Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 73914 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Linda Angka Widjaja
"Sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Pembuatan perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan hanyalah perjanjian yang dibuat untuk merubah perjanjian perkawinan yang telah ada. Namun ternyata telah terjadi perkembangan di dalam masyarakat, dimana perjanjian perkawinan dapat dibuat sepanjang perkawinan, walaupun perkawinan dilangsungkan tanpa membuat perjanjian perkawinan. Hal tersebut ternyata dari adanya perjanjian perkawinan yang dibuat berdasarkan Fenetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 239/Pdt.P/1999/Jkt.Sel.
Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan, yang bersifat deskriptif yuridis analistis, penulis mencoba untuk melakukan penelitian mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan. Dari hasil penelitian penulis ternyata memang dimungkinkan dibuatnya perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan berdasarkan Penetapan Pengadilan, namun ternyata pertimbangan hukum yang diberikan oleh Hakira dalam mengabulkan permohonan suami istri tersebut menurut penulis kurang tepat jika dilihat dari ketentuan hukum yang berlaku. Dan pembuatan perjanjian perkawinan tersebut tidak diikuti dengan pendaftaran pada Karitor Catatan Sipil- Hal tersebut tentunya akari membawa permasalahan-permasalahan hukum sehubungan dengan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan. Sehubungan dengan hal tersebut setidaknya diperlukan adanya pembahasan bagaimana sesungguhnya permasalahan-permasalahan hukum berkaitan dengan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T37775
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sopiatun
"Sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentanq Perkawinan, perjanjian perkawinan mulai berlaku terhadap pihak ketiga sejak disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, artinya perjanjian perkawinan yang dibuat dihadapan notaris harus dicatat dalam akta perkawinan sebelum atau pada waktu pencatatan perkawinan. Namun ternyata telah terjadi perkembangan di dalam masyarakat, dimana pencatatan perjanjian perkawinan dapat dilakukan sepanjang perkawinan. Hal tersebut ternyata dari adanya pencatatan perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri No.15/Pdt.P/2004/Jkt.Sel.
Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat deskriptif yuridis analistis, penulis mencoba untuk melakukan penelitian mengenai pencatatan perjanjian perkawinan yang dilakukan sepanjang perkawinan.
Dari hasil penelitian penulis ternyata memang dimungkinkan pencatatan perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan berdasarkan Penetapan Pengadilan, namun ternyata pertimbangan hukum yang diberikan oleh Hakim dalam mengabulkan permohonan suami-isteri tersebut tidak jelas ketentuan atau peraturan perundang-undangan mana yang dimaksud, seharusnya Hakim menunjuk pada peraturan penyelenggaraan daftar-daftar catatan sipil untuk golongan Tionghoa yakni Stb. 1917 Nomor 130 yaitu pasal 95 sampai dengan pasal 98. Dimana berdasarkan ketentuan tersebut perbaikan dan penamhahan akta catatan sipil dapat dilakukan dengan Penetapan Pengadilan. Meskipun hal tersebut dimungkinkan, namun seharusnya Hakim dapat mempertimbangkan dari segi waktu, sehingga Hakim tidak nmngabulkan permohonan pencatatan perjanjian perkawinan yang telah berumur selama lima belas tahun, karena hal itu akan merugikan pihak ketiga yang selama ini telah menjadi kreditur suami-isteri tersebut, hal itu berkaitan dengan harta yang dapat ditagih oleh kreditur. Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan penyempurnaan peraturan yang telah ada di Kantor Catatan Sipil mengenai batasan waktu perbaikan dan penambahan suatu akta perkawinan tentang adanya perjanjian perkawinan. Hal itu untuk mengantisipasi terjadinya penyelundupan hukum atas peraturan tersebut."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16493
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Ida Harnani
"Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila terutama sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mempunyai hubungan erat antar perkawinan dengan agama hal ini disebabkan bukan saja mempunyai unsur jasmani tetapi juga unsur rohani memegang peranan penting. Dalmn perkawinan akan timbul hak dan kewajiban baik suami maupun isteri, diantaranya harus bertanggung-jawab terhadap harta benda. Harta kekayaan dalam Suatu perkawinan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan rumah tangga yang bahagia. Apabila harta kekayaan tersebut baik yang diperoleh selama perkawinan ataupun sebelum perkawinan tidak dapat dipertanggungjawabkan akan menyebabkan ketidakharmonisan dalam keluarga. Untuk melindungi hak dan kewajiban suami istri khususnya harta benda maka dibuatlah perjanjian Perkawinan. Seringkali pihak ketiga tidak menyadari adanya percampuran harta, dalam pembuatan perjanjian perkawinan juga harus memperhatikan mengenai kecakapan dalam membuatnya yakni pertama akta perjanjian perkawinan mengikat pihak ketiga dalam rangka perjanjian pemberian jaminan kredit perbankan, kedua mengenai syarat-syarat yang dipakai untuk membuat akta perjanjian perkawinan supaya bisa nengikat pahak ketiga, ketiga
batas usia yang dipakai oleh notaries untuk dianggap cakap membuat akta perjanjian perkawinan. Metode yang digunakan adalah metode kepustakaan yang bersifat yuridis normatif,tipe penelitian eksplanatoris, data yang digunakan data sekunder, diadakan wawancara dengan notaris di Tangerang, metode analistisnya yaitu metode kualitatif. Perjanjian perkawinan mempunyai bentuk dan isi sebagaimana halnya dengan perjanjian-perjanjian lain yang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian perkawinan mempunyai syarat pendaftaran yang didaftarkan pada kantor pencatat perkawinan pada saat dilangsungkan perkawinan. Perjanjian perkawinan dapat berlaku bagi pihak ketiga sepanjang pihak ketiga memiliki hubungan hukum dengan kedua belah pihak yang membuatnya. Batas usia seseorang untuk dapat membuat perjanjian perkawinan adalah 21 tahun atau belum 21 tahun tapi sudah menikah. Pihak ketiga adalah bank maka apabila melakukan pengikatan maka hendaknya memeriksanya terlebih dahulu akta perkawinan dari kedua belah pihak."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16353
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Runi Anggia Nastiti
"
Perkawinan merupakan ikatan yang disahkan berdasarkan aturan-aturan tertentu diantara dua orang, yaitu pria dan wanita, yang tidak jarang keduanya memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda-beda, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap sifat dan kebiasaan berperilaku yang kemudian terbawa ke dalam kehidupan berumah tangga. Tidak jarang perbedaan tersebut kemudian menimbulkan konflik-konflik dalam kehidupan perkawinan, yang salah bentuknya adalah konflik harta bersama. Untuk mengatasi masalah tersebut, pasangan suami istri yang akan menikah dapat membuat perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan bagi sebagian masyarakat menjadi sebuah hal yang tabu, tidak biasa, materialistik, egois, tidak etis, dan tidak sesuai dengan adat timur. Berbeda halnya dengan masyarakat barat, yang beranggapan bahwa perjanjian perkawinan merupakan sebuah hal yang lazim dibuat bagi sebuah perkawinan yang akan terjadi. Menurut mereka, hal ini erat kaitannya dengan penyelesaian permasalahan yang mungkin timbul di dalam kehidupan berumah tangga. Berkaitan dengan hal tersebut, permasalahan yang akan penulis bahas adalah perihal pengaturan isi perjanjian perkawinan di Indonesia, pengaturan isi perjanjian perkawinann di New Zealand, dan perbandingan pengaturan isi perjanjian perkawinan di Indonesia dan New Zealand. Penulis menggunakan kajian ilmu hukum normatif, dengan penelitian kepustakaan berpendekatan perundang-undangan dan pendekatan perbandingan. Penulis menyajikan penelitian dengan metode deskriptif analitis. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengaturan perjanjian perkawinan di Indonesia terdapat di dalam tiga peraturan yang berbeda yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam dimana masing-masing mengatur berlainan mengenai isi perjanjian perkawinan. Di New Zealand sendiri diatur di dalam Property (Relationships) Act 1976 yang berisikan mengenai pembagian harta dari pasangan-pasangan yang hubungannya berakhir karena perpisahan semata ataupun kematian. Penulis mendapatkan bahwa pengaturan perjanjian perkawinan di New Zealand lebih rinci dibandingkan dengan peraturan di Indonesia, khususnya mengenai isi perjanjian perkawinan. Kesimpulan dalam analisis menyarankan kepada pemerintah khususnya para pembuat undang-undang untuk melengkapi beberapa pengaturan perihal isi perjanjian perkawinan, lebih khusus mengenai isi yang diperbolehkan terdapat didalam sebuah perjanjian perkawinan, dimana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak secara tegas mengatur mengenai hal tersebut. Hal ini penulis maksudkan agar dihasilkan peraturan yang jelas, lengkap, dan tepat mengenai pembuatan perjanjian perkawinan."
