Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 173043 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ari Yahya
"ABSTRAK
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah dipandang
sebagai permasalahan yang sangat serius. Hal ini karena
kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh korupsi
sangat besar. Melihat betapa besar kerugian negara yang
diakibatkan oleh tindak pidana korupsi mendorong
pemerintah berupaya secara serius memberantas tindak
pidana korupsi. Perbuatan korupsi telah menyebar di segala bidang,
tidak terkecuali pada pemerintah daerah dimana tindak
pidana korupsi dilakukan oleh anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah ' (DPRD) . Maraknya korupsi oleh anggota DPRD
berawal dari pemberian kewenangan kepada DPRD yang lebih
luas dengan terbitkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah yang memberi wewenang secara
otonom kepada pemerintah daerah untuk menentukan anggaran
belanjanya. Melihat begitu besarnya kewenangan tersebut
mendorong pemerintah menerbitkan PP No. 110 Tahun 2000.
Tetapi pada kenyataannya beberapa DPRD di Kabupaten dan
Kota di Jawa Barat membuat anggaran belanja tidak
berpedoman pada PP 110 Tahun 2000 dengan pertimbangan
karena sudah di-judicial review oleh Mahkamah Agung yang
dalam putusannya menyatakan bahwa PP tersebut sudah tidak
mempunyai kekuatan hukum. Sebaliknya Jaksa tetap
menyatakan bahwa dengan tidak menggunakan PP 110 Tahun
2000 sebagai pedoman dalam pembuatan anggaran belanja
DPRD, telah terjadi tindak pidana korupsi karena dalam PP
tersebut anggaran belanja DPRD terutama untuk pos biaya
penunjang anggota DPRD ada pembatasan limitatif. Dalam proses persidangan ternyata di tingkat
Pengadilan Negeri Bogor, hakim memutus surat dakwaan
tidak diterima dan pada. Pengadilan Negeri Cianjur dan
Cirebon, hakim memutus bebas terdakwa. Padahal dalam
kenyataannya surat dakwaan JPU disamping mencantumkan
tidak dipedomaninya PP 110 Tahun 2000 dalam pembuatan
anggaran belanja DPRD sebagai unsur melawan hukum, juga
mencantumkan adanya penyimpangan dalam pelaksanaan
anggaran belanja DPRD serta mencantumkan unsur melawan
hukum materiil. "
2005
T37750
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soeprapto
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elwi Danil
"Tingkat pertumbuhan dan perkembangan korupsi di Indonesia telah menjadi sebuah fenomena yang sulit dibantah dengan- argumentasi apapun. Perilaku menyimpang ini tidak saja taelah berlangsung secam sisbematis dan bersifat institusional, melainkan juga telah masuk ke dalam wilayah institusi peradilan pidana yang semestinya bediri sebagai tulang penyangga.
Sekalipun laporan resmi pemerintah mengindikaslkan adanya peningkatan intensitas penanganan kasus korupsi secara slginifikan; namun itu belum merefleksikan fakta yang sesungguhnya. Ungkapan "dark number of corruption! diperkirakan jauh Iebih besar daripada 'officially recorded corruplians" Oleh sebab itu, ketika Indonsia dinobatkan ke dalam kategori negara terkorup di dunia, tidak ada yang hefan, seolah-olah fenomena itu sudah "being taken for grantee", sehingga tidak periu diperdebatkan. Fenomena korupsi telah menimbulkan ketidakpercayaan publlk terhadap hukum dan sistem peradilan pidana, dan dikhawatirkan dapat mengakibatkan disfungsionalisasl hukum pidana. Penelitian ini mengungkapkan, sekalipun korupsi "merajalela" di Indonesia, namun hanya sedikit kasus korupsi yang diteruskan ke pengadilan. Kalaupun ada yang sampai di pengadilan, tidak jarang pula hakim menjatuhkan pidana yang terlalu ringan bila dibandingkan dengan tuntutan masyarakat agar kejahatan seperti itu dijatuhi pidana berat.
