Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 100506 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Benedicta Honnie
"ABSTRAK
Tesis ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif, yaitu
penelitian terhadap bahan-bahan pustaka dan didukung dengan wawancara ahli
perlindungan sumber daya genetika, berupa spesimen virus Flu Burung. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan dalam upaya perlindungan sumber
daya genetika terkait dengan benefit sharing atas kepemilikian spesimen virus Flu
Burung strain Indonesia. Beberapa pokok permasalahan adalah apakah spesimen
virus Flu Burung sebagai sumber daya genetika memerlukan perlindungan hukum
? Bagaimana status spesimen virus Flu Burung dalam konteks kepemilikan oleh
Indonesia sebagai negara berkembang ? Apakah Perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual (HKI), khususnya rezim paten dapat melindungi kepemilikan sumber
daya genetika ? Bagaimana upaya perlindungan sumber daya genetika atas
kepemilikan spesimen virus Flu Burung strain Indonesia ? Penyelesaian masalah
ini adalah perlindungan spesimen virus Flu Burung perlu mendapat perlindungan
hukum. Status spesimen Flu Burung dalam konteks kepemilikan oleh Indonesia
sebagai negara berkembang, yang dianggap oleh negara-negara maju sebagai
public domain, berdasarkan “common heritage of humankind”, tetapi berdasarkan
CBD, kedaulatan negara membatasi “common heritage of humankind”. Oleh
karena ketidakmampuan rezim paten untuk melindungi spesimen virus Flu
Burung, maka dperlukan upaya perlindungan lain. Dalam melindungi spesimen
virus sebagai sumber daya genetika melalui peraturan WHO, peraturan nasional
Indonesia dan sistem kontrak, sehingga mendapatkan benefit sharing. Sebagai
hasil penelitian dapat disimpulkan terdapat perbedaan nilai dan budaya hukum
antara negara maju dan negara berkembang, yang menyebabkan misappropriation
dalam penggunaan sumber daya genetika, terkait dengan kepemilikan spesimen
virus Flu Burung strain Indonesia.

ABSTRACT
The research method for this study is a law-normative juridical study, by
using literature and interview expert, who know the protection of genetic
resources, especially in form of avian influenza virus speciment. The aim of this
issues of the research to learn complication to protect the genetic resources
concern in related to benefit sharing of Avian Influenza virus speciment strain
Indonesia as a Property.
There are apparently important compilcation: Is Avian Influenza virus
speciment as the genetic resources need law protection? How is the status of
Avian Influenza virus speciment in context property of Indonesia as developing
country? Can Intellectual Property Rights, especially patent to protect the
ownership of Avian Influenza virus speciment? How to protect genetic resources
on ownership of Avian Influenza virus speciment strain Indonesia?
The insistent solved matter : The Avian Influenza Virus Speciment need to
be protected with law. The status of Avian Influenza virus speciment in context
property of Indonesia as developing country is defined by the developed country
as public domain, base on “common heritage of humankind”. Convention on
Biological Diversity declare that “common heritage of humankind” is restricted by
the sovereignty of the country. Due to Patent cannot protect Avian Influenza
virus speciment, that why the alternative offer should be provided as WHO
mechanism, contract mechanism, and Indonesian national rules as the effort to
protect virus speciment as genetic resources to gain benefit sharing.
The result of the research, there are very different value and cultural of law
for developed countries and developing countries, that make misappropriation in
use of genetic resources, that connect as owner of Avian Influenza virus
speciment strain Indonesia."
