Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 129498 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Jumlah penduduk yang yang semakin lama semakin bertambah sebanding
dengan pertambahan jumlah kebutuhan akan rumah. Namun dalam kenyataannya
kebutuhan permintaan akan hunian sendiri tidak diimbangi dengan kemampuan akan
penyediaan rumah. Yang selanjutnya akan semakin memperlebar jarak antara
permintaan dengan kemampuan penyediaan rumah.
Salah satu usaha untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan
adanya ajuan konsep hibrid pada hunian. Adapun konsep hibrid ini teljadi sebagai
proses adaptasi pada dunia arsitektur terhadap perubahan sosial dan budaya yang
nantinya akan terjadi. Hasil dari proses adaptasi ini terlihat pada adanya perubahan
dan perluasan akan bentuk hunian yang tercipta nantinya baik hunian yang memiliki
fungsi tempat tinggal maupun hunian yang terintegrasi dari fungsi tempat tinggal dan
usaha.
Dalam skripsi ini akan diberikan beberapa contoh kasus dari penggunaan
konsp hibrid dalarn konteks hunian yang memiliki fungsi tempat tinggal dan hlmian
yang terintegrasi dari fungsi tempat tinggal dan usaha serta beberapa contoh kasus di
lapangan mengenai hunian yang terintegrasi dari iimgsi tempat tinggal dan usaha
sebagai bahan perbandingan Akhimya dari studi kasus tersebut didapatkan suatu
kesimpulan akan efektifitas dari penggunaan konsep hibrid pada hunian yang
terintegrasi dari dua fungsi yakni rumah dan usaha terhadap konteks pemecahan
permasalahan hunian pada kota yang miskin lahan namun kaya akan penduduk"
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2003
S48458
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Kusumawardani
"Dunia properti beberapa tahun terakhir kembali bergairah setelah masa-masa keterpurukannya. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, sudah banyak bermunculan produk-produk perumahan di sekitar Jakarta dengan tipe dan fasilitas yang semakin lengkap.
Perumahan, sebagaimana produk lainnya dapat dilihat sebagai kumpulan dari atribut-atribut atau manfaat yang terkandung dari produk itu sendiri. Sesuai dengan anatomi produk menurut Kotler (1997) produk inti rumah adalah merupakan manfaat utama sebuah rumah yaitu sebagai tempat untuk berlindung dari panas dan hujan. Namun saat ini rumah tidak hanya berfungsi sebagai tempat berlindung dan panas dan hujan, tapi jugs dapat menjadi tempat untuk mencari ketenangan dan kebahagiaan bagi keluarga.
Perkembangan atribut sebuah perumahan berlangsung begitu cepat. Saat ini, banyak pengembang mendirikan lingkungan perumahan yang telah dilengkapi dengan sarana kesehatan, sarana pendidikan, sarana olah raga hingga ke sarana hiburan. Konsumen seakan dimanjakan dengan kelengkapan berbagai fasilitas dan lingkungan yang aman, tenang dan harmonis.
Sehubungan dengan hal tersebut, pemasar hares mengetahui bagaimana preferensi konsumen di pasar terhadap atribut-atribut produk hunian yang ada saat ini, agar produk yang dijual cepat diserap pasar. Pertanyaan-pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah : atribut manakah yang dianggap paling panting oleh konsumen; apakah terdapat perbedaan preferensi konsumen terhadap produk hunian yang berada di luar DKI Jakarta dan di dalam wilayah DK1 Jakarta; apakah terdapat perbedaan preferensi terhadap atribut perumahan diantara konsumen dengan berbagai tingkat penghasilan; apakah responden dapat dikelompokkan ke dalam beberapa segmen yang dapat dibedakan secara signifikan berdasarkan kemiripan preferensi terhadap multi atribut produk hunian?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian di atas, penulis telah melakukan penelitian tentang preferensi konsumen terhadap produk perumahan dengan menggunakan teknik analisis konjoin, dengan menggunakan software SPSS versi 10.5, yang menjalankan fungsi model analisis konjoin tradisional (decomposisional conjoin). Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa atribut produk perumahan seperti : harga, lokasi, akses jalan, aspek legalitas, fasilitas dan cars bayar, yang masing-masing memiliki tingkatan tertentu. Dari hasil analisis konjoin ini diperoleh dua informasi panting yaitu : tingkat kepentingan relatif atribut dan nilai utilitas (pan worth) dari setiap tingkatan atribut.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa atribut harga dan lokasi merupakan dua atribut yang memiliki tingkat kepentingan relatif paling besar di mata responden. Namun berbeda dengan dugaan penulis, responden dalam penelitian ini temyata lebih menyukai hunian yang berada di luar wilayah DKI Jakarta disbanding dengan perumahan yang berada di dalam wilayah DKI Jakarta. Sekalipun demikian, tetap responden menghendaki perumahan yang dekat dengan akses jalan tol dibandingkan dengan perumahan yang berada jauh dari akses jalan tol. Sementara tingkat penghasilan memang secara signifikan mempengaruhi perbedaan preferensi konsumen terhadap atribut harga.