Perbedaan persepsi tentang penafsiran terhadap subyek dan rumusan tindak pidana korupsi temyata telah menimbulkan problem yuridis. Oleh karena itu, sudah sepatutnya dilakukan revisi dan reorientasi kebijakan pemberantasan korupsi dalam konteks pembaharuan hukum pidana. Seberapa jauh hal itu dapat dilakukan adalah titik berat permasalahan dalam disertasi ini. Pembaharuan hukum pidana dalam penanggulangan kompsi harus dilakukan secara komprehensif, yang meliputi legal substance legal structure dan legal culture? sebagai unsur utama sistem hukum sebagaimana di kemukakan Lawrence M. Friedman. Meskipun undang-undang merupakan aspek penting yang akan menentukan bekerjanya sistem peradilan pidana, namun keberadaan undang-undang saja tidak akan menjadi 'sufficient condition" Sekalipun ia merupakan suatu '"necessary condition" akan tetapi adanya 'political will' perilaku aparat penegak hukum, konsistensi penerapan hukum, dan budaya hukum adafah 'determining factors.?
Oleh karena itu, pembentukan UU No. 31 Tahun 1999 sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1971 dapat dijadikan sebagai titik pangkal untuk melakukan pembenahan terhadap sistem hukum. Undang-undang korupsi tidak saja memenuhi karakteristik sebagai undang-undang pidana khusus; melainkan juga sebagai hukum pidana khusus karena korupsi merupakan perbuatan yang bersifat khusus (bijzonderlijk feiten). Tindak pidana korupsi tergolong sebagai "extraordinary crime" sehingga untuk memberantasnya dibutuhkan "extraordinary instrumen".
Dalam hubungan ini, penerapan konsep "materiele wederrechtelijkheid, reversal of the burden of proof? (omkering van de bewijslast), dan pembentukan institusi khusus sebagai 'anti corruption agency? yang independen menjadi penting dan relevan dalam kerangka pembaharuan hukum pidana. Hal yang terakhir ini merupakan solusi untuk mengakhiri konflik antara penegak hukum dalam bidang penyidikan. Namun demikian, pembaharuan hukum yang hanya tertuju pada substansi dan struktur hukum saja tidak akan berhasil tanpa adanya upaya untuk mengubah budaya hukum dalam pemberantasan korupsi. Hanya saja, periu diperhatikan agar instrumen-instmmen khusus itu tidak digunakan secafa sewenang-wenang, sehingga tidak menjadi "monster" yang menakutkan yang merupakan ?dun? dalam hukum pidana, karena dapat melahirkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan.

The growth and rate of corruption in Indonesia have become a phenomena that is very difficult to rebuff with any argument whatsoever. This deviant behavior has not only taken place systematically and institutionally, but also has created problems in the area of criminal justice institution which actually should stand as "the guarofan pillion" Although formal government report has indicated a significant increase of corruption case processes, however, it has not yet similar increase in the judicial decision as expected.
The level of "dark number of com/prions" is estimated to be much larger than the 'officially recorded carruptionsf Therefore, when Indonesia is identified as the most corrupt country in the world, nobody is surprised, it is as if the phenomena is being taken for granted, that does not need further argument. The corruption phenomena is one of the main factors inflicting public distrust against the law and criminal justice system, that resulted in the possible disfunction of the criminal law. This research revealed that eventhough corruption is rampant in Indonesia, only a small number of corruption cases reached the court. Moreover, the lnfliction of punishment, if any, is considered as lenient in comparison with the public clamour for severe punishment for such crimes. Apparently there is a problem of different perception as to the interpretation of 'legal subject? and "legal formulalion?in corruption law.
Based on the above, it is deemed appropriate to have revision and reorientation of eradication policy of cormption within the context of criminal law reform. Thus, how far it can be carried out becomes the focus in this dissertation. Criminal law reform for solving corruption problems shall be conducted comprehensively, to include ?legal substance legal smicture and legal culture" as there are the main elements of legal system, as proposed by Lawrence M. Friedman. Although laws are important aspects to determine the mechanism of criminal justice system, their existence alone will not be sufficient, since the presence of ?poHtical will good behavior of /aw enforcement officers, consistency of /aw implementation, and legal cu/ture are equally slgnihcant.