Lengkap +
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], 2009
S25080
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Amalia Yuliani
"Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, kini perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan dapat dilakukan tanpa adanya penetapan pengadilan negeri terlebih dahulu dan dapat disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris. Pengesahan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan dilakukan dengan cara melaksanakan pencatatan perjanjian perkawinan pada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama, sedangkan pengesahan oleh Notaris dianggap membingungkan karena dianggap tidak jelas maksudnya. Hal ini menimbulkan permasalahan karena belum ada ketentuan mengenai tata cara pencatatan perjanjian perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, sehingga pegawai pencatat perkawinan menolak melakukan pencatatan terhadap perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan dan meminta adanya penetapan pengadilan negeri untuk pengesahan perjanjian perkawinan tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis normatif yang menggunakan data primer dan data sekunder sebagai sumber data, dimana penulis dalam meneliti mengkaji aturan hukum mengenai perkawinan dan perjanjian perkawinan untuk dapat menjawab permasalahan secara dekriptif analitis. Melalui penelitian ini penulis menemukan jawaban bahwa pengesahan dan pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan kini dapat dilakukan tanpa adanya penetapan pengadilan negeri terlebih dahulu dengan berpedoman kepada Surat Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil tanggal 19 Mei 2017 No. 472.2/5876/Dukcapil tentang petunjuk mengenai pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan.

With the Constitutional Court Decision Number 69 PUU XIII 2015, postnuptial agreement can be done without any approval from the district court. It can also be legitimated by the marriage officer or the notary. The legalization of postnuptial agreement by the marriage officer is done by registering the postnuptial agreement to the Office of Population and Civil Registration Agency or the Office of Religious Affairs, while the legalization done by the notary is considered confusing as its main point is not that clear. It causes problem since there is no other regulation yet about the procedure of postnuptial agreement registration beside the Constitutional Court Decision Number 69 PUU XIII 2015 so that the marriage officer refuses to accept the registration of postnuptial agreement and asks the approval from district court to legalize it. This research uses normative juridical method using primary and secondary data as the source as I examine the law of marriage and postnuptial agreement to find the descriptive and analytical answer for the problems occur. The findings reveal that the legalization and the registration of postnuptial agreement now can be done without any approval from the district court, based on the regulation on Surat Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, May 19, 2017 No. 472.2 5876 Dukcapil about the guidance of postnuptial agreement registration."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S68822
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Ridzka Maheswari Djasmine
"Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris sudah seharusnya memberikan penyuluhan hukum terkait pembuatan akta perjanjian perkawinan agar tidak melanggar batas-batas hukum dan agama sebagaimana disebutkan dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Jika kemudian pasangan suami-istri yang berbeda agama ingin membuat perjanjian perkawinan (postnuptial agreement) yang isinya tidak hanya mengatur mengenai harta kekayaan para pihak tetapi juga mengenai agama yang akan dianut oleh anak-anak para pihak, apakah sesuai kewenangannya Notaris kemudian dapat membuat perjanjian perkawinan tersebut atau justru Notaris tidak dapat membuat perjanjian perkawinan tersebut. Permasalahan yang diangkat mengenai batasan para pihak dalam membuat perjanjian perkawinan dan akibat hukum pembuatan klausula moralitas dalam perjanjian perkawinan terhadap perkawinan beda agama yang dilangsungkan di luar negeri. Bentuk penelitian ini yuridis-normatif dengan tipe penelitian eksplanatoris. Hasil analisis adalah batasan dalam membuat perjanjian perkawinan terdiri dari batasan hukum berupa peraturan perundang-undangan seputar harta kekayaan dan batasan agama berupa hukum agama para pihak. Apabila Notaris membuatkan perjanjian perkawinan antara para pihak yang perkawinannya dilangsungkan di luar negeri akan tetapi perkawinan tersebut merupakan perkawinan beda agama dan kehendak para pihak yang akan dituangkan ke dalam perjanjian perkawinan tidak hanya mengatur mengenai harta kekayaan para pihak tetapi juga mengenai agama yang akan dianut oleh anak-anak para pihak, maka akan memiliki implikasi terhadap tiga pihak, yaitu terhadap Notaris, terhadap para pihak, dan terhadap pihak ketiga. Saran berupa dilakukannya revisi terhadap Undang-Undang Perkawinan yang memperjelas ketentuan Pasal 29 dan mempertegas larangan perkawinan beda agama serta timbulnya kewenangan PP-INI untuk mengadakan seminar dengan pembahasan mengenai substansi perjanjian perkawinan yang hanya berisikan tentang harta kekayaan.