Universitas Indonesia, 2009
T36546
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Benedicta Honnie
"Tesis ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif, yaitu penelitian terhadap bahan-bahan pustaka dan didukung dengan wawancara ahli perlindungan sumber daya genetika, berupa spesimen virus Flu Burung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan dalam upaya perlindungan sumber daya genetika terkait dengan benefit sharing atas kepemilikian spesimen virus Flu Burung strain Indonesia. Beberapa pokok permasalahan adalah apakah spesimen virus Flu Burung sebagai sumber daya genetika memerlukan perlindungan hukum ? Bagaimana status spesimen virus Flu Burung dalam konteks kepemilikan oleh Indonesia sebagai negara berkembang ? Apakah Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI), khususnya rezim paten dapat melindungi kepemilikan sumber daya genetika ? Bagaimana upaya perlindungan sumber daya genetika atas kepemilikan spesimen virus Flu Burung strain Indonesia ? Penyelesaian masalah ini adalah perlindungan spesimen virus Flu Burung perlu mendapat perlindungan hukum. Status spesimen Flu Burung dalam konteks kepemilikan oleh Indonesia sebagai negara berkembang, yang dianggap oleh negara-negara maju sebagai public domain, berdasarkan “common heritage ofhumankiruF, tetapi berdasarkan CBD, kedaulatan negara membatasi “common heritage of humankind’. Oleh karena ketidakmampuan rezim paten untuk melindungi spesimen virus Flu Burung, maka dperlukan upaya perlindungan lain. Dalam melindungi spesimen virus sebagai sumber daya genetika melalui peraturan WHO, peraturan nasional Indonesia dan sistem kontrak, sehingga mendapatkan benefit sharing. Sebagai hasil penelitian dapat disimpulkan terdapat perbedaan nilai dan budaya hukum antara negara maju dan negara berkembang, yang menyebabkan misappropriation dalam penggunaan sumber daya genetika, terkait dengan kepemilikan spesimen virus Flu Burung strain Indonesia.

The research method for this study is a law-normative juridical study, by using literature and interview expert, who know the protection of genetic resources, especially in form of avian influenza virus speciment The aim of this issues of the research to leam complication to protect the genetic resources concem in related to benefit sharing of Avian Influenza virus speciment strain Indonesia as a Property.
There are apparently important compilcation: Is Avian Influenza virus speciment as the genetic resources need law protection? How is the status of Avian Influenza virus speciment in context property of Indonesia as developing country? Can Intellectual Property Rights, especially patent to protect the ownership of Avian Influenza virus speciment? How to protect genetic resources on ownership of Avian Influenza virus speciment strain Indonesia?
The insistent solved maiter: The Avian Influenza Virus Speciment need to be protected with law. The status of Avian Influenza virus speciment in context property of Indonesia as developing country is defined by the developed country as public domain, base on “common heritage of humankind'. Convention on Biological Diversity declare that “common heritage of humankind’ is restricted by the sovereignty of the country. Due to Patent cannot protect Avian Influenza virus speciment, that why the altemative offer should be provided as WHO mechanism, contract mechanism, and Indonesian national rules as the effort to protect virus speciment as genetic resources to gain benefit sharing.
The result of the research, there are very different value and cultural of law for developed countries and developing countries, that make misappropriation in use of genetic resources, that connect as owner of Avian Influenza virus speciment strain Indonesia.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25988
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bellatric Andini Putri
"Potensi pengetahuan tradisional Indonesia yang begitu besar dan beragam sering dieksploitasi oleh pihak asing tanpa adanya pembagian keuntungan sehingga merugikan bagi masyarakat adat atau lokal selaku pemegang pengetahuan tradisional tersebut. Adapun perlindungan terhadap pengetahuan tradisional, termasuk pengetahun tradisional terkait sumber daya genetik, di Indonesia diatur dalam rezim hak kekayaan intelektual, khususnya paten. Oleh karena itu, skripsi ini membahas mengenai analisis penerapan mekanisme benefit sharing dalam pemanfaatan pengetahuan tradisional terkait sumber daya genetik. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana pengaturan hukum nasional dan internasional terkait dengan Pengetahuan Tradisional, bagaimana pengaturan perlindungan Pengetahuan Tradisional Terkait Sumber Daya Genetik melalui mekanisme benefit sharing, dan bagaimana penerapan mekanisme benefit sharing terhadap Pengetahuan Tradisional Terkait Sumber Daya Genetik di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan yuridis-normatif yang menggunakan data sekunder melalui studi dokumentasi dan data primer melalui wawancara. Adapun dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: Pertama, paten atas suatu invensi yang didasarkan pada pengetahuan tradisional dapat dikabulkan apabila memenuhi beberapa persyaratan, yakni pengungkapan sumber asal invensi yang didasarkan atas pengetahuan tradisional (disclosure of origin), mendapatkan persetujuan atas dasar informasi dari pemegang pengetahuan tradisional, dan pembagian keuntungan yang adil dan merata bagi pemegang pengetahuan tradisional. Kedua, pembagian keuntungan yang adil dan merata bagi pemegang pengetahuan tradisional wajib dilakukan dengan menerapkan prinsip persetujuan atas dasar informasi awal (PADIA) dan menetapkan Kesepakatan Bersama. Ketiga, pengaturan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional terkait sumber daya genetik dalam UU Paten belum efektif dilaksanakan. Maka, Pemerintah sebaiknya segera membuat peraturan perundang-undangan pelaksana dari ketentuan Pasal 26 UU Paten dan mulai menetapkan lembaga-lembaga yang tepat sesuai dengan fungsi yang diamanatkan dalam Protokol Nagoya.

