Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 176678 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dharmawati R
"ABSTRAK
Mengingat pentingnya peranan lembaga perkawinan bagi tegak dan sejahteranya masyarakat, negara membutuhkan tata tertib dan kaidah yang mengatur hidup bersama dalam perkawinan. Dalam hubungannya dengan kewajiban orang tua terhadap anaknya diatur antara lain oleh UU No.l Tahun 1974 dan UU No. 23 Tahun 2004, kewajiban mana tidak hanya pada masa perkawinan tetapi terus berlaku meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Permasalahan pokok yang dianalisis adalah penetapan hak asuh bagi anak pasca perceraian dan kritera ideal orang tua yang mendapatkan hak asuh bagi anaknya, serta kewajiban orang tua pemegang hak asuh menurut UU No. 23 Tahun 2002. Metode penelitian adalah penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif terhadap bahan hukum primer dan skunder yang dianalisis dengan metode kualitatif guna memperoleh kesimpulan sebagai hasil penelitian dalam bentuk evaluatif-analitis.
Hasil penelitian menghasilkan kesimpulan bahwa penetapan hak asuh adalah pembuatan keputusan atas pilihan terhadap kedua orang tua yang bercerai setelah mempertimbangkan kemungkinan tercapainya pemenuhan hak-hak anak. Kriteria ideal untuk menjadi pemegang hak asuh adalah orang tua melakukan pemenuhan kepentingan terbaik b agi anak serta mampu memberikan perlindungan untuk terselenggaranya hak-hak anak sampai masuk usia dewasa atau menikah. Perlindungan terhadap anak dari orang tu a pemegang hak asuh meliputi tetapi tidak terbatas atas perlindungan untuk menjalankan agamanya, terselenggaranya pendidikan anak sesuai dengan kemampuan, minat dan bakatnya sehingga anak dapat berkembang b a ik jasm an i aupun rohaninya. Disarankan adanya lembaga konsultasi keluarga y ang menangani persiapan pengasuhan anak pasca perceraian dan mengoptimalkan p eran an Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

ABSTRACT
The importance of the marital institution for establishment and social walfare, the state must belong to the rule of law for arranging to coexist in marital institution. Related with the parents? obligation for their children care according to Code of The Marital Number 1 -1974 and Code of The Child Protection Number 23- 2002, not while their marriage only but continuelly althoug its broken. The main problems should be analyzed of the research are decision of child care right for one of the suitable parents after divorcing and also the obligation o f one has been appoint to care her/his child according to Code o f The Child Protection Number 23 - 2002. Metodological of research is the library research to collect the secondary data consist or the primary and secondary sources of data analyzed by qualitative method.
The result of research concludes found that decision to appoint a suitable parent to care her/his child after the parents? divorce should consider the best child?s rights. The best qualification of appointed fellow to care the child connecte with he or she is able to fulfill the child?s right and belong to competency in protecting and accomplishment the child?s right uring he and / or she reach the adultage and/or before marriage. Its including to applicate her or his believeness, accomplish the child?s reasonable education as according to his or her talent. Suggested the existene of family consultancy institute for handling the families trouble especilly for parent and her or his child after divorcing."
2008
T37242
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Enno Soebardjo
"Untuk menuju pembangunan manusia seutuhnya, pembaharuan Undang-Undang diutamakan guna melestarikan ketertiban dan kedamaian dimasyarakat. Setiap manusia memiliki sesuatu yang dihargai, masing masing dalam jumlah yang relatif. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu Undang-Undang Perkawinan berdasarkan Pancasila, sepanjang belum ada atau tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut, peraturan perundang-undangan perkawinan lainnya masih berlaku. Penelitian dilakukan melalui buku-buku bacaan dan instansi yang terkait. Arti perkawinan di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1971 sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia antara lain Ketuhanan Yang Maha Esa. Syarat-syarat perkawinan mengikuti keadaan masyarakat yaitu menurut agama dan kepercayaannya, akibat perkawinan terhadap harta hendak terjadi pemisahan harta tanpa ada perjanjian perkawinan, alasan perceraian untuk pegawai negeri berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah nomor 9 Tahun 1975 serta peraturan pemerintah Nomor 10 Tahun 1983. Harta benda perkawinan peraturannya sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat, sejak perkawinan berlangsung ada harta yang ter pisah dan harta bersama. Kitab Undang-undang Hukum Perdata bukan warisan budaya bangsa Indonesia. Perjanjian perkawinan tidak banyak digunakan oleh bangsa Indonesia padahal calon suami isteri mendapat kebebasan mengatur harta benda