Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 142899 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tobing, Mitra Tira R.B.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1998
S49005
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kismartini
"Pertumbuhan penduduk di perkotaan berkembang dengan sangat pesat. Tahun 1989 jumlah seluruh penduduk di Indonesia 176 juta jiwa, dengan angka pertumbuhan rata-rata 2,1 pertahun akan menjadi 216 juta jiwa pada tahun 2000. Dari jumlah tersebut pada saat ini 27 persen adalah penduduk perkotaan, pada tahun 2000 diprediksikan menjadi 38 persen yang tinggal di perkotaan.
Tekanan jumlah penduduk juga dirasakan oleh kota Semarang. Menurut analisis data sekunder hasil sensus penduduk pada tahun 1980 adalah 1.024.940 jiwa, sedangkan pada tahun 1971 masih berjumlah 641.795 jiwa, ini berarti ada peningkatan 59,7 persen selama 9 tahun atau rata-rata 5,3 persen per tahun. Meskipun pada dasawarsa terakhir (1980-1989) pertumbuhan penduduk bisa ditekan, namun kepadatan masih sangat dirasakan untuk daerah-daerah tertentu. Misalnya di wilayah penelitian kepadatan sudah di atas 500 jiwa/ha. Tekanan penduduk yang melebihi daya dukung ini menyebabkan munculnya pemukiman dengan tatanan yang serba tidak teratur. Pemukiman seperti ini tumbuh dengan pesat dan tidak terkendali sehingga menjadi daerah yang kumuh dengan penduduk rendah pendidikan dan penghasilan. Jumlah penduduk miskin itu sendiri di perkotaan pada dasawarsa terakhir ini tidak menunjukkan adanya penurunan yang berarti, bahkan cenderung untuk meningkat.
Dalam upaya mengentaskan masalah kemiskinan di perkotaan, Pemerintah melaksanakan suatu program yang disebut Program Perbaikan Kampung. Dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat tersebut. Program Perbaikan Kampung mempunyai fasilitas bantuan kepada masyarakat yang terdiri dari penyediaan air bersih, perbaikan jalan, perbaikan selokan dan bantuan jamban keluarga.
Sedangkan kualitas hidup dalam penelitian ini meliputi lima aspek kualitas, yaitu aspek fisik dilihat dari kelayakan rumah, aspek ekonomi dilihat dari kemiskinan dan persen pengeluaran untuk makan, aspek kesehatan, aspek psikologis dilihat dari kebetahan bertempat tinggal, aspek sosial kemasyarakatan.
Yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor apakah yang mempengaruhi kelima aspek kualitas hidup tersebut di atas dan apakah program perbaikan kampung mempengaruhi kelima aspek kualitas tersebut.
Adapun penelitian ini mempunyai tujuan:
1. Mengetahui pengaruh Perbaikan Kampung terhadap Kualitas Hidup.
2. Mengetahui pengaruh Kondisi Lingkungan Sosial terhadap Kualitas Hidup.
3. Mengetahui keberhasilan Program Perbaikan Kampung dalam meningkatkan Kualitas Hidup.
Lokasi penelitian adalah tiga Kelurahan di Kecamatan Semarang Tengah, ditentukan berdasarkan cara purposive sampling. Masing-masing kelurahan diambil satu RW yang merupakan wilayah paling padat penduduknya. Selanjutnya untuk menentukan banyaknya sampel di tiap-tiap RW digunakan cara proporsional random sampling, yang keseluruhannya berjumlah 105 responden.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara wawancara berdasarkan kuesioner, wawancara mendalam dengan masyarakat dan petugas KIP serta observasi lapangan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari bahan literatur dan dari instansi terkait. Analisis data dilakukan secara kuantitatif dengan memakai statistik non parametrik, yaitu menggunakan rumus Chi-Square yang diteruskan dengan uji Coefficient Contingency, disertai pula dengan analisis kualitatif.
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa variabel-variabel Perbaikan Kampung mempunyai korelasi yang signifikan terhadap Kualitas Hidup dilihat dari faktor layak rumah dengan derajat hubungan yang cukup kuat, berpengaruh pula terhadap faktor Kesehatan dengan derajat hubungan yang cukup kuat, akan tetapi kurang berpengaruh terhadap Kualitas Hidup dilihat dari faktor Kemiskinan, Peranserta dalam Pembangunan dan faktor Kebetahan Bertempat Tinggal.
Variabel-variabel Lingkungan Sosial mempunyai korelasi yang signifikan terhadap Kualitas Hidup balk dilihat dari layak rumah, kemiskinan, kesehatan maupun peranserta dalam pembangunan, akan tetapi kurang berpengaruh terhadap kebetahan bertempat tinggal.
Jadi dari hasil korelasi tersebut dapat disimpulkan bahwa Program Perbaikan Kampung lebih berhasil dalam meningkatkan kualitas fisik pemukiman akan tetapi kurang berhasil dalam meningkatkan kualitas ekonomi dan kualitas sosial kemasyarakatan.

The population of the city tends to grow very fast. With a 2.1% average annual growth rate, the population of the city, which had been estimated as 176 million in 1989, is predicted to count for 216 millions in the next 2000. At present, 27% of the total city population is found in the urban areas, which means that in the next 2000, the percentage will count for 38%.
Population pressure is one of the Semarang city problems. According to the 1980 census, the number of the city population in the same year is 1 024 940, compared to the city population in 1971, i.e. 641 795. That means that within nine years, the city population has undergone an increment of 57.7% or annual average of 5.3%.
