Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 108634 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Komisi Hukum Nasional bekerjasama Pusat Pengkajian Hukum, 2003
346.078 PRO
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Zeto Bachri
"In bankruptcy, the definition of debts has long become of among legal practitinera. Even thought the old bankruptcy Act i.e. Act No.4/1998 does not define the meaning firmly, this does not prevent judges making definition extensively about debts in every case at the Commercial Court. The same with the new Bankruptcy act, Act No.37/2004 it defines debt in an extensive manner that is an obligation declared or may be declared in amounts of Indonesian as well as foreign currencies, directly as incurred in the future or contingently, accruing as the result of an agreement or law and should be paid by Debtor and if not paid, provides the right to Creditor to get the payment from the debtor's assets. This is not anew definition because even from the time the old Bankruptcy commercial Court judges have not been strictly bound by the definition of debt outlined by law.
This Thesis discusses debts in bankruptcy and further and the responsibility of Management in relation to company debts for the purpose of analyzing the Decision of the Supreme Court No.26 PK/N/1999 dated 4 October 1999 Jo No. 43/Pailit/1999 PN.Niaga/Jkt Pst Dated 3 August 1999. With regard to Management responsibility, the Director may not be sued in Court as having caused a loss to the company as the decision does not occur as the result of his negligence in making a decision.
"
2008
T37830
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yusrifat Taqirozan
"Kondisi dunia pada tahun 2020 mendorong masyarakat Indonesia untuk mencari sumber pendapatan alternatif, dimana salah satunya melalui pasar modal. Dalam dunia pasar modal Indonesia pada dasarnya terdapat tiga pihak yang berperan yakni investor, pemerintah, dan perusahaan yang melalui proses IPO untuk mendaftarkan dirinya sebagai perusahaan tercatat pada pasar modal. Pencatatan tersebut dapat berakhir karena beberapa faktor, salah satunya adalah kepailitan. Suatu emiten dapat dinyatakan pailit tentunya berdasarkan persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU Indonesia, dimana Undang-Undang itu sendiri masih memiliki persyaratan yang terlalu umum untuk mengubah status emiten menjadi pailit. Dalam penelitian ini Penulis menilai bahwa UU K-PKPU belum memenuhi Doktrin Radbruch secara sempurna serta memberikan intervensi yang tidak perlu sehingga menimbulkan eksternalitas negatif terhadap kegiatan perdagangan dalam pasar modal. Eksternalitas negatif tersebut didasari oleh biaya informasi yang tinggi bahkan information asymmetry antara para investor dengan seluruh pihak yang terlibat dalam proses kepailitan. Akibatnya investor memberikan over reaction dalam pasar sehingga harga saham emiten turun kepada titik yang tidak wajar. Selain itu peraturan perundang-undangan pasar modal juga tidak memberikan ketentuan tambahan terkait hubungannya dengan Hukum Kepailitan Indonesia sehingga tidak dapat diandalkan sebagai bentuk intervensi pemerintah untuk meminimalisir biaya informasi tersebut. Hal ini dapat dilihat dari contoh kasus kepailitan PT. Cowell Development Tbk. sebagai emiten yang dipailitkan berdasarkan kepailitan, namun perusahaan tersebut masih memiliki aset yang lebih besar dibandingkan utangnya. Emiten yang telah dikenakan forced delisting akan mengalami kesulitan untuk mengembalikan harga sahamnya kepada titik wajar mengingat pasar negosiasi pada umumnya tidak mewajibkan suatu keterbukaan informasi. Sehingga penulis menilai diperlukan intervensi dari pemerintah melalui reformulasi peraturan perundang-undangan untuk memberikan ketentuan yang lebih mengerucut terhadap kondisi keuangan emiten sebagai termohon pailit serta pihak yang berwenang dan berkapasitas untuk mengevaluasi hingga mendistribusikan informasi tersebut untuk mencapai pasar modal yang lebih efisien.

