Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 174699 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Palmandos, Turny
"Tesis ini membahas mengenai perlindungan pengetahuan tradisonal Indonesia yang berupa tradisi sastera lisan dan produk sumber daya hayati, dalam undang-undang hak cipta dan hak merek yang berlaku saat ini, serta pembuktian terhadap pengetahuan tradisional Indonesia yang telah disalahgunakan oleh pihak asing. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang menggunakan metode analisis kualitatif.
Hasil penelitian menyarankan pemerintah perlu segera membuat aturan khusus mengenai pengetahuan tradisional atau indikasi geografis yang memihak pada komunitas lokal pemilik dari pengetahuan tradisional atau produk indikasi geografis tersebut. Selain itu pemerintah perlu membuat basis data yang berisikan berbagai dokumentasi pengetahuan tradisional di Indonesia. Adanya basis data ini dapat mengatasi kesulitan dalam menemukan dokumentasi yang akan digunakan sebagai alat bukti.

This thesis research it's about legal protection of oral tradition and specific product of Indonesian province in copyright law and trademark law, with legal evidence of Indonesian traditional knowledge property. This research are normative legal research, and the analysis methode are qualitative.
The result of this research suggest that the traditional knowledge law are necessary for local community in Indonesia. The goverment needs to build a database that contents various documentation of traditional knowledge in Indonesia. The database and the documentation can be used for legal evidence of Indonesian traditional knowledge property.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T37182
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Toto Sugiatno Samingan
"Penegakan hukum hak kekayaan intelektual oleh otoritas kepabeanan ditujukan untuk melindungi pemilik atau pemegang hak dari segi ekonomi, melindungi konsumen terhadap barang-barang bermerek palsu maupun bajakan hak cipta dan untuk kepentingan negara dari segi perdagangan internasional serta penerimaan keuangan negara dilaksanakan dengan dua cara yaitu pasif dan aktif sesuai dengan ketentuan Persetujuan Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights tentang tindakan yang diambil di perbatasan negara walaupun sudah memperlihatkan hasilnya namun masih memerlukan dukungan berupa peran serta secara aktif pemilik atau pemegang hak, masyarakat konsumen, dan kerjasama para penegak hukum, serta perangkat peraturan yang memadai.

Enforcement of intellectual property rights by the Customs Authority is aimed to give economic protection to the owner or holder of the right, consumer protection against counterfeit trademark and pirated goods as well as for the benefit of international trade and national revenue performed by Customs Authority in two actions, that is passive action and active action based on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Agreement concerning with special requirements related to border measures although has been done successfully but it still need support in form of active participation by the owner or holder of the right, consumer as a whole, cooperation among law enforcement agencies and a set of reliable government regulation as well.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T26135
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Andhika
"Pada era modern ini, kekayaan intelektual menjadi aspek penting dalam kehidupan manusia. Sebagai contoh, dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022, kekayaan intelektual dapat dijadikan jaminan untuk memperoleh pembiayaan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa praktik bisnis yang tidak adil terkait kekayaan intelektual sering terjadi. Di Indonesia saat ini, terdapat 2 (dua) jenis pelanggaran merek, yaitu merek yang identik dan yang serupa secara substansial. Dalam kasus pelanggaran merek (baik untuk merek yang identik maupun serupa secara substansial) pemohon/pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan ke pengadilan perdagangan untuk meminta pengadilan mewajibkan pemilik merek yang terakhir untuk mencabut pendaftaran mereknya. Penelitian ini berfokus pada penelitian yuridis deskriptif yang berfokus pada fenomena hukum berdasarkan literatur seperti jurnal dan/atau buku. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, terdapat beberapa jenis pelanggaran merek namun dengan dasar hukum yang sama, yaitu untuk memperoleh keuntungan kompetitif yang tidak adil terhadap merek terdaftar lainnya. Selain itu, dalam kasus pembatalan merek terkenal dan merek terdaftar, gugatan pembatalan dapat diajukan ke pengadilan perdagangan yang berada di pengadilan negeri. Para pihak juga dapat mengajukan banding jika tidak puas dengan pertimbangan dari majelis hakim.