Even though during the last decade various efforts had been conducted to control the population growth, in some parts of the city areas, population density is significantly increasing. This is particularly true with regard to the observed areas, where population density is more than 500/sqm. Such population pressure rendered the areas overpopulated and thus exceeding the physical carrying capacity. Such condition has been made severe with the emergence of various disordered population settlements. The uncontrolled settlements have grown very fast, creating slums areas with low-educated and low-income inhabitants adding to the increasing numbers of the urban poor.
In the frame of urban poverty eradication, the government has launched a program named as the Kampung Improvement Program (KIP), aiming to improve the quality of life of the urban poor. This program has been continuously providing social facilities to the urban poor in the form clean water provisions, street improvements, latrines and wastewater infrastructure/ facilities.
In light of its parameters, the quality of life is viewed from five aspect, i.e. (1) physical aspect, represented by housing condition, (2) economic aspect, represented by rate of poverty and percentage of consumption for food, (3) health aspect, (4) psychological aspect, viewed from residential adjustment, and (5) societal aspect.
The study tried to investigate what kind of factors influencing the five aspects of quality of life and whether the Kampung Improvement Program has significant influences on the said aspects.
The objectives of the study are:
1. To study the influence of KIP on the quality of life of the community studied;
2. To study the influence of the social environment on their quality of life;
3. To study the results of the KIP Program in promoting their quality of life
The areas studied covered three villages in the Sub-district of Central Semarang, base on purposive sampling. One RW community association, the population of which is the densest, represents each village. Samples were proportionally and randomly taken, with 105 inhabitants as respondents.
Primary data were collected through interviews using questionnaires, depth interviews with informal leaders and KIP personnel?s, supported by field observation. Secondary data were obtained through literature studies and some connected agencies.
Results of data analysis indicate that KIP variables proved to be having significant correlation with the quality of life in terms of residential adjustment factor, showing a strong degree of relationship. The same variables have also influence on the health factor, showing a strong degree of relationship, even though their influence on the quality of life viewed from the poverty, participation, and residential adjustment are less significant.
Social environment variables have significant correlation with the quality of life of the community in terms of residential adjustment, poverty, health and participation in the program; even though their influence on the residential adjustment are less significant. From the correlation analysis we can assume that the KIP has succeeded in the improvement of the settlement physical quality, yet less succeeded in improving the social and economic quality of the community.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tenouye, Elly
"Proses perencanaan pembangunan melalui Lembaga Masyarakat Adat Suku Mee (Lemasme) di kampung Kebo wilayah adat Pantai Utara, distrik Pantai Timur, kabupaten Pantai pasca otonomi daerah merupakan langkah awal dari pemerintah yang responsif dan bertanggung jawab. Hal ini dirasakan bagi mereka/orang-orang yang seakan-akan telah lama dipaksa tunduk/takluk dan baru merasa/menikmati alam demokrasi karena mereka diberikan kebebasan bersuara menurut keinginan mereka tanpa intervensi dari pihak lain. Sebelum dikeluarkan UU Otonomi Daerah No. 25 Tahun 1999 sistim perencanaan yang partisipatif, aspiratif yang ditetapkan melalui permendagri No 09 Tahun 1982 rupanya telah dimanipulasi oleh pusat untuk kepentingan tertentu yang kemudian telah menempatkan masyarakat hanya sebagai objek yang diam dan bisu dimana mereka jarang diajak untuk menunjukkan/menyampaikan keinginan, aspirasinya dalam setiap usulan program pembangunan sebagai hak warga negara untuk memperoleh manfaat dari pembangunan bahkan pemerintah di daerahpun menerima dan menjalankan keinginan dari atas. Bentuk partisipasi umumnya dimobilisasi dalam melaksanakan dan menerima kehendak luar tanpa diikutkan dalam perencanaan oleh sebab itu sifat partisipasi hanya mendukung keinginan pusat dengan falsafahnya masyarakat yang baik adalah masyarakat yang mendukung dan mengikuti apa yang dirancang oleh Pusat melalui Bappenas. Meskipun telah dikeluarkan UU Otonomi Daerah No. 25 Tahun 1999 dimana sistim perencanaan yang partisipatif, aspiratif dipandang perlu dibangun sesuai dengan keberadaan sosial budaya lokal dengan melibatkan stakeholder dan grassroot namun dalam belum dapat diwujudkan pemerintahan yang bersih (good governance).
Tesis ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai bentuk, tingkat dan faktor pendorong, penghambat partisipasi suku Mee dalam proses perencanaan pembangunan melalui lembaga masyarakat adat dengan mengacu pada teori serta upaya atau mengetahui dan memahami cara apa yang telah dilakukan dan dapat dilakukan agar kesempatan masyarakat berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan di kampung Kebo dan wilayah adat Pantai Utara dapat lebih terwujud.
Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Sumber datanya ialah informan yang didukung oleh dokumen serta pustaka. Informan-informan penting yang menjadi sampel penelitian ini adalah mereka yang terlibat dalam musyawarah adat (MA), teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi dan studi kepustakaan.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk partisipasi suku Mee dimobilisasi oleh pemerintah dan Lemasme (Lembaga Masyarakat Adat Suku Mee), dan dalam pelaksanaan musyawarah dan pengambilan keputusan masih didominasi oleh personil Lemasme (Lemasme Masyarakat Adat Suku Mee) yang disebut "Tonawi" yang merangkap beberapa jabatan. Sementara itu posisi masyarakat adat meskipun telah diberikan kesempatan untuk terlibat dalam mengusulkan aspirasi program pembangunan, mereka belum sepenuhnya memahami bahwa merekalah yang berhak mengambil berbagai keputusan.
