Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 76930 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Widyarini Suryandari
"Pengaturan dan perlakuan perpajakan terhadap produk dan jasa Perbankan Syariah merupakan permasalahan yang muncul terutama karena lembaga keuangan syariah yang relatif baru dan berkembang tersebut, meskipun secara fungsional memiliki kesamaan sebagai lembaga intermediasi dan penyedia jasa keuangan, memiliki sejumlah karakteristik unik yang berbeda dibandingkan dengan perbankan konvensional. Perbedaan paling mendasar dalam hal ini adalah pelarangan instrumen bunga dalam kegiatan peminjaman aset keuangan sehingga secara prinsip syariah pemenuhan kebutuhan pembiayaan dan barang modal pihak deficit spending unit dilaksanakan dengan menggunakan cara berjual beli, berbagi hasil, dan sewa menyewa; sehingga instrumen bung a diganti menjadi marJln keuntungan, nisbah bagi hasil dan nilai sewa/upah. Perbedaan mendasar tersebut menimbulkan permasalahan dalam menerapkan perlakuan perpajakan bagi Perbankan Syariah, khususnya dalam situasi dimana peraturap perundang-undangan perpajakan belum secara spesifik mengatur mengenai perlakukan perpajakan untuk transaksi keuangan syariah. Pada transaksi Ijarah misalnya, meskipun telah memenuhi criteria sebagai sewa gun a usaha yang dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, namun tetap dikenakan Pajak Pertambahan Nilai karena pihak Bank melakukan penyerahan barang modal lang sung kepada Nasabahnya. Permasalahan perlakuan perpajakan pada produk Bank Syariah dalam lingkungan dual banking system dari sejak lama telah dimaklumi sebagai salah satu factor yang mempengaruhi harga produk Perbankan Syariah dan akirnya berpengaruh pada rate of return dari penempatan dana pada Bank Bank Syariah. Oleh karena sistem Perbankan syariah di Indonesia secara formal baru dikembangkan tahun 1992, maka wajar terjadi dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Perbankan Syariah, termasuk ketentuan perpajakan belum secara eksplisit dan khusus mencantumkan aturan bagi transaksi dan produk Perbankan Syariah. Untuk mengatasi permasalahan perpajakan yang belum mengakomodasi kekhususan produk dan jasa Perbankan Syariah, dilakukan penyesuaian alur proses transaksi produk Perbankan Syariah. Meskipun cara ini berdampak pada meningkatnya resiko reputasi akibat keraguan terhadap pemenuhan prinsip syariah."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T37051
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widyarini Suryandari
"Pengaturan dan perlakuan perpajakan terhadap produk dan jasa Perbankan Syariah merupakan permasalahan yang muncul terutama karena lembaga keuangan syariah yang relatif baru dan berkembang tersebut, meskipun secara fungsional memiliki kesamaan sebagai lembaga intermediasi dan penyedia jasa keuangan, memiliki sejumlah karakteristik unik yang berbeda dibandingkan dengan perbankan konvensional. Perbedaan paling mendasar dalam hat ini adalah pelarangan instrumen bunga dalam kegiatan peminjaman aset keuangan sehingga secara prinsip syariah pemenuhan kebutuhan pembiayaan dan barang modal pihak deficit spending unit dilaksanakan dengan menggunakan cara berjual beli, berbagi hasil, dan sewa menyewa; sehingga instrumen bunga diganti menjadi marjin keuntungan, nisbah bagi hasil dan nilai sewa/upah.Perbedaan mendasar tersebut menimbulkan permasalahan dalam menerapkan perlakuan perpajakan bagi Perbankan Syariah, khususnya dalam situasi dimana peraturan perundang-undangan perpajakan belum secara spesifik mengatur mengenai perlakukan perpajakan untuk transaksi keuangan syariah.Pada transaksi Ijarah misalnya, meskipun telah memenuhi criteria sebagai sewa guna usaha yang dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, namun tetap dikenakan Pajak Pertambahan Nilai karena pihak Bank melakukan penyerahan barang modal langsung kepada Nasabahnya. Permasalahan perlakuan perpajakan pada produk Bank Syariah dalam lingkungan dual banking system dari sejak lama telah dimaklumi sebagai salah satu factor yang mempengaruhi harga produk Perbankan Syariah dan akirnya berpengaruh pada rate of return dari penempatan dana pada Bank Bank Syariah. Oleh karena sistem Perbankan syariah di Indonesia secara formal baru dikembangkan tahun 1992, maka wajar terjadi dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Perbankan Syariah, termasuk ketentuan perpajakan belum secara eksplisit dan khusus mencantumkan aturan bagi transaksi dan produk Perbankan Syariah. untuk mengatasi permasalahan perpajakan yang belum mengakomodasi kekhususan produk dan jasa Perbankan Syariah, dilakukan penyesuaian alur proses transaksi produk Perbankan Syariah. Meskipun cara ini berdampak pada meningkatnya resiko reputasi akibat keraguan terhadap pemenuhan prinsip syariah.

