Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 49260 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Melania Wahjuni Kowara
1984
S2213
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Habbah Mazidah
"Kepuasan pernikahan menjadi sumber kesejahteraan psikologis bagi individu (Baumeister & Leary, 1995). Maka dari itu, penting untuk mengetahui prediktor dari kepuasan pernikahan, tak terkecuali bagi commuter couples. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran attachment dalam memprediksi kepuasan pernikahan. Responden dari penelitian ini adalah istri yang menjalani commuter marriage. Kepuasan pernikahan diukur dengan Couple Satisfaction Index-16 (CSI-16), sedangkan attachment diukur dengan Experiences in Close Relationship Short-form (ECR-S).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa attachment, yakni attachment anxiety dan attachment avoidance dapat memprediksi kepuasan pernikahan secara signifikan dengan medium effect size sebesar 0,139 dan 0,107. Temuan ini dapat diaplikasikan dalam ranah psikologi keluarga untuk menangani permasalahan pada commuter couples.

Marital satisfaction was founded to be the source of the individuals psychological well-being (Baumeister & Leary, 1995). Thus, it was crucial to know the factors affected marital satisfaction, especially among commuter couples. The purpose of the current research was to investigate the role of attachment in predicting marital satisfaction. The sample consisted of wives who are having commuter marriage. Marital satisfaction was measured with Couple Satisfaction Index-16 (CSI-16), while attachment was measured with Experiences in Close Relationship Short-form (ECR-S).
The results indicated that attachment anxiety and attachment avoidance can predict marital satisfaction significantly, with the effect size of 139 and 107 as medium effect. This findings provide practical implications family psychology field when dealing with commuter couples problems.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winengku Rahajeng
"Dalam pengikatan perjanjian jaminan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para pihak, salah satunya adalah mengenai status perkawinan debitur. Jika debitur telah terikat dalam suatu perkawinan maka akan berakibat adanya beberapa kelompok harta kekayaan. Jika yang dijadikan jaminan adalah harta bersama maka diperlukan persetujuan bersama dari suami dan istri. Tetapi sering terjadi suami atau istri tidak dimintai persetujuan terlebih dahulu dalam pengikatan perjanjian jaminan atas harta bersama oleh pasangannya. Suami atau istri yang merasa keberatan dapat meminta pembatalan perjanjian jaminan tersebut ke pengadilan. Hakim berdasarkan fakta-fakta yang ada akan memberikan penilaian terhadap keabsahan perjanjian jaminan tersebut, bisa saja tetap dinyatakan sah atau dinyatakan batal. Skripsi ini disertai dua putusan pengadilan yang terdapat pertimbangan hakim dalam menilai keabsahan suatu perjanjian jaminan atas harta bersama tanpa persetujuan suami atau istri. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan library research yang bersifat yuridis normatif. Hasil peneilitian ini menyatakan bahwa dalam pengikatan jaminan atas harta bersama memang perlu persetujuan bersama dari suami dan istri. Tetapi dalam keadaan-keadaan tertentu suami atau istri bisa dianggap telah memberikan persetujuan diam-diam yang artinya secara tidak langsung telah menyetujui pengikatan jaminan tersebut. Keadaan tersebut antara lain adalah suami atau istri telah ikut menikmati hasil dari perjanjian pokoknya yaitu perjanjian hutang piutang, atau suami atau istri dianggap telah mengetahui perjanjian jaminan yang telah dibuat sejak lama dan sebelumnya tidak mengajukan keberatan.

