Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 203062 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Atang Bawono
"ABSTRAK
Pemerintah Indonesia berupaya memberikan perlindungan
terhadap korban tindak pidana perdagangan orangf untuk mewujudkan
salah satu tujuan dari Protokol Palermo serta untuk memberikan
keadilan dan kesejahteraan. Penuntut Umum yang mempunyai
kewenangan melakukan penuntutan, tidak melakukan penuntutan serta
memiliki diskresi tuntutan pidana, dituntut perannya dalam
memberikan perlindungan terhadap korban tindak pidana perdagangan
orang. Permasalahan yang diajukan adalah bagaimanakah peran
Penuntut Umum dalam memberikan perlindungan terhadap korban tindak
pidana perdagangan orang dan apa saja kendala-kendalanya. Metode
Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu
penelitian yang didasarkan pada sumber data sekunder didukung
dengan wawancara. Data sekunder meliputi peraturan perundanganundangan,
dokumen resmi, Surat Edaran Jaksa Agung dan sebagainya.
Data primer meliputi hasil wawancara dengan beberapa Jaksa yang
bertugas di Satuan Tugas Penanganan Perkara Tindak Pidana
Terorisme dan Tindak Pidana Lintas Negara Kejaksaan Agung R.I. dan
Jaksa di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan yang pernah menangani
perkara tindak pidana perdagangan orang, Jaksa Agung Muda Tindak
Pidana Umum serta Prof. Harkristuti Harkrisnowo, SH., MA., Ph.D
yang terlibat dalam penyusunan Undang-undang No. 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Perlindungan terhadap korban tindak pidana perdagangan orang
diartikan perlindungan korban tindak pidana perdagangan orang
melalui proses pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana
perdagangan orang dan perlindungan korban tindak pidana
perdagangan orang melalui upaya pemenuhan hak-hak korban. Peranan
Penuntut Umum dalam perlindungan korban melalui proses pemidanaan
terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang meliputi melakukan
pemeriksaan terhadap berkas perkara, melakukan penahanan terhadap
terdakwa, menyusun surat dakwaan, melimpahkan berkas perkara ke
Pengadilan, mengajukan tuntutan pidana, mengajukan upaya hukum dan
melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap khususnya memasukkan terdakwa ke Lembaga
Pemasyarakatan. Kendala Penuntut Umum yang dihadapi, antara . lain
sulitnya menghadirkan korban dan saksi untuk membuktikan kesalahan
pelaku guna dijatuhi pidana. Peranan Penuntut Umum dalam
perlindungan korban melalui upaya pemenuhan hak-hak korban antara
lain meliputi menghadirkan korban untuk didengar keterangannya
pertama kali, menginformasikan perkembangan penanganan perkara
kepada korban apabila diminta dengan memberikan dakwaan, jadwal
sidang, tuntutan dan sebagainya. Kendala Penuntut Umum yang
dihadapi antara lain tidak jelaskan peraturan perundang-undanagan
yang mengatur mekanisme pemberian hak kepada korban maupun belum
jelasnya institusi yang diberi kewenangan memenuhi hak-hak korban.

ABSTRACT
The Indonesian government tries to give protection
against human trafficking victims, in order to realize one
of Palermo Protocol's object and to uphold justice and
prosperity. The Public Prosecutor who has authority to
prosecute, not to prosecute and has discretion of criminal
prosecution, is required to give protection against human
trafficking victims. The Problem to be presented what is
the role of the Public Prosecution in giving protection
against human trafficking victims and its obstacles.
