Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164764 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Edy Sismarwoto
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Ali Masum
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pembaharuan hukum kewarisan Islam di Indonesia, dan bagaimana wasiat wajibah, sebagai produk ijtihadiah pare ahli hukum kewarisan Islam, menjadi aspek pembaharu dalam hukum kewarisan Islam Indonesia. Penulisan hukum ini bersifat deskriptif dengan berusaha memberikan gambaran mengenai arti pembaharuan, yang dalarn term Islam, setidaknya dikenal dengan tiga istilah, yakni tajdid (pemumian), taghyir (perubahan) dan ishlah (perbaikan). Pembaharuan dalam pengertian tajdid misalnya diungkapkan sebagai pemumian dengan kembali kepada ajaran asli Islam seperti termaktub dalam al-Qur'an dan al-Sunnah. Pembaharuan dalam arti taghyir digambarkan sebagai usaha pencegahan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hukum kehidupan dan hukum Allah dalam diri pribadi, masyarakat dan negara. Sedangkan perubahan dalam arti ishlah merupakan usaha perbaikan yang dilakukan terhadap sektor-sektor yang sudah rusak dalam kehidupan individu, masyarakat dan negara, khususnya dalam bidang hukum. Dalam menakar sejauh mana perubahan yang terjadi di sekitar hukum kewarisan Islam Indonesia, digunakan ciri-ciri pembaharuan hukum Islam yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman dan corak pembaharuan yang diintroduksi oleh Noul J. Coulson. Matra lain yang menjadi fokus pembahasan dan penulisan ini adalah wasiat wajibah. Sebagai aspek pembaharuan yang fenomenal, wasiat wajibah memperkaya khazanah pemikiran di bidang hukum kewarisan. Konsep ini muncul sebagai kelanjutan diskursus dan perdebatan pars ahli hukum kewarisan Islam sekitar ayat menyangkut wasiat dan ayat mengenai mirats. Dalam hukum kewarisan Islam Indonesia, wasiat wajibah yang diputuskan oleh Mahkamah Agung merupakan 'tanda' dari pembaharuan hukum kewarisan Islam yang memasuki tahap ketiga setelah plaatsvervulling (ahli warts pengganti) yang diintroduksi oleh Hazairin, guru besar hukum Adat yang ahli di bidang hukum Islam dari Universitas Indonesia. Kemudian wasiat wajibah bagi anak angkat dan orang tua angkat sebagaimana diakomodasi oleh Kompilasi Hukum Islam. Putusan Mahkakah Agung Nomor 368 K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 dan Nomor 51 K/AG/1999 tanggal 29 September 1999, yang memberikan hak wasiat wajibah bagi ahli waris non muslim yang diangkat dalam penulisan ini, menempatkan Mahkamah Agung tidak saja sebagai judge made law, melainkan juga memposisikan Hakim Agung yang memutuskan kedua perkara tersebut sebagai 'pembaharu' terhadap hukum kewarisan Islam Indonesia. Selain para. praktisi hukum kewarisan Islam di Peradilan Agama berpandangan bahwa hal demikian tidak lazim, di negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim pun seperti Mesir, Tunisia, Maroko, Pakistan wasiat wajibah tidak diterapkan pada kasus ahli waris non muslim. Dalam penulisan ini dianalisis pula putusan Pengadilan Agama Jakarta dan putusan Pengadilan Yogyakarta yang memutuskan tidak memberi hak wasiat wajibah bagi ahli waris non mlislim. Jika putusan Pengadilan Agama Jakarta mendasarkan pertimbangan hukumnya pads Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam, putusan Pengadilan Agama Yogyakarta thefidasarkan pertimbangannya selain pada Pasal 171 huruf c juga pada Hadits Nabi SAW yang tertulis dalam kitab Kifayat al Akhyar Juz II halaman 18."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T19134
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Legal plurarisme has shaped the different inheritance regimes in Indonesia. Islamic Inheritance Law in particular is founded on the priciple of Ijbari, or fullcompliance and conformity with God's laws as set forth in the Qur'an. In terms of extended family relations, as the Qur'an does not have specific rules in this regard, there are legal opportunities for flexibility in implementation, allowing the mujtahid to do ijtihad according to the unique situations and conditions of their people. Thos paper discusses the dynamic and development of Islamic inheritance Laws in Indonesia using legal historical analysis and attempts to draw interconnections between different idea and understanding of the people to show the dynamics of Islamic inheritance laws in the differenct regions. Preliminaru conclusions indicate that legal pluralisme can be applied in the field of Islamic inheritance laws that have the basic characteristics of the 'ijbari' but open to ijtihad in the territories which have a propensity to apply atrictly the provisions in the Qur'an."