In making security agreement, there are some things that need to be considered by the parties, one of those things is about the marital status of the debtor. If the debtor has been bound in a marriage, there will be some form of wealth. If joint wealth are used for the objects of security agreement, it would be require a mutual consent from husband and wife. But often, the husband or wife is not asked for consent from his partner in making the security agreement on joint wealth. Husband or wife who is objected can be appeal for the cancellation of the security agreement to the court. The judge based on the facts, will provide an assessment of the validity of the security agreement, it might be declared invalid or declared void. This thesis is accompanied by two court decisions that are considered judges in assessing the validity of a security agreement on joint wealth without the consent from husband or wife. This research uses library research that are normative. The outputs of this researched stated that the security agreement on joint wealth does need consentience from husband and wife. But in certain circumstances a husband or wife can be considered have given tacit consent, which means indirectly has consent the security agreement. There circumstances are husband or wife has come to enjoy the results of the credit agreement, or husband or wife is deemed to have been aware that the security agreement has been made for a long time and had not objected.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S66233
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Errica Sujana
"Umumnya suami-istri akan mempertahankan keberlakuan akta perjanjian perkawinan. Seiring hal tersebut, hingga kini belum ada pengaturan mengenai pembatalan akta perjanjian perkawinan. Dapat atau tidaknya pembatalan akta perjanjian perkawinan setelah perkawinan berlangsung; landasan hukum pertimbangan hakim; dan akibat-akibat hukumnya. Metodelogi penelitian adalah yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif. Pembatalan akta perjanjian perkawinan setelah perkawinan berlangsung tidak dapat dilakukan dengan cara apapun juga. Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak sesuai diterapkan dalam kasus ini. Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diterapkan sejak dikabulkannya pembatalan. Setiap pihak tetap bertanggung jawab pribadi atas segala utangnya.

Generally husband and wife will retain the enforceability of the prenuptial agreement. As it is, until now there has been no regulation regarding cancellation of the prenuptial agreement. Whether or not cancellation of the prenuptial agreement after marriage; judges considered the legal basis; and the legal consequences. Normative research method and qualitative approach. Cancellation of the prenuptial agreement after marriage can't be done by any means. Article 1338 Civil Lawbook isn't applicable in this case. Article 35 and Article 36 Marriage Law applied since the granting of the annulment. Each party remain personally liable for any debts.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T32576
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jonathan A. Trisna
"Lima pasang suami-istri bertemu selama duabelas kali dalam kelompok kecil untuk meningkatkan penyesuaian antar suami-istri. Hasil evaluasi mereka setelah enam kali pertemuan dan wawancara sebulan setelah pertemuan berakhir menunjukkan adanya peningkatan dalam penyesuaian antara suami-istri. Tes kertas dan pinsil tidak menunjukkan hal ini.
Telah didapatkan bahwa salah satu penyebab timbulnya banyak masalah psikologis yang dialami seseorang ialah persepsinya yang salah atau beliefnya yang salah terhadap persepsinya (Ellis, 1973). Belief yang menimbulkan penyesuaian buruk orang itu dengan lingkungannya disebut belief negatif.
Belief negatif ini dapat dibentuk orang tersebut oleh atribusi yang dilakukan orang-orang penting terhadapnya pada masa dininya (Laing, 1971), injunction (larangan bertingkah laku bebas) yang diberikan orang tuanya dan nasihat-nasihat yang membentuk naskah hidupnya (Steiner, 1974). Di samping pembentukan masa lampau, belief negatif juga bisa dibentuk pada masa kini, misalkan karena diajarkan padanya oleh orang panutannya, oleh bacaan dan tontonannya.
Suatu belief dapat menjadi negatif karena isinya (contentnya), karena intensitasnya, karena dimiliki yang tertentu (yang mungkin bukan merupakan belief negatif bila dimiliki orang lain), dan karena diterapkan pada suatu situasi atau konteks tertentu. Belief seperti ini akan menimbulkan konflik dalam hubungan interpersonal orang tersebut dengan orang lain di sekitarnya, terutama dengan pasangan hidupnya.
Program dalam penelitian ini mempunyai tujuan agar suami-istri dalam pernikahan mempunyai penyesuaian yang baik. Tujuan ini hendak dicapai melalui suatu perlakuan dalam kelompok kecil. Perlakuan itu mengarah pada empat langkah, yaitu: (1) Kesadaran, para peserta dalam program ini menjadi sadar akan adanya belief negatif yang mereka miliki dan yang menyebabkan buruknya penyesuaian dengan pasangannya; (2) Keputusan, setelah timbul kesadaran, mereka dibimbing untuk mengambil keputusan mengubah belief negatif yang mereka miliki; (3) Tekad, peserta menjabarkan secara konkrit keputusan untuk berubah itu dalam sebuah kalimat singkat dan jelas tentang tingkah laku yang akan mereka lakukan; (4) Tingkah laku, peserta melaksanakan tekad yang telah mereka buat sendiri. Diharapkan setelah melaksanakan langkah-langkah ini timbul kebiasaan baru yang meningkatkan penyesuaian mereka dengan pasangan mereka.