Research method has been used is normative legal research,
which is the research based on subsidiary data source
supported by interview. Subsidiary data is including law
regulation, official document, Circulation Letter of
Attorney General etc. Primary data is including interview
report with some prosecutors in The Task Force of Terrorism
Case Handling and Transnational Crimes in The Attorney
General's Office of the Republic of Indonesia and
prosecutors in South Jakarta District Prosecution Office
who had ever handled trafficking in persons cases, Deputy
Attorney General for General Crime and Prof. Harkristuti
Harkrisnowo, SH, MA, Ph.D who was involved in formulating
Law No. 21 year 2007 of The Eradication of Trafficking in
Persons. Protection against human trafficking victims is
destined as human trafficking by the criminal process
against trafficker and protection of human trafficking
victim by an effort of victim's right accomplishment. The
role of the Public Prosecutor in victim protection through
criminal process against the trafficker is consist of
examination of dossier, conduct detention against
defendant, formulate letter of indictment, deliver the
dossier to the court, propose criminal prosecution, propose
legal remedy and perform the court's verdict white has
permanent legal power especially to bring the defendant
into detention center. One of the obstacles faced by Public
Prosecutor is the difficulty of bringing the victim and
witness before the court in order to prove the
perpetrator's fault to be punished. The role of Public
Prosecutor in victim protection through the effort of
completing of victim's right is including presenting victim
to be heard for the first time, informing the progress of
case handling to the victim if requested by giving
indictment, court agenda, prosecution, etc. The obstacle
faced by Public Prosecutor is unclear legislation that
regulate the mechanism of right giving against victim and
unclear institution that has an authority to completing
victim's right."
2007
T36672
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanafi Rachman
"Dalam penulisan tesis ini membahas mengenai penegakan hukum terhadap Tindak Perdagangan Orang. definisi Tindak Pidana Perdagangan Orang dewasa ini mengacu pada Protokol Palermo yang merupakan sebuah perjanjian internasional. Protokol tersebut merupakan sebuah perangkat hukum yang mengikat dan mewajibkan bagi semua negara yang meratifikasi atau menyetujuinya termasuk Indonesia. Undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang mendefinisikan perdagangan orang sebagai tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Hukum Acara Pidana yang digunakan pada penegakan hukum terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang pada dasarnya adalah Hukum Acara sebagaimana ditentukan dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kecuali mengenai ketentuan khusus mengenai alat bukti, pembuktian dan hak-hak korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.
Dari hasil penelitian yang sifatnya yuridis normatif dan menggunakan metode pengumpulan data yang meliputi, penelitian pustaka melalui pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier, serta teknik wawancara dengan para nara sumber diperoleh kesimpulan yaitu meskipun dalam Undang-undang 21 tahun 2007 diatur mengenai ketentuan pembuktian yang memuat 1 (satu) keterangan saksi saja sudah cukup apabila disertai dengan alat bukti lainya (pasal 30 Undang-undang 21 tahun 2007) tetapi para aparat penegak hukum dalam mengajukan perkaranya ke pengadilan masih menganut asas unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi) yang diatur secara tegas dalam hukum acara (KUHAP) pasal 185 ayat (2). Lebih lanjut, ketentuan mengenai hak korban untuk mendapatkan restitusi seringkali tidak diperhatikan oleh para penegak hukum kita karena lebih mengutamakan kepastian hukum dalam penyelesaian perkara daripada keadilan yang seharusnya didapatkan oleh korban atas penderitaanya yang menjadi objek perdagangan orang.

This thesis discussed the enforcement of the Acts of Trafficking in Persons. Definition of the Crime of Trafficking in Persons today refers to the Palermo Protocol is an international treaty. The Protocol is a legal instrument that binds and obliges all countries that ratified or acceded including Indonesia. An Act No. 21 of 2007 on the Eradication of Trafficking in Persons defines trafficking as an act of recruitment, transportation, shelter, transportation, transfer, or receipt of a person by threats of violence, the use of violence, kidnapping, abduction, fraud, deception, abuse of power or vulnerable position, trapping the debt or giving payments or benefits to achieve consent of a person having control over another person, whether committed in the country and between countries, for the purpose of exploitation or the cause of the exploited. Criminal law is used in law enforcement on the Crime of Trafficking in Persons is basically the Law of Procedure as defined in Law No. 8 of 1981 on the Book of Law Criminal Code (Criminal Code), except on special provisions concerning the evidence, proof and victims' rights as stipulated in Law No. 21 of 2007.
From the results of studies that are juridical and normative data collection methods that include, library research through the collection of primary legal materials, legal materials secondary, tertiary legal materials, and techniques of interviews with informants Although the conclusion that the Act 21 of 2007 set regarding the provision of evidence that includes one (1) witness is sufficient if accompanied by other evidence (section 30 of Act 21 of 2007) but the law enforcement agencies in submitting his case to the courts still adhere to the principle of Unus nullus testis testis (one witness is not a witness), which is set firmly in procedural law (Criminal Code) Article 185 paragraph (2). Furthermore, the provisions regarding the rights of victims to restitution often overlooked by law enforcement because they prefer the rule of law in the resolution of the case rather than justice that ought to be obtained by the victim for his suffering which is the object of trafficking in persons.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30369
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hutapea, Ucok Samuel B.