Taxes treating and controlling of service and product Sharia Banking is problem that emerging especially because of sharia financial institution which relatively new and develop, even it has the same function as intermediate institution and provider financial services, own amount of unique characteristic which are different compared to Conventional Banking. The most different base is no interest system in transaction of financial assets then as sharia principle, fulfilling credit needs and capital product from deficit spending unit using three ways, are buy and sell transaction, profit and loss sharing and leasing; because of that the interest change with revenue margin, share of loss sharing and profit, and leasing value. The different base cause problem in tax system implementation in Sharia Banking, especially in situation where the taxes law rules not specific in arranging taxes regulation for sharia financial transaction. In Ijarah Nluntahiya Bittamlik for example, although it has criteria as finance lease that being excused from value added tax, but it still have been taxed from the Bank who give capital product to customer directly. The problem of taxes treatment in products of Sharia Banking in dual banking system environment for a long time has been known as one of factor which effects pricing of Sharia Banking product and in the end it will cause effect to rate of return from saving in Sharia Banking. Since The Sharia Banking System in Indonesia is formally developed in 1992, then it is normal in the law regulations in Sharia Banking, including that tax rules have not explicitly and specifically make rules to any transaction and Sharia Banking Product. In the order to solve the tax problem which have no accommodation for product and service of Sharia Banking, used adjustment of process of Sharia Banking transaction. Eventhough this way will cause the increasing of risk reputation from the doubtness of fulfilling Sharia principles."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19547
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ana Nurul Khayati
"Perkembangan perbankan syariah akhir-akhir ini semakin pesat baik melalui pembukaan badan usaha perbankan yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah maupun pembukaan unit-unit usaha syariah pada bank-bank konvensional. Adapun kegiatan bank umum syariah antara lain adalah menyalurkan dana melalui pembiayaan dengan skema murabahah, yaitu pembiayaan dengan prinsip jual bell. Dalam penerapan skema murabahah tersebut terdapat proses pemesanan barang dari bank kepada pemasok, untuk selanjutnya barang tersebut akan menjadi obyek pembiayaan antara bank dengan nasabah. Penyerahan barang langsung dilakukan oleh pemasok kepada nasabah. Demikian halnya dengan dokumen kepemilikan dan faktur pajak atas barang yang dibiayai tersebut atas nama nasabah. Prinsip jual beli dalam pembiayaan murabahah antara bank syariah dengan nasabah tersebut yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PT Bank Syariah Mandiri (BSM) merupakan salah satu bank syariah terkena imbas pengenaan PPN atas pembiayaan murabahah yang dikelolanya. Sedangkan dalam pelaksanaannya penyaluran pembiayaan ini identik dengan penyaluran kredit, yaitu sebagai jasa perbankan yang seharusnya dikecualikan dari pengenaan PPN. Tesis ini dimaksudkan untuk mengkaji dapatkah transaksi murabahah sebagai salah satu kegiatan usaha perbankan syariah dikategorikan sebagai objek PPN sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali dirubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000? serta apakah akibat pengenaan PPN terhadap transaksi pembiayaan murabahah serta bagaimana solusinya? Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan yang bersifat yuridis normatif. Sesuai basil penelitian, penetapan utang PPN atas pembiayaan murabahah oleh Direktorat Jenderal Pajak dirasakan kurang tepat karena kegiatan utama BSM adalah penyediaan dana melalui penyaluran pembiayaan dan tidak melakukan aktivitas perdagangan, BSM tidak melakukan penyerahan barang kepada nasabah dan PPN langsung dikenakan oleh supplier. Pengenaan PPN tersebut akan berdampak pada penurunan pendapatan,fungsi intermediary tidak optimal, produk bank syariah tidak kompetitif, dan tidak adanya equal treatment. Untuk itu BSM perlu melakukan penyempurnaan akad pembiayaan murabahah dengan pola bagi hasil atau menggunakan skema finance lease untuk penyaluran pembiayaannya."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16467
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inwardha Maulana M.