LRUPH 13:1 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Elvi Rosini
"Hukum kewarisan merupakan himpunan aturan-aturan hukum yang mengatur peralihan hak dan kewajiban dari seseorang yang meninggal dunia atau pewaris kepada orang yang masih hidup atau ahli waris. Hukum kewarisan yang berlaku di Indonesia adalah pluralistis, karena belum adanya Undang-Undang Kewarisan Nasional, sehingga masih berlakunya aturan-aturan hukurn Barat, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan hukum Islam, yaitu hukum kewarisan Islam patrilinial (syafi'i), serta hukum Adat, yang sudah berkurang para pendukungnya. Dalam hukum kewarisan Islam ada ijtihad dari Hazairin, yaitu hukum kewarisan Islam bilateral (Hazairin). Penulis mengadakan perbandingan hanya diantara hukum kewarisan Islam patrilinial (Syafi'i), hukum kewarisan bilateral (Hazairin) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pandangan hidup dan sistem menarik garis keturunan yang berbeda, menyebabkan ketiga sistem hukum tersebut berbeda dalam pengaturan mengenai kewarisan. Masalah kedudukan dan perolehan warisan untuk saudara menurut hukum kewarisan Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menarik untuk dibahas, karena kalaulah sebagai syarat saudara tampil mewaris berbeda dalam hukum kewarisan Islam patrilinial dan hukum kewarisan Islam bilateral. Kalaulah suatu keadaan khusus dan memperlihatkan hubungan anak dengan saudara dimana saudara tampil mewaris, jika tidak ada anak walad. Pengertian walad ini berbeda antara hukum kewarisan patrilinial dan hukum kewarisan Islam bilateral. Dalam Undang-Undang Hukum Perdata saudara ditempatkan sebagai golongan kedua bersama-sama dengan orang tua berbagi sama rata, dengan perolehan orang tua tidak boleh kurang dari seperempat bagian. Dari perbandingan itu, akan didapat persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan yang ada diantara ketiga sistem hukum tersebut. Untuk itu perlu diadakan pendekatan-pendekatan dari persamaan dan perbedaan yang ada, agar dapat dipertemukan bagi pembentukan hukum kewarisan nasional. Perbedaan yang ada bukan untuk dipertentangkan tapi didekatkan, agar semua pihak bisa menerima prinsip yang sama dan prinsip itu dapat menjadi ketentuan dalam Hukum Kewarisan Nasional."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Handayani
"Peristiwa meninggalnya seseorang menimbulkan akibat hukum berupa beralihnya seluruh hak dan kewajiban orang yang meninggal (pewaris) kepada ahli waris yang berhak. Masalah kewarisan ini memerlukan suatu pengaturan untuk menyelesaikannya yaitu dengan hukum kewarisan. Di Indonesia terdapat tiga macam hukum kewarisan yang berlaku yaitu hukum kewarisan adat, hukum kewarisan Islam dan hukum kewarisan Barat. Dalam hukum kewabisan Islam sendiri terdapat bermacam-macam ajaran tentang hukum kewarisan Islam yaitu ajaran patrilineal/ahlu's sunnah wal jamaah yang dianut oleh mazhab Imam Syafi'i, Hanafi, Maliki, Hambali (yang banyak dianut di Indonesia adalah mazhab Syafi 'i) ajaran kewarisan Bilateral Yang dianut Hazairin dan ajaran kewarisan yang berasal dari Kompilasi Hukum Islam. Penulisan ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan yang lebih mendalam tentang kedudukan saudara dan perolehannya menurut hukum kewarisan Islam (menurut sistem kewarisan bilateral, sistem kewarisan patrilineal dan menurut Kompilasi Hukum Islam). Selain itu juga bertujuan untuk membandingkan penyelesaian kasus kewarisan menurut Pengadilan Agama Jakarta Pusat, ajaran kewarisan bilateral (Hazairin), ajaran kewarisan patrilineal (Syafi'i), dan menurut Kompilasi Hukum Islam."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
S20720
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Lauza Putri
"Dalam menetapkan ahli waris, hakim harus menerapkan prinsip keadilan dan kehati-hatian untuk melindungi hak ahli waris dan pihak ketiga dari pelanggaran hak mewaris mereka. Penelitian ini menganalisis kedudukan anak dan keturunan dari bibi melalui pihak ayah sebagai ahli waris dalam Hukum Kewarisan Islam dan perbedaan pertimbangan hakim mengenai hak mewaris anak dan keturunan dari bibi melalui pihak ayah. Penelitian ini menggunakan metode doktrinal dalam tesis yang berbentuk eksplanatoris. Permasalahan hukum tersebut diawali dengan seorang pewaris yang menuliskan wasiat kepada Masjid N. Kemudian, pewaris meninggal dunia dengan meninggalkan 1 (satu) orang anak perempuan dari bibi melalui pihak ayah serta 5 (lima) keturunan dari anak lelaki dari bibi melalui pihak ayah. Menurut Bilateral Hazairin, ahli