Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 168404 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agus Ngadino
"ABSTRAK
Pengaturan kedudukan keuangan DPRD juga sangat
terpengaruh oleh perkembangan politik dan hukum nasional.
Latar belakang politik yang mempengaruhi kedudukan
keuangan DPRD tidak terlepas dengan adanya gerakan
reformasi yang telah mampu menumbangkan kekuasaan
sentralistis dan otoriterisme Orde Baru. Kemudian
memunculkan semangat untuk memperbaiki hubungan antara
pusat dan daerah melalui penguatan sistem desentralisasi.
Oleh karenanya ada semacam arus balik kewenangan dari
Pusat ke Daerah.
Ada beberapa catatan kalau menyimak dinamika
pengaturan kedudukan keuangan DPRD. Pertama, perubahan
pengaturan DPRD selalu berangkat dari kasus yang terjadi
dan cenderung reaktif dalam pengaturannya. Hal ini dapat
dilihat dari dua penjelasan, pertama, pergantian dari PP
Nomor 110 tahun 2000 menjadi PP Nomor 24 tahun 2004. Dalam
materinya terlihat bahwa pengalokasian dana untuk DPRD
ternyata malah lebih besar dari pada yang diatur dalam PP
Nomor 110 tahun 2000. Hal ini tentu kalau dicermati
terkait dengan beberapa kasus korupsi yang dilakukan
karena melawan hukum atas PP Nomor 110 tahun 2000.
Misalnya kasus korupsi di DPRD Propinsi Surnatera Barat. Kedua, Perubahan atas beberapa ketentuan dalam PP Nomor 24
tahun 2004 melalui PP Nomor 37 tahun 2005. Dimana di dalam
PP Nomor 37 tahun 2005 lebih jelas mengatur tentang
tunjangan perumahan yang sebelumnya tidak diatur secara
jelas dalam PP Nomor 24 tahun 2004. Contoh dari kasus
korupsi ini adalah korupsi ai DPRD Banten.
Pengaturan kedudukan keuangan DPRD ternyata juga
membawa implikasi dalam prakteknya di berbagai daerah di
Indonesia. Dengan adanya otonomi daerah yang diatur dalam
Undang-undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
memberikan kewenangan anggaran bagi DPRD, sehingga selain
posisinya untuk menerima pertanggungjawaban anggaran dari
eksekutif juga mendapat posisi untuk menentukan anggaran
bagi pembiayaan operasionalnya.
Sistem pengaturan, pengawasan dan pertanggungjawaban
keuangan DPRD di masa depan mesti dilihat dari dua aspek
penting yaitu dari sisi normatif dan filosofis. Secara
normatif ada beberapa peraturan yang mengatur tentang
kedudukan keuangan DPRD. Namun yang menjadi perangkat
dasarnya adalah apa yang diatur di dalam UU No.22 Tahun
1999 Tentang Pemerintahan Daerah {diganti dengan UU No.32
tahun 2004) dan UU No.22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPD, DPR, dan DPRD."
2006
T36814
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Maringan S.
