Ditemukan 149210 dokumen yang sesuai dengan query
Hari Wibowo
"
ABSTRAKTesis ini merupakan hasil penelitian tentang penyiksaan yang terjadi dalam proses penyidikan. Secara khusus tesis ini menitikberatkan pada kajian terhadap penerapan Undang-Undang No 5 tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan. Dalam penelitian bertujuan untuk menjawab masalah-masalah sebagai berikut: (1) Sejauh mana penyidik POLRI selama ini telah memperhatikan hak-hak asasi tersangka dalam proses penyidikan perkara pidana sehubungan berlakunya UU No 5 tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, (2) Sejauh mana UU no 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana telah terdapat asas-asas anti penyiksaan seperti terdapat dalam UU No 5 tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, (3) Sejauh mana negara menjamin perlindungan terhadap hak-hak korban sebagai akibat dari tindak kekerasan oleh penyidik pada proses penyidikan perkara pidana. Hasil penelitian masih dijumpai pelanggaran HAM terhadap tersangka yang terjadi dalam proses penyidikan dengan cara penyiksaan oleh penyidik POLRI, penyidik juga belum mengetahui keberadaan UU No 5 tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan. Dalam KUHAP sendiri belum mengatur akibat hukum terhadap penyiksaan yang terjadi berupa pembatalan penyidikan atau dibebaskannya terdakwa apabila dalam proses pemeriksaan terjadi penyiksaan. Dalam KUHAP telah diatur tentang lembaga Praperadilan yang mengontrol proses penyidikan akan tetapi belum mengatur tentang pemberian ganti rugi terhadap korban penyiksaan. Tanggungjawab negara terhadap pemberian ganti rugi terhadap korban penyiksaan dalam tingkat penyidikan dalam prakteknya masih sulit ditemukan. Sehingga dapat disimpulkan keberadaan UU No 5 tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan akan berlaku efektif apabila telah terdapat pembaruan dalam KUHP sebagai hukum materiil maupun dalam KUHAP sebagai hukum formil sebagai pelaksanaan di tingkat lapangan. Selain itu harus terdapat terobosan hukum dari Hakim untuk menciptakan hukum melalui yurisprudensi untuk mengatasi kekosongan hukum.
(Hari Wibowo, Penyiksaan Dalam Penyidikan sebagai Awal Peradilan yang Sesat (Tinjauan terhadap Penerapan UU No 5 tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan))"
2005
T37747
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Tri Handayani
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S22564
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Agung Yudhawiranatha
Jakarta : Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 2003
323.49 AGU p
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Jakarta: Elsam, 1995
341.48 ARA (1);341.48 ARA (2)
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Gladys Nadya
"Fenomena peradilan sesat adalah ketika seorang terduga pelaku kejahatan mengalami penuntutan, penghukuman, dan penahanan karena kejahatan yang tidak dilakukan merupakan permasalahan hukum dan sosial yang terjadi dalam sistem peradilan pidana, juga menjadi permasalahan sistemik yang dapat merusak integritas dan legitimasi proses peradilan pidana. Sebagai bagian dari objek studi kriminologi, penulisan ini bertujuan ingin melihat bagaimana manifestasi fenomena peradilan sesat dalam sistem peradilan pidana dengan menggunakan deskripsi 2 kasus yang berbeda yaitu kasus YT dan YM serta menguraikan faktor-faktor penyebab peradilan sesat pada 2 kasus tersebut berdasarkan indikator dari Bohm (2005), Naughton (2007), Colvin (2009), serta Poyser dan Milne (2011). Tidak hanya itu, juga menganalisis menggunakan pembahasan peradilan sesat oleh Forst (2004) perihal error of due process dan mengaitkan fenomena tersebut dengan perspective of justice sistem peradilan pidana yaitu due process model. Melalui analisis dengan pendekatan tersebut menggunakan data sekunder putusan pengadilan dan dokumen pendukung kasus YT dan YM, ditemukan bahwa fenomena peradilan sesat pada kasus YT dan YM memiliki kesamaan dalam faktor penyebab terjadinya peradilan sesat pada kasus mereka dan faktor yang sangat berkontribusi besar berasal dari penyelewengan pada penyidikan Kepolisian, yang pada akhirnya memengaruhi proses peradilan pidana selanjutnya. Dan fenomena tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk pelanggaran due process model yang bersifat due process prosedural yang juga mencakup pelanggaran hak asasi manusia pada aspek hak fair trial serta dalam kajian lingkup sosiologi hukum manifestasi dari pengingkaran moralitas praktisi hukum pada pemikiran Durkheim, ketidakrasionalan hukum modern Weber, dan kesadaran hukum yang palsu pada pemikiran Peters.