waris merupakan mawali. Sedangkan menurut Patrilineal Syafi’i, mereka merupakan zul-arham. Kemudian, menurut KHI, mereka merupakan ahli waris pengganti kelompok derajat keempat. Pertimbangan hakim mengenai hak mewaris ahli waris dalam Penetapan PA Bantaeng No. 27/PDT.P/2020/PA.Batg sudah benar, namun kurang tepat karena hakim tidak menambahkan Pasal 185 KHI dalam pertimbangannya. Lalu, dalam Putusan Nomor 82/Pdt.G/2021/PTA.Mks yang dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Agung No. 34 K/AG/2022, hakim telah salah dalam menerapkan hukum dalam pertimbangan atas keabsahan wasiat pewaris. Jika hakim menggunakan Patrilineal Syafi’i, maka ahli waris adalah zul-arham. Namun, jika hakim berpedoman pada KHI, maka mereka adalah ahli waris pengganti kelompok derajat keempat. Dengan demikian, wasiat seharusnya berlaku 1/3 (satu per tiga) dari harta peninggalan pewaris. Akan tetapi, SEMA No. 3 Tahun 2015 membatasi ahli waris pengganti sampai derajat cucu. Hakim dapat menggunakan ajaran Bilateral Hazairin yang sejalan dengan asas bilateral KHI. Pemerintah perlu melakukan revisi terhadap KHI dengan menjelaskan bagian dari ahli waris pengganti. Selain itu, peraturan internal Mahkamah Agung juga hendaknya mengacu pada Hukum Kewarisan Islam yang berlaku. Hakim hendaknya juga berpedoman pada KHI dalam menyelesaikan perkara kewarisan untuk menghindari perbedaan hasil ijtihad dan memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang berperkara. Terakhir, Pemerintah, Mahkamah Agung, ulama, dan/atau institusi pendidikan Islam hendaknya berkolaborasi untuk memberikan sosialisasi mengenai Hukum Kewarisan Islam kepada masyarakat.

In determining heirs, judges must apply the principles of justice and caution to protect the rights of heirs and third parties from violations of their inheritance rights. This research analyzes the position of children and descendants of aunts through the paternal line as heirs in Islamic Inheritance Law and the different considerations of judges regarding the inheritance rights of children and descendants of aunts through the paternal line. This research uses a doctrinal method in a thesis in the form of explanatory. The legal problem begins with a woman who wrote a will to a mosque. Then, the woman died leaving 1 (one) daughter from an aunt through the paternal line and 5 (five) descendants from the son of an aunt through the paternal line. According to Bilateral Hazairin, the heirs are mawali. Whereas according to Patrilineal Syafi'i, they are zul-arham. Then, according to KHI, they are substitute heirs of the fourth degree group. The judge's consideration regarding the inheritance rights of the heirs in Decision. 27/PDT.P/2020/PA.Batg was correct, but not entirely accurate because the judge did not add Article 185 of the KHI to his considerations. Then, in Decision 82/Pdt.G/2021/PTA.Mks which was ratified by Supreme Court Decision 34 K/AG/2022, the judge made a mistake in applying the law in considering the validity of the testator's will. If the judge uses Patrilineal Syafi'i, then the heirs are zul-arham. However, if they base themselves on the KHI they are substitute heirs of the fourth degree group. Thus, the will should apply to 1/3 (one third) of the inheritance of the testator. However, SEMA 3 of 2015 limits substitute heirs to the degree of grandchildren. The judge can use the principles of Bilateral Hazairin which are in line with the bilateral principles of the KHI. Thus, the government needs to revise the KHI to explain the portion of substitute heirs. In addition, the internal regulations of the Supreme Court should also refer to the applicable Islamic Inheritance Law. Judges should also be guided by the KHI in resolving inheritance cases to avoid differences in ijtihad and provide legal certainty for the parties involved. Finally, the Government, Supreme Court, theologian, and/or Islamic educational institutions should collaborate to provide socialization regarding Islamic Inheritance Law to the community."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuryanti Widyastuti
Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rahma Fitri