Global condition in 2020 encourages the Indonesians to seek an alternative income, one of which is through the stock market. Basically, there are three parties involved in the Indonesia’s stock market realms, namely investor, government, and the corporation that listed itself through the process of IPO as an issuer. Said listing could be terminated based on several factors, one of which is bankruptcy. An issuer could be declared bankrupt, based on the requirements that are regulated in Indonesia's Bankruptcy Act, which in itself still has requirements that are far too general to shift the status of a debtor to a bankrupt. In this research, the author considers that the Indonesia’s Bankruptcy Act does not fulfill the Radbruch Doctrine perfectly and provides unnecessary intervention, rising negative externality on trading activities in the capital market. Said negative externality buttresses on the high information cost even an information asymmetry between investors and every other parties involved in the bankruptcy proceedings. Resulting an escalation of over-reaction from the investors in the stock market until the stock value of the issuer plummeted towards an unreasonable point. Apart from that, the stock market statutes also do not provide an additional provision regarding its relationship with Indonesia’s Bankruptcy Act so it cannot be relied upon as a form of government intervention to minimize said information cost. This can be seen from the bankruptcy case of PT. Cowell Development Tbk. as an issuer that has been declared bankrupt while its assets value still exceeds its debt value. An issuer that has been forced delisted will find itself in a tough situation to return its stock value to the reasonable point considering the negotiation market in general does not require information transparency. The author believes that intervention from the government is needed through the reformulation of statutes in order to provide provisions that are more focused on issuer's financial condition as bankruptcy respondent as well as parties that are both authorized and capable to evaluate and distribute said information to achieve a more efficient stock market."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumban Gaol, Selamat
"Kepailitan sebagai suatu sarana hukum penagihan dan penyelesaian hutang piutang antara kreditur dengan debitur, memberikan keseimbangan hak dan kewajiban serta kedudukan antara debitur dengan kreditur. Kedudukan bank dalam kepailitan dapat bertindak selaku kreditur tidak seimbang dengan kedudukannya selaku debitur. Bank selaku kreditur dapat bertindak sebagai pemohon pailit, sebagai kreditur lain, sebagai Pihak Pemohon Kasasi meskipun tidak merupakan pihak pada tingkat pengadilan niaga. Sedangkan bank dalam kedudukannya selaku debitur tidak dapat dimohonkan pailit secara langsung oleh krediturnya, undang-undang Kepailitan memberikan hak untuk itu, hanya kepada Bank Indonesia. Walaupun undang-undang Kepailitan dan Undang-undang Perbankan sama-sama mengakui bahwa bank dapat dimohonkan oleh krediturnya dan dinyatakan pailit oleh pengadilan yang berwenang, akan tetapi Bank Indonesia, tidak pernah menggunakan upaya kepailitan terhadap bank dalam penyelesaian kewajiban hutang-piutangnya, melainkan cenderung menerapkan pencabutan izin operasional dan likuidasi bank yang bersangkutan.
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yang bersifat kualitatif, yaitu putusan-putusan pengadilan mengenai Kepailitan terhadap bank tersebut dianalisis secara mendalam atas peristiwa, fakta-fakta, pertimbangan hukum dan amar putusannya.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa debitur yang menjalankan usaha bank dapat dimohonkan pailit oleh pemohonnya dan pengadilan dapat menyatakan bank pailit. Benerapan kepailitan terhadap bank lebih efektif bila dibandingkan dengan penerapan pencabutan izin dan likuidasi bank. Yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitur yang menjalankan usaha bank ke pengadilan, bukan hanya Bank Indonesia raja, melainkan Krediturnya dan Kejaksaan demi kepentingan umum. Dan debitur yang menjalankan usaha bank tidak dapat mengajukan dan memohonkan pailit atas dan terhadap dirinya sendiri. Apabila Bank Indonesia menolak untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap Bank dalam penyelesaian kewajiban hutang-piutangnya, maka krediturnya dapat mengajukan permohonanya tersebut secara langsung ke pengadilan yang berwenang atau kreditur mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara terhadap Bank Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T14476
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Suseno
"Dalam proses penanganan perkara kepailitan di Indonesia dewasa ini perkara kepailitan PT Telkomsel, sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut karena Telkomsel merupakan perusahan besar yang ada di Indonesia yang juga dimiliki oleh Pemerintah. Hanya saja patut disayangkan, bahwa Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai bentuk perbuatan hukum yang dapat dibuktikan secara sederhana. Sehingga dalam hal ini muncul permasalahan apa saja bentuk perbuatan hukum yang dapat dibuktikan secara sederhana dalam kepailitan.
Untuk memberikan jawaban masalah tersebut maka penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif dengan tipe penelitan deskriftif. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa adanya inkonsistensi putusan majelis hakim Pengadilan Niaga dan majelis Hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa permohonan pailit, terutama dalam mengartikan terbukti secara sederhana (sumir) tersebut.

In the process of handling bankruptcy cases in Indonesia today bankruptcy case PT Telkomsel, is very interesting to study further because Telkomsel is a big company in Indonesia which is also owned by the Government. It's just unfortunate, that the Act on Bankruptcy and Suspension of Payment does not provide a detailed explanation as to form a legal action can be proved simple. So in this case any problems arise form of legal action can be proved simply in bankruptcy.
