Korupsi di Indonesia yang tetjadi dalam 30 tahun keluarga Soeharto dan kroninya membuat masyarakat tercengang: Setelah Orde Baru berlalu, hingga saat ini tidak ada tanda-tanda kesadaran pemerintah bahwa "disamping krisis ekonomi yang dirasakan nyata oleh masyarakat, terdapat pula krisis hukum yang sudah sarnpai tahap rnenyedihkan Korupsi juga telah mempengaruhi kehidupan ketatanegaraan dan merusak sistem perekonomian dan macyarakat dalam skala besar. Pelaku perbuatan yang dipandang koruptif itu tidak ierjangkau oleh undang-undang yang ada dan selalu berlindung dibalik asas Iegalitas karena pada umumnya dilakukan secara terorganisir dan oleh mereka yang memiliki karekateristik high level educated dan status dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan pemahaman terhadap masalah tersebut diatas, pemerintah dan Lembaga Legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat} telah membentuk dan mensahkan Undang-Undang No: 30 tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Kebijakan ini merupakan "political will" dari pemcrintah dengan suatu tekad dengan membentuk suatu badan anti korupsi untuk meinberantas segala bentak penyelewengan dan korupsi yang terjadi selama 3 dasawarsa ini, demi menyelamatkan kcuangan dan pcrekonomian negara guna mewujudkan aparatur pemerintah dan aparat penegak kukum yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T19199
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Elwi Danil
"Tingkat pertumbuhan dan perkembangan korupsi di Indonesia telah menjadi sebuah fenomena yang sulit dibantah dengan- argumentasi apapun. Perilaku menyimpang ini tidak saja taelah berlangsung secam sisbematis dan bersifat institusional, melainkan juga telah masuk ke dalam wilayah institusi peradilan pidana yang semestinya bediri sebagai tulang penyangga.
Sekalipun laporan resmi pemerintah mengindikaslkan adanya peningkatan intensitas penanganan kasus korupsi secara slginifikan; namun itu belum merefleksikan fakta yang sesungguhnya. Ungkapan "dark number of corruption! diperkirakan jauh Iebih besar daripada 'officially recorded corruplians" Oleh sebab itu, ketika Indonsia dinobatkan ke dalam kategori negara terkorup di dunia, tidak ada yang hefan, seolah-olah fenomena itu sudah "being taken for grantee", sehingga tidak periu diperdebatkan. Fenomena korupsi telah menimbulkan ketidakpercayaan publlk terhadap hukum dan sistem peradilan pidana, dan dikhawatirkan dapat mengakibatkan disfungsionalisasl hukum pidana. Penelitian ini mengungkapkan, sekalipun korupsi "merajalela" di Indonesia, namun hanya sedikit kasus korupsi yang diteruskan ke pengadilan. Kalaupun ada yang sampai di pengadilan, tidak jarang pula hakim menjatuhkan pidana yang terlalu ringan bila dibandingkan dengan tuntutan masyarakat agar kejahatan seperti itu dijatuhi pidana berat.
Perbedaan persepsi tentang penafsiran terhadap subyek dan rumusan tindak pidana korupsi temyata telah menimbulkan problem yuridis. Oleh karena itu, sudah sepatutnya dilakukan revisi dan reorientasi kebijakan pemberantasan korupsi dalam konteks pembaharuan hukum pidana. Seberapa jauh hal itu dapat dilakukan adalah titik berat permasalahan dalam disertasi ini. Pembaharuan hukum pidana dalam penanggulangan kompsi harus dilakukan secara komprehensif, yang meliputi legal substance legal structure dan legal culture? sebagai unsur utama sistem hukum sebagaimana di kemukakan Lawrence M. Friedman. Meskipun undang-undang merupakan aspek penting yang akan menentukan bekerjanya sistem peradilan pidana, namun keberadaan undang-undang saja tidak akan menjadi 'sufficient condition" Sekalipun ia merupakan suatu '"necessary condition" akan tetapi adanya 'political will' perilaku aparat penegak hukum, konsistensi penerapan hukum, dan budaya hukum adafah 'determining factors.?
Oleh karena itu, pembentukan UU No. 31 Tahun 1999 sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1971 dapat dijadikan sebagai titik pangkal untuk melakukan pembenahan terhadap sistem hukum. Undang-undang korupsi tidak saja memenuhi karakteristik sebagai undang-undang pidana khusus; melainkan juga sebagai hukum pidana khusus karena korupsi merupakan perbuatan yang bersifat khusus (bijzonderlijk feiten). Tindak pidana korupsi tergolong sebagai "extraordinary crime" sehingga untuk memberantasnya dibutuhkan "extraordinary instrumen".