"Tindak pidana perkosaan merupakan tindak pidana yang menimbulkan ketakutan tersendiri dalam masyarakat, terutama bagi perempuan dan anak-anak perempuan, sebab golongan perempuan dan anak perempuan ini yang kerap menjadi korban perkosaan. Hal ini dikarenakan posisi mereka yang lemah dan subordinat. Meski pelaku tindak pidana perkosaan diancam dengan pidana berat, namun fenomena yang terjadi justru terdapat peningkatan dari jenis kejahatan ini. Hukum sebagai pranata penegak keadilan, ternyata tidak dapat berfungsi. Penegakan hukum tidak hanya memerlukan kepastian hukum, tapi juga kesebandingan dan keadilan dalam porsi yang sama. Kesulitan pembuktian tindak pidana perkosaan menjadi permasalahan yang harus dicari jalan keluarnya. Asas unus testis nullus testis yang memiliki filosofi ‘guna menghindari fitnah’ bagi terdakwa, ternyata dalam pembuktian tindak pidana perkosaan telah mendiskualifikasikan perempuan dan anak perempuan sebagai korban perkosaan. Asas inilah yang dipegang teguh oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam pembuktian tindak pidana perkosaan. Belum lagi rumusan perkosaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia tidak sensitive gender, ini dapat dipahami mengingat dahulu hukum dibentuk bersandarkan pada perspektif kaum laki-laki, dimana perempuan kala itu tidak memiliki akses untuk menyuarakan kepentingannya. Ketimpangan jender ini berakibat fatal. Maka yang terjadi kepentingan perempuan dibentuk berdasarkan apa yang dianggap baik oleh kaum laki-laki, yang belum tentu dalam prakteknya menjadi baik bagi perempuan itu sendiri. Rumusan perkosaan dalam KUHP, tidak mengakomodir bentuk-bentuk perkosaan yang terjadi dalam masyarakat. Hal ini menyebabkan perempuan tidak memiliki perisai untuk melindungi dirinya ataupun untuk menuntut pelaku atas apa yang terjadi pada dirinya. Selain rumusan dalam KUHP dan hukum acara dalam KUHAP, yang tak kalah penting adalah persepsi bias jender dalam alam pikiran aparat penegak hukum yang menangani kasus-kasus perkosaan. Sesungguhnya, hal inilah yang patut dibenahi terlebih dahulu, karena peraturan apapun akan menjadi berbahaya bagi perempuan ketika diterapkan berdasarkan pandangan bias jender. Namun, tetap perlindungan perempuan dan pengakomodiran kepentingan perempuan dalam hukum juga harus dilakukan, sebab pranata hukum itulah yang kemudian menjadi senjata bagi aparat penegak hukum dan perempuan serta masyarakat untuk menegakkan hukum."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S25443
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arifuddin
"Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dengan mendasarkan pada pendekatan perundang-undangan, konsep, historis, dan perbandingan. Perimbangan keuangan antara pusat dengan daerah memiliki keberkaitan erat dengan pembentukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Keberkaitan tersebut terlihat dari mekanisme alokasi besaran dana perimbangan. Kewenangan terbatas Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam pembentukan APBN tidak sesuai dengan filosofi pembentukannya selaku perwakilan teritorial.
Hasil penelitian merekomendasikan bahwa perlu penguatan kapasitas kelembagaan dengan memberikan ruang kewenangan yang lebih besar kepada DPD terkait dana transfer. Hal tersebut sejalan dengan prinsip otonomi daerah yang memberikan kekuasaan lebih besar kepada daerah. Selanjutnya berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah tersebut, yang penganggarannya berasal dari pos dana perimbangan dalam APBN, fungsi dan kewenangan DPD yang terbatas hanya memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang APBN dan pengawasan pelaksanaan APBN harus direvisi, yakni melalui amandemen konstitusi dengan menjadikan kedudukan DPD sama dan sejajar dengan DPR dalam hal pembentukan APBN.

This research is based on literature studies within approach of national laws, concept, historical and comparison. Financial balance between central government and local government has a close relation with the establishment of State Budget. This relation can be viewed from the allocation mechanism of balance amount of the funds. Limited authority of the Regional Representatives Council (DPD) in the establishment of State Budget is not in accordance with the philosophy of its creation as a territorial representative.