To provide answers to these problems the research conducted using the normative method of descriptive research type. From the research that has been done, the result that there was an inconsistency decision of the judges of the Commercial Court and the panel of judges of the Supreme Court in checking for bankruptcy, especially in deciphering proven simpler (vague) is.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35841
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Maya Sari
"Skripsi ini membahas mengenai pengaruh permohonan pernyataan pailit yang diajukan Kreditor (Termohon arbitrase) terhadap Debitor (Pemohon arbitrase) pada saat perkara arbitrase sedang berjalan. Permohonan pernyataan pailit yang diajukan ditengah proses arbitrase yang sedang berjalan akan memberikan batasan dan pengaruh pada kelanjutan perkara arbitrase yang masih berjalan misalnya ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUK-PKPU membatasi ketentuan mengenai putusan arbitrase maupun ketentuan Pasal 127 ayat (1) Undang-undang Kepalilitan dan PKPU membatasi ketentuan Pasal 3 dan 11 Undang-undang Arbitrase. Dalam hal debitor dinyatakan pailit, kurator akan menggantikan kedudukan debitor sebagai pemohon arbitrase sebagaimana dalam Pasal 26 Juncto Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Kepailitan.

This Thesisis aimed to explain the effect of a bankruptcy petition filed by Creditor (as defendant of arbitration) against the debtor (as applicant of arbitration) during the ongoing arbitration case. The bankruptcy petition filed whenthe ongoing arbitration proceding will give limits and influence on the continuation of arbitration case such as the provision of Article 26 paragraph (2) of Bancruptcy Law, restricting provisions concerning arbitration decision and the provisions of Article 127 paragraph (1) of Bancruptcy Law No. 37 of 2004 will give limit to the provisions of Articles 3 and 11 of Arbitration Law. In casethe banckruptcy petition is granted andthe debtor is bankrupt, curator willreplacethe debtor as defendant of arbitration case, as the explanation in Article 26 paragraph (1) juncto Article 24of Law No 37 of 2004."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S60645
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasmin Ghaisani Sya'bina
"Perikatan sebagai seorang personal guarantee atau penanggung utang (borgtocht) meletakkan diri pada kedudukan yang cukup berisiko. Pada dasarnya, seseorang memiliki tanggung jawab yang cukup besar dalam kapasitasnya sebagai personal guarantee. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1820 KUHPerdata, seorang personal guarantee berkewajiban untuk melakukan pelunasan atas utang seorang debitur yang tidak membayar utang-utangnya. Namun, dalam melaksanakan perikatannya, seorang personal guarantee diberikan hak istimewa oleh Pasal 1831 KUHPerdata berupa hak untuk menuntut penyitaan dan penjualan harta kekayaan debitur utama terlebih dahulu sebelum harta kekayaannya dieksekusi. Tanggung jawab yang diberikan oleh undang-undang tersebut tidak menutup kemungkinan bagi personal guarantee untuk dimintai pertanggungjawaban di muka Pengadilan. Bahkan, Pasal 1832 ayat (1) KUHPerdata yang mengatur mengenai pelepasan hak istimewa personal guarantee mengindikasikan adanya kemungkinan personal guarantee dijatuhkan pailit atas utang debitur utama, baik bersamaan maupun tanpa dipailitkannya debitur utama. Sayangnya, peraturan perundang-undangan tidak mengatur secara eksplisit mengenai kedudukan personal guarantee dalam ruang lingkup kepailitan. Oleh karena itu, pada praktiknya masih ditemukan perbedaan penafsiran pertanggungjawaban personal guarantee dalam kepailitan. Tulisan ini menganalisis bagaimana pertanggungjawaban jaminan perorangan (personal guarantee) dalam kepailitan dengan dikaitkan pada Putusan Nomor 6/Pdt.Sus-Pailit/2020/ PN.Niaga.Jkt.Pst.. Selain itu, tulisan ini juga memaparkan perbandingan dengan yurisprudensi yang bertolak belakang dengan putusan tersebut, yaitu Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 922 K/Pdt/1995. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan didukung oleh data sekunder.