The huge and varied potential of Indonesian traditional knowledge is often exploited by foreigners without any benefit sharing, so that it is detrimental to the indigenous or local community as the holders of traditional knowledge. The protection of traditional knowledge, including traditional knowledge related to genetic resources, in Indonesia is regulated in an intellectual property rights regime, particularly patents. Therefore, this thesis discusses the analysis of the application of the benefit sharing mechanism in the utilazation of traditional knowledge related to genetic resources. The problems in this research are how to regulate national and international laws related to traditional knowledge, how to regulate protection of traditional knowledge related to genetic resources through benefit sharing mechanisms, and how to implement benefit sharing mechanisms for traditional knowledge related to genetic resources in Indonesia. This research is a descriptive study with juridicial-normative approach that uses secondary data through documentation studies and primary data through interviews. As for the results of the study it can be concluded that: First, a patent on an invention based on traditional knowledge can be granted fulfilling several requirements, namely disclosure of origin of the invention based on traditional knowledge, obtaining prior informed consent from the holder of traditional knowledge, and fair and equitable benefit sharing of traditional knowledge holders. Second, fair and equitable benefit sharing for holders of traditional knowledge must be carried out by applying the prior informed consent and established mutually agreed terms. Third, protection of traditional knowledge related to genetic resources in the Patent Law has not been effectively implemented. Therefore, the Government should immediately enact laws and regulations regulating the provisions of Article 26 of the Patent Law and begin to determine the appropriate institutions in accordance with the functions mandated by the Nagoya Protocol."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deny Hartati
"Pemanfaatan sumber daya genetik perikanan dan kelautan mengalami peningkatan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada saat dunia internasional mengalami krisis sumber daya alam perikanan akibat over penangkapan ikan di laut, perubahan iklim dan pencemaran, pemanfaatan sumber daya genetik perikanan dianggap suatu cara untuk melakukan konservasi sekaligus sumber alternatif pangan. Sejak tahun 1950 sampai sekarang hasil pemanfaatan sumber daya genetik perikanan dan kelautan telah menyumbangkan banyak hal untuk kehidupan manusia seperti obat-obatan, pangan alternatif dan kosmetik. Ancaman penurunan keanekaragaman hayati baik di laut maupun di darat semakin mendorong eksplorasi dan ekploitasi terhadap sumber daya genetik perikanan dan kelautan. Namun, pemanfaatan sumber daya genetik perikanan dan kelautan masih banyak dinikmati oleh negara-negara maju. Negara Selatan yang sebagian besar kaya akan sumber daya genetik perikanan dan kelautan seperti Indonesia, Brasil, Filipina dan negara lain hanya dapat menonton dari jauh perkembangan teknologi yang semakin maju tanpa dapat menikmati keuntungan sumber daya genetik yang telah dimanfaatkan oleh negara lain. Oleh karena itu tuntutan akan adanya akses dan pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan sumber daya genetik menguat sejak KTT Bumi. Upaya ?upaya untuk mewujudkan pengaturan internasional mengenai akses dan pembagian keuntungan berhasil diperjuangkan dengan ditegaskannya CBD dan Protokol Nagoya. Namun demikian, pelaksanaan akses dan pembagian keuntungan terutama pada pemanfaatan sumber daya genetik perikanan dan kelautan masih menemui banyak kendala mulai dari perbedaan konsep, ruang lingkup, akses dan kepatuhan. Oleh karena itu selama UNCLOS belum mengatur sumber daya genetik secara tegas maka negara-negara pihak sebaiknya melakukan penyusunan akses dan pembagian keuntungan terutama dalam hal pemanfaatan sumber daya genetik.