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai kondisi hukum pidana Indonesia saat ini, dimana baik hukum materiil maupun hukum formil belum cukup mampu melindungi warga negara Indonesia, khususnya awak kapal, yang menjadi korban tindak pidana di lintas negara. Dalam dunia maritim, terjadi tindak-tindak pidana dimana awak kapal menjadi korban tindak ndash; tindak pidana antara lain, penipuan, penganiayaan, pemalsuan dokumen kepelautan yang secara keseluruhan memenuhi unsur tindak pidana perdagangan orang sebagai ketentuan khusus atau lex specialist dalam serangkaian tindak-tindak pidana tersebut. Tindak pidana terhadap awak kapal memiliki karakteristik antara lain, locus delicti berada di luar negeri baik secara geografis berada di wilayah teritorial negara lain atau diatas kapal berbendera asing yang sedang melakukan lintas dama atau berada di laut lepas dan/atau pelaku tindak pidana yang merupakan warga negara asing. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui a bagaimanakah perlindungan hukum terhadap korban dalam tindak pidana di lintas negara b bagaimanakah bentuk tindak pidana perdagangan orang terhadap awak kapal; dan c bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap awak kapal yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Tesis ini menggunakan penelitian yuridis normatif karena menitikberatkan pada penelitian kepustakaan yang intinya meneliti asas- asas hukum, sistematis hukum, dan sinkronisasi hukum dengan cara menganalisanya. Secara normatif sesuai peraturan perundang-undangan di Indonesia, terdapat ketentuan tentang tindak pidana perdagangan orang di lintas negara yang lebih memfokuskan kepada wanita dan anak-anak dan kurang memberi perhatian kepada korban yang merupakan awak kapal. Terkait dengan tindak pidana perdagangan orang di lintas negara terhadap awak kapal, dengan karakteristiknya tersendiri, negara perlu untuk meningkatkan perlindungan hukum bagi awak kapal Indonesia untuk mencegah jatuhnya korban dan menegakkan hukum bagi awak kapal yang telah menjadi korban.

ABSTRACT
This thesis discussed on the current legal condition of the Indonesian criminal law whereas both material and formal law are not sufficient to protect Indonesian citizens, especially seafarers, who are victims of transnational criminal acts. In the maritime world, there are criminal acts in which the seafarers become victims of the acts, among others, fraud, maltreatment, falsification of documents that entirely meet the element of human trafficking as a special provision or lex specialist in a series of such crimes. The criminal offenses against the Indonesian seafarers have their own characteristics of such cases, among others, the crime scene locus delicti is located abroad whether geographically inside of the territory of another country or on board of foreign flagged vessel under innocent passage or located on the high seas and or the perpetrators are foreign nationals. As such this research is aim to know a how is the legal protection of victims in transnational crime b how is the form of criminal acts of human trafficking against the seafarers and c what are the legal protections for the seafarers who are victims of human trafficking. This thesis uses normative legal research because it focuses on the research literature that examines the core principles of law, the law systematically, and the synchronization of the law in a way it analyzed. Normatively in accordance with Indonesian legislation, there are provisions on the criminal act of human trafficking trans nationally that focus more on women and children and pay less attention to the victims who are seafarers. With regard to the criminal acts human trafficking across the country on seafarer, with their own characteristics, the state needs to improve the legal protection of Indonesian seafarers to prevent casualties and enforce the law for seafareres who have been victimized."
