Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 79686 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hibnu Nugroho
"ABSTRAK
Indonesia sebagai negara yang sedang giat membangun
membutuhkan biaya yang sangat besar, tetapi di sisi lain terjadi
kebocoran dana yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi. Tindak
pidana korupsi menimbulkan kerugian yang sangat besar sehingga sejak
lama Pemerintah berupaya memeranginya. Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971 merupakan salah satu upaya Pemerintah untuk mencegah
terjadinya korupsi yang makin merajalela. Undang-undang itu memberikan
ancaman yang berat bagi si pelaku.
Di samping pidana pokok dan denda yang berat, undang-undang
itu juga mengancam pelaku dengan pidana tambahan berupa
pembayaran uang pengganti yang diatur pasal 34 sub c. Dari hal-hal
tersebut di atas, pengkajian permasalahan yang timbul karenanya
menjadi penting yaitu sebagai berikut.
Pertama, dalam hal bagaimanakah pelaku tindak pidana korupsi
dijatuhi pidana tambahan yang berupa pembayaran uang pengganti.
Kedua, bagaimanakah fungsi dan kedudukan pidana
tambahan yang berupa pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi. Ketiga, faktor-faktor apakah yang menyebabkan pidana
pembayaran uang pengganti ini tidak dapat dilaksanakan.
Keempat, bagaimanakah prospek penerapan pidana pembayaran
uang pengganti dalam tindak pidana korupsi.
Dari penelitian yang dilakukan, terhadap permasalahan tersebut di
atas ternyata diketemukan fakta-fakta sebagai berikut.
a. Pidana tambahan yang berupa pembayaran uang pengganti dijatuhkan
hakim pada terdakwa yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi,
besarnya uang pengganti ditentukan berdasarkan kerugian negara
yang timbul oleh karenanya. Namun, apabila selama proses
penyidikan, penuntutan dan peradilan terdakwa berhasil mengembalikannya,
hakim tidak akan menjatuhkannya. Selama tahun 1988 s.d.
1996 di Pengadilan Negeri Purwokerto hanya delapan perkara yang
dijatuhi pidana ini.
b. Pidana tambahan pembayaran uang pengganti berfungsi melindungi
dan menyelamatkan dana pembangunan nasional dari kebocoran
akibat tindak pidana korupsi. Adapun kedudukannya adalah
sebagai pidana tambahan yang bersifat fakultatif, sehingga hakim
bebas memilih untuk menjatuhkan atau tidak. c. Faktor-faktor penyebab tidak dapat dilaksanakan pidana ini adalah
adanya keragu-raguan penegak hukum untuk menerapkan dalam
kasus yang dihadapi karena kesulitan eksekusinya; belum adanya
ketentuan pelaksanaan setingkat undang-undang; adanya birokrasi
yang bertele-tele untuk dapat langsung menjerat pelaku.
d. Pembayaran uang pengganti mempunyai prospek yang sangat baik,
tetapi permasalahan essensiil yang menghadang harus dipecahkan
terlebih dahulu.
Sehifigga disarankan agar secara yuridis pembuat undang-undang
mengubah ketentuan yang ada dalam penjelasan Pasal 34 sub C undangundang
Nomor 3 Tahun 1971 serta adanya.
Upaya pemerintah untuk meningkatkan sumber daya manusia khususnya
bagi para jaksa (eksekutor) agar dapat mengantisipasi sedini mungkin
teijadinya pengalihan aset-aset pelaku tindak pidana korupsi sebelum
dilakukan penyitaan oleh negara."