The utilization of marine and fisheries genetic resources is enhanced in line with the development of science and technology. When the world facing international crisis on fisheries resources due to overfishing, climate change and pollution, the utilization of fisheries genetic resources is considered as a means for conservation and alternative source of food. Since 1950 to present, the utilization of marine and fisheries genetic resources have contributed to human life namely for medicines, alternative food and cosmetics. Threats on reduction of sea and land biodiversity encourages the exploration and exploitation of marine and fisheries genetic resources. Nevertheless, the utilization of marine and fisheries genetic resources is enjoyed only by developed countries. The South countries who are rich in marine and fisheries genetic resources namely Indonesia, Brazil, Philippines and others do not possess advanced technology nor enjoy benefit sharing from the utilization of marine and fisheries genetic resources by other countries. Therefore, claims on access and benefit sharing on the utilization of genetic resources have increased since the Earth Summit. Efforts to realize international regulations on access and benefit sharing successfully achieved and confirmed on CBD and Nagoya Protocol. Nevertheless, the implementation of access and benefit sharing notably on marine and fisheries genetic resources remain to encounter issues concerning the concept, scope, access, benefit sharing, and compliance. Therefore, since UNCLOS does not clearly regulate genetic resources, state party must develop regulation on access and benefit sharing particularly on the utilization of genetic resources."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31230
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Beathrine Elshaddai
"Pelaksanaan REDD+ didominasi oleh beberapa perdebatan terutama mengenai kesetaraan pada distribusi manfaat, risiko, dan biaya pelaksanaan REDD+. Perancangan benefit sharing yang tidak dilakukan secara tepat dapat mengurangi legitimasi pelaksanaan serta dukungan terhadap REDD+. Penelitian ini bermaksud untuk mengidentifikasi celah antara teori dengan praktik terhadap salah satu unsur esensial pada benefit sharing, yakni penerima manfaat. Menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan konseptual, penelitian ini menelusuri rasionalisasi yang digunakan untuk menentukan penerima manfaat dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 70 Tahun 2017 serta rancangan Benefit Sharing Plan Kalimantan Timur. Penelitian ini menuai hasil dimana dalam peraturan dan rancangan dokumen tersebut terdapat teori-teori yang telah diadopsi. Namun pada akhirnya tetap diperlukan pertimbangan atas teori kompensasi biaya untuk memastikan para pelaksana REDD+ dapat memperoleh kembali biaya yang telah dikeluarkan untuk melaksanakan REDD+. Penelitian ini menyarankan agar hal ini diakomodir melalui penetapan kriteria penerima manfaat secara rigid dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 70 Tahun 2017. Selain itu, kriteria yang ditentukan sebaiknya mempertimbangkan tujuan konsep benefit sharing secara utuh. Hal ini penting agar kriteria yang ditetapkan dapat memuat nilai-nilai keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi para penerima manfaat.

Concern over equitable distribution of, namely, benefit, risks and costs of REDD+ dominates current debates. The validity of REDD+ and support for its implementation might be affected if not structured appropriately. This study addresses the gap between theory and practice by emphasizing one of the main concerns regarding equitable benefit sharing, particularly, beneficiaries. By conducting normative judicial research with conceptual approach, this study reviews rationales that have been put forward to justify beneficiaries on Minister of Environment and Forestry No. 70 year 2017 and Kalimantan Timur’s Benefit Sharing Plan Draft. The result on this study indicates that both regulations and documents have adopted variety of rationale of theories. However, the cost compensation rationale must be considered to ensure that REDD+ implementers can recoup their implementation expenses. This study suggests for this issue to be accommodated through a concrete beneficiary criteria in Minister of Environment and Forestry No. 70 year 2017. In addition, the specified criteria should consider the objective of benefit sharing concept. This is crucial so that the established criteria can accommodate the values ​​of justice, certainty and utility for the beneficiaries."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tami Justisia
"Genetic resources have an important value and role for human life. Over technology, it often happens that the utilization of genetic resources of developing countries are not held accountable by the developed countries. Convention on Biological Diversity and the Nagoya Protocol are several international instruments governing the protection of genetic resources. Since each country has sovereign rights over genetic resources in their area, then any access and use should be based on the consent of the competent national authorities which regulated in the Nagoya Protocol. This study will focusing on the protection of the utilization of genetic resources from irresponsible use under Nagoya Protocol and its implementation in Indonesia.