Adapun hipotesa yang akan diteliti adalah:
Terdapat peningkatan penyesuaian antar suami-istri peserta kelompok kecil yang mencoba menghilangkan belief negatif yang lazim ada pada suami-istri dalam pernikahan.
Untuk penelitian ini digunakan QUASI-EXPERIMENTAL DESIGN. Bentuk disainnya ialah Single Group Pretest-Postest Design. Variabel independennya ialah perlakuan dalam kelompok, variabel perantara ialah perubahan belief negatif, dan variabel dependennya ialah penyesuaian suami-istri.
Instrumen yang dipakai ada dua, yaitu (1) wawancara yang diberikan pada para peserta sebulan setelah program selesai dan (2) tiga buah tes kertas dan pinsil, yaitu modifikasi dari Dyadic Adjustment Scale dan Kansas Marital Satisfaction Scale, serta Semantic Differential.
Adapun prosedur penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Kepada para anggota Gereja Bethel Indonesia Jl. Cimahi 23, cabang Cengkareng, ditawarkan program ini yang dilaksanakan dalam 12 kali pertemuan, seminggu sekali selama dua jam tiap kali pertemuan. Ada lima pasang suami-istri yang berminat mengikuti program ini.
b. Kesepuluh peserta menerima tes awal (tes kertas dan pinsil).
c. Tiap pertemuan mempunyai topik tersendiri sebagai berikut:
1. Belief negatif I
2. Belief negatif II
3. Mengerti dan Mengekspresikan Kasih
4. Komitmen Keberhasilan Pernikahan
5. Pembentukan Kepribadian Anak
6. Penyesuaian Dalam Pernikahan
7. Komunikasi dalam Pernikahan
8. Menyelesaikan Konflik
9. Mengambil Keputusan dalam Masalah
10. Hirarki Dalam Keluarga
11. Seks Dalam Pernikahan
12. Keluarga yang Kokoh
d. Pada tiap pertemuan ada latihan pengendapan seperti diskusi dan studi kasus, tanya jawab, sharing (berbagi pengalaman), role play, dan refleksi diri.e. Ada pula pekerjaan rumah mingguan yang perlu dilakukan tiap peserta yang disebut janji mingguan. Pekerjaan rumah ini dipilih sendiri oleh peserta.f. Setelah enam kali pertemuan, para peserta mengisi lembaran Evaluasi Pernikahan Tengah Program.
g. Sebulan setelah perlakuan berakhir, tiap pasang suami-istri diwawancarai. Mereka juga mendapatkan tes akhir (tes kertas dan pinsil).
h. Dari instrumen yang dipakai dilihat apakah perlakuan dalam kelompok kecil ini mendukung hipotesa penelitian ini.
Hasil penelitian ini mendukung hipotesa walaupun dengan beberapa catatan. Dukungan terhadap hipotesa nyata dari wawancara dan data Evaluasi Pernikahan Tengah Program. Hasil tes kertas dan pinsil ternyata tidak mendukung hipotesa penelitian. Ada beberapa dugaan hasil tes ini: (1)faktor social approval, (2)pengisian tes awal yang kurang realistis, dan (3)peningkatan tolok ukur untuk menilai kwalitas pernikahan setelah mengikuti program."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shepriyani Miftajanna
"Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang dialektika pada pasangan suami-istri yang menjalani keputusan childfree serta memperoleh pemahaman akan pola komunikasi pasangan suami-istri dalam menjalani keputusan childfree dan upaya mengelola dialektika yang dilakukan pasangan dalam hubungan pernikahan itu sendiri. Metode penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Data penelitian diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi dengan informan penelitian yang terdiri dari dua pasangan suami-istri. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasangan childfree mengalami variasi dialektika dalam analisis internal dan eksternal. Pasangan pertama (P dan R) menghadapi dialektika keterpisahan dan kebersamaan (autonomy-connection), dengan P ingin hidup tanpa anak sementara R ingin memiliki anak. Pasangan kedua (W dan I) menghadapi dialektika kepastian dan ketidakpastian (certainty-uncertainty), dengan W meragukan komitmen childfree mereka karena I menyukai anak kecil. Dalam dialektika eksternal, pasangan childfree menghadapi ketegangan pengungkapan dan penyembunyian (revelation-concealment). Secara umum, pasangan cenderung tidak ingin secara terbuka mengungkapkan pilihan mereka karena adanya stigma negatif masyarakat terhadap childfree. Pada intinya teori dialektika relasional menawarkan diskusi rasional di antara pasangan ketika menghadapi ketegangan terkait menjalani keputusan childfree dari pengaruh secara internal dan eksternal. Diskusi rasional yang dilakukan pasangan adalah dengan mengelola kontradiksi-kontradiksi yang ada secara seimbang. Pengelolaan dialektika internal cenderung menggunakan strategi seleksi dan integrasi berupa reframing, sementara dialektika keterbukaan dan ketertutupan (openness-closedness) menggunakan strategi segmentasi dan diskualifikasi dalam masalah finansial. Dalam dialektika eksternal, pasangan menggunakan strategi netralisasi dan alterasi siklik yang sesuai dengan kategori dialektika yang dihadapi. Upaya kompromi dan pergantian menjadi ciri khas pasangan dalam mengungkapkan dan menyembunyikan (revelation-concealment) keputusan childfree kepada lingkungan sosial.