"Kematian merupakan hal yang pasti dialami oleh setiap manusia, dan akibat hukumnya tidak dapat dihindari. Salah satu akibat hukum dari kematian yaitu terdapatnya peralihan harta peninggalan dari pihak yang mati kepada pihak yang masih hidup, yang termasuk ke dalam hukum kewarisan. Persoalan yang muncul dalam hukum kewarisan salah satunya terjadi pada kasus perkara waris dalam Penetapan Waris No.24/Pdt.P/2009/PA.JP yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama Jakarta Pusat pada 18 Juni 2009. Dalam kasus ini terjadi kewarisan di mana pewaris meninggal dunia tanpa adanya keturunan atau meninggal dalam keadaan kalalah. Kasus tersebut kemudian berkembang karena terdapat gugatan dan berakhir dalam akta perdamaian Putusan No.750/Pdt.G/2009/PA.JP. Permasalahan yang dikaji dalam tulisan ini adalah bagaimana pengaturan mengenai pembagian waris dalam hal pewaris meninggal kalalah menurut ketentuan Kompilasi Hukum Islam, bagaimana pengaturan waris yang terdapat dalam Penetapan Waris No.24/Pdt.P/2009/PA.JP dan Putusan No.750/Pdt.G/2009/PA.JP dan bagaimana analisisnya berdasarkan Kompilasi Hukum Islam. Penelusuran data dilakukan dengan menggunakan data kepustakaan melalui studi dokumen pada instansi terkait, yaitu Pengadilan Agama. Temuan data dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Saudara pewaris dapat ikut mewaris apabila pewaris meninggal dalam keadaan kalalah, kesepakatan para pihak dalam suatu akta perdamaian berkaitan dengan pembagian kewarisan dibolehkan dalam Kompilasi Hukum Islam.

Death is inevitable by every human being, and the legal consequences can not be avoided. One of the legal consequences of the death include the inheritance law. Issues that arise in the inheritance law cases occur in cases determination of Inheritance No.24/Pdt.P/2009/PA.JP set by the Jakarta Pusat Religious Court on June 18, 2009. In cases where this occurs, inheritance heir died without offspring or die in a state of kalalah. The case is then developed with a lawsuit and ends in Verdict No.750/Pdt.G/2009/PA.JP. Problems studied in this thesis include how is inheritance in accordance with the provisions testator died kalalah based on Compilation of Islamic Law, how the arrangements contained in the Stipulation determination of Inheritance No.24/Pdt.P/2009/PA.JP and Verdict No.750/Pdt.G/2009/PA.JP and how the analysis is based on Islamic Law Compilation. Data retrieval is done by using the data in the literature through the study of documents related institutions, the religious court. Findings Data were analyzed using qualitative methods. Siblings can participate in case where heir died of kalalah, the agreement of the parties to a deed of peace deals with the division of inheritance is allowed in the Compilation of Islamic Law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S47412
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azhar
"Di dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama angka ke 2 alinea kelima ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan bidang hukum kewarisan yang menjadi kewenangan peradilan agama yaitu mengadili perkara bagi mereka yang beragama Islam meliputi penentuan bagian masing-masing ahli waris. Dengan demikian penjelasan tersebut memberi penegasan tentang berlakunya hukum waris Islam yang berdasarkan pasal 49 UU Nomor 7 tahun 1989 merupakan kompetensi absolut Peradilan Agama. Ketentuan di atas ternyata dianulir oleh Penjelasan Umum angka 2 alinea ke 6 UU tersebut melalui pemberian hak opsi atau hak untuk memilih sistem hukum kewarisan selain dari hukum Kewarisan Islam. Pemberian hak opsi tersebut memberi peluang kepada umat Islam untuk tidak mentaati agamanya dan Pancasila. Di samping itu juga pemberian hak opsi dalam perkara warisan dalam praktek akan menimbulkan sengketa. Dalam penulisan ini menjadi permasalahan adalah apakah ahli waris dibenarkan untuk memilih sistem hukum selain hukum Kewarisan Islam dan bagaimana timbulnya sengketa diantara para ahli waris yang memilih sistem hukUm yang berbeda?. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptis analistis dengan pendekatan normatif teoritis dan yuridis empiris. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian hak opsi menurut hukum kewarisan Islam tidak dapat dibenarkan, karena hukum kewarisan Islam bersifat memaksa {dwingenrecht). Menurut yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia harta peninggalan seseorang diselesaikan menurut hukum yang berlaku bagi Pewaris. Kalau pewaris beragama Islam, maka hukum kewarisan Islam yang harus diterapkan. Disarankan kepada Ulama dan para ahli hukum Islam secara berkesinambungan- Kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat disarankan untuk mengamendemen Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 khususnya mengenai hak opsi untuk dihapuskan."
2003
T37054
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>