In this modern day, intellectual property becomes an important aspect of human's lives. For instance, with the Promulgation of Government Regulation Number 24 Year 2022, an intellectual property could be put up as a collateral/security in order to receive financing. However, it could not be denied that unfair business practices regarding intellectual property is a regular occurence. In Indonesia now, there are 2 (two) types of trademark infringement which are identical mark and substantially mark. In an event that a trademark infringement has been done (both for identical marks as well as substantially similar mark) the plaintiff/owner of a registered trademark could file to the commercial court in order to ask the court to oblige the owner of the later mark to cancel the registration of mark. This research focuses on the descriptive juridical research which focuses on phenomenoms about the law basing it on literatures such as journals and/or books. Based on the research done, there are a few types of trademark infringement but with the same legal reasoning which is to gain unfair competitive advantage regarding other registered trademark. Other than that, in a case of dismissal towards a well-known trademark and registered mark, a dismissal claim could be submitted to the commercial court located in the district court. The parties could also file an appeal if they are not satisfied with the deliberation/consideration from the panel of judges."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evany Onnara
"Merek merupakan identifikasi suatu produk perusahaan sehingga perlu dilindungi. Perlindungan terhadap merek dilakukan dalam kerangka hukum nasional dan internasional. Salah satu prinsip dalam konvensi-konvensi internasional yang mengatur mengenai perlindungan merek adalah prinsip perlakuan nasional. Sejak keberlakuan undang-undang tentang merek pertama tahun 1961 hingga yang terbaru tahun 2016, belum ada yang mengatur mengenai prinsip perlakuan nasional. Penulis akan membahas mengenai penerapan prinsip perlakuan nasional dalam gugatan permohonan pembatalan pendaftaran merek Cap Kaki Tiga oleh Russel Vince, seorang warga negara Inggris di Pengadilan Niaga sampai tahap peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Pembahasan kasus dilakukan dari perspektif Hukum Perdata Internasional.

Trademark is the identification of a company 39 s product, therefore it needs to be protected. The trademark protection is regulated within the framework of national and international law. One of the principles in international conventions governing trademark protection is national treatment principle. Since the enforcement of the first trademark law in 1961 to the latest trademark law in 2016, there has been no regulation about national treatment principle. Researcher will discuss about the implementation of national treatment principle in the lawsuit for the cancellation of the registered Trademark, Cap Kaki Tiga, by Russell Vince, a British citizen in the Commercial Court until the review stage of the Supreme Court. The case discussions are conducted from the Private International Law perspective."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S68503
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hana Oktaviandri
"Untuk dapat bersaing secara efektif, suatu kegiatan bisnis harus mendapatkan atas bisnis beserta barang atau jasanya sebagai strategi nya. Hal tersebut dapat dilakukan melalui yang kuat. Trade dress merupakan salah satu cara untuk memperkuat branding dan dapat memperoleh perlindungan hukum sebagai salah satu bentuk objek kekayaan intelektual Berdasarkan hal tersebut, penulis mengajukan beberapa pokok permasalahan, antara lain apakah perlindungan hukum hak kekayaan intelektual yang tepat terhadap trade dress dan bagaimanakah pengaturan mengenai ruang lingkup trade dress dalam hukum merek Indonesia. Bentuk penelitian ini bersifat yuridis normatif dan tipologi penelitian deskriptif. Kesimpulan yang didapatkan adalah di antara berbagai jenis hak kekayaan intelektual, merek merupakan perlindungan hukum yang sesuai untuk trade dressdan belum adanya pengaturan terkait ruang lingkup trade dress dalam hukum merek Indonesia. Maka, saran yang diberikan adalah pengaturan ruang lingkup trade dress secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan oleh pemerintah untuk menciptakan kepastian hukum dan menghindari persaingan usaha tidak sehat,
justify;To be able to compete effectively, the business activity must obtain market recognition of the business along with the products or services as its marketing strategy. This can be done through strong branding. Trade dress is one way to strengthen branding and can obtain legal protection as an object of intellectual property. Based on this, the author proposed several main issues, namely what is the most suitable legal protection of intellectual property rights for trade dress and how is the regulation regarding the scope of trade dress in the Indonesian trademark law. The methods of this research are normative juridical and descriptive research typology. The conclusions obtained are that among the various types of intellectual property rights, trademark is the suitable legal protection for the trade dress and explicit regulation is needed regarding the scope of trade dress within the Indonesian legal framework. Therefore, the advice given is to explicitly regulate the scope of trade dress in statutory regulations by the government to create legal certainty and avoid unfair business competition"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shafa Andien Hanifa
"Penetapan PP No. 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif memuat ketentuan mengenai skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual yang memberikan sarana baru bagi pelaku ekonomi kreatif untuk menjaminkan kekayaan intelektual serta mendapatkan pembiayaan. Akan tetapi, dalam UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis tidak diatur mengenai bentuk penjaminan merek. Namun, penetapan PP No. 20 Tahun 2022 masih sangat baru maka penulis mengkritisi dan menganalisis pengaturan terkait penjaminan merek sebagai objek jaminan utang untuk memperoleh pembiayaan dengan membandingkan pengaturan dan penerapannya di Amerika Serikat. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis-normatif, dan menggunakan bahan-bahan kepustakaan seperti bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yaitu PP No. 24 Tahun 2022, UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dan Article 9 Uniform Commercial code kemudian menganalisis kelebihan dan kekurangan serta memberikan rekomendasi terkait implementasi pengaturannya. Hasil dari penelitian oleh penulis adalah merek sebagai jaminan utang dapat dibebankan atas jaminan fidusia dan implementasi harus memerhatikan penilaian kekayaan intelektual sebagai jaminan.