Dari penelitian ini jugs diperoleh tiga segmen yang dibedakan berdasar tingkat kepentingan atribut harga. Segmen pertama terdiri dari responden yang bersikap moderat terhadap harga, segmen kedua merupakan kelompok responden yang bersikap sensitive terhadap harga, sementara segmen ketiga merupakan kumpulan responden yang bersikap tidak responsive terhadap perubahan harga.

The world of property in Indonesia, especially on Jakarta, in the end of years have a good passion, after its ruin years. In the short times, many developers build much more housing and commercials area.
Housing, as the other products could be seen as a bundle of attributes or functions including in the product it self. Kotler (1997) have said that product have an anatomy. Core product was a first line of anatomy as a main function from that product. The main function of a housing as a place for living. But this time, a house not only as a place for somebody living. A house will be expecting to give a feel comfort and give prestige to the person who live in.
The growth of housing attributes product be happen so fast. This time, developers build many environment of housing which be completed with service education area, commercial area, sport club area, hospital, entertainment area and so on. Consumers can be relaxe the high style of living.
Relating to the fast growing of attributes of housing, developers have to understand how the preference of consumers. If the developers have a deep understanding about the preference of a housing attributes, he can make a good product which can sold out lastly.
The hipotesis questions which will be answered in this study are : which attribute most preferred, are the consumers prefer a house which located in the town or in suburb, is a preference differ among consumers which have a different level of salary, is consumer can be differented to the segments depend on their characteristic of preference?
To answer the questioners above, the writer did the study about consumers preference of housing multiattributes product with conjoint analysis. The method was chosen to run the analysis is decomposisional conjoint or traditional conjoint from Green and Srinivasan (1979), In this study the writer chose six attributes (price, location, acces, legality, facility, and term of payment) and each of them have many levels. Conjoint analysis result are the importance of attribute and partworth or utility of level attribute.
The result of conjoint analysis said that price and location are attributes which have big importance from the consumers point of view. But, its differs from assumption of the writer, respondent in this study are prefer a house which located in suburb than a house which located in town. And level of salary the respondents have a correlation with their preference of price attribute.
The K-Means cluster use to differ all respondents to be 3 segments which have same characteristic in preference of price attribute. The segmen 1, have a special characteristic as a price moderate people, segmen 2 as a price sensitive people, and segmen 3 as a not responsive to the price different people. But each segment can not be differ clearly depend on their demography characteristic, because the respondents have almost homogenous characteristic in demography.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T20123
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendro Bowo Kusumo
"[Penelitian ini dilakukan untuk mereview regulasi tentang persyaratan luas minimal setiap kavling/unit perumahan di Kota Depok. Penelitian ini menggunakan metode Regulatory Impact Assesment (RIA) dengan menggunakan AHP untuk CBA dalam kuesioner untuk menganalisis dampak kebijakan tersebut pada saat diimplementasikan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa alternatif kebijakan yang paling tepat dalam mengatasi permasalahan adalah dengan meniadakan ketentuan syarat luas minimal lahan setiap/kavling perumahan di
Kota Depok. Sehingga disarankan Pemerintah Kota Depok untuk mencabut ketentuan yang mengatur persyaratan luas minimal lahan setiap kavling/unit perumahan 120 (seratus dua puluh) meter persegi di dalam Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2013 dan Rancangan Perda tentang RTRW Kota Depok tahun 2012-2032;This Study was conducted to review the regulations on minimum area requirements of each housing unit in Depok City. This study uses Regulatory Impact Assesment (RIA) to analyze the impact of the policy at the time of
implementation. Analysis tool used in this RIA method is using CBA obtained from AHP questionnaire. Result of this study indicates that the most appropriate policy alternative to overcome problems is to drop minimum land area requirement regulation for each housing unit in Depok City. For Depok City Government it is suggested to repeal provisions in City Regulation No. 13 of 2013 and city regulation draft concerning Depok City Spatial Plan 2012-2032 wich regulate minimum area requirement is 120 square meters for each land/housing unit., This Study was conducted to review the regulations on minimum area
requirements of each housing unit in Depok City. This study uses Regulatory
Impact Assesment (RIA) to analyze the impact of the policy at the time of
implementation. Analysis tool used in this RIA method is using CBA obtained
from AHP questionnaire. Result of this study indicates that the most appropriate
policy alternative to overcome problems is to drop minimum land area
requirement regulation for each housing unit in Depok City. For Depok City
Government it is suggested to repeal provisions in City Regulation No. 13 of
2013 and city regulation draft concerning Depok City Spatial Plan 2012-2032
wich regulate minimum area requirement is 120 square meters for each
land/housing unit.]"