Agreement as a personal guarantee (borgtocht) places oneself in a quite risky position. Essentially, an individual bears a significant amount of liability in their capacity as a personal guarantee. As regulated in Article 1820 of the Civil Code, a personal guarantee is obligated to pay off the debts of a debtor who fails to pay their debts. However, in carrying out the agreement, a personal guarantee is given a privilege based on Article 1831 of the Civil Code in the form of the right to demand seizure and sale of the principal’s assets first before executing the personal guarantee’s assets. The liability that is given by the law does not preclude the possibility for personal guarantees to be held accountable before the Court. In fact, Article 1832 paragraph (1) of the Civil Code which regulates the relinquishment of personal guarantee’s privilege indicated the possibility of personal guarantee being declared bankrupt for the principal’s debt, either with or without the principal being declared bankrupt as well. Unfortunately, statutory regulations do not explicitly regulate the legal standing of personal guarantee within the scope of bankruptcy. Therefore, in practice, there are still different interpretations of personal guarantee’s liability in bankruptcy. This article analyzes personal guarantee’s  liability in bankruptcy by reviewing Decision No. 6/Pdt.Sus-Pailit/2020/PN.NIAGA.Jkt.Pst.. Apart from that, this article also presents a comparison to a jurisprudence that is contrary to the decision, namely Jurisprudence of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 922 K/Pdt/1995. This article is written using a normative juridical research method and supported by secondary data."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ramos Levi
"Pada tanggal 22 April 1998 Pemerintah telah mcnetapkan Peraturan Pemerintah Petigganti Undang-Undang tentang perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan (Lembaran Negara RI tahun 1998 no. 87). Lima bulan kemudian Perpu tersebut diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan disetujui untuk menjadi undang-undang yang kemudian diundangkan sebagai Undang-undang No. 4 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Tentang Kepailitan tanggal 9 September 1998 ("UU Kepailitan").
Namun, kehadiran UU Kepailitan tersebut ternyata menimbulkan "kecemasan" tersendiri bagi sektor bisnis asuransi (insurance business). Sedikitnya ada 3 (tiga) sebab mengapa kecemasan tersebut muncul. Pertama, "flak istimewa" dalam UU Kepailitan yang diterima dan dinikmati oleh sektor perbankan dan perusahaan sekuritas, yaitu tidak dapat dipailitkan secara langsung oleh krediturnya, ternyata tidak diberikan pula kepada sektor asuransi. Padahal, rasionalitas dari pemberian hak istimewa itu kepada sektor perbankan dan sekuritas juga melekat pada sektor asuransi. Sebagai usaha yang menghimpun dana masyarakat, asuransi tidaklah berbeda dengan bank dan lembaga keuangan lainnya.
Kedua, kasus-kasus perdata antara perusahaan asuransi dengan tertanggungnya yang sebelumnya hanya dapat diperiksa dan diputuskan di Pengadilan Negeri, kini, dengan diberlakukannya UU kepailitan, konflik yang khususnya mengenai utang-piutang, antara perusahaan asuransi dengan tertanggung telah dapat diajukan ke Pengadilan Niaga.
Ketiga, implikasi dari adanya penyederhanaan persyaratan untuk pengajuan permohonan pailit seperti yang diatur dalam Pasal l ayat (1) UU kepailitan. Dalam kaitan ini, pengertian suatu utang yang telah "jatuh tempo" dan "dapat ditagih" (due date and payable) pads kenyataannya tidak selalu mudah diterapkan terhadap klaim asuransi. Bahkan, dalam banyak kasus wajib-tidaknya penanggung atau perusahaan asuransi membayar klaim memerlukan pembuktian yang rumit, sehingga tidak lagi dapat disebut sebagai suatu "pembuktian secara sumir" sebagaimana yang dimaksud atau disyaratkan oleh Pasal 6 ayat 3 UU Kepailitan No. 4 Tahun 1998.
Bahwa perjanjian asuransi memiliki karakteristik yang khas, dimana tidak selalu memungkinkan bahwa terjadinya peristiwa yang dipertanggungkan akan secara otomatis memunculkan adanya "utang". Hal ini dimungkinkan oleh karena sekalipun peristiwa yang diperjanjikan telah terjadi dan memunculkan kewajiban ataupun "utang" (jatuh tempo), namun hal tersebut masih belum tentu (secara otomatis) akan menjadikan "utang" tersebut telah "dapat ditagih" (payable). Disamping itu, konsekuensi dari penerapan asas indemnity, insurable interest dan utmost good faith siring menjadi alasan hukum yang kuat bagi dimungkinkarmya kewajiban yang telah "jatuh tempo" dan "dapat ditagih" dalam perjanjian asuransi tidak otomatis menjadi harus dibayar. Dengan kata lain, penerapan asas-asas tersebut seringkali memunculkan "legally disputable insurance claim" yang menyebabkan perkaranya hanya dapat diselesaikan (terlebih dahulu) ke Pengadilan Perdata, dan karenanya belum memasuki wilayah kewenangan Pengadilan Niaga untuk memeriksa dan memutuskannya."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T18894
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartini Muljadi
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005
346.078 KAR p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>