Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 116917 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Madayuti Pertiwi
"Tesis ini membahas profesi dokter belakangan ini banyak disoroti oleh masyarakat khususnya tentang perbuatan dokter yang dapat digolongkan sebagai perbuatan melanggar hukum, yaitu malpraktek yang dapat merugikan masyarakat, khususnya pasien dalam rangka pelayanan kesehatan. Hal tersebut sering menimbulkan konflik bahkan menjadi sengketa antara dokter dan pasien, yang disebabkan kelalaian dokter dalam melakukan tindakan medis (malpraktek). Dalam penyelesaian sengketa biasanya tuntutan pasien berupa sejumlah ganti rugi atas kelalaian atau kesalahan dari dokter (malpraktek). Dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui pengadilan mengandung beberapa kelemahan, diantaranya penyelesaian sengketa lambat (bahkan sampai bertahun-tahun), biaya perkara mahal, putusan tidak menyelesaikan masalah dan merenggangkan hubungan, putusan hakim tidak dapat diprediksi, dan sebagainya.
Melihat kondisi di atas yang terjadi dalam penyelesaian sengketa perdata, maka peluang alternatif untuk penyelesaian sengketa sangat diperlukan. Alternatif penyelesaian sengketa atau Alternative Dispute Resolution (ADR) dapat diartikan sebagai penyelesaian sengketa yang dilaksanakan baik oleh pihak ketiga, di luar sistem peradilan maupun di dalam sistem peradilan, namun pada umumnya banyak di luar sistem peradilan. Alternatif penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. Pengaturan hukum alternatif penyelesaian sengketa antara dokter dan pasien belum ada diatur secara khusus.
Penelitian ini merupakan sebagian dari upaya membuka jalan untuk pengaturan hukum alternatif penyelesaian sengketa antara dokter dan pasien pada masa yang akan datang. Pengaturan hukum alternatif penyelesaian sengketa antara dokter dan pasien saat ini dirasakan sudah menjadi kebutuhan yang mendesak, disebabkan sudah semakin berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dokter, maraknya tuntutan hukum yang diajukan masyarakat dewasa ini seringkali akibat kegagalan upaya penyembuhan yang dilakukan dokter.

The focus of this studi is doctor as a profession is nowadays highlighted within society by the allegation of malpractice which harming society. Let alone the patients in terms of health service. This is often to bring up conflicts even becoming disputes between doctors and patients, due to negligence by doctors (malpractice). In the settlement of disputes, normally patients would demand in the form of numbers of indemnations. In court settlement are subject to some weakness among others to solving of tardy dispute (even years long), lots of expensive, verdicts which not finishing the problem and alienate relation, unpredicted verdicts, etc.
From the above condition, alternative solution are very much require. Alternative Dispute Resolution (ADR) can be defined for a dispute by third party, out of court settlement and in court settlement, but in general more out of court settlement. Alternative Dispute Resolution can be conducted with negotiation, mediation, conciliacion, and arbitration. Law arrangement of alternative dispute resolution between doctor and patient there is no peculiarly.
This research represent some of effort for the arrangement of alternative dispute resolution between doctor and patient. Low arrangement of alternative dispute resolution between doctor and patient in this time felt have insisted on, to be caused on the wane of trust of society to doctor, the hoisterous of raised by prosecution is society these days oftentimes effect of failure of doctor healing effort.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T37459
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Negerally trading dispute resolution between WTO's membersettled by mediation of dispute settlemen body (DSB) . Can thus body solved objectively the dispute between developing country and developed country? con the DSB's decision fairly implemented? what's next step if the DSB's decision has not been realised by defeated country till deatline what's next step? how is the procedure if retaliation as the last effort to be chosen and permitted by the DSB? ...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
P. Windraji
"Tesis ini membahas penyelesaian sengketa kepemilikan hak atas tanah asrama TNI Angkatan Darat sehubungan adanya putusan Perkara Kasasi Tata Usaha Negara Nomor 259 K/TUN/2004 yang mengabulkan permonan kasasi Komandan Detasemen Zeni Bangunan 4/VI Pontianak namun menyatakan gugatannya tidak dapat diterima. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan. Hasil penelitian menyarankan tindakan pengamanan mencegah sengketa dengan cara pendaftaran haknya dan merawat serta mempergunakan tanah sesuai peruntukannya dan sengketa segera diselesaikan untuk menghindari masalah atau sengketanya semakin komplek; sengketa diselesaikan melalui Badan Pertanahan Nasional atau Pengadilan; Badan Pertanahan Nasional dalam melaksanakan tugas hendaknya sesuai dengan asasasas umum pemerintahan yang baik dan para penegak hukum dalam menyelesaikan sengketa memperhatikan hukum dan keadilan.