The stipulation of PP No. 24 of 2022 concerning the Implementation Regulations of Law No. 24 of 2019 concerning the Creative Economy contains provisions regarding intellectual property-based financing schemes that provide new means for creative economy actors to pledge intellectual property and obtain financing. However, Law No. 20/2016 on Trademarks and Geographical Indications does not regulate the form of brand collateral. Nevertheless, the stipulation of Government Regulation No. 20 of 2022 is still very new, hence the author criticizes and analyzes the regulation related to brand collateral as an object of debt collateral to obtain financing by comparing the regulation and its application in the United States. The research method in writing this thesis is juridical-normative, and uses library materials such as primary, secondary, and tertiary legal materials, namely PP No. 24 of 2022, Law No. 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees, and Article 9 of the Uniform Commercial code then analyzes the advantages and disadvantages and provides recommendations regarding the implementation of its arrangements. The result of the research by the author is that the trademark as debt collateral can be imposed on fiduciary guarantees and the implementation must pay attention to the valuation of intellectual property as collateral."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Handi Nugraha
"Penelitian tentang perlindungan hak moral dalam UU hak cipta ini pada awalnya timbul karena adanya rasa penasaran penulis atas pernyataan dari International Intellectual Property Allience (IIPA) yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 24 (2) Jo. Pasal 55 (c),(d) UUHC 2002, telah melebihi ketentuan Article 6bis(l) Konvensi Berne yang mengatur tentang hak moral, sehingga perlu direvisi. Selanjutnya, penulis juga melihat terdapat kejanggalan dalam pengaturan hak moral dalam UUHC 2002, di mana dalam penjelasan umum UUHC 2002 ini disebutkan bahwa Hak Cipta terdiri atas hak ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral rights) . Di sini, hak moral diartikan sebagai hak yang melekat pada diri Pencipta atau Pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apa pun, walaupun Hak Cipta atau Hak Terkait telah dialihkan (inalienable rights). Sedangkan bila merujuk Pasal 3 UUHC 2002 menunjukkan bahwa hak cipta merupakan hak kebendaan yang dapat beralih atau dialihkan berdasarkan hal-hal tertentu baik seluruhnya ataupun sebagian. Ini menunjukkan bahwa telah terjadi kerancuan konsepsi mengenai hak moral dalam UUHC 2002. Terlebih tidak ada satu pasal pun yang mengatur hak moral bagi palaku dalam UUHC 2002. Lalu bagaimanakah konsep hak moral itu sesungguhnya, dan benarkah ketentuan hak moral dalam UUHC 2002 telah melebihi Pasal 6bis Konvensi Berne?. Berdasarkan hasil penelitian, konsepsi hak moral ternyata tidaklah sama meskipun di negara-negara yang menjadi anggota Konvensi Berne, baik dari segi sifat maupun ruang lingkupnya. Bahkan, di negara asal konsepsi hak moral ini yaitu Perancis, pengaturan hak moral jauh melebihi ketentuan dalam Konvensi Berne. Sehingga, rekomendasi IIPA tersebut di atas adalah sangat tidak relevan. Selain itu, Hak moral ternyata tidak sama dengan hak cipta dan juga bukan merupakan bagian dari hak cipta. Hak moral lebih merupakan hak pelengkap atau hak tambahan {additiona1 rights) bagi pencipta dan/atau pelaku."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T36588
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Gusti Karina Saraswati
"Keberadaan dari 3D Printing dan CAD Files berpotensi besar akan berkonflik dengan perlindugan hak kekayaan intelektual khususnya hak cipta dan desain industri. Tidak dapat dipungkiri bahwa kedepannya teknologi ini akan marak di indonesia. 3D Printing dapat mengubah pasar yang tadinya berjualan produk jadi menjadi virtual model atau CAD Files. Hal ini akan berdampak pada desainer dan perusahaan, sehingga mereka akan berusaha untuk melindungi CAD Filesnya dari modifikasi dan penggandaan oleh pihak lain. Permasalahan hukum dari penelitian ini adalah mempertanyakan akan bentuk perlindungan terhadap CAD Files untuk 3D Printing menurut UU Hak Cipta dan UU Desain Industri. Serta mempertanyakan apakah CAD Files sebagai suatu desain yang telah mendapatkan hak desain industri dapat memperoleh perlindungan hak cipta? dan apakah sistem hukum di Indonesia menganut sistem perlindungan kumulatif, perlindungan terpisah atau perlindungan parsial kumulatif? Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab apakah desainer dapat melindungi CAD Filesnya dengan hak cipta ataukah dengan desain industri dan apakah sistem hukum di Indonesia dapat melindungi CAD Files secara bersamaan atau kumulatif. Penyusunan penelitian ini dilakukan menggunakan metodologi hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan perbandingan dan pendekatan konsep. Penelitian ini akan mengacu pada dua kerangka teori yaitu labor theory of property dan teori perlindungan kumulatif. Kesimpulan dari penelitian ini adalah hak cipta dan desain industri dapat melindungi CAD Files untuk 3D Printing sepanjang CAD Files tersebut telah memenuhi persyaratan perlindungan sebagaimana diatur dalam UU. Walaupun kedua perlindungan dapat melindungi CAD Files, UU Desain Industri tidak mengatur mengenai perlindungan kumulatif dengan Hak Cipta. Sehingga Indonesia menganut rezim perlindungan terpisah seperti Amerika. Untuk menentukan apakah CAD Files masuk kedalam ranah hak cipta dan dikategorikan sebagai karya seni atau masuk kedalam ranah desain industri maka harus dilihat tujuan komersialisasi dari desainer ketika menciptakan CAD Files.

The existence of 3D Printing and CAD Files has great potential to conflict with the protection of intellectual property rights, especially copyright and industrial design. It is undeniable that in the future this technology will flourish in Indonesia. 3D Printing can change the market that once sold finished products to virtual models or CAD Files. This will have an impact on designers and companies, so they will try to protect their CAD Files from modification and copying by other parties. The legal problem of this research is to question the form of protection for CAD Files for 3D Printing according to the Copyright Act and the Industrial Design Act. As well as questioning whether CAD Files as a design that has obtained industrial design rights can obtain copyright protection? and does the legal system in Indonesia adhere to a cumulative protection system, separate protection or cumulative partial protection? The purpose of this study is to answer whether designers can protect their CAD Files with copyright or industrial design and whether the legal system in Indonesia can protect CAD Files simultaneously or cumulatively. The methodology of this research was carried out using a normative legal methodology using a statutory approach, a comparative approach and a concept approach. This research will refer to two theoretical frameworks, namely labor theory of property and cumulative protection theory. The conclusion of this research is that copyright and industrial design can protect CAD Files for 3D Printing as long as the CAD Files meets the protection requirements as regulated in the Act. Although both safeguards can protect CAD Files, the Industrial Design Law does not regulate cumulative protection with Copyright. So that Indonesia adheres to a separate protection regime like America. To determine whether CAD files enter into the realm of copyright and are categorized as works of art or entered into the realm of industrial design, it must be seen the purpose of commercialization of the designer when creating CAD Files."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Rando
"Kekosongan hukum Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek merupakan ketentuan yang rentan menimbulkan masalah sehingga harus segera ditetapkan oleh pemerintah. Munculnya berbagai masalah pemboncengan merek asing terkenal jauh sebelum undang-undang ini berlaku juga disebabkan oleh kekosongan hukum Pasal 6 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek karena Pasal tersebut mengamanatkan lahirnya sebuah Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang perlindungan merek terkenal terhadap barang dan atau jasa yang tidak sejenis. Akibatnya, pengertian dan kriteria merek terkenal serta pengertian dan penjelasan lebih lanjut mengenai barang dan jasa tidak sejenis apakah mencakup barang-barang yang berbeda kelas barang belum dapat diketahui secara pasti dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Alasannya karena untuk menentukan keterkenalan suatu merek sangat tergantung pada penilaian hakim yang memeriksa sengketa tersebut. Padahal sistem peradilan di Indonesia tidak menganut azas precedent dimana Hakim tidak diharuskan untuk mengikuti putusan-putusan hakim sebelumnya bahkan