Dalam hubungan ini, penerapan konsep "materiele wederrechtelijkheid, reversal of the burden of proof? (omkering van de bewijslast), dan pembentukan institusi khusus sebagai 'anti corruption agency? yang independen menjadi penting dan relevan dalam kerangka pembaharuan hukum pidana. Hal yang terakhir ini merupakan solusi untuk mengakhiri konflik antara penegak hukum dalam bidang penyidikan. Namun demikian, pembaharuan hukum yang hanya tertuju pada substansi dan struktur hukum saja tidak akan berhasil tanpa adanya upaya untuk mengubah budaya hukum dalam pemberantasan korupsi. Hanya saja, periu diperhatikan agar instrumen-instmmen khusus itu tidak digunakan secafa sewenang-wenang, sehingga tidak menjadi "monster" yang menakutkan yang merupakan ?dun? dalam hukum pidana, karena dapat melahirkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan.

The growth and rate of corruption in Indonesia have become a phenomena that is very difficult to rebuff with any argument whatsoever. This deviant behavior has not only taken place systematically and institutionally, but also has created problems in the area of criminal justice institution which actually should stand as "the guarofan pillion" Although formal government report has indicated a significant increase of corruption case processes, however, it has not yet similar increase in the judicial decision as expected.
The level of "dark number of com/prions" is estimated to be much larger than the 'officially recorded carruptionsf Therefore, when Indonesia is identified as the most corrupt country in the world, nobody is surprised, it is as if the phenomena is being taken for granted, that does not need further argument. The corruption phenomena is one of the main factors inflicting public distrust against the law and criminal justice system, that resulted in the possible disfunction of the criminal law. This research revealed that eventhough corruption is rampant in Indonesia, only a small number of corruption cases reached the court. Moreover, the lnfliction of punishment, if any, is considered as lenient in comparison with the public clamour for severe punishment for such crimes. Apparently there is a problem of different perception as to the interpretation of 'legal subject? and "legal formulalion?in corruption law.
Based on the above, it is deemed appropriate to have revision and reorientation of eradication policy of cormption within the context of criminal law reform. Thus, how far it can be carried out becomes the focus in this dissertation. Criminal law reform for solving corruption problems shall be conducted comprehensively, to include ?legal substance legal smicture and legal culture" as there are the main elements of legal system, as proposed by Lawrence M. Friedman. Although laws are important aspects to determine the mechanism of criminal justice system, their existence alone will not be sufficient, since the presence of ?poHtical will good behavior of /aw enforcement officers, consistency of /aw implementation, and legal cu/ture are equally slgnihcant.
Nevertheless, the formulation of Law No. 31 of 1999 to replace Law No. 3 of 1971 may serve as a starting point to conduct correction of the legal system. Anti corruption act not only meets the characteristics as special criminal act, but also at the same time functions as special criminal law, because corruption has specific nature (byzonderlijk feiten). Corruption is classified as 'extra ordinary crime' so that to eradicate it needs ?extra ordinary instrument? In this relationship, the application of ?materiele wederrrechtelijkheid" reversal of the burden of proof" (omkering van de bewijslast), and formulation of special institution as ?and corruption agency? which is independent become very important and relevant in the frame of criminal law reform. The latter is a proposed solution for the ecisting institution conflict on investigative authority of corruption.
