Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 108193 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Chrispinus Boro Tokan
"ABSTRAK
Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 1 Tahun
1951, maka timbul anggapan seolah-olah hukum adat< idelik tidak
mempunyai tempat lagi dalam dinamika hukum pidana positif
di Indonesia. Namun kalau diteliti pasal 5 ayat (b)
UU tersebut, maka sebenarnya hanya dihapus hukum formil
(beracara) adat. Dalam arti hukum adat delik materiil masih
tetap berlaku.
Asas legalitas yang dianut dalam hukum pidana positif
di Indonesia, secara serta merta menumbuhkan sikap
apriori para penegak hukum, bahwa dengan demikian hukum
delik adat tidak diterapkan lagi. Tentunya hal ini bertentangan
dengan dinamika beberapa peraturan perundang-undang
an yang menunjukkan esensi dan eksistensi hukum delik adat
di Indonesia.
Esensi dan eksistensi hukum delik adat di Indonesia,
paling tidak mematahkan kekakuan dinamika hukum pidana positif
yang menganut asas legalitas. Walaupun dalam imple -
mentasinya, hukum pidana positif di Indonesia masih menampakkan
kekakuannya.
Menggembirakan bahwa dalam kandungan konsep Kitab Undang-
undang Hukum Pidana Nasional 1982/1983 tetap memberikan
peluang keberadaan hukum delik adat di Indonesia ,
seperti dalam pasal 1 ayat (4), pasal 57 ayat (3) butir 5.
Dalam menyonsong peluang keberadaan hukum delik adat
yang tetap dijamin dalam era implementasi hukum pidana nasional
di masa mendatang, maka pada tempatnya dikemukakan
pertanyaan : apakah setiap reaksi masyarakat terhadap delik
adat dapat dijadikan pelengkap dalam penghukuman?
Tentunya tidak secara serta-merta setiap reaksi masyarakat
terhadap delik adat diterima untuk melengkapisuatu
penghukuman. Melainkan harus melalui filter penyaring,
yakni Pancasila dan UUD 1945. Selain itu dalam batang tubuh
konsep KUHP nasional masih dapat diangkat Tujuan Pemidanaan
(pasal 43) sebagai alat ukur untuk mempertanyakan
apakah reaksi masyarakat terhadap delik adat dapat
dijadikan pelengkap penghukuman.
Dengan demikian tidak semua reaksi adat dapat diterima
sebagai pelengkap penghukuman, namun harus dikaji dan
disaring terlebih dahulu. Di sini dituntut kepekaan para
penegak hukum dalam menjiwai hukum delik adat suatu masyarakat.
oleh karena itu tidak terelakkan tuntutan akan
suatu pengetahuan hukum adat yang memadai serta penjiwaan
yang mendalam dari para penegak hukum mengenai hukum adat,
tidaklah dapat ditawar-tawar di era implementasi KUHP nasional
kelak. Dalam konteks di atas, maka penegak hukum jangan hanya
jadi corong atau mulut undang-undang belaka. Sebab kalau
penegak hukum memposisikan diri hanya sebagai trompet
dari UU, maka akibat hasil kerjanya tidak luput dari kekecewaan
pencari keadilan. Pencari keadilan merasakan bahwa
keadilan yang sedang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat,
tidak mendapatkan sahutan dari para penegak hukum
dalam setiap tahapan proses kerjanya.
Proses kerja para penegak hukum ini, berangkat dari
suatu sistem kerja yang dikenal dengan Sistem Peradilan
Pidana (SPP); SPP memperkenalkan dua model kerja, yakni
'crime control model' dan 1due process model' ( CCM dan
DPM) .
CCM, antara lain menghindari adanya 'second opinion'
(pendapat kedua), sehingga penegak hukum yang memposisikan
diri sebagai mulut undang-undang belaka, secara apriori
menutup diri terhadap dinamika hukum sosiologis yang
tidak atau secara kabur-kabur diatur dalam perundang - undangan.
Sedangkan DPM antar lain mengandalkan chek and
re-chek, sehingga menjadi suatu keharusan hadirnya 'second
opinion'. Hadirnya second opinion memberikan peluang pemerhatian
akan rasa keadilan yang sedang tumbuh dan berkembang
dalam nurani masyarakat. Dalam arti peluang hukum
delik adat sebagai hukum tidak tertulis tetap ada dalam
proses kerja SPP yang menggunakan model DPM.
Dalam konsep KUHP nasional mengenai ‘penghukuman'dikenal
'double track system' (sistem dua jalur); yaitu 'straf'
(pidana) dan 'maatregel' (tindakan).
Benang merah yang membedakan straf dan maatregel, ada
lah pada orientasi penghukumannya. Straf bermaksud menderitakan
setiap pelaku kejahatan karena berangkat dari
1backwardlooking', yakni hanya melihat perbuatan pelaku
itu saja (berorientasi ke belakang), sehingga pelaku kejahatan
dihukum setimpal dengan besarnya kesalahan. Sedangkan
maatregel tidak bermaksud menderitakan pelaku melainkan
mendidik (edukatif), yakni bertolak dari 'forwardlooking',
yang mempertimbangkan manfaat dan kegunaan sanksi
itu bagi masa depan setiap pelaku kejahatan.