This thesis explores the settlement of disputes over land ownership rights of the Army hostel due to the decision of the State Administrative Appeal Case Number 259.K/TUN/2004 which granted cassation Building Engineer Detachment Commander 4/VI Pontianak but noted his complaint could not be accepted. This research is a normative juridical literature research method. The results suggest security measures to prevent disputes by way of registration and care as well as their rights to use land according to its allocation and disputes to be resolved to avoid the more complex issues or disputes; disputes settled through the National Land Agency or the Court, the National Land Agency in carrying out duties in accordance with the principle should be- general principle of good governance and law enforcement officials in solving the dispute concerned the law and justice."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27416
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Padmadriya Anggraita Citramannoharra
"Amicus curiae atau friends of court merupakan praktek yang sudah ada sejak jaman Romawi Kuno dan dalam sistem common law. Atas persetujuan pengadilan, amicus memberikan informasi mengenai area-area hukum di luar keahlian pengadilan atau informasi hukum tidak memihak yang tidak diketahui oleh pengadilan, sehingga hakim dapat memberikan putusan yang berkualitas. Sekarang ini, amicus curiae juga berpartisipasi dalam proses pemeriksaan di pengadilan-pengadilan internasional, seperti ICJ, ITLOS, ICC, NAFTA, ICSID dan WTO, juga pengadilan-pengadilan dalam negeri dengan sistem civil law. Masuknya amicus curiae dan diterimanya amicus brief dalam proses penyelesaian sengketa di WTO, menuai protes keras dari negara-negara berkembang anggota WTO. Amicus curiae dianggap telah mengganggu hak negara anggota, dalam hal sebagai pihak berperkara pada proses penyelesaian sengketa. Amicus curiae juga dianggap mempengaruhi kedaulatan negara anggota. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana sebenarnya posisi amicus curiae dalam penyelesaian sengketa di WTO dan terhadap negara-negara berkembang anggota WTO. Dari hasil penelitian diketahui bahwa amicus curiae dalam penyelesaian sengketa di WTO, semata-mata merupakan pemenuhan kebutuhan Panel untuk melaksanakan objective assessment dalam proses pemeriksaan setiap kasus yang diajukan kepadanya. Hak negara anggota sebagai pihak berperkara tidak akan terganggu karena amicus curiae bukan pihak dan tidak akan pernah dapat menjadi pihak dalam proses penyelesaian sengketa di WTO. Berkaitan dengan hal tersebut, amicus curiae juga tidak berpengaruh terhadap kedaulatan negara anggota. Diketahui juga bahwa dengan perkembangan amicus curiae yang ada sekarang, ternyata amicus curiae tidak memberikan banyak manfaat dalam proses penyelesaian sengketa di WTO.

Amicus curiae or friends of the court was a practice known in ancient Roman times and in the common law system. The amicus, at the court's discretion, provided information on areas of law beyond the expertise of the court or impartial legal information that was beyond the court?s notice, so for the judge may make a quality judgment. Now, amicus curiae also participated in proceeding before the international courts, such as the ICJ, ITLOS, ICC, NAFTA, ICSID and WTO, as well as the domestic courts with civil law system. The participation of amicus curiae and receipt of amicus briefs in the dispute settlement process in the WTO, has lead the protests from developing countries members of the WTO. Amicus curiae is considered to interfere with the rights of members, in the respect of a party in the dispute settlement proceeding. Amicus curiae is also considered to affect the sovereignty of member states. The purpose of this paper is to determine how the actual position of the amicus curiae in the WTO dispute settlement and toward the developing countries of WTO members. The survey revealed that the amicus curiae in the WTO dispute settlement, merely the fulfillment of the Panel to make the objective assessment of the matters before it. The member states right as the party shall not be interfered because amicus curiae is not the party and will never be as the party to the dispute settlement in the WTO. In this regard, amicus curiae also does not affect the sovereignty of member states. With the development of amicus curiae, amicus curiae turns not provide much benefit in the process of dispute settlement in the WTO. Rights of member states as parties litigant will not be interrupted because an amicus curiae is not a party and will never be a party to the dispute settlement process in the WTO. Please also note that with the development of the present amicus curiae, amicus curiae turns not provide much benefit in the process of dispute settlement in the WTO.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39656
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sukma Sanali
"Tesis ini merupakan laporan penelitian tentang penanganan sengketa perbankan bidang perkreditan (selanjutnya disebut sengketa perbankan) oleh bank di pengadilan, bertujuan untuk menjawab pertanyaan akademis, bagaimana jika arbitrase dijadikan alternatif untuk menyelesaikan sengketa perbankan di Indonesia.