Last but not least, all refomrs conducted in conjunction with laws and structures would not be succesful, unless the present legal culture is simultaneously improved to combat corruption. However, it is necessary to observe that those special instruments should not be ?tnonsbe/? that becomes ?an obstacle? in criminal law. If such instruments are used arbitrarily, lt may, instead create the issues of legal uncertainty and injustices.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
D1017
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
NMIK 2001/2002/2003
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Desti Ernaningsih
"PenangguIangan dan Pemberantasan tindak pidana korupsi sesungguhnya merupakan usaha yang telah lama dilakukan. Tindak pidana korupsi perlu dicegah dan ditanggulangi bukan saja karena sifat ketercelaanya, tetapi juga karena secara ekonomis menimbulkan kerugian terhadap keuangan Negara dan merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Penyelesaian perkara tidak pidana korupsi sampai saat ini masih terdapat berbagai kendala dan kesulitan baik untuk penyelidikan, penyidikan penuntutan maupun peradilan pelaku tindak pidana korupsi, Sampai saat ini eksistensi dan kinerja lembaga kejaksaan masih dirasakan belum optimal dalam melaksanakan fungsinya, sehingga peran kejaksaan sebagai pengacara Negara belum dirasakan oleh masyarakat dalam hal mendukung penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Meskipun upaya yang dilakukan oleh kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi telah maksimal, namun hasilnya belum memuaskan hal ini disebabkan karena adanya kendala dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil penelitian menunjukan bahwa sesungguhnya sudah ada peraturan perundang-undangan yang cukup jelas mengatur penanggulangan tindak pidana korupsi yaitu UU No. 3 Tahun 1971 dan UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah direvisi dengan UU No. 20 Tahun 2001. Masih meningkatnya jurnlah tindak pidana korupsi disebabkan oleh faktor-faktor kurangnya pemahaman dad aparat penegak hukum tentang tugas dan tanggungjawabnya atas penanggulangan tindak pidana korupsi, rendahnya faktor moral aparat serta kurang berfungsinya lembaga pengawasan. Dalam penyelesaian suatu perkara korupsi hendaknya dilaksanakan secara sungguh-sungguh, hati-hati teliti dalam membuat konsep dakwaan dan mencocokan dengan rumusan delik dan asas-asas pidana, sebelum perkara tersebut dilimpahkan ke Pengadilan. Perlunya meningkatkan kualitas dan memperbaiki sikap mental aparat penegak hukum, karena faktor integritas sangat menentukan dalam penegakan hukum."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T19814
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Dian Sari
"ABSTRAK Pemberantasan korupsi di Indonesia masih menghadapi banyak kendala, salah satu diantaranya adalah perlawanan dari berbagai pihak dalam bentuk obstruction of justice yang dilakukan oleh advokat. Advokat dalam menjalankan tugas profesinya mempunyai hak imunitas, yakni hak untuk tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana. Namun dalam praktiknya hak imunitas tersebut seperti tidak ada gunanya selama perbuatan advokat memenuhi unsur-unsur pasal dalam suatu ketentuan pidana seperti obstruction of justice, sehingga hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum bagi advokat dalam menjalankan tugas profesinya. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami bentuk-bentuk obstruction of justice dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, pengaturan dan penerapan hak imunitas advokat sebagai pelaku obstruction of justice, serta praktik penegakan hukum terhadap advokat sebagai pelaku tindak pidana obstruction of justice dalam perkara tindak pidana korupsi. Dalam penelitian ini, jenis Penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif dengan menggunakan pendekatan sejarah, undang-undang dan konseptual. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa bentuk obstruction of justice dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah segala perbuatan yang dimaksudkan dengan mencegah, mengganggu, menghalangi, atau menggagalkan proses peradilan. Hak imunitas advokat diatur dalam Pasal 14 hingga Pasal 16 Undang-Undang Advokat, akan tetapi dalam praktiknya advokat sebagai pelaku obstruction of justice tetap dapat dimintai pertanggungjawabannya terlepas dari hak imunitas yang dimilikinya. Serta penegakan hukum terhadap advokat sebagai pelaku obstruction of justice dalam perkara tindak pidana korupsi telah dilakukan di Indonesia, dapat dilihat dari kasus Manatap Ambarita, M. Hasan bin Khusi Mohammad, R. Azmi bin Moh. Yusof dan Fredrich Yunadi. 

ABSTRACT
Eradication of corruption in Indonesia still faces many obstacles, one of them is resistance from various parties in the form of obstruction of justice carried out by advocates. Advocates in carrying out their professional duties have the right to immunity, namely the right not to be prosecuted both in civil or criminal terms. However, in practice the right of immunity is useless as long as an advocate's actions fulfill the elements of the article in a criminal provision such as obstruction of justice, so that it creates legal uncertainty for advocates in carrying out their professional duties. This research is aimed at knowing and understanding forms of obstruction of justice in Indonesian laws and regulations, especially in eradicating criminal acts of corruption, regulation and the application of the rights of immunity of advocates as subject of obstruction of justice, as well as law enforcement practices against lawyers as subject of criminal acts of obstruction of justice in cases of corruption. In this study, the type of research used was normative juridical using a historical, legal and conceptual approach. The results of the study concluded that the form of obstruction of justice in the laws and regulations in Indonesia is all actions intended to prevent, interfere, obstruct, or frustrate the judicial process. The rights of the advocate's immunity are regulated in Article 14 to Article 16 of the Law on Advocates, but in practice advocates as subject of obstruction of justice can still be held accountable regardless of the right of immunity they have. And law enforcement for lawyers as obstruction of justice subject in cases of corruption has been committed in Indonesia, can be seen from the case of Manatap Ambarita, M. Hasan bin Khusi Mohammad, R. Azmi bin Moh. Yusof and Fredrich Yunadi.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52136
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>