Berangkat dari pemahaman diatas dan kondisi umum partisipasi suku Mee dalam perencanaan pembangunan di kampung Kebo dan wilayah adat Pantai Utara jika dinilai berdasarkan DELAPAN TANGGA PARTISIPASI MASYARAKAT menurut Arnstein menunjukkan bahwa tingkat partisipasi suku Mee dalam perencanaan pembangunan berada pada tangga pertama NON PARTICIPATION dan tangga ke dua TOKENISME. Dengan pengertian bahwa dua tangga pada Non Partisipasi adalah bentuk-bentuk peran serta yang dinamakan terapi dan manipulasi. Sedangkan di tingkat Tokenisme yaitu tingkat dimana peran serta masyarakat didengar dan berpendapat, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Peran serta pada tingkat ini memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menghasilkan perubahan pada masyarakat. Pemahaman diatas dapat dirumuskan bahwa suku Mee telah menghadiri, mendengar dan mengusulkan program pembangunan tetapi mereka tidak memiliki jaminan bahwa apa yang diusulkan dapat diterima oleh pengambil keputusan.
Penyampaian aspirasi masyarakat melalui Lemasme (Lembaga Masyarakat Adat Suku Mee) wilayah adat dan kampung dapat berjalan karena masyarakat yang diundang telah hadir dan menyampaikan usulan program pembangunan. Usulan yang disampaikan lebih mengarah pada kepentingan umum wilayah khususnya pembangunan sektor sosial. Hambatan yang dihadapi selain didominasi oleh tokoh lokal, diantara masyarakat yang terlambat mengetahui informasi perencanaan pembangunan mudah merasakan dipasifkan dan cenderung mencurigai bahwa hasil musyawarah dapat merugikan dan hanya mementingkan kelompok tertentu (kerabat saja), namun demikian personality tokoh lokal dapat menetralisir. Oleh sebab itu yang terpenting disini adalah membangun komunikasi dan konsultasi terlebih dahulu dengan tetap melibatkan tokoh lokal yang merepresentasi tiap dusun dan marga di kampung Kebo dan wilayah adat dalam proses perencanaan pembangunan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13907
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Ferdian
"Pelaksanaan otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah membawa konsekuensi pada kemandirian Pemerintah Daerah untuk bisa mengupayakan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mampu mengajak masyarakat lokal menggali dan mengembangkan potensi ekonomi yang mandiri, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya Pengembangan potensi ekonomi masyarakat lokal yang mandiri, tidak terlepas dari kondisi perkembangan kegiatan usaha yang dilakukan oleh masyarakat lokal, yang mana kegiatan usaha kecil dan menengah mendominasi hampir di seluruh daerah di Indonesia.
Tesis ini meneliti tentang suatu dimensi yang lebih khusus mengenai pengembangan usaha kecil di daerah melalui Program Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (PER), dengan memberikan kredit lunak kepada kegiatan usaha milik masyarakat yang dikategorikan pada usaha masyarakat menengah ke bawah. Implementasi program tersebut memerlukan keterlibatan masyarakat secara aktif sebagai perwujudan proses pemberdayaan masyarakat (Community Empowernment).
Penelitian ini dilakukan di Kota Sabang, mengingat sebagian besar masyarakat Kota Sabang bermata pencaharian sebagai pedagang dan pengusaha indistri rumah tangga.Pelaksanaan Program Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (PER) ini diharapkan dapat mengembangkan ekonomi masyarakat di Kota Sabang yang berpotensi dengan cara meningkatkan nilai tambah produksi melalui pembentukan dan pendayagunaan kelembagaan, mobilisasi sumber daya, serta jaringan kerja pengembangan usaha menengah ke bawah sesuai kompetensi ekonomi lokal. Dengan adanya program ini pendapatan dan volume produksi usaha kecil akan meningkat dan pada akhirnya akan mampu menciptakan lapangan kerja produktif dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini menggambarkan proses pemberian kredit lunak dalam Program Pemberdayaan Ekonomi Rakyat sebagai upaya peningkatan usaha kecil masyarakat di Kota Sabang dan sejauhmana keterlibatan masyarakat dalam proses tersebut. Dalam penelitian ini, penulis memilih informan dengan menggunakan teknik Snowball Sampling. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam {in-depth interview) secara semi struktur dan pengamatan langsung terhadap keterlibatan masyarakat dalam proses pemberian kredit lunak melalui Program Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (PER).