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2010
S10521
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Paramita
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S24324
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Franky S. Nelwan
"Tesis ini meneliti transaksi Murabahah. Pihak bank Syariah menganggap transaksi ini adalah jasa pembiayaan / financing. Sedangkan Ditjen Pajak menganggap transaksi ini jual-beli antara bank dengan nasabah, yang adalah obyek PPN. Tipe penelitian ini adalah yuridis normative, dengan melakukan analisa terhadap peraturan perundang-undangan, prinsipprinsip Syariah dan peraturan lainnya.
Hasil penelitian menununjukkan Murabahah merupakan bentuk jual beli menurut hukum Islam. Karena itu transaksi Murabahah masuk menjadi obyek yang dikenakan PPN. Terjadi perubahan para pihak, sehingga Murabahah tampak semata-mata hanya perjanjian pembiayaan. Pengenaan PPN adalah pada nilai tambahnya saja, dan methode tax credit membuat tidak menimbulkan pajak berganda (non kumulasi).

This thesis examined Murabahah transactions. Syariah banks consider this transaction is a financing service / financing. Meanwhile, the Directorate General of Taxation considers this transaction trading between banks and customers, which is the object of VAT. This type of research is normative juridical, to conduct the analysis of the legislation, the principles of Sharia and other regulations.
The research conclude Murabahah is a form of buying and selling according to Islamic law. Therefore Murabahah transactions entered into are subject to VAT object. Change the parties, so the Murabahah look solely financing agreements. The imposition of VAT is the only added value, and the tax credit method does not cause a double taxation (non-cumulative)."
2009
T26675
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
S10356
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Haryanti
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1991
S9091
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Citta Kartika
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2009
S10471
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tunas Hariyulianto
"Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai menganut prinsip tujuan (Destination Principle) yaitu suatu prinsip pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas barang dan jasa oleh negara tempat pemanfaatan atau konsumsi barang dan jasa tersebut. Berdasarkan prinsip ini, Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas konsumsi di dalam Daerah Pabean, sedangkan atas konsumsi barang dan jasa yang dilakukan di luar Daerah Pabean tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Atas dasar prinsip tujuan (Destination Principle) ini, Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai tidak mengenakan Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Barang Kena Pajak. Pengecualian dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai ini dilakukan melalui metode Zero Rate, yaitu atas ekspor Barang Kena Pajak ditentukan sebagai penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0%. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% ini telah membuat ekspor Barang Kena Pajak menjadi bebas dad pengenaan Pajak Pertambahan Nilai secara penuh (Free of Tax), karena atas Barang Kena Pajak yang diekspor tersebut tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dan Pengusaha ekspor tetap dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan barang dan jasa yang berhubungan dengan Barang Kena Pajak yang diekspor tersebut.
Berbeda halnya dengan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Jasa Kena Pajak, Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai hanya mengatur mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean dengan tarif 10%, tanpa adanya ketentuan iebih lanjut yang mengatur mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai da!am hal Jasa Kena Pajak tersebut dimanfaatkan di luar Daerah Pabean (Ekspor Jasa). Dengan demikian, Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai mengenakan tarif yang sama sebesar 10% atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean baik untuk dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean maupun di luar Daerah Pabean.
Analisis yang dilakukan berdasarkan studi kepustakaan, penelaahan dokumen dan hasil wawancara diperoleh kesimpulan bahwa Ketentuan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% atas ekspor Jasa Kena Pajak tidak sesuai dengan konsep teori Pajak Pertambahan Nilai antara lain prinsip tujuan (Destination Principle) yang dianut oleh Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai, Teori Netralitas Pajak Pertambahan Nilai dan Teori Bukan Faktor Harga (VAT is not a cost price factor). Berdasarkan prinsip tujuan, atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean untuk dikonsumsi atau dimanfaatkan di luar Daerah Pabean seharusnya tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Teori Netralitas Pajak Pertambahan Nilai menyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai seharusnya tidak dikenakan atas ekspor. Sedangkan teori yang ketiga menyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai bukanlah faktor penentu harga atau tidak masuk ke dalam harga barang atau jasa yang diserahkan.