This study aims to gain knowledge about dialectics in married couples who undergo childfree decisions and understand the communication patterns of married couples in undergoing childfree decisions and efforts to manage dialectics carried out by couples in the marriage relationship itself. The research method for this study is qualitative with a case study approach. Research data were obtained through in-depth interviews and observations with research informants consisting of two married couples. The results of this study indicate that childfree couples experience dialectical variations in internal and external analysis. The first couple (P and R) face a dialectic of autonomy-connection, with P wanting to live without children while R wanting to have children. The second couple (W and I) face a dialectic of certainty and uncertainty, with W doubting their childfree commitment because I likes small children. In the external dialectic, childfree couples face the tension of revelation-concealment. In general, couples tend not to want to openly express their choices because of the negative social stigma against childfree. In essence, the theory of relational dialectics offers a rational discussion between partners when facing tensions related to making decisions child-free from internal and external influences. The rational discussion conducted by the pair is to manage the contradictions that exist in a balanced way. Management of internal dialectics tends to use selection and integration strategies as reframing, while openness-closedness uses segmentation and disqualification strategies in financial matters. In the external dialectic, the couple uses neutralization and cyclic alteration strategies that are appropriate to the dialectical category they are facing. Attempts to compromise and change are characteristic of couples in revelation-concealment childfree decisions to the social environment."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jeanita Adeline
"Perjanjian perkawinan atau prenuptial agreement adalah perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan mengikat kedua belah pihak calon mempelai yang akan menikah. Banyaknya angka perceraian yang berujung masalah, khususnya sesuatu yang menjadi akibat-akibat yang timbul karena adanya suatu perkawinan, contohnya adalah timbulnya harta gono-gini dirasakan perlu dibuatnya perjanjian perkawinan. Dengan dibuatnya perjanjian tersebut, maka aturan mengenai harta para pihak diatur dengan jelas di sana, baik mengenai harta bawaan maupun harta yang dihasilkan oleh para pihak selama masa perkawinan. Tentunya prosedur pembuatan perjanjian perkawinan haruslah dengan prosedur yang berlaku seperti perjanjian tersebut harus dibuat pada saat atau sebelum berlangsungnya perkawinan, dibuat dengan akta notaris, dan harus didaftarkan di Lembaga Pencatat Perkawinan. Begitu juga dengan masalah perubahan perjanjian perkawinan yang dilakukan setelah perkawinan berlangsung. Perubahan tersebut harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang ada sehingga berkekuatan hukum tetap dan mengikat para pihaknya. Perjanjian perkawinan hendaknya dapat memberikan perlindungan hukum bagi para pihak yang terkait di dalamnya. Penulis dalam penulisan skripsi ini mencoba menganalisa perlindungan hukum terhadap harta benda perkawinnan yang menggunakan perjanjian perkawinan, serta perlindungan hukum terhadap perjanjian perkawinan yang mengalami perubahan.