Sumber daya genetika memiliki nilai dan peranan yang penting bagi kehidupan manusia. Seiring berjalannya teknologi,sering terjadi pemanfaatan sumber daya genetika milik negara berkembang secara tidak bertanggung jawab oleh negaranegara maju. Convention on Biological Diversity dan Nagoya Protocol adalah beberapa instrumen hukum internasional yang mengatur perlindungan sumber daya genetika. Karena setiap negara memiliki sovereign rights atas sumber daya genetika yang ada di wilayahnya, setiap akses dan pemanfaatan harus didasarkan kepada izin dari lembaga nasional yang berwenang yang diatur dalam Nagoya Protocol. Skripsi ini meninjau mengenai perlindungan terhadap sumber daya genetika dari pemanfaatan yang tidak bertanggung jawab berdasarkan Nagoya Protocol serta implementasinya di Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
S42161
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Fifteen rhizopus oligosporus isolated were isolated from a number of tempeh samples obtained from Mataramm Jember an d Bogor Indonesia;...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sadewo Ahmad Musa
"ABSTRAK
Teknologi telah berhasil mendisrupsi semua yang kita ketahui, termasuk sektor keuangan. Ribuan startup telah tercupta di seluruh dunia, dengan yang paling populer selama beberapa tahun terakhir ini adalah fintech. Di Indonesia, fintech baru mulai mencuat baru-baru ini. Berfokus pada Peer-to-Peer Lending, penelitian ini mencoba untuk memahami bagaimana persepsi investor terhadap layanan peer-to-peer lending dan bagaimana hal itu mempengaruhi niat berkelanjutan untuk menggunakan platform. Studi ini telah mengumpulkan 110 responden yang memiliki pengalaman dalam berinvestasi dalam platform Peer-to-Peer Lending. Metode Partial Least Square digunakan untuk menguji model yang diusulkan, yang menghasilkan risiko keuangan memiliki efek paling negatif pada intensi berkelanjutan pengguanaan Peer-to-Peer Lending, sedangkan Economic Benefit memiliki efek positif terkuat. Studi ini dapat berkontribusi untuk memahami manfaat dan faktor risiko yang mempengaruhi intensi penggunaan Peer-to-Peer Lending secara berkelanjutan, karena studi tentang topik ini masih sangat sedikit.

ABSTRACT
Technology has come to disrupt everything we know, including the financial sector. Thousands of startups had has risen around the world, with the most popular one for these few years were Financial Technology. In Indonesia, such thing has just gained its fame recently. Focusing on Peer to Peer Lending, this study tries to understand how people on lender side perceived the services and how that affecting the continuous intention to use the platform. This research has collected 110 participants that have experience on investing at Peer to Peer Lending platforms. Partial Least Square method was used to test the proposed model, resulting on financial risk had the most negative effect on Peer to Peer Lending continuance intention, while economic benefit had the strongest positive effect. This study can contribute to understand the benefit and risk factors that affecting the Peer to Peer Lending continuance intention, as there are very limited number of study regarding the topic. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Utami Indriyani
"Perusahaan startup telah menjadi tren bisnis yang menarik dan berkembang pesat di Indonesia. Bisnis ini merupakan bisnis yang menjanjikan dari segi investasi dan gaji sehingga menimbulkan banyak persaingan antara para pelaku bisnis startup. Banyak perusahaan startup yang mampu bertahan namun tidak sedikit yang ditutup dan ditinggalkan oleh para pendirinya. Menurut Bershidsky (2014), faktor keuangan menjadi faktor yang penting bagi karyawan dalam bekerja. Oleh karena itu penelitian ini menguji pengaruh compensation terhadap employee engagement dengan organisation brand sebagai mediator. Sampel penelitian adalah para karyawan perusahaan startup yang berjumlah 216 orang dengan metode kuantitatif, non random sampling, dan pengambilan data menggunakan kuesioner. Pengujian dilakukan terpisah pada kelompok yang mendapatkan benefit dan tidak mendapatkan benefit. Hasil pengujian menunjukkan organisation brand tidak berperan sebagai mediator, pada kelompok yang mendapatkan maupun kelompok yang tidak mendapatkan benefit.