nya, kalaupun itu ada biasanya terjadi antara calon suami atau isteri karena adanya perbedaan yang besar mengenai harta yang dimilikinya. Memuat perjanjian perkawinan berarti mereka akan menentukan harta bendanya atas persetujuannya, dengan memisahkan selain harta yang dibawa, warisan atau hadiah juga harta yang didapat selama perkawinan, meskipun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan harta bersama adalah harta yang di peroleh selama waktu perkawinan, dimiliki secara bersama tidak masing - masing, kecuali dari warisan atau hadiah. Perjanjian dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan, waktu perkawinan akte perjanjian disyahkan oleh pegawai pencatat. Perjanjian perkawinan ini disaksikan oleh dua orang saksi, ditanda tangani oleh calon suami-isteri Notaris dan saksi- saksi. Selama perkawinan, perubahan perjanjian perkawinan tidak bisa walaupun dengan persetujuannya, berbeda dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Mengenai hukum perkawinan pada umumnya dan harta benda calon suami-isteri termasuk perjanjian perkawinannya, sebagai warga negara Indonesia berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Bab I-XIV, pasal 1-67, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Bab I-X, pasal 1-49 serta Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983, pasal 1-23. Calon suami-isteri, penghayatan hukum perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya adalah perlu diperhatikan, karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam beberapa pasalnya menunjuk ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1994
S20814
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tutut Juwanita
"Perkawinan campuran yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, terutama didaerah tujuan wisata, merupakan konsekuensi logis dari pesatnya arus wisatawan asing ke Indonesia. Perkawinan campuran yang dilaksanakan di Indonesia akan sah apabila mengikuti aturan dalam UU No. 1/1974, dengan sahnya perkawinan tersebut akan mengakibatkan anak yang lahir dalam atau sebagai akibat dari perkawinan tersebut juga menjadi anak yang sah dan menurut peraturan perundang-undangan kewarganegaraan Indonesia, anak akan mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Perceraian yang terjadi pada perkawinan akan menimbulkan berbagai akibat baik terhadap hubungan suami isteri, harta benda maupun terhadap anak. Akibat perceraian terhadap anak akan menimbulkan suatu lembaga perwalian. Hak mewali yang diperoleh orangtua cenderung diberikan kepada pihak ibu dan hal tersebut dilakukan semata-mata demi kepentingan si anak terutama bagi anak yang masih dibawah umur. Hak mewali dalam perkawina campuran yang diperoleh seorang ibu yang mempunyai kewarganegaraan yang berbeda tidaklah menjadi suatu masalah yang berarti, karena didalam perwalian yang lebih diutamakan adalah kepentingan anak hal mana sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung tertanggal 25 Juni 1973"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
S20810
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titi Kartika Sari
"Masyarakat hukum adat Baduy Dalam terdiri dari tiga kapuunan, yaitu Kapuunan Cikeusik, Kapuunan Cibeo dan Kapuunan Cikartawana. Mereka hidup mengasingkan diri selama beratus-ratus tahun dengan berpegang teguh pada pikukuh (ketentuan hukum adat) yang pelaksanaan dan pengawasannya dilakukan oleh Puun. Kepatuhan mereka terhadap sosok Puun dan ketaatan mereka pada konsep buyut (tabu) mampu mempertahankan keberlakuan hukum adat mereka sampai sekarang, termasuk hukum perkawinan adatnya. Hukum perkawinan adat Baduy Dalam dila kukan sesuai dengan hukum adat Baduy Dalam dan kepercayaan Sunda Wiwitan, di sahkan oleh Puun, mereka menyebut perkawinannya sebagai kawin batin, tidak ada akta perkawiman. Ada perbedaan tata cara perkawinan antara Kapuunan Cikeusik dengan Kapuunan Cibeo dan Cikartawana. Pelanggaran terhadap hukum perkawinan adat tidak banyak terjadi, sanksi yang dijatuhkan biasanya berupa pengasingan ke kawasan Baduy Luar atau melakukan tebus hampura. Sulit untuk menerapkan hukum perkawinan nasional kepada masyarakat Baduy Dalam ini, mereka sangat memegang teguh hukum adatnya. Karena mereka menyakini bahwa hukum adatnya itu merupakan amanat leluhurnya yang harus dijaga dan dilaksanakan, mereka takut durhaka apabila melanggarnya. Pasal 66 Undang-Undang No.1 tahun 1974 tidak menyebutkan dengan jelas mengenai kedudukan hukum perkawinan adat, mengenai hal ini, Prof. Hazairin berpendapat bahwa ketentuan yang terdapat dalam hukum adat sepanjang mengenai hal yang belum diatur dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 masih tetap berlaku. Berdasarkan pendapat Prof. Hazairin, maka hukum perkawinan adat Baduy Dalam masih berlaku mengenai hal-hal yang belum ada pengaturannya dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
S21012
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Veronica Sari Joshinta