2017
T47627
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Fahriza Mutiara Adhyaksa
"Penelitian ini dilakukan dengan melihat ditemukan banyak putusan pengadilan yang menolak permohonan restitusi korban tindak pidana perdagangan orang. Tidak ada standar baku mengenai penghitungan penilaian ganti kerugian untuk restitusi. Penuntut umum juga tidak memiliki keseragaman cara pandang dalam pengajuan restitusiyang akan dimasukkan dalam surat tuntutan. Dengan melihat keadaan tersebut, penelitian ini membahas mengenaipertimbangan hakim dalam menentukan permohonan restitusi yang diajukan oleh penuntut umum ditinjau dari pemenuhan hak korban tindak pidana perdagangan orang dengan studi putusan pengadilan. Penelitian inimerupakan penelitian yuridis normatif dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan dan ditunjang dengan wawancara. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, diketahui bahwa penuntutumum memiliki kewenangan mengajukan permohonan restitusi dengan melampirkan penghitungan restitusi dalamtuntutan pidananya. Namun dalam praktiknya, putusan perkara tindak pidana perdagangan orang jarangmengabulkan restitusi. Hal ini dipengaruhi oleh kurang maksimalnya pembuktian yang dilakukan penuntut umum terhadap kerugian korban tindak pidana perdagangan orang sehingga tidak menimbulkan keyakinanhakim. Tidak ada pedoman penghitungan restitusi yang baku. Faktor lainnya yaitu belum jelasnya prosedurpengajuan restitusi bagi korban tindak pidana perdagangan orang. Diperlukan upaya pembentukan pedomanpelaksana mengenai prosedur pengajuan restitusi oleh masing- masing lembaga penegak hukum, pembuatan pengaturan penilaian terkait penghitungan restitusi, peningkatan kesadaran aparat penegak hukum, dan evaluasi terhadap putusan pengadilan yang menangani perkara tindak pidana perdagangan orang yang disertai denganpermohonan restitusi. Maka, diharapkan tuntutan restitusi semakin banyak dikabulkan dengan mekanisme dan pengaturan yang seragam.

This research was conducted by observing that there were many court decisions that rejected requests for restitution for victims of trafficking in persons. There is no standard standard regarding the calculation of theassessment of compensation for restitution. Public prosecutors also do not have a uniform viewpoint in filing forrestitution that will be included in the lawsuit. By looking at these circumstances, this study discusses the considerations of judges in determining requests for restitution submitted by public prosecutors in terms offulfilling the rights of victims of the crime of trafficking in persons with a study of court decisions. This research is a normative juridical research using data collection techniques in the form of literature studies and supported by interviews. Based on the results of research and discussion, it is known that public prosecutors have the authority to submit requests for restitution by attaching restitution calculations to their criminal charges. However, inpractice, decisions on cases of trafficking in persons rarely grant restitution. This is influenced by the lack of maximum evidence by the public prosecutor against the loss of victims of the crime of trafficking in persons so that it does not give rise to the judge's conviction. There are no standard guidelines for calculating restitution.Another factor is the unclear procedure for filing restitution for victims of the crime of trafficking in persons.Efforts are needed to establish implementing guidelines regarding procedures for filing restitution by each law enforcement agency, making assessment arrangements related to calculating restitution, increasing awareness of law enforcement officials, and evaluating court decisions handling cases of criminal acts of trafficking in persons accompanied by requests for restitution. Thus, it is hoped that more and more demands for restitution will begranted with a uniform mechanism and arrangement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Agung
"Tesis ini membahas mengenai beberapa permasalahan hukum yang dihadapi oleh Jaksa Penuntut Umum dalam penanganan tindak pidana perikanan. Penelitian ini adalah penelitian normatif yang didukung dengan wawancara. Hasil penelitian adalah terdapat berbagai kendala yang dihadapi oleh Jaksa Penuntut Umum dalam menangani kasus tindak pidana perikanan yaitu adanya kebijakan pengendalian tuntutan pidana, materi pasal- pasal dalam Undang-Undang No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan, mekanisme penyimpanan dan eksekusi barang bukti,. Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, maka kebijakan penuntutan pengendalian tindak pidana perlu dihilangkan karena menimbulkan independensi Jaksa dalam menjalankan tugasnya serta perlunya revisi terhadap beberapa materi pasal dalam Undang-Undang No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan, serta perlunya perbaikan dalam mekanisme penyimpanan dan eksekusi barnng bukti yang dipakai dalam melakukan tindak pidana perikanan tersebut.