Notaries as public officials who are authorized to make authentic deeds and have other authorities based on the Notary Office Law should provide legal explanation regarding the formulation of a marriage agreement deed so as not to violate legal and religious boundaries as stated in Article 29 paragraph (2) of the Marriage Law. If then a married couple of different religions wants to make a postnuptial agreement whose contents not only stipulate the assets of the parties but also regarding the religion that will be adhered to by the children of the parties, is it within the Notary's power to draft such an agreement or even the Notary cannot draft the marriage agreement. Issues raised regarding the limitations of the parties in making marriage agreement and the legal consequences of including morality clauses in marriage agreement for interfaith marriage held abroad. The form of this research is juridical-normative with explanatory research type. The results of the analysis are the limitations in making a marriage agreement consisting of legal restrictions in the form of laws and regulations regarding assets and religious restrictions are in the form of religious laws of the parties. If a Notary draws up a marriage agreement between parties whose marriage was held abroad, but it is an interfaith marriage and the will of the parties to be poured into the marriage agreement regulates not only the assets of the parties but also regarding the religion to which the children will adhere, it will have implications for three parties, namely the Notary, against the parties, and against the third party. Suggestions in the form of revising the Marriage Law which clarifies the provisions of Article 29 and reinforces the prohibition on interfaith marriage as well as the emergence of PP-INI's authority to hold seminars with a discussion of the substance of the marriage agreement, which only comprises assets."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Anita Kristianti
"[ ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai pengaturan pembuatan perjanjian perkawinan setelah
perkawinan dilangsungkan dengan penetapan dari pengadilan ditinjau menurut
Hukum Positif di Indonesia. Penulis meneliti permasalahan ini dengan menggunakan
metode penelitian yuridis normatif, dimana penulis dalam melakukan penelitian
mengacu pada aturan-aturan hukum yang berlaku di Indonesia untuk kemudian bisa
menjawab permasalahan tersebut secara deskriptif analitis. Hasil dari penelitian
menyarankan bahwa dalam memberikan penetapan terkait pembuatan perjanjian
perkawinan setelah perkawinan dilangsungkan seharusnya Hakim mendasarkan
penetapannya pada Hukum yang berlaku, sehingga dapat memberikan kepastian
hukum.