Startup business has become an interesting and very well developed in Indonesia. Startup is as a well promised business in the term of investment and pay/salary that it makes company amongst them. There are a lot of company able to survive but some others goes bankrupt and left by the founders. According to Bershidsky (2014), pay is the important factor for employee to do their job. Therefore, this paper tests the hypothesis that compensation has effect on employee engagement with organisation brand as a mediator. Sample of this research is 216 employees of startup company using quantitative method, non random sampling, and data collected through questionnaire. We tested differently on a group with and without benefit. Result shows that organisation brand is not a mediating variable in both group with or without benefit."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Yogi Junaedi
"Sejak jaman kerajaan sampai sekarang, pengelolaan hutan bersifat sentralistik. Implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal membuka babak baru pengelolaan hutan di Indonesia. Dalam kebijakan yang baru, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan pula untuk mengatur sumberdaya alam kehutanan yang ada di wilayahnya. Hal tersebut memberi ruang pemecahan masalah yang timbul dalam pengelolaan hutan selama bertahun-tahun. Pengelolaan hutan yang transparan dengan melibatkan masyarakat, pengusaha dan pemerintah baik Pusat maupun Daerah diharapkan mampu memecahkan permasalahan seperti konflik lahan, penjarahan hutan, kemiskinan masyarakat, sistem bagi hasil yang adil (proportional sharing), pengelolaan hutan yang transparan, dan sebagainya.
Sebagaimana diketahui bahwa pengelolaan hutan di Pulau Jawa cenderung bersifat oligopolistik yang dijalankan oleh Perum Perhutani sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pola pengelolaan ini merupakan warisan kolonial yang diterus-ulang oleh pemerintah sejak awal kemerdekaan sampai sekarang. Dalam mengelola hutan, Perum Perhutani seringkali mengesampingkan aspek sosial masyarakat, peran permerintah daerah pun dipinggirkan dengan dalih payung hukum mereka dari Pemerintah Pusat.
Penelitian ini menggunakan dua (2) metode yaitu : metode kuantitatif dengan melakukan penghitungan data berdasarkan peraturan perundangan yang ada; dan metode kualitatif yang melakukan kajian evaluasi dari aspek hukum, kelembagaan, dan kesesuaian dengan teori ekonomi yang terkait.
Hasil kajian evaluasi ini menunjukkan bahwa 1). Pengelolaan hutan yang dilakukan Perum Perhutani di Jawa Timur kurang transparan; 2). Dengan menetapkan harga kayu di bawah harga pasar kayu rakyat, Perum Perhutani gagal menjalankan perannya sebagai perusahaan dominan dalam menentukan harga (price leader) dalam pasar oligopolistik. Hal ini menyebabkan potensi kerugian penerimaan negara (Potential Government Revenue Loss) sebesar Rp.13,948 Milyar pada tahun 2008; 3). Kebijakan tarif dan harga patokan yang tidak diperbaru-ulang menambah kerugian negara yang cukup besar. Sebagai perbandingan pada tahun 2008 kerugian negara mencapai Rp.145,120 Milyar.
Untuk kajian kelembagaan, terdapat hubungan trilateral antara Pemerintah Pusat-Daerah dan Perusahaan. Aturan yang ada belum mengakomodasi permasalahan kewenangan dalam era baru pengelolaan hutan.

Since the kingdom empire until today, management of forest resource has been centralized. The implementation of regional autonomy and the decentralization of fiscal has opened a new era in forest resource management in Indonesia. According to the new policy, Provincial Government also has the authority to manage forest resources which are under their administrative region. This gives the opportunity the resolve problems which arise from forest resource management for the past years. It is hoped that through transparent forest management practices, involving business owners and both Central and Provincial Government, problems such as land area conflict, illegal logging, poverty, fair proportional sharing of income, transparent management practice and other problems can be resolved.
As we know, forest management in Java Island tends to be oligopolistic managed by Perum Perhutani as a stated owned enterprise. This type of management has been practiced since the colonial era which was then adopted by the government since independence until today. In its forest management practice Perum Perhutani often set aside social community aspects, the role of provincial governments has also been set aside in accordance their policy issued by central government.
This research uses two (2) methods: quantitative method through data calculations based on existing laws and regulations; and qualitative method through evaluation and review of legal and institutional aspects in accordance to related economic theories.
The research result shows that 1). Forest management implemented by Perum Perhutani in East Java isn't adequately transparent; 2) Using hardwood price which are under the market price of public hardwood prices, Perum Perhutani fails in implementing its role as the dominant enterprise in hardwood price standards (price leader) in the oligopolistic market. This has caused a Potential Government Revenue Loss as big as Rp.13,948 Billion in the year 2008; 3). Tariff policy and standard prices which aren?t frequently update furthermore adds to revenue loss.
In comparison in 2008 government revenue loss was Rp.145,120 Billion. In the institutional review, a trilateral relationship exists between the Central Government, Provincial Government and the state enterprise. Existing regulations doesn?t accommodate authority issues in the new era of forest resource management.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2009
T28747
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>