This thesis discuss about some Jaw problems that faced by Prosecutor in handling the illegal fishing crime ot cases. This is a normative research with field interview. The result of this research that there are amount of problems that faced by Prosecutor in handling illegal fishing crime/case, there are prosecution discresion, act number 31 year 2004 about illegal, fishing, storing, handling and execution of the evidence. To solve that problems. prosecutors must have their own discretion about prosecution, so they have independency in working on their duty. The other that the act needed to rearrange some of the articles inside illegal fishing act, and at least there must be a renew about storing. handling and execution of the evidence that used to offense illegal fishing crime.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T 25596
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Marty Fitrianty
"Penelitian ini dilatarbelakangi maraknya kejahatan TPPO di seluruh dunia khususnya Indonesia. Korban TPPO memiliki karakteristik tertentu, dengan mayoritas adalah perempuan dewasa. Kejahatan ini diidentifikasi sebagai kejahatan terorganisir dan transnasional, memerlukan perhatian khusus terutama pada kerentanan potensial korban. Pemerintah Indonesia memiliki kerangka hukum yang mencakup perlindungan korban TPPO, tetapi implementasinya dinilai belum efektif. Oleh karena itu, dalam penelitian ini ditujukan untuk Menganalisis pelayanan yang diberikan oleh Sat Reskrim Polres Cianjur dalampenanganan dan pemberian dukungan kepada korban TPPO, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pelayanan yang diberikan oleh Sat Reskrim Polres Cianjur dalam penanganan dan pemberian dukungan kepadakorban TPPO, dan merumuskan strategi keberlanjutan dalam pemberian dukungan bagi korban TPPO yang dilakukan oleh Sat Reskrim Polres Cianjur.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan tipe penelitian eksploratif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelayanan yang diberikan oleh SatReskrim Polres Cianjur dalam penanganan dan pemberian dukungan kepada korbanTPPO dilakukan dengan membentuk Satgas TPPO Polres Cianjur yang dilakukan oleh perwakilan 2 orang dari masing-masing Unit yang ada di Sat Reskrim Polres Cianjur, yang mana pelaksanaan tugas ini berada dalam lingkup Sub Gugus Tugas Penegakan Hukum, yang terwujud dalam bentuk kegiatan penyidikan dan perlindungan terhadap saksi dan korban TPPO. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelayanan mencakup aspek internal seperti ketersediaan sumber daya dan koordinasi internal tim, serta aspek eksternal seperti perencanaan kerja sama antar lembaga, jenis kemitraan, kepemimpinan, struktur kerja sama, dan dinamika kemitraan. Strategi keberlanjutan dalam memberikan dukungan kepada korban TPPO dilakukan melalui pendekatan holistik, yang tidak hanya menangani kasus secara hukum tetapi juga memperhatikan kebutuhan perlindungan terhadap korban.

This research is motivated by the rise of Human Trafficking In crimes throughout the world, especially in Indonesia. The victims of Human Trafficking have certain characteristics and the majority are adult women. These crimes are identified as organized and transnational crimes, which is requiring specific attention especially to the potential vulnerabilities of victims. The Indonesian government has a legal framework that includes protection for the victims of Human Trafficking, but its implementation is considered ineffective. Therefore, this research is aimed to analyze the services provided by Criminal Investigation Department Of Cianjur Police Resort in handling and providing support for the victims of Human Trafficking, analyzing the factors that influence the services provided by the Criminal Investigation Department Of Cianjur Police Resort in handling and providing support for the victims of Human Trafficking, and formulating a sustainability strategy in providing support for the victims of Human Trafficking which is carried out by the Criminal Investigation Department Of Cianjur Police Resort.
The method used in this research was a qualitative research method with an exploratory research type. The results of this research showed that the services provided by the Criminal Investigation Department Of Cianjur Police Resort in handling and providing support to the victims of Human Trafficking were carried out by forming the Cianjur Police Human Trafficking Task Force which was carriedout by 2 representatives from each unit in the Criminal Investigation Department of Cianjur Police Resort, where the implementation of this task is within the scope of the Law Enforcement Sub-Task Force and it is realized in the form of investigation and protection activities for witnesses and victims of Human Trafficking. Factors which are affecting services include internal aspects such as resource availability and internal team coordination, as well as external aspects such as inter-institutional collaboration planning, type of partnership, leadership, collaboration structure, and partnership dynamics. The sustainability strategy in providing support for the victims of Human Trafficking is carriedout through a holistic approach, which is handling cases legally as well as considering the protection needs of victims.