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tjandra Sridjaja Pradjonggo
Surabaya: Indonesia Lawyer Club, 2010
364.132 3 TJA s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Muhammad Cakra Alam Pratama Razzad
"ABSTRAK
Meluasnya praktik korupsi telah mengakibatkan kerugian yang sangat besar
terhadap pembangunan dan perekonomian suatu negara. Sedemikian besarnya
uang Negara yang dinikmati oleh pelaku tindak pidana korupsi telah
mengakibatkan dirampasnya hak-hak ekonomi dan masa depan rakyat Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 bertujuan untuk
menghukum pelaku dengan hukuman penjara yang berat dan mengembalikan
kerugian negara yang terjadi akibat tindak pidana korupsi. Pasal 18 undangundang pemberantasan tindak pidana korupsi mengatur pengembalian kerugian negara melalui penjatuhan sanksi pidana tambahan uang pengganti. Banyak terpidana tidak membayar uang pengganti sehingga menjadi piutang Kejaksaan Agung sebesar Rp13,146 triliun. Tulisan dengan judul ?Mengoptimalkan Pengembalian Kerugian Negara melalui Penjatuhan Sanksi Pidana Tambahan Uang Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi? menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif. Tulisan tersebut menjelaskan penegak hukum mempunyai andil dalam mengoptimalkan pengembalian kerugian negara. Mekanisme pidana tambahan dilakukan dengan membayar uang pengganti dalam waktu 1 (satu) bulan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap ke kas
negara, jika terpidana tidak membayar maka harta bendanya dapat disita oleh
jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Apabila harta
bendanya tidak mencukupi, maka dijatuhi pidana penjara yang telah dinyatakan
dalam putusan pengadilan. Penerapan pidana tambahan uang pengganti masih
memiliki banyak kendala. Dalam praktik, terpidana lebih memilih pidana penjara
pengganti yang rendah dibandingkan besarnya uang pengganti yang dijatuhkan, maka untuk mengoptimalkan pengembalian kerugian negara penegak hukum dapat memperberat pidana penjara pengganti atau dengan hanya menjatuhkan uang pengganti tanpa pidana kurungan pengganti sebagai cara untuk memaksa terdakwa mengembalikan uang negara

ABSTRACT
Widespread corruption has resulted in huge losses to the development and
economy of a country. The amount of money the State enjoyed by perpetrators of corruption have resulted take away from economic rights and the future of the people of Indonesia. Law No. 31 of 1999 which was then revised and amended by Law No. 20 of 2001 aims to punish with heavy prison and restore the losses that occur as a result of corruption. Article 18 legislation combating corruption arrange the return loss to the state through the imposition of criminal sanctions additional money substitutes. Many of the convict to pay compensation becomes receivable Attorney General of Rp13,146 trillion. Article entitled "Optimizing Returns Losses State through the imposition of criminal sanctions Extra Money Substitutes in Corruption" normative juridical research methods are qualitative. The article explained the law enforcers have a contribution to optimizing return on state losses. Additional criminal mechanism is done by paying replacement within one (1) month after the verdict had permanent legal power to the state treasury, if the convicted person does not pay, his property may be seized by the prosecutor and auctioned to cover the compensation. If possessions are not sufficient, then
sentenced to prison in the court judgment. Application of additional criminal
restitution money still has many obstacles. In practice, the convict would prefer
imprisonment substitute lower than the amount of compensation is imposed, it is to optimize the return loss of state law enforcement can aggravate imprisonment for a replacement or by simply dropping money substitutes without imprisonment for a replacement as a way to force the defendants reimburse the state"
2016
T47090
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
K. Wantjik Saleh
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977
345.023 23 WAN t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Hartanti
Jakarta: Sinar Grafika, 2007
345.023 EVI t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Syskia Dannia
"Dalam kasus tindak pidana korupsi yang diajukan ke pengadilan, dakwaannya kerapkali menyangkut penyertaan (deelneming) khususnya mengenai turut serta melakukan (medeplegen). Adanya perbedaan pendapat tentang konsep pengertian dan makna ajaran turut serta melakukan (medeplegen) yang tidak dijelaskan pengertiannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, telah menimbulkan perbedaan penafsiran oleh pakar, jaksa, hakim dan advokat dalam penerapannya, sehingga mengakibatkan putusan hakim berbeda-beda dalam kasus yang sama.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memperoleh gambaran tentang persyaratan yang harus dipenuhi untuk adanya turut serta melakukan (medepl.egen) dalam suatu tindak pidana serta tentang dapat tidaknya seseorang yang tidak memiliki kedudukan atau kualitas tertentu sebagai pelaku peserta.Dalam beberapa kasus terlihat bahwa Majelis hakim memutuskan tidak sesuai dengan konsep dan pengertian ajaran turut serta (niedeplegen) karena bagaimana mungkin seorang pelaku peserta terbukti melakukan perbuatan turut serta melakukan perbuatan korupsi dengan orang yang telah dilepas dari segala tuntutan hukum. Oleh karena itu nyatalah di sini bahwa semua pelaku peserta melakukan (medeplegers) harus diadili sekaligus agar tidak terjadi putusan yang saling bertentangan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16598
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Efi Laila Kholis
Depok: Solusi, 2010
345.023 EFI p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
R. Wiyono
Bandung: Alumni, 1983
345.023 WIY t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>