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2015
T44270
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulinda Rosa
"Tersedianya informasi kecenderungan tipe hunian yang dipilih oleh rumah tangga berdasarkan umur dan status sosiall, ekonomi dan budaya kepala keluarga atau lebih dikenal dengan dwelling type propensities sangat bermanfaat untuk menyelesaikan masalah kebutuhan rumah. Untuk mendapatkan gambaran dwelling type propensities di Indonesia, dilakukan sampel di 3 kota (Depok, Cirebon dan Pekanbaru) dengan teknik pengambilan sample multystage sampling telah diambil 1.200 kepala keluarga untuk Kota Depok, 480 untuk Kota Cirebon dan 1.000 untuk Kota Pekanbaru, menggunakan program software Excel dan Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) untuk melakukan analisis faktor, analisis regresi dan analisis deskriptif. Perjalanan karir perumahan di ke 3 sampel kota paling terlihat perubahan pada rentang umur < 34 tahun, sejalan dengan besarnya perubahan pendapatan keluarga ke arah yang lebih mapan dan penambahan jumlah keluarga, disertai perubahan kepemilikan tempat hunian dengan perubahan ukuran luas lantai ke arah yang lebih besar, pencapaian tertinggi pada rentang umur 40 tahunan utamanya umur 45 tahun. Rata-rata masyarakat Kota Depok bekerja pada umur 22 tahun dengan pendidikan rata-rata SMA, menempati tempat hunian dengan status kontrak, penghasilan rata-rata Rp. 1.388.500,- (di bawah UMK = Rp. 1.453.875,-). Rata-rata umur 23 tahun mulai lepas dari orang tua dan hidup mandiri, pendapatan rata- rata Rp. 1.613.000,- menghuni rumah dengan status hunian mengontrak (0,25%) dan 0,08% menempati rumah status milik. Persentase keluarga menempati rumah milik meningkat tajam dimulai ketika anak usia sekolah sampai usia 55 tahunan (69,23%) dan cenderung menempati tempat hunian menetap disatu lokasi."
Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2016
728 JUPKIM 11:2 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Sihsetyaningrum
"Penelitian ini bertujuan untuk memberikan masukan kepada kebijakan Pemerintah di bidang perumahan. Tujuan penelitian antara lain :
1. Mengetahui perkiraan kebutuhan rumah (permintaan potensial) di wilayah Jabodetabek.
2. Mencari hubungan antara pengeluaran (konsumsi) rumah dengan income, ukuran keluarga dan harga rumah.
3. Mencari hubungan antara harga rumah dengan income, jumlah penduduk, laju pengangguran, PDRB, luas kawasan yang sudah digunakan untuk permukiman serta luas kawasan yang tidak digunakan untuk permukiman.