Prenuptial agreement is a written contract between two people who are about to marry that concerns about various financial issues. It covers the control and possession of property and other assets taken into the marriage and later obtained during the marriage either individually or jointly, as well as the couple's future earnings, and how such property or assets will be distributed in the event of divorce or death. These agreements are fairly common if either or both parties have substantial assets, children from a prior marriage, potential inheritances or earn high incomes. The writer of this thesis analyze the impact of law protection on prenuptial agreement against the financial issues in a marriage with prenuptial agreement and how the protection takes place on the prenuptial agreement which has been changed after the marriage. As a result of the recent high number of divorces which ended with problems, pre-nuptial agreement is expected to minimized those problems in advance. However, the procedure on creating the prenuptial agreement has to be made by law which would bound the two parties legally. Furthermore, any changes on the prenuptial agreement after the marriage has also be done by law to make it remain valid legally.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T32600
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitompul, Dince Yuniarti
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai peran notaris dalam pembuatan isi dan akta
kesepakatan bersama (perjanjian) pra perceraian. Akta Kesepakatan Bersama
(Perjanjian) Pra Perceraian berisi mengenai Hak Asuh atas anak dan Pembagian
Harta Gono-Gini, akan tetapi hal tersebut tidaklah mutlak. Notaris memiliki secara
kewajiban moral dan professional untuk memberikan penyuluhan hukum terkait isi
dari aktanya tersebut. Penelitian ini adalah penelitian eksplanatoris dengan desain
preskriptif. Hasil penelitian menyarankan Undang-undang Perkawinan Nomor: 1
Tahun 1974 perlu di amandemen karena sudah tidak mengakomodir kepentingan
masyarakat; Perlunya dibuat sebuah Memory of Understanding (MoU) antara
Pemerintah (diwakili oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia), Ikatan
Notaris Indonesia, dan Mahkamah Agung sebagai peraturan pelaksana sementara,
menunggu peraturan perundang-undangan dibuat; Perlu adanya kesepahaman di
kalangan Notaris terkait dengan bentuk, jenis akta, moralitas dan etik bagi Notaris
yang membuat kesepakatan bersama (perjanjian) pra perceraian ini.

ABSTRACT
The focus of this study is the roles of notary in the content creation and mutual
consent (agreement) pre divorce deeds. The mutual consent (agreement) pre
divorce deeds contains custody over children and the separation of family wealth
or known as Gono-Gini, but it is not absolute. Notary has both a moral and
professional obligation to provide legal counseling related to the contents of the
deeds. This research is explanatory prescriptive. The researcher suggest that
Indonesian matrimonial regulation Number: 1 year 1974 need to be amendment
because it can’t accommodate the citizen stipulation; Memory of Understanding
between The Government (represent by Ministry of Law and Human Rights),
Indonesian Notary Organization, and The Supreme Court is needed as a transitory
regulation; There is need to be an understanding in the Indonesian Notary
Community regarding the outline, the type of the agreement, morality and ethical
conduct of the notary that construct mutual consent (agreement) pre divorce."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38893
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Boby Rachman Gumay
"Perkawinan menurut KUHPerdata hanya dipandang dari segi keperdataannya saja. Berbeda dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang memandang perkawinan dari ikatan lahir batin, yang tidak hanya mencakup ikatan secara fisik dan batiniyah, namun juga ikatan dalam harta benda. Terkait ikatan harta benda tersebut, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengatur bahwa diperbolehkannya suami istri untuk membuat perjanjian perkawinan atas harta benda dalam perkawinan. Sehingga, apabila terjadi perceraian, maka perjanjian perkawinan yang telah dibuat akan berdampak pada perikatan yang timbul dari perjanjian tersebut mengenai pembagian harta benda perkawinan. Dengan menggunakan metode yuridis normatif, tulisan dalam skripsi ini menunjukkan adanya prosedur pembuatan dan syarat-syarat sahnya suatu perjanjian perkawinan yang terlebih dahulu harus dilakukan oleh suami istri; dan implikasi terhadap perjanjian perkawinan terhadap harta benda perkawinan apabila terjadi perceraian adalah telah memiliki kedudukan hukum selama perjanjian tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Sebagai contoh, mereka dapat mengadakan pisah harta sama sekali, pisah harta secara terbatas, pemisahan aset-aset tertentu, percampuran harta bulat, campur hasil pendapatan, persatuan untung rugi.