Nevertheless, the formulation of Law No. 31 of 1999 to replace Law No. 3 of 1971 may serve as a starting point to conduct correction of the legal system. Anti corruption act not only meets the characteristics as special criminal act, but also at the same time functions as special criminal law, because corruption has specific nature (byzonderlijk feiten). Corruption is classified as 'extra ordinary crime' so that to eradicate it needs ?extra ordinary instrument? In this relationship, the application of ?materiele wederrrechtelijkheid" reversal of the burden of proof" (omkering van de bewijslast), and formulation of special institution as ?and corruption agency? which is independent become very important and relevant in the frame of criminal law reform. The latter is a proposed solution for the ecisting institution conflict on investigative authority of corruption.
Last but not least, all refomrs conducted in conjunction with laws and structures would not be succesful, unless the present legal culture is simultaneously improved to combat corruption. However, it is necessary to observe that those special instruments should not be ?tnonsbe/? that becomes ?an obstacle? in criminal law. If such instruments are used arbitrarily, lt may, instead create the issues of legal uncertainty and injustices.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
D1017
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rizal Prajna Fatawi
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis argumentasi pemikiran pergeseran perubahan sistem pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang ke sistem dalam bentuk murni aslinya, dan substansi yang mempengaruhi pemberlakuan sistem pembuktian terbalik dalam bentuk murni aslinya, pada proses pemeriksaan di pengadilan. Permasalahannya ialah apakah yang menjadi faktor pendorong pemerintah agar segera melakukan perubahan sistem pembuktian terbalik ke arah bentuk murni aslinya, dan bagaimana pemikiran mengenai kemungkinan pemberlakuan sistem tersebut.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yang berbasis pada analisis terhadap norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan untuk memandu penelitian digunakan teori beban pembuktian yang ditekankan pada terdakwa dalam hal ini terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan pelaku.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa permasalahan KKN yang melanda bangsa Indonesia sudah sangat serius, dan merupakan kejahatan yang luar biasa dan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu dalam usaha memerangi dan memberantas korupsi di Indonesia, perlu adanya perubahan sistem pembuktian terbalik dari yang bersifat terbatas ke arah sistem murni aslinya. Namun demikian, dalam penerapannya juga harus tetap memperhatikan asas praduga tak bersalah dan hak asasi manusia, serta adanya ramburambu yang ketat untuk mencegah tindakan kesewenangwenangan oleh penguasa terutama aparat penegak hukum.
Hasil penelitian juga mendapati adanya prasyarat bahwa dalam penerapan sistem pembuktian terbalik itu diperlukan pembersihan terlebih dahulu dari atas ke bawah, baik penyelenggara negara maupun aparat penegak hukum. Sementara itu, kemauan dan komitmen politik sangat diperlukan, juga dukungan dan partisipasi masyarakat untuk selalu mendorong dan menjaga momentum pemberantasan korupsi secara terusmenerus, berkelanjutan dan berkesinambungan."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T14554
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.AY. Sri Hartati
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T36405
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
"Penjatuhan pidana dapat dilakukan karena adanya suatu
tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang atau lebih
yang sudah diputus oleh putusan pengadilan yang sudah
berkekuatan hukum tetap. Salah satu dari tindak pidana
tersebut yaitu tindak pidana korupsi yang diatur di dalam
Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana
korupsi merupakan tindak pidana khusus yang mempunyai
dampak yang besar pada keuangan negara. Keuangan negara
dapat dirugikan dengan adanya suatu tindak pidana korupsi.
Dengan begitu tindak pidana korupsi dapat dianggap sebagai
kejahatan yang serius. Untuk itulah maka penghukuman yang
berat dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi.