Pengecualian dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Ekspor Jasa Kena Pajak, dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari dua metode yaitu Exemption dan Zero Rate. Berdasarkan konsep teori dan metode yang digunakan oleh negara-negara yang menerapkan sistem Pajak Pertambahan Nilai (Value Added Tax), metode yang sebaiknya digunakan adalah Zero Rate, yaitu pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Jasa Kena Pajak dengan tarif 0%.
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dengan metode Zero Rate (tarif 0%) ini, akan membuat ekspor Jasa Kena Pajak menjadi bebas dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai secara penuh (Free of Tax), karena atas Jasa Kena Pajak yang diekspor tersebut tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dan Pengusaha ekspor tetap dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan barang dan jasa yang berhubungan dengan Jasa Kena Pajak yang diekspor tersebut. Pengecualian dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai secara penuh (Free of Tax) diharapkan akan dapat meningkatkan daya saing harga dari produk-produk jasa yang diekspor oleh Pengusaha Indonesia. Hal ini tentunya akan Iebih menciptakan iklim dunia usaha jasa di Indonesia yang lebih kondusil. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dengan metode Zero Rate juga dilakukan dalam rangka harmonisasi perpajakan demi terciptanya perdagangan internasional yang fair dan netral.
Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan analisis permasalahan dalam tesis ini adalah pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Jasa Kena Pajak dalam peraturan perundang-undangan Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia belum sesuai dengan konsep teori Pajak Pertambahan Nilai. Selanjutnya, disarankan agar dilakukan perubahan ketentuan dalam Undangundang Pajak Pertambahan Nilai yang mengatur mengenai penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam daerah pabean untuk dimanfaatkan di luar daerah pabean (ekspor Jasa Kena Pajak) sehingga sesuai dengan konsep teori Pajak Pertambahan Nilai.

The Indonesian VAT Prevailing Law follows a Destination Principle in imposing Value Added Tax. Under this Destination Principle, VAT is imposed on goods and services consumed in the taxing jurisdiction, regardless of where they are produce. VAT is imposed on imports for consumption in the state, and VAT is rebated on exports to be consumed elsewhere. Fiscal frontiers must be maintained to ensure that exports are fully rebated for the VAT paid in the exporter's domestic market and where the VAT rates appropriate to the importer's home market can be applied.
Based on The Destination Principle, VAT is not imposed on goods consumed outside the taxing jurisdiction (Exports of goods). This Exception of VAT Levy, done with Zero Rate Method. Zero Rate means that the trader is fully compensated for any VAT he pays on inputs and, therefore, genuinely is exempt from VAT, On the other hand, a trader liable to the zero rate is liable to an actual rate of VAT, with just happens to be zero; therefore, such a zero-rated trader is wholly a part of the VAT system and makes a full return for VAT in the normal way. However, when this trader applies the tax rate to his sales, it ends up as a zero VAT liability but from this he can deduct the entire VAT liability on his inputs, generating a repayment of tax from the government. In this way, the zero-rated trader reclaims all the VAT on his inputs and bears no tax on his outputs, and the purchaser of such a trader's sales buys the good free of VAT. Different matter with VAT levy on exports of services. Indonesian VAT Laws imposed on every transfer of taxable services in taxing jurisdiction with rate of 10%, regardless of where they are consumes. Therefore, 10% VAT is imposed on export of taxable services.
Analysis that has been done based on study of literature books and interview, conclude that 10% VAT levy on export of taxable services is not appropriate with Theory of VAT, among other things, Destination Principle, Neutrality Theory and VAT is not a cost-price factor Theory. According to this principle and the theory, VAT should not impose on services that consumed outside the taxing jurisdiction (Export of services).
Exception of VAT levy on export of services can use exemption or zero rate. According to VAT Theory and method used in countries that used VAT System, the method should be used is zero rate. Using Zero Rate means that the exporter of services is fully compensated for any VAT he pays on inputs and, therefore, genuinely is exempt from VAT. The exporter of services can reclaims all the VAT on his inputs and bears no tax on his outputs, and the purchaser of such a trader's sales buys services free of VAT. Using zero rate in export of services will increase price competitiveness of service products that exported by Indonesian producer. Further, this matter will create the conducive condition for business of services in Indonesia.
Based on analysis of the case in this examination, conclude that imposing Value Added Tax on export of services according to the prevailing law is not appropriate with theory of VAT. Further, suggested that the government should amendment prevailing law in particular that regulate about imposing Value Added Tax on export of services.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22186
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>