This research recommends that the necessary of institutional capacity building by providing a greater authority of Regional Representative Council (DPD) related to transfer of funds. This is in line with the principle of autonomy which gives greater powers to the regions. Furthermore, in relation with financial balance between central government and local government, which are derived from ?balanced fund? post on State Budget, function and authority Regional Representative Council (DPD) is limited to give consideration to the House of Representative (DPR) regarding Bill of State Budget, and to control the implementation of State Budget, should be revised by amending the constitution so that Regional Representative Council (DPD) has same standing as House of Representative (DPR) in establishment of State Budget.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1935
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tengku Abdurrahman
"Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi pengawasan, selain itu fungsi legislasi dan fungsi anggaran. Dalam melaksanakan fungsinya Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Fungsi dan hak Dewan Perwakilan Rakyat itu diatur dalam Pasal 20A Undang Undang Dasar 1945. Fungsi pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dijalankan pemerintah. Dalam menjalankan fungsinya, Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. DPR berhak untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Panitia khusus angket pengusutan kasus Bank Century DPR merupakan pelaksanaan hak penyelidikan DPR berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan atas bail out Bank Century. BPK menyimpulkan bahwa bail out Bank Century patut diduga melanggar hukum. Walaupun DPR berhak melakukan penyelidikan, namun hasil penyelidikan DPR tidak dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan. Proses penyelidikan DPR adalah proses politik yang mencerminkan pandangan mayoritas fraksi di DPR. Meskipun demikian, pemerintah harus sungguh-sungguh memperhatikan proses politik tersebut, karena Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, bila dalam penyelidikan yang dilakukan DPR ditemukan fakta-fakta yang menyakinkan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden bertanggungjawab. Selanjutnya DPR berhak untuk menyatakan pendapat. Atas pendapat DPR tersebut, apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum. DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.

House of Representatives has a supervisory function, in addition to legislative and budgetary functions. In performing its functions the House of Representatives has the right of interpellation, the right questionnaire, and the right to express an opinion. Functions and rights of the House of Representatives was set forth in Section 20A Constitution Act 1945. Audit function is conducted through the supervision over the implementation of laws and Budget of the State-run government. In performing its functions, the President can not freeze and or dissolve the House of Representatives. Parliament is entitled to conduct an investigation of the implementation of laws and / or government policies relating to the important, strategic and broad impact on society, nation and the state is allegedly contrary to laws and regulations. The special committee investigating a case questionnaire Century Bank House is a House investigation into the implementation of rights based on BPK audit on the bail out of Century Bank. CPC concluded that Century Bank bail-out should be suspected of breaking the law. Although Parliament has the right to investigate, but the results of the House investigation can not be used as evidence in court. House of Representatives inquiry process is a political process which reflect the views of the majority faction in parliament. Nevertheless, the government must seriously consider the political process, because the President and / or the Vice President may be dismissed in his term by the People's Assembly at the proposal Permusyaratan House of Representatives, when the House of Representatives conducted an investigation which found the facts are convincing that the President and / or the Vice President accountable. Furthermore, the Parliament is entitled to our opinion. On the opinion that the Parliament, when the Constitutional Court decides that the President and / or Vice President proved to have violated the law. Parliament held a plenary session to continue the proposed dismissal of the President and / or Vice President to the People's Consultative Assembly."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S25495
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Pakpahan, Muchtar
"Latar Belakang
Setelah Perang Dunia II, banyak bangsa yang memproklamasikan kemerdekaannya, khususnya di kawasan Asia dan Afrika. Kesempatan untuk memproklamasikan kemerdekaan itu diperoleh bangsa-bangsa tersebut setelah berakhirnya Perang Dunia II. Pada umumnya bangsa-bangsa yang melakukan penjajahan itu adalah bangsa-bangsa/negara-negara yang berada di kawasan Eropa Barat.
Bangsa-bangsa yang memproklamasikan kemerdekaannya itu umumnya mendasari pemerintahannya dengan sistem demokrasi.l Hal ini dapat dipahami sebab demokrasi senantiasa merupakan cita-cita yang hidup. Penyebab lainnya karena negara-negara penjajah itu di tanah airnya mempraktekkan sistem pemerintahan demokrasi, dan sebagian tokoh-tokoh dari bangsa terjajah.
Akan tetapi bangsa-bangsa yang baru menyatakan kemerdekaannya itu, dalam banyak hal justru tidak mempraktekkan pemerintahan demokrasi. Paling tidak dapat dikatakan, terdapat pelanggaran-pelanggaran terhadap prinsip demokrasi. Ada tiga pelanggaran yang sering terjadi yakni:
1. Pembentukan pemerintahan yang tidak berdasarkan pilihan rakyat,
2. Pengadaan anggota lembaga perwakilan tidak melalui pemilihan umum, dan
3. Pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia dengan berbagai cara. Padahal justru hak-hak asasi manusia merupakan bagian penting dari demokrasi itu sendiri.