Penelitian ini adalah penelitian normatif dan empiris yang dimulai dengan meneliti data sekunder yang berupa literatur-literatur dan peraturan perundang-undangan serta yurisprudensi yang berkaitan. Selanjutnya, penelitian lapangan dilakukan di Kantor Pusat Bank BNI untuk memperoleh data bagaimana penyelesaian sengketa perbankan di Bank BNI oleh pengadilan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam penanganan sengketa perbankan yang diproses melalui pengadilan sering dihadapkan pada berbagai permasalahan yang erat kaitannya dengan bentuk penyelesaian sengketa, lamanya penyelesaian sengketa, adanya tuntutan hak yang tidak berdasarkan hukum serta sikap a priori pengadilan terhadap bank. Adanya permasalahan tersebut dapat menghambat bank dalam upaya menyelesaikan kredit macet karena dalam usahanya bank sebagian besar menggunakan dana yang berasal dari masyarakat. Untuk itu, perlu dicari alternatif bentuk penyelesaian sengketa yang lebih sesuai dengan ciri dan sifat usaha perbankan. Hal itu sesuai dengan pendapat bahwa untuk penyelesaian suatu sengketa seharusnya dipilih bentuk penyelesaian yang paling tepat.
Atas dasar hal tersebut, di antara bentuk penyelesaian sengketa yang ada, arbitrase akan lebih tepat menjadi alternatif untuk menyelesaikan sengketa perbankan di Indonesia karena arbitrase memberikan kebebasan, pilihan, otonomi, dan kerahasiaan. Di samping itu, putusan yang dikeluarkan oleh arbitrase bersifat final and binding sehingga kesemuanya itu lebih sesuai dengan ciri dan sifat usaha perbankan. Demikian pula arbitrase akan sangat penting dalam menghadapi internasionalisasi perbankan.
Untuk memberdayakan arbitrase dalam penyelesaian sengketa perbankan di Indonesia, para manajemen bank perlu merubah kebijaksanaan (hukum) penyelesaian sengketa perbankan yang timbul antara bank dengan nasabah debiturnya. Perubahan tersebut adalah mengenai kemungkinan memilih penyelesaian sengketa di samping melalui pengadilan, juga melalui arbitrase. Selain itu dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Arbitrase yang saat ini sudah disiapkan hendaknya pengaturan menyangkut perbankan memperoleh perhatian."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darat Agung Adi Pranoto
"ABSTRAK
Di Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah badan pemerintah
yang bertanggung jawab untuk mengelola pendapatan pajak bagi negara. Salah
satu tugas DJP adalah menyelesaikan sengketa pajak di tingkat administrasi.
Penyelesaian sengketa pajak sangat penting untuk memastikan bahwa wajib pajak
memperoleh hak mereka sehubungan dengan penyelesaian sengketa pajak.
Data pengadilan pajak menunjukkan bahwa dari tahun 2004 sampai dengan
tahun 2013 jumlah sengketa pajak yang dibawa ke pengadilan pajak cenderung
meningkat. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa sengketa pajak tidak dapat
diselesaikan di tahap awal yaitu tingkat administrasi. Upaya yang selama
inidilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk mengurangi jumlah kasus di
pengadilan pajak terutama dengan peningkatan keterampilan litigasi pegawai serta
meningkatkan jumlah sumber daya yang dialokasikan untuk menyelesaikan
sengketa, mempercepat proses keberatan, dan meningkatkan koordinasi dengan
pengadilan pajak. Namun, upaya tersebut kurang berhasil mengingat jumlah
sengketa di pengadilan pajak tetap tinggi. Kelemahan-kelemahan dari upaya
tersebut adalah pendekatan yang kurang tepat dalam menyelesaikan sengketa dan
kegagalan untuk mengidentifikasi jenis sengketa (misalnya sengketa fakta atau
interpretasi hukum). Masalah-masalah mendasar yang menimbulkan kelamahankelemahan
tersebut adalah banyaknya pemeriksaan berdasar kelebihan bayar dan
banyaknya kasus berulang dibawa ke pengadilan pajak. Kelemahan dan masalah
mendasar tersebut yang menyebabkan menumpuknya sengketa di pengadilan
pajak. Akibatnya, DJP harus mengeluarkan biaya administrasi yang lebih tinggi
demikian juga biaya kepatuhan yang harus ditanggung oleh wajib pajak dan untuk
menyelesaikan sengketa.