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan Program Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (PER) tersebut, Pemerintah Kota Sabang membentuk panitia pelaksana. Dengan adanya tanggung jawab yang telah dipercayakan kepada panitia, panitia merumuskan enam tahapan yang akan dijalankan untuk mendapatkan kredit lunak dari pemerintah. Tahapan tersebut yaitu: tahap pertama meliputi kegiatan pengajuan dan pengagendaan proposal serta penyeleksian tahap awal; tahap kedua meliputi kegiatan pengajuan proposal kepada Dinas Perindustrian dan Perdagangan sebagai Dinas teknis, studi kelayakan jenis usaha, survey lapangan, dan merekomendasikan kembali ke panitia; tahap ketiga yaitu survey lapangan yang dilakukan oleh tim teknis dan tim gabungan; tahap keempat yaitu pengumumam penerima dana bantuan; tahap kelima yaitu pengambilan rekomendasi oleh penerima bantuan; dan tahap terakhir yaitu pencairan dana yang dilakukan di PT. Bank BPD Kota Sabang. Tahapan tersebut dirumuskan guna tertib administrasi serta mengantisipasi timbulnya kecurangan dari berbagai pihak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Program PER melalui pemberian kredit lunak kepada masyarakat Kota Sabang telah berjalan seperti yang diharapkan pemerintah setempat. Namun program itu masih terkesan hanya proyek pemberian kredit dana dengan bunga ringan karena sangat sedikit dari proses itu yang menggunakan konsep pemberdayaan. Konsep pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan usaha kecil masyarakat ditekankan pada pentingnya masyarakat lokal yang mandiri (self-reliant communities). Konsep pemberdayaan hanya tercermin pada pembelajaran bagi masyarakat tentang cara membuat proposal permohonan bantuan dana. Pemberdayaan masyarakat belum menyentuh keseluruhan aspek dalam tahapan pemberian kredit lunak kepada pengusaha kecil. Padahal suatu program yang mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu mempunyai beberapa tujuan. Pertama, agar bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan kehendak dan mengenali kemampuan serta kebutuhan mereka, Kedua, sekaligus meningkatkan keberdayaan (empowering) masyarakat melalui pengalaman dengan merancang, melaksanakan, dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya. Program ini adalah program pemberdayaan ekonomi masyarakat bukan proyek pemberian dana kredit dengan bunga ringan.
Perlu adanya kerjasama yang lebih intensif antara aparat pemerintah Kota Sabang dengan masyarakatnya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan. Sehingga terjalin suatu komunikasi aktif stakeholders dengan pemerintah menuju pengembangan masyarakat madani. Masyarakat yang berkembang akan membentuk suatu gerakan yang dirancang guna meningkatkan taraf hidup keseluruhan masyarakat melalui partisipasi aktif dan inisiatif dari masyarakat itu sendiri."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T11542
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Syaifudin R.
"Sejak digulirkannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi. Daerah, setiap daerah diharapkan dapat mengembangkan wilayahnya secara optimal (baik pemerintahan maupun perekonomiannya) tanpa harus selalu tergantung dari Pemerintah Pusat.
Untuk meningkatkan perekonomian daerah, Pemerintah Daerah perlu mengidentifikasikan sektor-sektor mana saja yang mempunyai potensi besar dan dapat dikembangkan untuk kemajuan daerah Kabupaten/Kota masing-masing , begitu juga Kota Depok.
Kota Depok yang baru berdiri sebagai Kotamadya (sekarang Kota) berdasarkan Undang-Undang No. 15 tahun 1999 tepatnya tanggal 27 April, 1999, namun harus dipaksa dapat bersaing dengan wilayah lainnya terutama di propinsi Jawa Barat untuk meningkatkan perekonomiannya karena tidak lama setelah berdirinya kota Depok Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah lahir, sedangkan penataan baik personil, lembaga, perlengkapan maupun data sangatlah minim namun tetap harus ditata untuk kesiapannya.
Berkenaan dengan hal tersebut, penulis meneaba untuk mengidentifikasikan sektor-sektor mana dalam PDRB Kota Depok (tahun 1995 s.d. tahun 1999) yang mungkin dapat dikembangkan menjadi sektor unggutan bagi Kota Depok. Hal ini penting karena dengan mengetahui sektor-sektor unggulan, maka perencanaan kota Depok diharapkan dapat dibuat dengan baik dan tepat sesuai dengan sektor-sektor yang mempunyai keunggulan komperatif (Comparative Advantage), sehingga Pemerintah Kota Depok dapat mengembangkan sektor-sektor unggulannya yang pada akhirnya dapat meingkatkan PDRB Kota Depok dimasa yang akan datang dan dapat melaksanakan Otonomi di bidang Perekonomian dengan baik.
Selain itu juga penulis mencoba untuk mengidentiftkasikan keunggulan kompetitif pada Sumber Daya Manusia di Kota Depok dengan cara melihatnya dari investasi di bidang pendidikan dari pengeluaran APBD , angka partisipasi murni (APM) , dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dari data SDM tersebut diharapkan dapat diketahui seberapa siap Sumber Daya Manusia di Kota Depok dalam menghadapi Otonami Daerah dan dapat berjalan dengan baik sebagaimana yang diharapkan. Dengan SDM yang baik diharapkan Masyarakat Kota Depok dapat ikut membangun Kota Depok dengan jiwa kritisnya."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T11451
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Catur Ebyandri Mushendra
"Tesis ini sebagai wujud hasil penelitian tentang pelaksanaan Program Pembangunan Sarana dan Prasarana Desa/Kelurahan, sebagai salah satu bentuk upaya pembangunan partisipatif yang dilakukan pada Kota Sawahlunto. Latar belakang tesis ini diasumsikan kepada sejauhmana Pemerintah Kota Sawahlunto melaksanakan pembangunan yang partisipatif dan dan dukungan masyarakat dalam berpartisipasi untuk ikut serta dalam proses pembangunan untuk mensukseskan program Pemerintah dan visi kota Sawahlunto. Partisipasi masyarakat di daerah akan sangat membantu meningkatkan kemampuan Daerah Kota atau Kabupaten dalam melaksanakan otonomi daerahnya.
