Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 123747 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irawaty
"ABSTRAK
Rezim Hak Kekayaan Intelektual mulai berlaku di Indonesia sejak diratifikasinya Agreement Establishing the World Trade Organization melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. Salah satu bidang HKI ialah Rahasia dagang yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. Berbeda dengan bidang HKI lainnya, rahasia dagang memiliki nilai ekonomi karena tetap dijaganya kerahasiaan mengenai suatu informasi dan tetap mendapat perlindungan selama kerahasiaannya dijaga. Dalam perkembangannya rahasia dagang mulai banyak dikaji mengenai kegunaannya sebagai benda jaminan kredit. Para ahli mengatakan bahwa rahasia dagang merupakan HKI non-tradisional dengan HKI lainnya dapat digunakan sebagai benda jaminan kredit. Di Amerika Serikat dan Thailand rahasia dagang sudah digunakan sebagai benda jaminan dalam transaksi berjaminan bersama-sama dengan HKI lainnya. Dalam tulisan ini penulis mengkaji rahasia dagang sebagai benda jaminan kredit di Indonesia berdasarkan konstruksi hukum yang berlaku saat ini. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dimana penulis menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) dan untuk mendukung analisa hukum yang lebih komprehensif dan akurat penulis menggunakan juga pendekatan perbandingan (comparative approach). Penelitian ini juga bersifat deskriptif analisis dimana penulis menjelaskan asas-asas hukum yang berkaitan dengan rahasia dagang, benda jaminan kredit, dan perbankan. Kesimpulan yang didapat yakni bahwa berdasarkan hasil kajian terhadap konstruksi hukum di Indonesia rahasia dagang dapat dijadikan benda jaminan kredit namun dalam penerapannya dalam bidang perbankan dibutuhkan perangkat hukum yang secara tegas mengatur rahasia dagang sebagai benda jaminan kredit dan prosedur pelaksanaannya."
2008
T37441
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Angelica Janet Dosroha
"Dalam beberapa tahun terakhir, industri ekonomi kreatif Indonesia sedang mengalami perkembangan. Namun, terdapat salah satu persoalan yang dihadapi oleh pelaku ekonomi kreatif, yaitu minimnya infrastruktur pendukung, seperti terbatasnya akses ke pembiayaan. Berkaitan dengan pembiayaan, salah satu masalah yang menonjol adalah keengganan bank untuk menerima hak kekayaan intelektual sebagai jaminan. Pada dasarnya, kedudukan hak kekayaan intelektual untuk dijadikan jaminan telah diatur dalam undang-undang. Hak kekayaan intelektual dapat dijadikan sebagai jaminan fidusia. Namun, terdapat ketiadaan peraturan pelaksana dalam pengimplementasiannya. Untuk itu, dalam semangat memajukan industri ekonomi kreatif, Pemerintah menerbitkan PP 24/2022 yang mengatur mengenai skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual. PP 24/2022 memuat pranata pendukung hak kekayaan intelektual sebagai objek jaminan. Namun, kebijakan ini dianggap belum dapat diimplementasikan dikarenakan terkendala dalam beberapa aspek, antara lain lembaga penilai, standar valuasi, sistem administratif, dan regulasi teknis. Pengaturan mengenai kedudukan HKI sebagai objek jaminan juga dikenal di negara Amerika Serikat dan Korea Selatan, yang mana telah berhasil untuk diimplementasikan. Oleh karena itu, skripsi ini akan membahas dan menganalisis perbandingan pengaturan dan implementasi penilaian kekayaan intelektual sebagai objek jaminan pada negara Amerika Serikat dan Korea Selatan, yang dapat memberikan rekomendasi berupa langkah lanjutan untuk perbaikan pengaturan dan implementasi di Indonesia. Bentuk penelitian dari skripsi ini adalah yuridis-normatif dengan tipologi penelitian deskriptif yang didukung oleh studi kepustakaan dan wawancara sebagai alat pengumpul data. Berdasarkan perbandingan dengan Amerika Serikat dan Korea Selatan, dapat disimpulkan bahwa instrumen hukum dalam implementasi kekayaan intelektual sebagai objek jaminan belum diatur secara komprehensif, jelas, dan menyeluruh. Selain itu, implementasi kekayaan intelektual sebagai jaminan utang di Indonesia terkendala oleh lembaga penilai, standar valuasi, sistem administratif, dan regulasi teknis. Oleh karena itu, disarankan perbaikan dan pengambilan langkah lanjutan untuk merealisasikan pelaksanaan kekayaan intelektual sebagai objek jaminan.