Salah satu jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku
tindak pidana korupsi yaitu hukuman pembayaran uang
pengganti. Dengan adanya hukuman pembayaran uang pengganti,
maka diharapkan jumlah kerugian negara yang terjadi akibat
adanya suatu tindak pidana korupsi dapat dikembalikan lagi
oleh pelaku tindak pidana korupsi. Dengan begitu, maka
posisi keuangan negara akan kembali lagi ke keadaan semula
seperti sebelum terjadinya tindak pidana korupsi tersebut.
Seperti kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor
1344K/PID/2005, Abdullah Puteh dijatuhkan pidana yang salah
satunya yaitu berupa hukuman pembayaran uang pengganti.
Abdullah Puteh dijatuhkan pidana karena telah dianggap
bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam pembelian
helicopter model MI-2 sehingga merugikan keuangan negara.
Dengan adanya penjatuhan pidana berupa hukuman pembayaran
uang pengganti terhadap Abdullah Puteh, maka kerugian
negara akibat perbuatan Abdullah Puteh tersebut dapat
dikembalikan sepenuhnya. Tata cara eksekusi hukuman
pembayaran uang pengganti pun harus diberi perhatian yang
lebih, sebab dengan adanya proses dan tata cara yang jelas,
maka akan mengurangi kebingungan aparat penegak hukum dalam
melaksanakan eksekusi hukuman pembayaran uang pengganti."
Universitas Indonesia, 2007
S22289
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Restu Agung, [Date of publication not identified]
345.023 UND
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Evan Tonggo Palito
"Peradilan koneksitas merupakan prosedur beracara yang aturan dasarnya tercantum pada Pasal 89 s.d. 94 KUHAP jo. Pasal 198 s.d. 203 UU Peradilan Militer. Berdasarkan aturan dasar tersebut diketahui bahwa dalam mengadili perkara pidana koneksitas haruslah diadili bersama-sama di pengadilan di bawah badan peradilan umum atau badan peradilan militer. Penelitian ini akan membahas mengenai bentuk pelaksanaannya pada masa kini yang mana dalam mengadili perkara pidana koneksitas para penegak hukum memilih untuk memisahkan berkas perkara (Splitsing) yang akibatnya para terdakwa diperiksa dan diadili di pengadilan sesuai yurisdiksi yang berlaku pada masing-masing terdakwa. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif serta dengan melakukan wawancara pada narasumber. Adapun pertanyaan penelitian dalam topik ini ialah bagaimana penyelesaian perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama oleh anggota masyarakat sipil dan anggota militer serta bagaimana kewenangan pengadilan Tipikor dalam mengadili tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh anggota militer. Hasil dari penelitian ini, menyimpulkan bahwa dalam mengadili perkara koneksitas dilakukan secara terpisah (Splitsing) untuk menjamin kesederhanaan, cepat dalam proses persidangan serta menjamin kepastian hukum. Serta menegaskan bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tidak memiliki kewenangan mengadili tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh anggota militer.

Connectivity trial is a procedural procedure whose basic rules are contained in Articles 89 to 94 of the Criminal Procedure Code jo. Articles 198 to 203 of the Military Court Law. Based on these basic rules, it is known that in adjudicating criminal cases, the connection must be tried together in courts under the general judiciary or military courts. This thesis will discuss the current form of implementation which in adjudicating criminal cases of connectivity, law enforcers choose to separate the case files (Splitting) which results in the defendants being examined and tried in courts according to the jurisdiction that applies to each defendant. This study uses a normative juridical method as well as by conducting interviews with informants. The research questions in this topic are how to resolve cases of criminal acts of corruption carried out jointly by members of civil society and members of the military and how the authority of the Corruption Court in adjudicating corruption crimes committed by members of the military. The results of this study conclude that in adjudicating connectivity cases, they are carried out separately (Splitting) to ensure simplicity, speed in the trial process and guarantee legal certainty and emphasize that the Corruption Court does not have the authority to adjudicate corruption crimes committed by members of the military."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>