Paradigma pembangunan partisipatif mengedepankan upaya untuk melaksanakan pembangunan sebuah wilayah dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Pada era ini partisipasi bukan lagi sebagai ancaman namun telah menjadi slogan yang menarik secara politis dan sebagai sebuah instrumen yang lebih efektif dan efisien, serta sebagai sumber investasi baru bagi pembangunan sebuah daerah. Pembangunan sebagai proses yang panjang, sejak diawali dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi terhadap pembangunan tersebut. Dalam wacana ini, masyarakat adalah objek dan sekaligus merupakan subjek dan sasaran hingga pada saat yang sama, ia merupakan unsur yang dominan dalam keikutsertaannya untuk menentukan keberhasilan atau kegagalan kegiatan pembangunan yang dilakukan.
Penelitian tesis ini dilakukan di kota Sawahlunto dengan menggunakan metode kualitatif untuk menghasilkan data deskriptif yang diperoleh melalui studi kepustakaan, observasi dan wawancara mendalam (indepth interview) dengan para informan. Pemilihan informan dilakukan secara snowball sampling dimana informan pertama dapat memberikan petunjuk tentang informasi yang tepat dan mendalam atas informan yang berikutnya.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk dan saluran partisipasi yang diberikan dan kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk terlibat aktif dalam pembangunan daerah, sangat tergantung dari adanya goodwill pemerintah daerahnya. Bahwa dalam rangka menciptakan Good Governance diperlukan syarat antara lain responsif yang berarti cepat tanggap dan sekaligus memberikan respon positif atas aspirasi masyarakat yang berkembang. Kemudian, metode perencanaan partisipatif adalah merupakan metode yang telah disepakati dalam perencanaan pembangunan Kota Sawahlunto. Metode partisipatif dalam pembangunan kota berarti suatu upaya melibatkan langsung masyarakat yang sebelumnya hanya menjadi objek pembangunan ke perlakuan masyarakat sebagai subjek (pelaku/pelaksana) yang sekaligus juga perencana dan pemelihara pembangunan itu sendiri. Hanya saja realisasi sepenuhnya terhadap aspirasi masyarakat tidak mungkin bisa menjadi kenyataan karena berbagai keterbatasan yang dimiliki sebuah daerah. Program ini sebagai salah satu upaya untuk memenuhi aspirasi pembangunan yang tumbuh dari bawah. Program ini juga didasarkan atas asumsi segala bentuk pembangunan fisik Kota Sawahlunto dalam upaya mencapai visi kota Sawahlunto 2020 menjadi kota wisata tambang yang berbudaya pada hakekatnya adalah bermuara/berlokasi di Desa/Kelurahan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa tentunya terdapat beberapa hambatan dan kendala yang dihadapi seperti: SDM yang kurang mendukung, kepentingan para kontraktor yang terganggu rejekinya serta hal-hal teknis yang berkaitan langsung dengan kegiatan program. Namun paling tidak, program yang dilaksanakan pada tahun 2001 ini telah berhasil untuk memberikan proses belajar untuk meningkatkan rasa memiliki tanggung jawab terhadap pembangunan kota dalam mencapai visi, karena masyarakat kota telah berpartisipasi dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pemeliharaan hasilnya. Meningkatkan kemampuan masyarakat (mendidik masyarakat untuk belajar membuat perencanaan dan mengelola semua proses pembangunan sesuai dengan potensi/sumber daya yang tersedia). Memberikan kewenangan dan kepercayaan yang lebih luas kepada masyarakat untuk melaksanakan pembangunan di wilayahnya sendiri. Pemberdayaan tenaga kerja potensial di tingkat Desa dan membantu pengurangan beban pengangguran selama program berlangsung, serta demi meningkatkan rasa kebersamaan dan kegotong-royongan masyarakat.
Pembangunan partisipatif yang dilaksanakan dapat dikatakan masih berorientasi partisipatif efisiensi. Partisipatif efisiensi lebih mengarah kepada kepentingan pemerintah. Hal ini dapat menjadikan beberapa asumsi yang tidak sesuai dengan konsep pembangunan partisipatif Mikkelsen dimana feed back yang diharapkan adalah adanya proses belajar sebagai kegiatan pembangunan. Asumsi dari tinjauan konsep pembangunan partisipatif dapat mengkritisi program ini sebagai kegiatan eksploitasi dan mobilisasi terhadap masyarakat kota dalam suatu kegiatan pembangunan. Pemerintah Kota Sawahlunto diharapkan dapat melakukan terobosan-terobosan untuk lebih berani memberikan kesempatan dalam berbagai bentuk dan saluran partisipasi masyarakat kota."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T4418
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfian
"Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang peranan nagari dalam memberdayakan masyarakat dan faktor-faktor yang menjadi kendala terhadap upaya pemberdayakan tersebut. Penelitian ini dipandang panting mengingat transisi dari desa ke nagari merupakan suatu bentuk perubahan sosial di masyarakat. Dalam proses perubahan tersebut sangat dibutuhkan peran agen perubah (dalam hal ini nagari), karena pada dasamya masyarakat masih memiliki berbagai keterbatasan dalam mengikuti perubahan tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif yang diperoleh melalui wawancara mendalam (indepth interview) semi terstruktur dengan para informan di lapangan. Sementara itu pemilihan informan dilakukan secara purposive sampling, dengan lingkup informan mencakup wali nagarilaparat nagari, masyarakat, tokoh-tokoh masyarakat dan aparat pemerintah kabupaten.