Untuk menjawab tujuan pertama digunakan pendekatan dengan rumus yang diperkenalkan oleh L. Chatterjee, sedangkan untuk menjawab tujuan kedua dan ketiga digunakan pendekatan analisis regresi berganda.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan antara lain :
1. Kebutuhan rumah di wilayah DKI Jakarta dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan yang meningkat, sedangkan di wilayah Bodetabek kebutuhan rumah cenderung meningkat stabil. Total kebutuhan rumah untuk DKI Jakarta secara kumulatif dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2010 adalah sebanyak 1.825.101 unit rumah. Sedangkan kebutuhan rumah untuk wilayah Bodetabek secara kumulatif dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2010 adalah sebanyak 2.643.601 unit rumah yang terbagi atas wilayah Bogor dan Depok 1.046.361 unit, wilayah Tangerang 936.043 unit dan wilayah Bekasi 661.197 unit. Kebutuhan rumah rata-rata per tahun untuk wilayah DKI Jakarta menunjukkan peningkatan yang sangat tinggi yaitu dari 106.898 unit rumah per tahun pada periode tahun 2000-2002 menjadi 188.051 unit rumah per tahun pada periode tahun 2003-2010. Kebutuhan rumah rata-rata per tahun untuk wilayah Bogor dan Tangerang menunjukkan peningkatan yang sangat kecil yaitu hanya sekitar 4 ribu unit rumah per tahun antara kedua periode waktu tersebut. Sedangkan untuk wilayah Bekasi justru terjadi penurunan kebutuhan rumah rata-rata per tahun pada kedua periode waktu tersebut.
2. Hasil perumusan model pengeluaran untuk rumah di wilayah Bodetabek tidak sepenuhnya sesuai dengan hipotesa awal karena pengeluaran (konsumsi) rumah hanya dipengaruhi oleh income dan harga rumah secara positif dan tidak dipengaruhi oleh ukuran rumah tangga. Perumusan model pengeluaran untuk rumah dengan pembagian wilayah atas Bogor, Tangerang dan Bekasi maupun Bodetabek secara keseluruhan, menghasilkan penaksiran model yang tidak banyak berbeda kecuali untuk wilayah Tangerang. Hal ini terlihat dari nilai elastisitas pendapatan dan elastisitas harga rumah dalam model. Berdasarkan nilai elastisitas pendapatan yang berkisar antara 0,1 sampai dengan 0,5 menunjukkan bahwa rumah masih merupakan barang kebutuhan pokok bagi masyarakat di Bodetabek.
3. Hasil penelitian model harga rumah tidak sepenuhnya sesuai dengan hipotesa awal karena harga rumah dari hasil penelitian hanya dipengaruhi oleh income, jumlah penduduk dan luas kawasan yang sudah digunakan untuk permukiman. Sedangkan variabel bebas PDRB, luas kawasan yang tidak digunakan untuk permukiman dan laju pengangguran tidak mempengaruhi harga rumah. Nilai koefisien regresi semua variabel bebas pada model harga rumah RS tipe 36/72 lebih besar daripada nilai koefisien regresi semua variabel bebas pada model harga rumah RSS tipe 21/60. Hal ini menyatakan bahwa semakin mahal harga sebuah rumah, pengaruh dari faktor pendapatan, jumlah penduduk dan luas kawasan yang sudah digunakan untuk permukiman semakin besar.
Rekomendasi kebijakan yang penting dari hasii penelitian antara lain :
1. Pembangunan rumah perlu terus dilakukan di sekitar wilayah DKI Jakarta untuk memenuhi kebutuhan rumah di DKI Jakarta yang terus meningkat. Oleh karena ketersediaan lahan di DKI Jakarta yang sangat terbatas, perlu dikembangkan pembangunan rumah vertikal (rumah susun).
2. Pembangunan rumah juga perlu ditingkatkan di wilayah Bodetabek untuk menampung limpahan penduduk dari DKI Jakarta. Di wilayah Bogor, karena stok rumah yang belum mencapai 100% jika dibandingkan jumlah rumah tangga, perlu lebih didorong untuk mengejar ketertinggalan dari wilayah Tangerang dan Bekasi dengan membangun lebih banyak rumah di wilayah Bogor. Konsentrasi pembangunan di Bogor juga direkomendasikan berdasarkan penelitian model pengeluaran untuk rumah di Bogor yang menghasilkan elatisitas pendapatan yang terkecil.