Bahkan dalam melakukan tindakan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia itu, banyak pemerintahan yang melakukannya dengan bertopengkan demokrasi.
Pelanggaran-pelanggaran tersebut bersumber pada penyebutan sistem demokrasi. Ini juga dapat dilihat dari pendapat Gilette Hitchner dan Carol Levine:2
"Hampir setiap negara bagaimanapun system politiknya, mengklaim bahwa bentuknya adalah demokratis. Tetapi kadang-kadang kata "demokratis" itu dikwalifisir dengan ekspresi-ekspresi seperti ?basic?, "guided", "paternal", "traditional", atau "people", sehingga dalam realitasnya "tyrannical", dan "authoritarian".
Praktek-praktek pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia itu menjadi perdebatan serta menarik perhatian PBB. Ini mendorong berlangsungnya konferensi Internasional Commission of Jurist tahun 1965 di Bangkok yang berhasil merumuskan enam syarat agar suatu negara dapat disebut sebagai negara demokrasi3 yaitu :
1. Perlindungan konstitusional terhadap hak-hak asasi manusia dalam arti bahwa konstitusi, selain menjamin hak-hak individu, harus menentukan pula cara procedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial tribunal).
3. Pemilihan umum yang bebas.
4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
5. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi.
6. Pendidikan kewarganegaraan (civic education)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993
D251
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sutan Sorik
"Pasal 22D ayat (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945 menempatkan konstruksi relasi DPR dengan DPD terkait Pengawasan atas APBN tidak berimbang. Kewenangan DPD yang diberikan sangat lemah, menempatkan DPD hanya sebagai supporting system bagi DPR di Parlemen. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi perbandingan hukum dan perundang-undangan, bentuk hasil penelitian bersifat preskriptif-analitis. Hasil penelitian menemukan kewenangan formal yang dimiliki DPD dengan DPR tidak sesuai dengan teori bikameralisme dan konsep fungsi pengawasan parlemen. Secara teori bikameralisme dan konsep fungsi pengawasan parlemen, DPD yang memiliki legitimasi tinggi seharusnya memiliki kedudukan dan kewenangan pengawasan atas APBN setara dengan DPR baik secara ex ante maupun ex post. Berdasarkan perbandingan hukum yang dilakukan dengan enam negara, menempatkan kamar kedua baik secara pengawasan ex ante mapun ex post ikut terlibat dalam pengawasan APBN. Kedepan, DPR dan DPD seharusnya mempunyai kedudukan, kewenangan, serta hubungan yang setara. Langkah penguatan yang dapat ditempuh, melakukan perubahan Pasal 22D ayat (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945 atau yang lebih praktis adalah dengan membentuk tata tertib hubungan kerja antara DPR dan DPD terkait pengawasan atas APBN yang memungkinkan DPD dapat terlibat dengan baik.

Article 22D paragraphs (2) and (3) and Article 23 paragraphs (2) and (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia place the construction of the relationship between the DPR and the DPD regarding Supervision of the APBN as unequal. The authority of the DPD given is very weak, placing the DPD only as a supporting system for the DPR in Parliament. This research uses a comparative study approach of law and legislation, the form of research results is prescriptive-analytical. The results of the study found that formal authority the DPD has with the DPR are not in accordance with the theory of bicameralism and the concept of the parliamentary oversight function. In theory, bicameralism and the concept of parliamentary oversight function, a DPD that has high legitimacy should have the position and authority to supervise the APBN on a par with the DPR, both ex ante and ex post. Based on legal comparisons conducted with six countries, placing the second chamber both in ex ante and ex post supervision is involved in APBN supervision. In the future, the DPR and DPD should have equal position, authority and relationship. Strengthening steps that can be taken, amending Article 22D paragraphs (2) and (3) as well as Article 23 paragraphs (2) and (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia or more practically is to form an orderly working relationship between the DPR and DPD regarding supervision over APBN which allows the DPD to be involved properly."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S8702
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarji
Depok: Universitas Indonesia, 2006
S25473
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>