In recent years, Indonesia's creative economy industry has been on the rise. However, there is one problem faced by creative economy actors, namely the lack of supporting infrastructure, such as limited access to financing. Concerning financing, one of the prominent problems is the reluctance of banks to accept intellectual property rights as collateral. Regulatory-wise, the position of intellectual property rights to be used as collateral has been regulated in law. Intellectual property rights can be used as fiduciary guarantees. However, there is a lack of implementing regulations in its implementation. For this reason, in the spirit of advancing the creative economy industry, the Government issued PP 24/2022 which regulates intellectual property-based financing schemes. PP 24/2022 contains institutions that support intellectual property rights as collateral objects. However, this policy is deemed unable to be implemented due to constraints in several aspects, including assessment institutions, valuation standards, administrative systems, and technical regulations. Arrangements regarding the position of IPR as collateral objects are also known in the United States and South Korea, which have been successfully implemented. Therefore, this thesis will discuss and analyze the comparative arrangement and implementation of intellectual property valuation as collateral objects in the United States and South Korea, which can provide recommendations in the form of further steps to improve regulation and implementation in Indonesia. The research form of this thesis is juridical-normative with a descriptive research typology supported by literature studies and interviews as data collection tools. Based on comparisons with the United States and South Korea, it can be concluded that legal instruments in the implementation of intellectual property as collateral objects have not been regulated comprehensively, clearly, and thoroughly. In addition, the implementation of intellectual property as collateral for debt in Indonesia is constrained by appraisal institutions, valuation standards, administrative systems, and technical regulations. Therefore, it is recommended to improve and take further steps to realize the implementation of intellectual property as a guarantee object."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sekar Rana Izdihar
"Perkembangan dan penggunaan teknologi dalam berbagai produk dan jasa semakin meningkat, di antaranya adalah Artificial Intelligence (AI). AI merupakan cabang ilmu komputer yang dikembangkan menjadi suatu teknologi hingga dapat melakukan penalaran dan pembelajaran mandiri. Namun, hingga saat ini belum terdapat peraturan perundang-undangan yang secara spesifik mengatur teknologi ini sehingga menimbulkan suatu ketidakpastian hukum. Terdapat berbagai penemuan hukum dan interpretasi yang dilakukan dalam upaya perlindungan AI oleh Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Tulisan ini berupaya untuk menjelaskan apakah AI dapat diklasifikasikan sebagai objek HKI, khususnya pada hak cipta dan paten. Selain itu, tulisan ini juga akan menganalisis tanggung jawab pemegang HKI atas kerugian yang ditimbulkan oleh AI miliknya. Hasil penelitian menunjukkan adanya variasi perlindungan AI sebagai objek HKI dengan menggolongkannya sebagai program komputer. Sedangkan, perihal tanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh AI masih menimbulkan perdebatan. Sebagian besar berpendapat bahwa pertanggungjawaban hukum tetap dibebankan kepada pemegang hak AI karena AI belum dapat dijadikan sebagai subjek hukum yang dapat bertanggung jawab.

The development and use of technology in various products and services is increasing, including Artificial Intelligence (AI). AI is a branch of computer science that has been developed into a technology which has the ability to learn and solve problems through logical deduction. However, until now, there is no regulation in Indonesia that specifically regulates this technology which creates legal uncertainty. There are various legal discoveries and interpretations made in an effort to protect AI by Intellectual Property Rights (IPR). This paper attempts to explain whether AI can be classified as an object of IPR, particularly copyrights and patents. In addition, this paper will also analyze the legal liability of right holders for losses caused by their AI. The results show that there are variations in the protection of AI as an object of IPR by classifying it as a computer program. Meanwhile, the issue of liability for the losses caused by AI is still a matter of debate. Most argue that the liability remains with AI rights holders because AI has not yet been defined as a legally liable subject."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Mala Yusrika Febriani
Universitas Indonesia, 1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herawati Fety Soeganto
"Dalam rangka pembangunan negara Indonesia dan meningkatkan kesejahteraan rakyat di bidang perekonomian, maka pemerintah menunjukkan alur penanaman dana pada bank atau lembaga keuangan lainnya, yang mana salah satu dari penanaman dana itu dalam bentuk sirapanan deposito. Deposito yang merupakan bentuk simpanan berjangka waktu, dapat dimasukkan kedalam kelompok surat berharga (sertifikat deposito) dan surat yang berharga (surat/bilyet deposito-deposito berjangka). Bila dihubungkan dengan hukum kebendaan deposito termasuk kedalam bentuk benda bergerak, sehingga apabila dijadikan jaminan kredit dengan cara menggadaikan deposito itu. Dalam keadaan mendesak deposito yang belum sampai jatuh temponya dapat dijadikan jaminan kredit, yaitu-dengan cara membuat surat perjanjian kredit antara debitur (dapat deposan atau orang lain) dan kreditur (bank atau lembaga keuangan), yang mana perjanjian kredit ini mempunyai sifat riel dan merupakan perjanjian standard, karena bentuk dan syarat-syaratnya telah ditentukan oleh kreditur. Bentuk perjanjian standard inilah yang perlu diciptakan suatu peraturan perundang-undangannya di bidang perkreditan nasional agar fungsi kredit sebagai sarana pembangunan dapat terlaksana dengan baik. Mengenai berapa bGsar kredit yang dapat diberikan oleh kreditur kepada debitur dengan jaminan deposito, tentunya kreditur akan memperhitungkan masih berapa lama jatuh temponya dalam bentuk mata uang apa nominal deposito itu dan berapa besar suku bunga kredit yang harus dikenakan hal ini tampaknya belum ada peraturan yang menentukan, karena tiap-tiap bank berbeda-beda dalam memberikan pinjaman kepada debitur yang menjaminkan depositonya, disamping itu faktor kebonafiditas dari debitur juga akan mempengarubi kreditur dalam memberikan kredit."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sihombing, Januardo
"ABSTRAK
Undang-Undang Rahasia Dagang diundangkan pada tanggal 20 Desember 2000 melalui produk Undang-Unlang Nomor 30 Tahun 2000. Sebagai anggota WTO, Indonesia memiliki tanggung jawab secara moral untuk menegakkan aturan-aturan dalam TRIPs yang di dalamnya terdapat salah satu butir pasal yang mengatur mengenai Protection of Undisclosed Information.