Untuk meningkatkan kinerja DJP dalam menyelesaikan sengketa dalam
tinjauan administratif. DJP perlu melakukan pendekatan yang lebih komprehensif
untuk menangani penyelesaian sengketa di tahap awal. DJP dapat belajar dari
penerapan manajemen sengketa oleh Australia Tax Office (ATO) serta strategi
yang diterapkan oleh negara-negara anggota OECD (Organization for Economic
Co-operation and Development) dalam menyelesaikan sengketa. Tujuan utama
dari manajemen sengketa adalah: menyelesaikan sengketa sedini mungkin untuk
meminimalkan biaya penyelesaian sengketa serta untuk menghindari lambatnya
penyelesaian sengketa. Manajemen sengketa menuntut DJP untuk mendefinisikan
jenis sengketa secara jelas dan tegas sejak awal serta perlu melibatkan praktisi di
bidang perpajakan dalam penyelesaian sengketa. DJP dapat melakukan reorientasi
status quo dengan mengadopsi strategi yang sesuai dari praktek-praktek terbaik di
ATO dan negara-negara OECD untuk mengurangi menumpuknya kasus di
pengadilan pajak. Implementasi kebijakan membutuhkan Kepala Direktorat
Jenderal Pajak untuk memulai kebijakan sejak kebijakan lebih mungkin berhasil
dilaksanakan dengan pendekatan top down.

ABSTRACT
In Indonesia, the Directorate General of Taxes is a government agency
which responsible for administering tax revenue collection for the country. One of
the agency’s tasks is conducting tax dispute resolution in the administrative level.
Tax dispute resolution is crucial to ensure that taxpayers can exercise their right
regarding tax dispute resolution.
The latest tax court’s report, however, shows that from 2004 until 2013 the
number of tax disputes brought into the tax court keep increasing. The trend
indicates that the agency was not able to resolve the dispute in the earlier stage.
The current approach applied by the Director General of Taxes to reduce the
increasing outstanding cases in the tax court is mainly by improvement of
litigation skill of officers as well as increase the number of resources allocated to
resolve dispute, accelerating objection process, and improve coordination with the
tax court. However, the result of current approach is still limited as the backlog
cases in the tax court remain high. The main deficiencies of current approach:
unable to resolve the disputes in the earliest stage due to inappropriate resolution
approach; fail to identify the type of dispute (e.g. dispute over the facts or legal
interpretation), and does not address problem in losing disputes on the same
issues. Fundamental causes that account for the current situation are failure to
resolve dispute in the objection process or administrative level; repeated cases
brought to tax court; and refund claim based audit. Those factors combined results
in inability of the administrative review to work effectively in resolving disputes.
Consequently, the administration cost as well as the compliance cost to resolve
dispute becomes high for both the taxpayer and the DGT.