Dari hasil temuan lapangan diketahui bahwa di lokasi penelitian Situjuah Batua, organisasi nagari telah berkembang balk dan berjalan cukup efektif. Peluang yang ada dengan diberikannya otonomi yang cukup luas kepada nagari dalam mengurus masyarakatnya dapat dimanfaatkan ke dalam tindakan nyata terutama dalam memberdayakan masyarakatnya. Peran sebagai pemberdaya telah terlihat sejak awal proses Kembali ke Nagari, proses pembangunan di nagari, proses pembuatan produk hukum nagari dan dalam mewujudkan berbagai program yang bertujuan meningkatkan pendapatan masyarakat yang kalau disimpulkan upaya pemberdayaan masyarakat tersebut tercakup dalam tiga bidang yaitu pemberdayaan di bidang politik, hukum dan ekonomi sebagaimana batasan permasalahan penelitian ini. Kondisi ini bisa tercipta karena ditunjang oleh kapasitas dan karakter kemmimpinan yang dimiliki oleh wall nagari sehingga mampu menjalankan peran sebagai salah seorang agen perubah. Disamping itu kondisi sosial budaya masyarakat yang masih homogen dimana ikatan dan nilai-nilai social seperti kebersamaan, gotong royong dan lain sebagainya, masih me[ekat kuat di masyarakatnya temyata bisa dimanfaatkan menjadi suatu potensi sosial (social capital), sehingga ikut mendorong beijalannya proses pemberdayaan masyarakat nagari tersebut secara bertahap.
Akan tetapi sebaliknya, temyata organisasi Nagari Sarilamak belum berkembang secara baik. Hal ini dapat dibuktikan dengan belum efektifnya peran yang dijalankan nagari dalam memberdayakan masyarakat, temyata hanya ditemui di beberapa item kegiatan saja. Memang dalam tahap awal pada proses Kembali ke Nagari, peran sebagai pemberdaya sempat mengemuka. Akan tetapi da[am penyelenggaraan berbagai kegiatan nagari seianjutnya, peran pemberdaya tersebut justru cenderung hilang. Dengan kata lain peruhahan yang terjadi di sarilamak baru sekedar berganti istilah dari desa ke nagari.
Salah satu penyebab terjadinya hal ini adalah karena tidak mampunya wali nagari bertindak sebagai agen perubah karena tidak ditunjang oleh kapasitas dan kemampuan serta kualitas kepemimpinan yang memadai. Masalah ini kian dipersulit dengan kondisi sosial budaya masyarakat yang cenderung heterogen. Heterogenitas masyarakat Sarilamak ternyata memberi kesulitan tersendiri karena masih kuatnya beriaku nilai-nilai tradisional dalam kehidupan masyarakat, sehingga kaum pendatang hams mau menerima internalisasi nilai budaya lokal yang belum tentu sesuai dengan budaya asli mereka seperti yang terjadi di Jorong Purwajaya yang dihuni mayoritas suku Jawa. Akibat adanya heterogenitas ini masyarakat ternyata cenderung apatis dengan berbagai program kegiatan yang ada di nagari.
Persoalan kian bertambah bila dikaitkan dengan perangkat regulasi pemerintah kabupaten yang temyata tidak menciptakan suasana yang kondusif dan malah disadari atau tidak, menimbulkan suatu pola ketergantungan. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan pemberian subsidi kepada nagari, reposisi dan pergesaran fungsi camat maupun upaya pembinaan yang harusnya dijalankan belum dilakukan secara optimal.
Terlepas dari semua itu, upaya pemberdayaan tetap hams dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan (ongoing process). Karena untuk menciptakan suatu masyarakat yang berdaya tidak dapat dilakukan hanya dalam waktu sekejap, akan tetapi tetap harus ada langkah-langkah nyata untuk mewujudkannnya.
Untuk menyikapi kandisi dan permasalahan yang terjadi menyangkut peranan yang idealnya dilaksanakan oleh nagari maka diperlukan berbagai pembenahan. Pembenahan hams dilakukan terhadap kondisi internal nagari terutama peningkatan kapasitas dan kemampuan wali nagarilaparat nagari agar mampu menjalan peran mendasar sebagai agen perubah. Kemudian perbaikan juga ditujukan kepada masyarakat agar mampu mengerti dan menyadari tentang apa yang menjadi permasalahan dan kebutuhan mereka serta potensi yang dimiliki. Selain itu juga diperlukan kebijakan-kebijakan dari pemerintah yang lebih atas (terutama pemerintah kabupaten) yang mendukung terwujudnya pemberdayaan bagi masyarakat nagari."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T195
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safrudin
"Hakikat tujuan pembangunan pedesaan adalah mengubah secara sadar dan bertahap tatanan kehidupan warga masyarakat desa dari sistem nilai tradisional ke arah sistem nilai modern. Atau dengan kata lain, pembangunan pedesaan adalah suatu proses modernitas kehidupan masyarakat desa yang dilakukan secara terpola dan terarah untuk meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan warga masyarakat desa, dimana arti dan fungsi nilai-nilai teori (penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi) dan nilai-nilai ekonomi (kesejahteraan masyarakat) menjadi lebih dominan dari nilai-nilal lainnya.
Dalam pelaksanaannya, tujuan pembangunan desa ternyata masih jauh dari kenyataan yang diinginkan. Hasil pembangunan pedesaan tampaknya belum merata, dan bahkan terdapat indikator yang menunjukan bahwa gerak pembangunan pedesaan terkesan lamban bila dibandingkan dengan gerak pembangunan perkotaan. Berangkat dari pemikiran inilah, penulis mencoba mengkaji kebijakan dan strategi pembangunan desa dengan mengambil studi kasus di Desa Kota Baru Kecamatan Lahat Kabupaten Lahat Sumatera Selatan.