ABSTRACT This bachelor thesis examines about disposition of prenuptial agreement construction
after marriage with sentence from the court according to Indonesia positive law. The
author then examines these problems with juridicial normative research, which examined
in reference to the Indonesia existing rules of law to then be able to answer this problem
in a descriptive analytic. The result of this research suggests that when the judge give a
sentence about disposition of prenuptial agreement construction after marriage, properly
reference to the exisiting law until can give a law certainty.;This bachelor thesis examines about disposition of prenuptial agreement construction
after marriage with sentence from the court according to Indonesia positive law. The
author then examines these problems with juridicial normative research, which examined
in reference to the Indonesia existing rules of law to then be able to answer this problem
in a descriptive analytic. The result of this research suggests that when the judge give a
sentence about disposition of prenuptial agreement construction after marriage, properly
reference to the exisiting law until can give a law certainty.;This bachelor thesis examines about disposition of prenuptial agreement construction
after marriage with sentence from the court according to Indonesia positive law. The
author then examines these problems with juridicial normative research, which examined
in reference to the Indonesia existing rules of law to then be able to answer this problem
in a descriptive analytic. The result of this research suggests that when the judge give a
sentence about disposition of prenuptial agreement construction after marriage, properly
reference to the exisiting law until can give a law certainty.;This bachelor thesis examines about disposition of prenuptial agreement construction
after marriage with sentence from the court according to Indonesia positive law. The
author then examines these problems with juridicial normative research, which examined
in reference to the Indonesia existing rules of law to then be able to answer this problem
in a descriptive analytic. The result of this research suggests that when the judge give a
sentence about disposition of prenuptial agreement construction after marriage, properly
reference to the exisiting law until can give a law certainty., This bachelor thesis examines about disposition of prenuptial agreement construction
after marriage with sentence from the court according to Indonesia positive law. The
author then examines these problems with juridicial normative research, which examined
in reference to the Indonesia existing rules of law to then be able to answer this problem
in a descriptive analytic. The result of this research suggests that when the judge give a
sentence about disposition of prenuptial agreement construction after marriage, properly
reference to the exisiting law until can give a law certainty.]"
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2015
S62550
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Corietania Basri
"Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa seorang pria dan wanita yang hendak melangsungkan perkawinan dapat membuat perjanjian perkawinan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Bahwa macam atau corak aturan hukum kekayaan antara suami istri penting sekali artinya bagi pihak ketiga. Mengenai hal ini terkait dengan keberlakuan perjanjian perkawinan itu sendiri kepada pihak ketiga. Berdasarkan ketentuan pasal 29 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian perkawinan mulai berlaku terhadap pihak ketiga sejak perjanjian perkawinan tersebut disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Artinya perjanjian perkawinan yang telah dibuat harus disahkan dan dicatatkan oleh pegawai pencatat perkawinan bersamaan dengan pencatatan perkawinan (dalam akta perkawinan) agar perjanjian perkawinan tersebut berlaku terhadap pihak ketiga. Timbul permasalahan dalam hal terjadi kelalaian dari para pihak suami istri untuk mencatatkan perjanjian perkawinan mereka pada waktu pencatatan perkawinan mereka di Kantor Catatan Sipil dilakukan. Terutama dengan adanya kasus atau dimungkinkannya pengesahan dan pencatatan perjanjian perkawinan setelah pencatatan perkawinan berlangsung sedangkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku pengesahan dan pencatatan perjanjian perkawinan seharusnya dilakukan bersamaan pada saat pencatatan perkawinan dilangsungkan. Skripsi ini membahas hal-hal apa saja yang dapat diatur dalam perjanjian perkawinan, bagaimana akibat hukum perjanjian perkawinan yang tidak disahkan dan dicatatkan pada saat perkawinan berlangsung terhadap pihak ketiga dan bagaimana upaya hukum pengesahan dan pencatatan perjanjian perkawinan yang dilakukan setelah pencatatan perkawinan berlangsung. Penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif. Beberapa hal yang dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang dapat diatur dalam perjanjian perkawinan seyogyanya hanya memuat hal-hal seputar hukum harta kekayaan perkawinan, perjanjian perkawinan yang tidak disahkan dan dicatatkan pada saat perkawinan berlangsung tidak dapat berlaku terhadap pihak ketiga dan agar suatu perjanjian perkawinan dapat disahkan dan dicatatkan setelah pencatatan perkawinan dilangsungkan maka dapat dilakukan upaya hukum pengajuan permohonan penetapan Pengadilan Negeri. Hal-hal yang dapat diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan sebaiknya perlu diatur secara lebih jelas, pemerintah perlu mensosialisasikan pengaturan mengenai pengesahan perjanjian perkawinan untuk menghindari kesimpangsiuran yang terjadi di masyarakat, dan batasan waktu sampai berapa lama permohonan penetapan Pengadilan Negeri masih dapat dilakukan sangat diperlukan untuk mengantisipasi penyelundupan hukum."