Undang-Undang Rahasia Dagang diatur dalam 19 pasal, yang mengatur pasal pidana dalam pasal 17. Delik pidana dalam pelanggaran pidana rahasia dagang diatur dalam pasal l7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 yakni UULIK ADUAN. Sebelum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 20011 diundangkan, pelanggaran pidana berkenaan dengan rahasia dagang diatur dalam bentuk pasal persaingan curing dalam pasal 382 bis KUH Pidana maupun mengenai hub mengenai Membuka Rahasia.
Namun, justru pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 sebagai Lex Specialis dalam penegakkan pidana rahasia dagang kurang memadai dan memiliki banyak celah hukum yang dapat menghambat perlindungan penegakkan dan perlindungan rahasia dagang di Indonesia.
Sehingga adalah bijak untuk mengkaji kembali unsur-unsur dalam pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 yang mcnguakkan celah hukum yang dapat mengganggu penegakkan rahasia dagang dalam rangka menumbuhkan iklim persaingan usaha yang sehat di Indonesia.
Lembar: "
2007
T17319
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Faisal
"Skripsi ini membahas perlindungan hukum rahasia dagang dalam perjanjian waralaba. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan data sekunder sebagai sumber datanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rahasia dagang sangat penting dilindungi dalam bisnis waralaba, karena dalam suatu bisnis waralaba dapat diketahui rahasia dagang pemilik hak (pemberi waralaba), sehingga potensi terungkapnya rahasia dagang dalam suatu bisnis waralaba menjadi besar. Tidak hanya terbatas pada pihak pemberi dan penerima waralaba saja, melainkan juga karyawan masing-masing pihak. Mengingat pentingnya perlindungan rahasia dagang dalam perjanjian waralaba, maka perjanjian waralaba haruslah dibuat secara komprenhensif. Perjanjian tersebut tidak hanya harus dapat menjamin perlindungan rahasia dagang pada saat berlangsungnya perjanjian namun juga pada saat setelah perjanjian tersebut berakhir.
Berdasarkan hal-hal tersebut, perjanjian waralaba hendaknya memuat klausulaklausula sebagai berikut: Secara spesifik menyatakan dalam perjanjian waralaba bahwa setiap hal yang terindikasi sebagai rahasia dagang milik pemberi waralaba dalam kaitannya dengan bisnis waralabanya dilisensikan kepada penerima waralaba dan tidak untuk dijual; Memasukkan klausula non-disclosure, noncompete, dan non-solicitation agreement dalam perjanjian waralaba dan juga perjanjian kerja terhadap karyawan masing-masing pihak; Memasukkan klausula yang mewajibkan penerima waralaba mengembalikan benda-benda yang terindikasi sebagai rahasia dagang milik pemberi waralaba secepatnya setelah perjanjian berakhir.

This Thesis studies the trade secret law protection on a franchise agreement. This research uses library research method with secondary data as its data resources. Result from the research shows that trade secrets is very important to be protected on a franchise business system, because through a franchise business system, trade secret that was owned by the rights owner (franchisor) can be revealed, therefore the possibility of trade secrets being revealed is very high. Not only limited to the franchisor and the franchisee, but also to employees as well. Considering that trade secret protection is very important on a franchise business system, a franchise agreement must be made in a comprehensive way. The agreement must guarantee trade secret protection not only in the moment in which the agreement was made but also in the moment when the agreement has ended.
According to things explained beforehand, a franchise agreement should provide provisions as follows: specifically state in the franchise agreement that any item indicates as the franchisor?s trade secret in its relation to the franchise business system are being licensed to the franchisee as opposed to being sold; includes non-disclosure, non-compete and non-solicitation provisions; includes specific provisions that require the immediate return of any of the franchisor?s trade secret after the end of the agreement.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1331
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>