Secara umum, dari hasil observasi dan studi pustaka yang dilakukan selama penelitian berlangsung, menunjukkan adanya distorsi pembangunan yang disebabkan oleh kemandegan fungsi kelembagaan masyarakat desa khususnya di Kota Baru. Persoalan ini muncul berawal dari penerapan UU No. 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa yang kemudian disusul dengan kepmendagri No.27 Tahun 1984 tentang susunan organisasi dan tata kerja Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Keberadaan undang-undang tersebut ternyata telah mendisfungsikan kelembagaan masyarakat yang semestinya demokratis, aspiratif dalam penyusunan rencana pembangunan desa. Akibatnya kemudian adalah berhentinya fungsi LMD dan LKMD sebagai lembaga pengambilan keputusan dan perencana pembangunan di desa sebagai representasi kebutuhan masyarakat.
Dari hasil observasi di desa Kota Baru menunjukkan bahwa, pola perencanaan top-down dalam pembangunan pedesaan yang dipraktekkan sejak orde baru ternyata kurang efektif dalam upaya membangun dan memberdayakan masyarakat desa sebagai obyek sekaiigus subyek pembangunan.
Dari hasil penemuan tersebut, maka penulis mencoba menyarankan untuk dilakukannya reformasi kelembagaan masyarakat di desa Kota Baru, agar lebih demokratis, aspiratif terhadap kebutuhan masyarakat, serta berkualitas dalam pengertian bahwa aparatur yang duduk di kelembagaan tersebut memiliki kapasitas dan kapabilitas yang baik dalam merencanakan dan mengambil kebijakan dalam rangka mensukseskan pembangunan desa di Kota Baru Kabupaten Lahat Sumatera Selatan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan rill masyarakat desa Kota Baru."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T7156
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Baharis
"Tesis ini meneliti tentang Pemberdayaan Masyarakat melalui Program PDM-DKE di desa Pagar Dewa dan desa Sukarami Kecamatan Selebar Kota Bengkulu di Propinsi Bengkulu. Program PDM-DKE ini muncul seiring dengan terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Program ini berlaku di seluruh wilayah RI termasuk juga desa Pagar Dewa dan desa Sukarami. Akibat dari krisis ekonomi ini masyarakat di kedua desa tersebut menghadapi berbagai permasalahan yang sangat berat yaitu: Pertama, rendahnya tingkat pendapatan masyarakat disebabkan usaha produktif yang mereka kelola kurang mendatangkan hasil yang memadai dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, untuk mengembangkan usaha produktifnya mereka membutuhkan modal dari pihak lain. Kedua, terjadinya persaingan yang tidak sehat antar sesama masyarakat, masyarakat saling curiga mencurigai satu dengan yang lainnya oleh karena itu masyarakat selalu tertutup dalam hal menerima gagasan maupun kehadiran orang lain. Ketiga, tidak ada lembaga yang dapat menyatukan pandangan, gerak dan Iangkah mereka secara bersama-sama untuk keluar dari kemelut kemiskinan yang dialami oleh mereka. Keempat, masyarakat belum menyadari rnasalah dan potensi, serta belum mampu memilih alternatif dan merencanakan usaha apa yang harus mereka kembangkan di desanya. Masyarakat dikedua desa ini menjadi tidak berdaya nnenghadapi situasi yang demikian, oleh karena itu pemerintah menggulirkan program PDM-DKE.
Program PDM-DKE merupakan program pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan masyarakat ini dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan masyarakat agar mereka marnpu mengatasi permasalahan hidupnya sehari-hari dan tidak terjebak dalam kemiskinan. Proses pemberdayaan masyarakat dalam program ini dilaksanakan melalui empat tahap yaitu tahap persiapan, perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian. Adapun tujuan penelitian ini adalah pertama untuk mengetahui proses pemberdayaan masyarakat, kedua mengetahui hasil yang dicapai, dan ketiga untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses pemberdayaan masyarakat melalui program PDM-DKE di kedua desa tersebut.
Metode yang digunakan adalah dengan pendekatan kualitatif yang menghasilkan data deskriptif, dengan teknik pengumpulan data berupa: studi kepustakaan, studi dokumentasi dan wawancara tidak terstruktur. Sedangkan yang menjadi informan dalam penelitian ini sebanyak 18 orang. Mereka ini adalah orang-orang yang terlibat secara langsung dalam kegiatan program PDM-DKE di desa Pagar Dewa maupun di desa Sukarami.
Dari hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa proses pelaksanaan program PDM-DKE di kedua desa tersebut berjalan dengan baik sesuai dengan prinsip pengelolaan program, dilaksanakan secara transparan di ketahui oleh seluruh lapisan masyarakat dengan mudah dan terbuka dengan melibatkan peran aktif masyarakat mulai dari tahap persiapan, perencanaan, pelaksanaan, hingga pelestarian. Setiap pengambilan keputusan didasarkan atas hasil kesepakatan bersama melalui rapat musyawarah desa. Hasil yang telah dicapai dari proses pemberdayaan ini cukup baik. Baik ditinjau dari faktor peningkatan pendapatan, keterbukaan, musyawarah desa, maupun kemandirian. Sedangkan faktor yang mempengaruhi dalam kegiatan ini adalah kondisi masyarakat dikedua desa tersebut dan kebijakan program itu sendiri. Secara keseluruhan proses pemberdayaan masyarakat melalui program PDM-DKE di desa Pagar Dewa dan desa Sukarami dapat dikatakan cukup berhasil. Namun, dalam prakteknya masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan yang dihadapi baik oleh pengurus sebagai pendamping, maupun masyarakat sebagai anggota pokmas penerima manfaat.