"Anak sebagai generasi penerus bangsa perlu dilindungi dan dipenuhi semua kebutuhan-kebutuhan yang merupakan haknya. Sehingga anak dapat tumbuh dengan sehat baik jasmani maupun rohani, memperoleh pendidikan, mendapat gizi yang cukup, mendapat perlindungan kesehatan, tumbuh dalam suasana yang penuh kasih, dan terpenuhi nya rasa aman. Namun seringkali apa yang menjadi hak anak ini tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya. Kedua orang tua sibuk dengan urusan masing-masing sehingga kebutuhan anak yang merupakan haknya tidak diperhatikan. Akibat kurang perhatiannya orang tua terhadap anak maka anak akan tumbuh menjadi anak terlantar, dan menyebabkan ketidakharmonisan dalam keluarga sehingga akhirnya mengarah pada perceraian, dan apabila hal ini terjadi lalu akan bagaimanakah nasib anak-anak mereka ? Sebagai contoh kasus dalam skripsi ini adalah kasus Arie Hanggara pada tahun 1985 dimana orang tua Arie telah bercerai dan penguasaan anak diserahkan kepada ayahnya karena ibu nya yang berprofesi sebagai wanita malam dirasa tidak baik untuk merawat anak-anak tersebut. Lalu dalam perkembangannya ternyata ayahnya telah hidup bersama dengan seorang wanita yang belum dinikahinya dan ternyata wanita tersebut telah melakukan tindakan kekerasan terhadap anak-anak tersebut, bahkan ayah mereka sendiri pun akhirnya juga ikut menganiaya anaknya sendiri sehingga akhirnya salah satu anak tersebut yang bernama Arie meninggal dunia. Putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan penguasaan anak diserahkan pada ibu kandung dari anak-anak tersebut."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
S20453
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Sasanti
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Indah Nurhamidah
"Skripsi ini membahas kedudukan ayah kandung sebagai pemegang hak asuh anak pasca perceraian ditinjau dari Hukum Kekeluargaan Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam menetapkan jika terjadi perceraian, ibu lebih berhak memperoleh hak asuh anak, sedangkan Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur siapa yang lebih berhak memperoleh hak asuh anak, namun mengatur bahwa harus tetap memperhatikan kepentingan terbaik anak. Kemudian, bagaimanakah kedudukan seorang ayah kandung dalam memperoleh hak asuh anak pasca perceraian jika ditinjau dari Hukum Kekeluargaan Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian kepustakaan dengan data sekunder yang bersifat yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma hukum yang berlaku dalam hukum Islam, peraturan perundang-undangan dan norma-norma yang mengikat dalam kehidupan masyarakat.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa walaupun ibu mempunyai kedudukan yang lebih diutamakan sebagai penerima hak asuh anak, namun ayah kandung dapat memperoleh hak asuh anak apabila ibu tidak dapat memenuhi syarat sebagai penerima hak asuh anak.

This research focuses on the position of the biological father to child custody after divorce in terms of Islamic Family Law and Law Number 1 Year 1974. Islamic Law and Islamic Law Compilation regulate that in case of divorce, a mother has preferred position to custody the child, while the Marriage Act does not regulate who has more right to custody the child, but favorably consider the best interests of the child. Then, what is the position of father to obtain child custody after divorce the terms of Islamic Family Law and Law Number 1 Year 1974.
The research method used in this paper is a method of research literature with a secondary data of juridical normative research that refers to the legal norms applicable in Islamic law, regulations and norms that living in the society.
From this study it can be concluded that although the mother has a preferred position to child custody, but the father can obtain custody of the child if the child's mother can not qualify to be a proper bearer of child custody.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45588
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haryono
Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Enita Safitri
"Melalui penelitian kepustakaan dan metode perbandingan serta atas analisa Perundangan. Penulis hendak membahas kedudukan saksi dalam Perkawinan yang ditinjau dari segi Hukum Islam dan UU. NO. 1 Th. 1974 JO.PP. 9/1975. Menurut Hukum Islam setiap Perkawinan harus dihadiri oleh dua orang saksi yang telah memenuhi syarat, sebagai salah satu rukun Perkawinan. Suatu Perkawinan yang tidak dihadiri oleh dua orang saksi maka nikahnya dianggap tidak sah. Sedangkan menurut UU. NO. 1 Th. 1974 Perkawinan di-lakukan menurut masing-masing Agama dan Kepercayaan,tetapi-harus dilengkapi dengan dua orang saksi dan pegawai penca-tat sesuai dengan ketentuan Pasal 2 (1) UU NO.1 Th. 1974 JO.PP. 9/1975. Oleh karena itu jika terjadi Perkawinan tanpa dihadiri oleh saksi-saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh Pihak yang berkepentingan kepada Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam & yang beragama lain. (bukan beragama Islam) ke Pengadilan Negeri. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>