Menjadi pertanyaan sekarang, reaksi adat dimasukkan
ke dalam straf atau maatregel? Hemat penulis reaksi adat
digolongkan ke dalam maatregel, karena reaksi adat itu sebenarnya
tidak bermaksud menderitakan pelaku tetapi merupakan
suatu upaya pemulihan kembali hubungan masing - masing
pihak, pengharmonisan kembali suasana masyarakat yang
tegang (kacau) karena adanya pelanggaran adat.
Dengan demikian reaksi masyarakat itu dapat dijadikan
pelengkap dalam penghukuman, apabila reaksi masyarakat adat itu bersikap mendidik, bukan menderitakan. Dengan
perkataan lain reaksi masyarakat adat itu harus merupakan
konkritisasi sahutan pl.aham 'utilitarian model',
yang menekankan adanya kegunaan yang maksimal dari penghukuman
bagi masa depan si pelanggar. Oleh karena itu
reaksi masyarakat adat yang bermaksud menderitakan, menyalahi
norma sosial, bersifat pemborosan, tidak diandalkan
sebagai suatu bentuk penghukuman.***"
1990
T36489
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Ketut Ariawan
"Bali sebagai daerah yang hukum adatnya masih berpengaruh dengan kuat dan diterima oleh alam hukum daerah tersebut, yang kesemuanya berpangkal pada hidup budaya dan banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur religius. Oleh karena itu, hukum adat di Bali hidup secara berdampingan dan saling mengisi dengan agama (Hindu). Diterimanya unsur-unsur agama ke dalam hukum delik adat, secara konkrit terlihat dart tata cara penjatuhan sanksi adat yang lebih banyak dikaitkan dengan ritual-ritual keagamaan. Dengan demikian, maka berfungsinya hukum delik adat tidak terlepas dari unsur-unsur religius, dalam arti, sesuai dengan pandangan hidup berdasarkan ajaran-ajaran agama Hindu, di samping juga faktor lain seperti kesadaran anggota masyarakat untuk mewujudkan kehidupan yang aman dan tertib. Dapat diidentifikasi beberapa delik hukum adat, yang apabila diklasifikasikan termasuk dalam delik terhadap: harta benda; kepentingan orang banyak; kepentingan pribadi seseorang; kesusilaan; dan pelanggaran lain yang sifatnya ringan. Dalam praktek peradilan di Bali, untuk kasus-kasus delik hukum adat, putusan hakim didasarkan Pasal 5 ayat (3) sub. b UU No. 1 Drt Tahun 1951 yang dihubungkan dengan kewajiban hakim sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970.
Ditemukan putusan yang bervariasi dalam penanganan kasus-kasus delik hukum adat, bahkan ditemukan pula putusan hakim yang menjatuhkan pidana pokok dan pidana tambahan di luar ketentuan Pasal 10 KUHP. Eksistensi delik hukum adat dalam hukum pidana positif di Indonesia, paling tidak mematahkan kekakuan asas legalitas dalam dinamika hukum pidana positif, walaupun dalam implementasinya hukum pidana positif di Indonesia masih menampakkan kekakuannya. Dalam era implementasi hukum pidana mendatang, delik hukum adat masih diberikan peluang keberadaannya. Peluang keberadaan delik hukum adat tercermin dalam konsep KUHP yang dituangkan dalam Pasal 1 ayat (4) dan Pasal 64 ayat (4) sub. 5. Langkah tepat para perancang konsep KUHP untuk tetap mengakui keberadaan delik hukum adat dalam implementasi hukum pidana mendatang telah menunjukkan adanya pergeseran pandangan terhadap hukum yang yuridis dogmatis menuju pada pandangan yang sosiologis. Urgensi memasukkan delik hukum adat tentu berkait pula dengan usaha mengangkat nilai-nilai sosial dan budaya sebagai khasanah potensial dalam pembangunan hukum. Semua ini tentu dalam konteks, bahwa faktor-faktor yang ada di luar hukum, ikut pula menentukan efektif atau tidaknya hukum."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuryanti Widyastuti
Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdurrahman
Bandung: Alumni, 1978
340.57 ABD k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Pandjaitan, Dinar L.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1985
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"[Skripsi menjelaskan bagaimana pengaturan tentang wilayah adat yang meliputi tanah ulayat dan hutan adat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur hak dan kewajiban Masyarakat Hukum Adat terhadap wilayah tersebut sebagai subjek hukum negara secara limitatif dan diskriminatif. Penjelasan tersebut disusun secara kronologis, dimana diurutkan dari peraturan perundang-undangan masa kolonial hingga peraturan terkini yang saat ini berlaku. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku tidak memberikan perlindungan dan pengakuan yang memadai bagi terselenggaranya hak konstitusional Masyarakat Hukum Adat bahkan cenderung mencederai hak-hak konstitusional tersebut., This thesis does explanations concerning to Indonesian legislation that specifically ruled about adat territories including their collective rights over customary land and forest. Conceive legal status, duties, and rights of Masyarakat Hukum Adat in various relevant legislations. This research concluded that Indonesian legislation gave the collective rights of Masyarakat Hukum Adat to their adat territories but ruled it by conditional recognitions. Consequently, this conditional recognition has abandoned Masyarakat Hukum Adat’s constitutional right and bring them to suffering.]"
Universitas Indonesia, 2014
S58169
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iman Sudiyat
Jakarta: Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, 1974
340.57 IMA p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
R. Otje Salman Soemadiningrat
Bandung: Alummi, 2002
340.57 OTJ r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>