Lengkap +
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], 2010
S21537
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Abidasari
"Problematika kehidupan rumah tangga yang muncul akhir-akhir ini adalah mengenai harta kekayaan diantara pasangan suami isteri. Setelah terjadinya perkawinan maupun setelah perceraian, mengenai harta kekayaan sering dipermasalahkan baik oleh kedua belah pihak yaitu suami isteri maupun oleh pihak ketiga. Oleh karena itulah untuk mencegah terjadinya permasalahan mengenai harta kekayaan tersebut, Undang-undang No. 1 tahun 1974 memberikan suatu jalan keluar yaitu dengan jalan calon suami isteri sebelum atau pada saat dilangsungkannya perkawinan membuat suatu Perjanjian Perkawinan. Dalam skripsi ini akan dibahas mengenai materi dan konsekuensi dari Perjanjian Perkawinan serta tanggung jawab terhadap hutang-hutang suami isteri menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 dengan menggunakan metode penelitian lapangan dan kepustakaan. Dalam skripsi ini akan dibahas Perjanjian Perkawinan dalam hal pemisahan harta kekayaan diantara Tuan X dan Nyonya Y yang dibuat oleh Notaris Sam Sridharto Gutama, SH. yang beralamat di Ruko Plaza Menteng Blok A/8 lantai 2 Lippo Cikarang Bekasi. Isi dari Perjanjian Perkawinan tersebut antara lain mengenai tanggung jawab Tuan X sebagai kepala rumah tangga, dimana ia tetap berkewajiban menanggung biaya keperluan rumah tangga, pemeliharaan dan pendidikan anak. Selain itu diatur pula mengenai hutang, dimana hutang yang digunakan untuk kepentingan keluarga menjadi tanggung jawab bersama diantara Tuan X dan Nyonya Y. Dalam Perjanjian Perkawinan tersebut terdapat suatu ketidakseimbangan yaitu hanya Nyonya Y saja yang berhak mendapat seluruh harta warisan Tuan X apabila Tuan X meninggal terlebih dahulu sedangkan tidak ada klausul yang menyatakan bahwa Tuan X juga berhak mendapat seluruh harta Nyonya Y. Oleh karena itu menurut pendapat penulis ketidakseimbangan tersebut haruslah segera diatasi yaitu dengan cara menambahkan klausul dalam Perjanjian Perkawinan tersebut yang menyatakan bahwa Tuan X juga berhak mendapat seluruh harta Nyonya Y apabila Nyonya Y meninggal terlebih dahulu. Dengan penambahan klausul tersebut maka Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh tuan X dan Nyonya Y menjadi seimbang."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S21265
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syariful Alam
"Penelitian ini membahas perbandingan pengaturan mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan menurut hukum Indonesia, Belanda, dan Kanada Ontario , dengan melakukan analisis terhadap peraturan di Indonesia yaitu KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, peraturan di Belanda yaitu Nieuw Burgerlijk Wetboek NBW , serta peraturan di Kanada Ontario yaitu Family Law Act 1990.
Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan metode analisis data yang menggunakan pendekatan kualitatif. Pada peraturan dari masing-masing negara ini, terdapat beberapa perbedaan dalam hal pengaturan mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan.
Hasil penelitian ini menunjukan bagaimana pengaturan mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan di Indonesia, Belanda, dan Kanada Ontario, dengan tujuan untuk memperbaiki pengaturan di Indonesia mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan.

This research discusses about comparison of regulation for postnuptial agreement in Indonesia, Netherland and Canada Ontario by doing analysis on Indonesia rsquo s regulation such as Indonesian Civil Code KUHPerdata and Law No. 1 1974 about Marriage, Netherlands rsquo regulation such as Nieuw Burgerlijk Wetboek NBW and Canada rsquo s Ontario regulation such as Family Law Act 1990.
This is a normative juridical research using qualitative approach method. Among those countries rsquo regulations, the Author found some similarities and differences regarding postnuptial agreement among those countries.
This research shows how is postnuptial agreement regulated in Indonesia, Netherland and Canada Ontario in order to find suggestions to amend regulation regarding postnuptial agreement in Indonesia."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S69845
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>