The phenomenon of Miscarriage of Justice is when a suspected criminal experiences prosecution, punishment, and detention because a crime that was not committed is a legal and social problem that occurs in the criminal justice system, it is also a systemic problem that can damage the integrity and legitimacy of the criminal justice process. As part of the object criminology studies, this paper aims to see how the manifestation of the phenomenon Miscarriage of Justice in the criminal justice system uses descriptions of 2 different cases, namely YT and YM cases, and describes the factors causing Miscarriage of Justice in these 2 cases based on indicators from Bohm (2005), Naughton (2007), Colvin (2009), and Poyser and Milne (2011). It also analyzes using the Miscarriage of Justice discussion by Forst (2004) regarding error of due process and associates this phenomenon with a perspective of justice in the criminal justice system, namely the due process model. Through analysis with this approach, using Court Decision and supporting documents as secondary data, it was found that the phenomenon of Miscarriage of Justice in YT and YM cases has similarities in the factors causing Miscarriage of Justice in their cases and the most contributing factor comes from investigation misconduct by the Police, which ultimately affects the subsequent criminal justice process. And this phenomenon can be said as a form of the due process model violation criminal justice system, which is due process procedural that also includes human rights violations in fair trial rights. In the study of the sociology of law, the manifestation of denial of the morality of legal practitioners in Durkheim’s thought, the irrationality of Weber’s modern law, and the false awareness of law in Peters’ thought."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Adami Chazawi
Jakarta: Sinar Grafika, 2011
345.012 ADA l
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Pax Benedanto
Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 2000
323.4 PAX k
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Dadang Hawari
Jakarta: Balai Penerbit , 2009
362.829 2 DAD p
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Indriyanto Seno Adji
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998
345.05 IND p
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Rikha Diah Sari
"Hingga saat ini peradilan sesat (Rechterlijke Dwaling) masih terjadi di Indonesia. Peradilan sesat ini merupakan akibat dari kelalaian Hakim dalam menjalankan tugasnya. Keberadaan SEMA Nomor 09 Tahun 1976 menimbulkan kesan kebal hukum terhadap Hakim. Perihal pertanggungjawaban hakim beberapa negara telah menerapkan konsep Judicial Liability. Penelitian tesis ini memberikan jawaban terhadap tiga rumusan masalah, bagaimana pengaturan pertanggungjawaban Hakim ditinjau dari prinsip kebebasan Hakim dalam kasus peradilan sesat (Rechterlijke Dwaling) di Indonesia, bagaimana konsep Judicial Liability dalam sistem peradilan pidana di negara Italia dibandingkan dengan pertanggungjawaban hakim dalam kasus peradilan sesat (Rechterlijke Dwaling) di Indonesia, dan bagaimana konsep Judicial Liability apabila diadopsi sebagai konsep pertanggungjawaban Hakim dalam kasus peradilan sesat (Rechterlijke Dwaling) di Indonesia. Melalui penelitian hukum normatif dan dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), serta pendekatan perbandingan (comparative approach) di dapatkan kesimpulan bahwa prinsip kebebasan Hakim harus mampu dipertanggungjawabkan oleh Hakim terutama apabila dalam menjalankan fungsinya hakim mengakibatkan peradilan sesat. Prinsip kebebasan Hakim tidak membuat Hakim boleh berbuat sesuai kehendaknya. Berkaitan dengan hal ini sistem hukum Negara Italia telah menerapkan konsep Judicial Liability sebagai bentuk pertanggungjawaban Hakim dalam hal ganti kerugian atas kerusakan yang diakibatkan kesalahan hakim. Hal demikian diatur di dalam Undang-Undang Republik Italia Nomor 117 tahun 1998 yang diperbarui dengan Undang-Undang Republik Italia Nomor 18 tahun 2015. Berdasarkan persamaan beberapa faktor konsep Judicial Liability dimungkinkan diterapkan di Indonesia sebagai bentuk pertanggungjawaban hakim. Namun dengan catatan RKUHAP terkait pemeriksaan pendahuluan segera disahkan. Demi terciptanya penegakkan hukum, dan keadilan bagi korban peradilan sesat sangat diperlukan adanya pertanggungjawaban hakim. Pencabutan SEMA Nomor 09 Tahun 1976 menjadi hal yang utama setelah disahkannya RKUHAP di Indonesia.
Until now, misscarriage of justice (Rechterlijke Dwaling) is still happening in Indonesia. This misscarriage of justice is the result of the judge's negligence in carrying out his duties. The existence of SEMA Number 09 of 1976 creates the impression of being immune to the law against judges. Regarding the accountability of judges, several countries have applied the concept of Judicial Liability. This thesis research provides answers to three problem formulations, how to regulate the responsibility of judges in terms of the principle of freedom of judges in cases of misscarriage of justice (Rechterlijke Dwaling) in Indonesia, how is the concept of Judicial Liability in the criminal justice system in Italy compared to the responsibility of judges in cases of misscarriage of justice Rechterlijke Dwaling) in Indonesia, and how is the concept of Judicial Liability when it is adopted as the concept of responsibility of judges in cases of misscarriage justice (Rechterlijke Dwaling) in Indonesia. Through normative legal research and by using a statute approach and comparative approach, it is concluded that the principle of freedom of judges must be able to be accounted for by judges, especially if in carrying out their functions the judge results in a misscarriage of justice. The principle of judge freedom does not allow the judge to act according to his will. In this regard, the Italian legal system has implemented the concept of Judicial Liability as a form of Judicial liability in terms of compensation for damages caused by judge mistakes. This is regulated in the Law of the Republic of Italy Number 117 of 1998 which is amended by the Law of the Republic of Italy Number 18 of 2015. Based on the similarity of several factors, the concept of Judicial Liability may be applied in Indonesia as a form of judge's accountability. However, with the note that the RKUHAP related to the preliminary examination was immediately passed. For the sake of law enforcement and justice for victims of misscarriage of justice, it is necessary to hold the accountability of judges. Revocation of SEMA Number 09 of 1976 became the main thing after the enactment of the RKUHAP in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library