untuk sengketa yang sama atau mirip. Walaupun bangsa Indonesia tunduk kepada instrumen internasional seperti (The Paris Convention for the Protection of Industrial Property/Konvensi Paris) dan (Aggrement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade in Counterfeit Goods/TRIPs), tetapi semua ketentuan yang terdapat didalamnya juga tidak memberikan pengertian yang jelas dan lengkap mengenai perlindungan terhadap barang yang tidak sejenis. Ketentuan ini juga memberikan kebebasan kepada setiap negara anggota untuk menetapkan dan mengatur keterkenalan suatu merek di negaranya masing-masing. Oleh sebab itu, penentuan keterkenalan suatu merek pada akhirnya tetap diserahkan kepada Majelis Hakim. Pada dasarnya Perlindungan terhadap merek terkenal bisa menerapkan azas itikad tidak baik kepada Pemohon yang mendaftarkan mereknya secara tidak jujur karena membonceng, meniru, atau menciplak ketenaran suatu merek sehingga merugikan pihak lain atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh, atau menyesatkan konsumen. Namun, pembuktian adanya itikad tidak baik juga merupakan pekerjaan yang sangat sulit karena harus dikaitkan dengan pembuktian adanya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya yang dalam undangundang tentang merek juga belum diatur secara lengkap dan jelas. Selanjutnya pembuktian adanya azas itikad tidak baik ini juga harus didahului dengan pembuktian keterkenalan merek tersebut. Pada akhirnya semua pihak hanya berharap agar Peraturan Pemerintah yang sudah diamanatkan oleh undang-undang dapat segera disahkan sehingga sengketa yang berkaitan dengan pemboncengan merek terkenal dapat diselesaikan atau sedapat mungkin dapat dihindari.

The absence of law on article 6 (2) UU Nomor 15 Tahun 2001 on Trademark is a regulation that potentially will cause problems that has to be fixed by the Government. Various problems on the attachment of foreign trademark have occured long before UU nomor 15 tahun 2001 is effective These problems were caused by the absence of law on article 6 (4) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1997 as the change of Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 on trademark since the article mandated the born of Government regulatory (Peraturan Pemerintah) that regulate about famous trademark protection on different category of goods and services. The result is that the definition and criteria of famous foreign trademark along with whether the definition and explanation afterward of the different category of goods and services include the goods in different classes is not known so it result in the uncertainty of law. The reason to determine the degree of famous on foreign trademark relies heavily on judge? valuation that handle the dispute. Ironically, Indonesian judicial system does not recognize precedential principle where it is obliged for a judge to follow previous judgment even in a similar case. Even though Indonesia has adopted to International convention such as Paris Convention for the Protection of Industrial Property and Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, including Trade in Counterfeit Goods/TRIPs, all the provisions inside those convention do not give clear and comprehensive definition on protection of different category of goods. Those conventions give freedom to each member states to determine and govern the degree of famous in their territory. Therefore the determination on the degree of famous eventually will be given to the judges. Basically, the protection on foreign trademark can also apply the good faith principle to the applicant who register their trademark untruthfully because they attach, imitate or copy the famous of a particular trademark causing loss on other sides or unhealthy competitions, tricked or deceived consumers. However, the burden of proof of bad faith is a very difficult task since it has to relate with the proofing of similarity in the principle or as a whole. Subsequently, the proofing of the bad faith has to be initiated first with the proofing of the state of famous of the particular trademark. Finally, all sides only hope that the Government Regulatory (Peraturan Pemerintah) that is mandated by UU can be finalized and validated so the disputes relating to the attachment of foreign trademark can be settled or can be preventedas possible."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S24745
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>