Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2407 dokumen yang sesuai dengan query
cover
I Wayan Dibia
Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1999
793.31 IWA s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Suparta
"ABSTRAK
Masyarakat Bali sebagaimana masyarakat dunia pada umumnya, adalah sebuah masyarakat yang dilatarbelakangi oleh budaya paternalistik, yang disebut "pancar-purusa" atau "purusa-istik". Tapi, ternyata kedudukan wanita Bali tidak rendah. Bahkan, dalam berbagai aktivitas sosio-kultural dan keagamaannya, mereka melakukan peran sentral dan mulia. Seperti menjadi seorang pedanda istri (pendeta perempuan), atau pemangku istri (wanita sebagai pemimpin upacara di pura).
Di samping itu, wanita Bali juga memiliki keterlibatan dan peran yang sangat penting dalam aktivitas hidup berkesenian, khususnya dalam kehidupan seni pertunjukan mereka. Hal ini merupakan suatu masalah baru, yakni sejak akhir abad ke-19-an atau awal abad ke-20-an. Karena, dahulu hanya gadis-gadis kecil yang menjadi penari atau performer yang menari sebagai bagian dari ritual keagamaannya. Tapi sekarang kebanyakan gadis-gadis Bali ambil bagian dalam berbagai pertunjukan seni.
Penelitian ini bermaksud mengungkapkan citra wanita Bali dalam seni pertunjukan tradisional. Masalah pokok yang dikaji, yaitu: (1) citra wanita di dalam seni pertunjukan--baik yang termasuk dalam tari wali, tari bebali, dan tari balih-balihan, dan (2) citra wanita sebagai seorang pragina atau performer dalam hidup berkesenian masyarakat Bali. Masalah ini cukup menarik berkenaan dengan konsep gender dalam sistem nilai masyarakat Bali. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif; dan untuk penganalisisan data diterapkan pendekatan hermeneutik.
Berdasar analisis yang dilakukan, dapat dirumuskan beberapa kesimpulan: pertama, citra wanita dalam seni pertunjukan tradisional Bali, baik yang termasuk dalam tari wali, tari bebali, dan tari balih-balihan pada dasarnya mengacu pada sistem nilai budaya masyarakatnya, seperti konsep tentang taksu, ngayah, dan seka. Kedua, pemahaman terhadap citranya itu tidak dapat dipisahkan dari berbagai genre tari yang diperankan dalam hidupnya sebagai seorang pragina wanita Bali. Ketiga, secara umum citra wanita dalam pertunjukan seni untuk pariwisata masih rendah. Hal ini salah satunya disebabkan karena masih kurang pemahaman terhadap nilai-nilai kesenian tradisional itu sendiri oleh masyarakat luas.

ABSTRACT
Image of Women in Balinese Traditional Performing ArtThe Balinese society similar to any other sicieties in the world, is a community which is based on paternalism, which is called "pancar-purusa" ("male-oriented") or "purusaism". But, in reality the position of Balinese women is not inferior. Moreover, in the various kinds of socio-cultural activities and religious life, they play a central and noble role, such as pedanda istri (priestess), or pemangku istri (holy-women, head of the ritual offerings in the temple).
Besides, the Balinese women also have a great involvement and a very important role in aristic activities, particularly in performing arts. This fact has become a new problem, since the end of the 19th or the begining of the 20th century. Because, in the past only little girls could become dancers or performers who danced as a part of religious rituals. But today most of Balinese girls have taken part in the various art performance events.
This research is intended to reveal the images of women in Balinese traditional performing arts. The main problems which would be investigated, are : (i) images of women in the performing arts -- that include the Wali ("sacred dances"), the Bebali ("ceremonial dances"), and the Balih-Balihan ("secular dances"), and (2) the image of women as a pragina (dancer, actress, performer} in the artistic sphere of Balinese society. The method that is used in this research is qualitative method; and for data analysis hermeneutic approach is applied.