The paper aims to assist the DGT to improve the performance in resolving
dispute in administrative review. Current policy merely tried to address the
immediate causes but not the fundamental causes. The DGT need a more
comprehensive approach to handle dispute resolution in the earlier stage. Thus,
based on the analysis of the fundamental causes, the paper suggests that the DGT
could learn from application of dispute management by Australia Tax Office as
well as effective strategies employed by the OECD (Organization for Economic
Co-operation and Development) countries in resolving dispute. The objectives of
dispute management are: resolve dispute at the earliest stage to keep cost of
dispute minimum and to avoid delays. The dispute management requires well
defining type of dispute, dealing the claims promptly, incorporating tax
practitioners to attain the objectives. The paper recommends the DGT to
reorienting status quo by adopting suitable strategies of the best practices in ATO
and OECD countries to reduce the backlog cases in the tax court. The
implementation of the policy requires the Head of Directorate General of Taxes to
initiate the policy since the policy more likely to be succeeded implemented by a
top down approach."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
T43345
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Rachmawatty
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T37090
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
[, ]: Universitas Indonesia, 2008
T24276
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Arya Samudra
"ABSTRACT
Penelitian dilakukan untuk mengetahui lembaga alternative penyelesaian sengketa manakah yang lebih efektif dalam menyelesaikan persengketaan antara konsumen dengan pelaku usaha di sektor jasa keuangan perbankan serta untuk mengetahui apakah dengan adanya kedua lembaga yang sama sama memiliki tugas untuk menyelesaikan sengketa tersebut akan timbulnya dualisme hukum. Penelitian dilakukan dengan metode yuridis normative, yaitu dengan melihat undang undang yang mengatur serta wawancara. Peneliti juga memperoleh data statistik yang didapat dari BPSK Prov. DKI Jakarta serta LAPSPI. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa LAPSPI merupakan lembaga yang lebih efektif dalam menyelesaikan persengketaan di sektor jasa keuangan perbankan, serta tidak adanya dualisme hukum diantara kedua lembaga tersebut karena LAPSPI mengharuskan para pihak yang bersengketa di LAPSPI untuk membuat perjanjian yang menimbulkan adanya kompetensi absolut bagi LAPSPI untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Namun dalam impelementasinya hal tersebut dirasa masih kurang maksimal karena menyebabkan ambiguitas dalam proses penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan perbankan. Dengan demikian, disarankan seharusnya kedua lembaga tersebut dapat bekerja sama  sehingga menciptakan kondisi hukum yang Efektif, Efisien, dan Bersinergi. Namun apabila hal tersebut sulit untuk diwujudkan maka diperlukannya sosialisasi yang lebih baik dari LAPSPI serta dibentuknya peraturan pelaksana yang lebih tegas oleh pemerintah terhadap kedua lembaga tersebut.

ABSTRACT
This research is conducted to further obtain which alternative dispute resolution institutions were more effective in resolving disputes between consumers and business person form the financial services sektor on banking, and to find out whether the existence of the two institutions that had the same task which to resolve the dispute can cause legal dualisme. This research is conducted with normative juridical method, by looking at the governing law and by interview. Researcher obtained the statistical data from Consumer Dispute Resolution Body (BPSK) and Alternative Body for Dispute Settlement in Banking of Indonesia (LAPSPI). The results of this study indicate that LAPSPI is a more effective institution in resolving disputes in the banking financial services sektor, and there was no legal dualisme between the two institutions because LAPSPI requires the parties to make an agreement which creates absolute competence for LAPSPI to resolve the dispute. However, the implementation of this matter were still not optimal because it caused ambiguity in the dispute resolution process in the banking financial services sector. Furthermore, it is recommended that the two institutions to work together to make an Effective, Efficient, and Synergic legal condition. However, if that is difficult to be realized then the need for better socialization from LAPSPI is needed, Also the establishment of  more resolute implementing agreement by the government on both Institutions. "
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Ananda
"Laporan magang ini menganalisis kasus sengketa pajak PT ADZA yang berkaitan dengan pengkreditan Pajak Masukan atas Price Deduction for Consumer. Sengketa pajak tersebut berawal dari hasil pemeriksaan yang menyatakan bahwa Pajak Masukan atas Price Deduction for Consumer pada tahun 2015 tidak dapat dikreditkan sehingga Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB). Sengketa pajak yang sudah dalam proses banding di Pengadilan Pajak tersebut terjadi karena adanya perbedaan penafsiran dan pemahaman atas substansi transaksi Price Deduction for Consumer. Posisi PT ADZA dalam kasus ini lemah karena Faktur Pajak Masukan yang diterima dari lawan transaksi berasal dari transaksi yang seharusnya tidak terutang PPN. Berdasarkan analisis atas substansi transaksi dan kelengkapan Faktur Pajak Masukan, kasus sengketa pajak tersebut kemungkinan akan dimenangkan oleh DJP.

This internship report analyzes PT ADZA's tax dispute case related to the crediting of Input Tax on Price Deduction for Consumers. The tax dispute began with the results of an examination which stated that the Input Tax on Price Deduction for Consumers in 2015 could not be credited so that the Directorate General of Taxes (DGT) issued an Underpaid Tax Assessment Letter. The tax dispute, which is already in the process of being appealed to the Tax Court, occurred due to differences in interpretation and understanding of the substance of the Price Deduction for Consumer transaction. PT ADZA's position in this case is weak because the Input Tax Invoice received from the counterparty comes from a transaction that should not be subject to VAT. Based on the analysis of the substance of the transaction and the completeness of the Input Tax Invoice, the tax dispute case is likely to be won by the DGT."
Depok: Fakultas Ekonomi dan BIsnis Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>