3. Dari hasil penelitian mengenai harga rumah di Bodetabek, disarankan supaya Pemerintah bersama swasta lebih banyak membangun rumah tipe yang lebih kecil (RS dan RSS) daripada tipe menengah ke atas. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa semakin mahal harga sebuah rumah, pengaruh dari income, jumlah penduduk dan luas kawasan yang sudah dibangun untuk permukiman semakin besar."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T15286
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lulu Safitri Wijaya Jonni
"Manusia pada tahapan siklus hidup yang berbeda akan memiliki kebutuhan, keinginan, dan hambatan yang berbeda-beda dalam kegiatan merumahnya, serta bergantung pada konteks di mana ia bertinggal. Pengalaman merumah individu pada setiap tahapan siklus hidup atau yang sering disebut sebagai housing transition diperlukan untuk dapat memahami secara menyeluruh kondisi dan isu permukiman dalam konteks tertentu. Salah satu isu permukiman yang membutuhkan perhatian terhadap hubungan antara pengalaman merumah dengan tahapan siklus hidup manusia adalah segregasi permukiman berdasarkan usia. Pada konteks Blok Empang ditemukan adanya housing transition kelompok individu dewasa muda, usia paruh baya, dan usia lanjut yang berbeda dan cenderung lebih fleksibel dibandingkan teori housing transition yang ada dikarenakan faktor-faktor yang memengaruhi kehidupan bermukim warga di Blok Empang. Beberapa faktor-faktor yang memengaruhi kehidupan bermukim di Blok Empang yaitu keterikatan dengan lingkungan, kedekatan dengan keluarga, parental background, proses pembentukan keluarga, pekerjaan, dan adanya variasi pilihan rumah. Faktor-faktor ini juga yang kemudian memengaruhi terbentuknya permukiman yang terintegrasi secara usia di Blok Empang, terutama ketersediaan variasi pilihan rumah yang terjangkau.

Humans at different stages in the life course will have different needs, aspirations, and constraints on their housing experiences depending on the context in which they live. Therefore, to understand housing conditions and problems in certain contexts, it is important to understand the housing experiences of the people in each stages of the life course, which is often referred to as the housing transition. One of the housing problems that requires an understanding of the relation between housing experiences and the life course is the issue of residential segregation by age. In the context of Blok Empang, it was found that the housing transitions for younger adults, middle-aged adults, and older adults are different and more flexible than the housing transition theory from literature, caused by the factors that affect the lives of the residents in Blok Empang. Several factors that affect the housing transition in Blok Empang are attachment to the neighborhood, family closeness, parental background, family formation, work, and the variety of housing options. These factors, especially the availability of various affordable housing options, influenced the age integration in Blok Empang."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emirhadi Suganda
"Dalam praktek perancangan kota seringkali terjadi ketidaksesuaian antara upaya perancangan fisik yang direncanakan
secara makro dengan terpenuhinya kebutuhan masyarakat dalam skala yang lebih mikro. Tulisan ini mencoba untuk
membahas permasalahan ini dengan mengangkat sebuah kasus permukiman padat yang menjadi pendukung kegiatan
pasar tradisional sebagai fasilitas umum perkotaan. Melalui kasus ini dapat terlihat sebuah dialog antara ruang fisik
yang dibentuk melalui perancangan makro dengan kondisi sosial keseharian masyarakat yang menghuninya.
Permukiman di sekitar pasar berperan sebagai tempat tinggal para pekerja pasar serta sebagai tempat berlangsungnya
berbagai kegiatan pendukung aktivitas pasar. Namun ada kecenderungan bahwa peranan permukiman sebagai sistem
pendukung ini tidak diperhatikan kelayakannya sebagai ruang bertinggal. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa dalam praktek perancangan perkotaan, khususnya dalam penyediaan fasilitas umum, diperlukan
keterpaduan antara skala perkotaan yang bersifat makro dengan skala keseharian masyarakat yang lebih bersifat mikro.
Praktek perancangan kota yang sensitif terhadap keberagaman lingkungan perkotaan dan keterkaitan antar elemen di
dalamnya diharapkan mampu menciptakan lingkungan kota yang memenuhi kebutuhan warganya secara berkelanjutan,
baik pada skala makro maupun skala mikro.