From the analysis, we can eventually formulate several conclusions: first, images of women in Balinese traditional performing arts, including the wall, bebali, and balih-balihan, bacically refer to the cultural value system of the society, such as the concepts of taksu ("religious-charisma"), ngayah ("devotional-service"), and seka ("artist-group"). Second, the understanding of the image could not be separated from the various genres of dance that are performed in their life as well as from their role as Balinese pragina. Third, generally, images of women in the performing arts intended for tuorism tend to be inferior. One reason of this is the fact that there is little understanding of the traditional artistic values on the part of the society at large."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1997
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
I Wayan Senen
Jogyakarta: BP ISI, 2006
792 WAY p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
I Wayan Senen
Yogyakarta: BP ISI, 2005
793.315 8 IWA p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1986
899.223 8 PEL
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Santosa
Denpasar: Pusat Penerbitan LPPM Institut Seni Indonesia Denpasar, 2017
300 MUDRA 32:3 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Estetika merupakan masalah kontemplasi rohaniah, bahkan religius. Oleh karena itu proses penikmatan karya seni termasuk seni pertunjukan itu sendiri lebih bersifat subyektif. Dalam seni pertunjukan, bahasa memegang peranan yang amat penting dan menentukan dalam menjaga kualitas pertunjukan itu sendiri. Salah satunya bahasa bebanyolan, yakni padanan bahasa improvisasi dan spontanitas yang lahir dari kepiawaian tokoh dalam seni pertunjukan. Keberadaan bahasa bebanyolan ini selalu menyertai di dalam pertunjukan tradisional Bali. Sebab seni pertunjukan di Bali, sesungguhnya identik dengan hiburan yang di dalamnya menyertakan bahasa bebanyolan. Bukan seni pertunjukan namanya kalau di dalamnya tidak menyelipkan unsur-unsur bebanyolan. Bahkan unsur-unsur yang melahirkan kelucuan tersebut tidak hanya dari unsur bahasa tapi dari kolaborasi gerak dan mimik tokoh. Keberhasilan sebuah seni pertunjukan justru sangat ditentukan oleh bagaimana para tokoh dalam seni pertunjukan tersebut mampu menyelipkan dan menyuguhkan mutiara-mutiara kata bebanyolan yang dapat menghidupkan pertunjukan tersebut."
JNANA 18:2 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Tulisan ini mengkaji makna sosiokultural paribasa Bali dalam seni pertunjukkan drama gong di Bali, lakon Kalung Berlian. Masalah yang dibahas meliputi jenis paribasa Bali dan makna sosiokultural paribasa Bali bertujuan untuk mendeskripsikan jenis paribasa Bali dan makna sosiokultural. Teori yang digunakan, yaitu teori sosiolinguistik. Dalam pengumpulan data digunakan metode pengamatan dan metode wawancara, dibantu dengan teknik catat, teknik rekam, teknik transkripsi, dan terjemahan. Dalam analisis data digunakan metode deskriptif sinkronis. Untuk penyajian hasil analisis data digunakan metode formal dan informal, dibantu dengan teknik induktif dan deduktif. Berdasarkan hasil pembahasan, seni pertunjukan drama gong lakon Kalung Berlian terdapat dua belas jenis paribasa Bali, yaitu sesonggan, sesenggakan, wewangsalan, sesawangan, bebladbadan, seloka, raos ngempelin, pepindan, sesimbing, cecangkitan, peparikan, dan sesemon. Jenis-jenis paribasa Bali yang disampaikan dalam dialog antarpemainnya menyiratkan makna sosiokultural, seperti: perbandingan, perumpamaan, sindiran, ejekan, pujian, pengharapan, ajakan, merajuk, nasihat, mengecoh lawan bicara, mengolok-olok lawan bicara, tidak peduli, senda gurau, gundah gulana, rayuan, ketidakpastian, imbauan, dan pernyataan."
JNANA 19:2 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Viewed from the perspective of art and culture, in general the province of Nusa Tenggara Barat (NTB) has a very pluralistic cultural diversity, in addition to art and culture that are rooted in tradition and culture of Sasak, there are also art traditions rooted in the cultural traditions of other ethnic which have occupied especially the territory of Lombok and Mataram in the periods of long enough time. The plurality of cultural traditions when explored and developed more broadly becomes an additional point for NTB in the development of the tourism industry. Of the various forms of artistic cultural traditions, the Balinese performing arts is one of art forms that developes in the city of Mataram and has quite high potency if it is involved in the tourism industty. Appeals for more highlighting the indigenous cultural traditions of Sasak people causes the marginalization of Balinese arts and gives very small chance to participate actively in the world of tourism development efforts in Mataram. This phenomenon is examined in this study, particularly related to the issues presented, namely, the role of government, community and tourism components in exploiting the potency of traditional performing arts in the tourism industry as well as the conception of the shape and structure of the traditional performing arts in the tourism industry in the city of Mataram."
MUDRA 31:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1995
S48047
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>