Saran yang disampaikan, dalam memberdayakan masyarakat miskin selain dengan memberikan bantuan dana untuk pengembangan usaha produktif, masyarakat juga perlu diberikan pengetahuan yang memadai agar usaha yang akan dikelola tidak bersifat spekulatif. Untuk mencapai hasil yang maksimal perlu lebih ditanamkan kesadaran dan motivasi yang kuat mulai dari tahap persiapan sampai pada tahap pelestarian program. Sedangkan untuk menghindari faktor-faktor yang dapat menghambat pelaksanaan program dapat diadakan pendekatan secara individual atau pendekatan kelompok."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T928
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zaily Oktosab Fitri Abidin
"Seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat di era reformasi dan dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang mulai dilaksanakan per 1 Januari 2001, muncul fenomena keinginan masyarakat pada berbagai wilayah untuk membentuk suatu daerah otonom baru (baik Propinsi, maupun daerah Kabupaten dan daerah Kota) yang terlepas dari induknya. Keinginan masyarakat diberbagai daerah untuk menjadikan daerahnya sebagai daerah otonom itu antara lain juga disebabkan karena UU No. 22/1999 tidak lagi mengenal adanya Kota Administratif (Kotif), namun hanya daerah Propinsi, Kabupaten dan Daerah Kota. Kebijakan Pemerintah tersebut tentu saja di respon oleh sebagian besar masyarakat di wilayah Kota Administratif Pagar Alam. Apabila Kotif Pagar Alam tidak mengajukan peningkatan status untuk menjadi Daerah Kota Pagar Alam, maka harus kembali menjadi Kecamatan dalam wilayah Kabupaten Lahat.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan status wilayah administrasi di Kota Pagar Alam dan proses peningkatan status wilayah administrasi di Kota Pagar Alam.
Permasalahan penelitian dirumuskan dengan 2 pertanyaan penelitian yaitu : " Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pembentukan Daerah Kota Pagar Alam ? ? dan Bagaimana Proses pembentukan Daerah Kota Pagar Alam dilakukan ? ".
Untuk mencari jawaban atas pertanyaan diatas digunakan metode kualitatif dengan desain deskriptif. Proses pengumpulan data dilakukan dalam dua tahapan, Tahapan pertama adalah wawancara mendalam dan observasi dan tahapan kedua adalah kajian dokumentasi dan kepustakaan.
Analisa data menggunakan teknik analisa kualitatif deskriptif sehingga terhadap data-data statistik yang bersifat kuantitatif dipergunakan sebagai pendukung analisa.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder dan data primer sebagai dasar analisis. Teknik Analisis Data yang digunakan adalah Data Reduction (Reduksi data), Data Organization (Pengorganisasian data) dan Interpretation (Interpretasi atau Penafsiran) serta didukung oleh ketentuan dari PP No 129 Tahun 2000. Kelayakan untuk menjadi daerah Kota dilihat dari 7 kriteria yaitu kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lainnya, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000. Dari perhitungan diperoleh bahwa jumlah skor minimal kelulusan adalah 2280.
Peningkatan Status Wilayah Administrasi diidentifikasi dengan beberapa indikator yaitu Kontribusi PDS terhadap Pengeluaran Rutin, PDRB Per Kapita, Laju Pertumbuhan Ekonomi, Kondisi SDA, Pengembangan Ekonomi Masyarakat, Pendidikan dan Kesehatan, Transportasi dan Komunikasi, Sarana Pariwisata, Ketenagakerjaan, sarana tempat peribadatan, Sarana kegiatan institusi, sarana olah raga, jumlah penduduk, luas wilayah, mata pencaharian, penataan wilayah Kota, keamanan dan ketertiban, sarana dan prasarana pemerintahan dan rentang kendali.
Dari Hasil Analisa diperoleh kesimpulan bahwa Kotif Pagar Alam Layak untuk ditingkatkan statusnya menjadi Daerah Kota, karena total skor dari beberapa indikator pada Calon Kota Pagar Alam adalah sebesar 2735, atau lebih besar dari jumlah skor minimal yang dipersyaratkan sebesar 2280.
Sedangkan skor total Kabupaten Induk adalah sebesar 2640. Skor tersebut meskipun masih lebih rendah dari skor total Calon Kota Pagar Alam, namun bila dibandingkan dengan total skor minimal juga masih lebih besar. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa adanya daerah Kota Pagar Alam tidak terlalu mengganggu pertumbuhan Kabupaten induknya. Dari analisa ini dapat dijelaskan juga bahwa penulis menganalisa kelemahan dari Peraturan Pemerintah ini.
Rekomendasi hasil analisa adalah bahwa Kotif Pagar Alam telah menjadi daerah Kota, perlu memperhatikan Kabupaten Induknya agar tidak terjadi ketimpangan yang semakin besar, mengingat hasil kajian menunjukan bahwa skor daerah Kota lebih besar dari Kabupaten Induk. Padahal jumlah penduduk dan Kecamatan lebih besar di daerah Kabupaten Induk."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T11428
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>