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Joyo Supeno
"Secara universal pada dekade ini penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia semakin tinggi, namun pada ruang lingkup yang kecil (sistem peradilan pidana) masih terdapat pihak yang belum diperhatikan kedudukan dan peranannya, yaitu korban tindak pidana kejahatan. Korban tindak pidana kejahatan konvensional
pada hakekatnya mempunyai hak dan kewajiban dalam sistem peradilan pidana, sebagaimana yang dirumuskan secara
konstitusional dalam Pasal 27 Undang Undang Dasar 1945,
secara idiologis tercermin dalam nilai-nilai dari sila-sila Pancasila dan secara moral terumuskan dalam Declaration of Human Rights, Declaration o f Basic Principles o f J u s t i c e for Yictims o f Crime and Abuse o f Power dan I n t e r n a t i o n a l Covenant on Civil and Political Rights. Namun secara yuridis-formal kedudukan dan peranan korban tindak pidana kejahatan masih belum diperhatikan secara optimal, bahkan para ilmuwan Hukum Pidana dan Kriminologi secara
sinis mengatakan, bahwa korban tindak pidana kejahatan merupakan pihak yang terlupakan. Perundang-undangan pidana Indonesia (KUHP dan KUHAP) lebih banyak mengatur kepentingan hukum tersangka/terdakwa dan fungsionalisasi tanggungjawab aparat peradilan pidana. Kedudukan dan peranan korban tindak pidana kejahatan dalam sistem peradilan pidana hanya sebagai pelapor/pengadu dan saksi. Kepentingan hukumnya sebagai pihak yang dirugikan (pencari keadilan) hanya terumuskan dalam Pasal 14 c KUHP dan Pasal 98 ayat (1) KUHAP, itu pun tidak pernah terealisasi. Ada suatu kondisioning yang berpengaruh terhadap kondisi korban tindak pidana kejahatan, yaitu pertama, perundang-undangan yang belum jelas dan tegas, meskipun ada indikasi diperhatikannya korban tindak pidana kejahatan dalam Konsep Rancangan KUHP 1987/1988, namun masih perlu dilakukan reorientasi, reevaluasi dan reformasi
terhadap hukum formil (KUHAP). Kedua, belum optimalnya realisasi tanggung jawab hukum dan moral aparat peradilan pidana terhadap upaya pemulihan penderitaan korban tindak pidana kejahatan. Ketiga, masih rendahnya partisipasi masyarakat, baik secara individu maupun secara kolektif. Akibatnya dengan kondisi tersebut diperlukan pembaharuan hukum melalui kebijakan hukum pidana yang berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan dengan tidak meninggalkan
nilai-nilai hukum dan keadilan."
Jakarta: Universitas Indonesia, 1993
T36430
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Discrepancy of general knowledge having law enforcement agents on the law model in the criminal justice system in Indonesia, makes the due process of law enforcement officials in applying the Law on Money Laundering (AML) far from optimal. The reviewed knowledge of the law enforcement agents covers investigation process, making indictment, as well as coordination among judiciary institutions, namely the Police as investigators, the Attorney General as prosecutors, and independent institutions for INTRAC (PPATK) as parties involved in providing Consolidated Results Analysis (LHA) of the AML.
Due process model with its inhibiting factors ensures the presumption of innocence, thus very carefully promotes the formal process in accordance with the Criminal Procedure Code. As a result, the process has become cumbersome bureaucracy, and slow in dealing with cases of AML. The statistical test conducted using frequency and crosstab shows that due process model emphasizes the Criminal Procedure Code, particularly in terms of implementing investigation and prosecution function. This apparently has created disharmony among officials who perform their respective functions. This disharmony ultimately leads to charges of improper gift in capturing the perpetrators of AML. Attorney General as a party that makes the charges against perpetrators of AML cannot function maximally because it does not interfere the investigation process conducted by the police.
Eventually, their knowledge levels of and capabilities to apply AML cases are less than optimal. This problem eventually leads to only 27 cases that utilizing AML Law within period of five years. This study finds that there is a need for law enforcement agents to harmonize the investigation utilizing the Attorney General description of general knowledge and application of AML Law."
[Departemen Kriminologi. FISIP UI, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia], 2010
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Perdagangan orang yang menjadi korban rentan terhadap perempuan .Korban perdagangangan perempuan biasanya terjadi diawali dengan penipuan, kemudian di perlakukan tidak manusiawi dan di eksplotasi....."
REHUKUM
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>