There have been some misfits between the practice of urban planning at a macro scale and the needs of the society at a
micro scale. This paper intends to discuss this issue by illustrating a case of high density urban housing as a supporting
system for the activities in a traditional market as urban public facilities. The case suggests a dialog between the
physical space determined by macro-scale planning and the everyday social life of the community living in the housing
surrounding the market. The housing plays an important role as a living space for the market workers and as a setting
for various activities that support the trading activities in the market. Unfortunately, there is a tendency that despite its
importance, the quality of the housing is still far from sufficient as a space for living. The findings in this study suggest
that the practice of urban design, especially in the provision of public facilities, needs to integrate macro urban scale
with more micro everyday life of the communities. The practice of urban design needs to be sensitive to the diversity in
urban environment and the interrelationships between urban elements. In this way, it would be possible to create urban
environment that caters for the needs of its inhabitants in a sustainable way, both at macro scale and micro scale."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2009
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Adam Rizki Pratama
"Masalah pengembang yang belum menyerahkan prasarana, sarana, dan utilitas (PSU) perumahan kepada Pemerintah Daerah (Pemda) menunjukan angka yang cukup signifikan. Walaupun telah terdapat regulasi dari pemerintah, yakni Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2009 tentang pedoman penyerahan prasarana, sarana, dan utilitas perumahan dan permukiman di daerah, tetapi hasilnya masih belum optimal. Pemerintah dan masyarakat mendapat kerugian atas hal ini. Maka disini harus ada perhatian yang serius dari pemerintah pusat maupun daerah. Keberadaan prasarana, sarana, dan utilitas dalam lingkungan perumahan sangatlah penting. Pada dasarnya pemerintah telah mengeluarkan peraturan tentang pelaksanaan pengadaan prasarana, sarana, dan utilitas di perumahan. Peraturan tersebut mengharuskan perusahaan pembangun perumahan atau pengembang perumahan dan Pemerintah Daerah untuk menyediakan prasarana, sarana, dan utilitas perumahan yang dibutuhkan warganya.
Penelitian ini bertujuan untuk menggali, mengidentifikasi dan menemukan faktor-faktor penghambat pelaksanaan penyerahan prasarana, sarana, dan utilitas perumahan di Kota Tangerang Selatan. Hambatan penyerahan prasarana, sarana, dan utilitas yang terjadi berkaitan dengan aspek kebijakan, penyerahan, pengawasan dan pengendalian diketahui dengan membandingkan proses pengadaan prasarana, sarana, dan utilitas sesuai dengan tahapan pengadaannya melalui wawancara mendalam dengan pihak-pihak di Pemerintah Kota Tangerang Selatan yang diwakili oleh Dinas Tata Kota Tangerang Selatan dan pihak pengembang yang terkait dalam proses pengadaan prasarana, sarana, dan utilitas perumahan di Kota Tangerang Selatan. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa terdapat berbagai hambatan yang dialami baik oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan maupun pengembang dan terjadi pada penyerahan prasarana, sarana, dan utilitas perumahan.

Problems developers have not handed infrastructure, facilities, and utilities (PSU) housing to local government (LG) showed significant figures. Although there have been government regulations, the Minister of Home Affairs No. 9 of 2009 on guidelines for the submission of infrastructure, facilities, utilities and housing and settlements in the area, but the results are still not optimal. Government and the public got over this loss. So here there must be a serious concern of the central and local governments. The existence of infrastructure, facilities, and utilities in a residential neighborhood is essential. Basically the government has issued regulations on the procurement of infrastructure, facilities, and utilities in housing. The regulation requires companies residential builders or property developers and local governments to provide the infrastructure, facilities, and utilities needed housing residents.
This study aims to explore, identify and locate the factors inhibiting the implementation of the delivery of infrastructure, facilities, housing and utilities in South Tangerang city. Barriers to delivery of infrastructure, facilities, and utilities that were related to aspects of policy, delivery, monitoring and controlling known by comparing the provision of infrastructure, facilities, and utilities in accordance with the procurement stage through in-depth interviews with stakeholders in the South Tangerang City Government represented by South Tangerang City Planning and the developers involved in the provision of infrastructure, facilities, housing and utilities in South Tangerang city. Results from the study show that there are various barriers experienced by both the South Tangerang City Government and the developer and occurs in the delivery of infrastructure, facilities, housing and utilities.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S44945
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Yulia Iriani
"Kebijakan alih fungsi lahan merupakan proses perkembangan kota yang dipengaruhi oleh dua faktor yaitu pertumbuhan penduduk dan transformasi. Pertambahan penduduk di kota Bandung sebesar 2,62% per tahun dan jumlah penduduk sebesar 3.351.048 jiwa (BPS Kab. Bandung 2017). Kondisi tersebut menyebabkan meningkatnya kebutuhan tempat tinggal yang layak, sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia. Salah satu kebijakan pemerintah kabupaten bandung dalam penyediaan perumahan adalah melalui alih fungsi lahan pertanian dan perkebunan menjadi perumahan.Permasalahan alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan apabila tidak sesusai dengan peruntukannya mengakibatkan bencana banjir, longsor, kekeringan, dan dampak lainnya yang merugikan kehidupan manusia"
Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan permukiman, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pekerjaan Umum , 2020
690 MBA 55:1 (2020)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Panudju
Bandung: Alumni, 1999
307.3 Pan p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>