Marriage in accordance with The Civil Code is only being regarded in terms of civilization. Unlike The Law No. 1 of 1974 that views the marriage of the spiritual and physical bond, that includes not only physical and spiritual bonds but also the prenuptial bonds. Related to the prenuptial bonds, The Law No. 1 of 1974 regulates that husband and wife are allowed to arrange a prenuptial agreement in their marriage. Thus, in the event of divorce appears in their marriage, the prenuptial agreement that has been made will give an implication to the prenuptial in the marriage. By using normative methods, this mini thesis study shows that there are several procedures and requirements that should be conducted to make a legal prenuptial agreement; and the implication of the prenuptial agreement in the event of divorce appears is the prenuptial agreement has its own legal position in the course of the agreement?s clause is not permissible if it is prohibited by the law, or if it violates good conduct, or public order. In example, they can arrange a completely separated of assets, separately limited of assets, separation of custom assets, completely interfusion of assets, interfusion of incomes, coalition of benefits and loss"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45225
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Baby Ingrid
"Seiring dengan perkembangan yang terjadi di berbagai bidang kehidupan, kini wanita maupun pria memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan diri. Wanita yang bekerja di luar rumah menjadi sorotan masyarakat ketika ia memutuskan untuk tetap bekerja setelah menikah dan mempunyai anak. Pandangan tradisional masyarakat menuntut wanita untuk bertanggung jawab terhadap urusan rumah tangga dan pengasuhan anak. Ada berbagai alasan mengapa seorang istri memutuskan untuk bekerja. Selain untuk memperoleh penghasilan (ekonomis) juga adanya kebutuhan untuk memperluas wawasan intelektual dan interaksi sosial (non-ekonomis).
Keputusan istri untuk bekerja mendatangkan konsekuensi pada tiga aspek dalam lingkungannya, yaitu pada hubungan perkawinan, pada anak serta pada dirinya sendiri. Penelitian-penelitian yang dilakukan selama ini cenderung berfokus pada konsekuensi negatif tanpa lebih dalam melihat pandangan obyektif, dari pihak istri dan suami. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mengetahui gambaran yang lebih mendalam mengenai persepsi kedua pihak terhadap tujuan dan konsekuensi istri yang bekerja penuh waktu. Adapun yang dimaksud persepsi adalah interpretasi secara selektif oleh individu untuk memberi arti pada Iingkungannya Dengan demikian permasalahan dalam penelitian ini ialah : Bagaimanakah persepsi suami dan istri terhadap istri yang bekerja sebagai karyawati penuh waktu ?
Penelitian ini menggunakan pengumpul data berupa kuesioner dan wawancara sebagai pelengkap. Subyek penelitian ialah pasangan suami-istri yang bekerja penuh waktu sudah mempunyai anak, berpendidikan minimal SLTA. Istri berusia 22-45 tahun dan bekerja di instansi swasta.
Hasil yang diperoleh dari 57 pasang suami-istri menunjukkan bahwa istri dan suami mempersepsi adanya tujuan ekonomis dan non-ekonomis dari bekerja. Adapun terhadap konsekuensi, suami mernpersepsi konsekuensi yang positif dari istri yang bekerja sedangkan istri mempersepsi adanya konsekuensi yang positif dan sekaligus negatif pada hubungan perkawinan, anak dan diri istri yang bersangkutan. Hasil tambahan menyatakan bahwa semakin positif persepsi suami terhadap konsekuensi istri bekerja semakin negatif persepsi istri, sebaliknya semakin positif persepsi istri semakin negatif persepsi suami. Hasil wawancara mendukung hasil di atas dan memberi data tambahan bahwa pasangan suami istri cenderung rnenjalankan peran tradisional.
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa istri bekerja untuk tujuan ekonomis dan non-ekonomis, dimana hal ini dipersepsi sama pentingnya oleh suami maupun istri. Berkaitan dengan konsekuensi istri bekerja, ternyata persepsi suami Iebih positif dibandingkan dengan persepsi istri bekerja yang bersangkutan. Sebagai tambahan, hasil penelitian ini juga mengungkapkan bahwa pasangan suami-istri mempersepsikan peran masing-masing dalam rumah tangga yang masih cenderung tradisional."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2484
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>