Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 172864 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fifin Salamun
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2000
S47889
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meilis Sawitri
"Meilis Sawitri. Mesjid An Nawir Pakojan Jakarta: Suatu Tinjauan Arsitektur dan Ragam Hias. (Di bawah bimbingan Tawalinuddin Harris, S.S, M.A). Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1993. Penelitian mengenai mesjid An Nawir Pekojan Jakarta bertujuan untuk mengetahui bentuk arsitektur dan ragam hias dan pengaruh yang ada serta latar belakang sejarahnya. Pene1itian dilakukan dengan tahap-tahap observasi, deskripsi dan eksplanasi. Keberadaan mesjid dalam suatu tempat menunjukkan adanya suatu perkampungan muslim. Karena mesjid selain sebagai pusat peribadat kaum muslim juga digunakan untuk hubungan antara umat Islam. Mesjid sebagai hasil karya arsitektur masa lalu merupakan obyek yang menarik untuk diteliti. Arsitektur suatu mesjid biasanya merupakan cerminan dari budaya masyarakat pada masa itu. Menurut Pijper mesjid tua di Indonesia mempunyai ciri-ciri berdenah persegi, fondasi masif, atap tum-pang, di sisi barat ada bagian yang menonjol untuk mihrab, mempunyai serambi dan kolam. Dari ciri-ciri tersebut An Nawir yang dibangun oleh Sayid Abdullah bin Husain Alaydrus termasuk mesjid tua dan menurut UUD No. 5 1992 usia mesjid ini termasuk bangunan purbakala karena dibangun tahun 1760 M. Melihat usia dan latar belakang sejarah menyebabkan mesjid ini mempunyai arsitektur yang unik yang merupa_kan perpaduan berbagai kebudayaan yang masuk saat itu. Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa awalnya daerah Pekojan merupakan perkampungan para pedagang muslim yang datang dari luar Indonesia. Kamudian pada abad 18 kebanyakan yang tinggal di Pekojan adalah warga keturunan Arab Hadramaut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mesjid sabagai bangunan suci umat Islam mempunyai fungsi utama sebagai rumah peribadatan. Berbeda dengan mesjid tua lain seperti mesjid Agung Banten, Agung Demak dan Al Mansyur yang mempunyai ruang khusus untuk wanita. Di mesjid An Nawir ini tidak ada ruang untuk wanita, hal tersebut disebab_kan latar belakang kebudayaan masyarakatnya yang seba_gian besar berasal dari Arab yang sangat tegas memi_sahkan antara wanita dengan pria. Dari penelitian diperoleh kesimpulan bahwa bahwa pengaruh arsitektur Eropa terlihat pada atap mesjid dan tiang-tiang di ruang utama dan komponen lain pada bangunan mesjid. Pengaruh Arab jelas terlihat dengan adanya ribath dan ghurfah yang jarang dijumpai pada mesjid tradisional bentuk menara yang bercirikan Hadra_maut dan bagian bangunan lainnya dari arsitektur dan ragam hias. Unsur tradisional antara lain didapati pada fondasi, denah mesjid, mimbar dan ragam hias. Dari penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa mesjid ini te1ah mengalami perluasan. Hal ini didasari dari bentuk denah, konstruksi atap dan tiang-tiang dalam ruang utama. Bertolak dari hasil penelitian ini diharapkan akan dilakukan suatu penelitian lebih lanjut terhadap mesjid-mesjid di Jakarta dan latar belakang sejarah mesjid yang banyak diwarnai berbagai kebudayaan masyarakat."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1993
S11776
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rangga Diyarto
"Keberagaman adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam terciptanya sebuah arsitektur yang unik. Ditambah dengan sebuah lokasi yang berkarakteristik khusus, menyebabkan timbulnya suatu variasi karya arsitektur yang berbeda-berbeda. Salah satu kota yang memiliki karakter tersebut adalah Jakarta, terutama saat masih bernama Batavia. Dalam sebuah kota ini terdapat berbagai keberagaman suku, budaya dan Negara. Orang-orang pribumi dari berbagai suku dari seluruh Indonesia (terutama pekerja-pekerja dan budak), Pedagang-pedagang dari Tionghoa, India dan Arab berkumpul menjadi satu dan tinggal di kota ini. Belum lagi orang-orang Eropa, yaitu bangsa Portugis yang pernah berdagang disini, serta bangsa Belanda yang pernah menjajah Indonesia. Mereka semua masing-masing membawa budaya dan arsitektur ke dalam porsi pembangunan di kota Batavia. Walaupun bangunan-bangunan yang dominan berdiri semasa Batavia adalah bangunan bergaya Eropa (barat), mengingat saat itulah VOC lah yang menguasai kota, akan tetapi tidak dapat di pungkiri bahwa penduduk mayoritas kota Jakarta saat itu beragama Islam. Mereka, dalam keberagaman dan keterbatasannya (mengingat VOC mengisukan pelarangan pembangunan mesjid di kota Jakarta)1 mencoba menunjukkan eksistensi keberagamaannya. Mesjid tetap dibangun untuk umat beribadah. Keberagaman dan keterbatasan yang dialami umat Islam menyebabkan ada kemungkinan terjadinya keunikan dalam variasi dan bentuk mesjid yang mereka dirikan. Variasi dan bentuk ini dapat saja menciptakan suatu arsitektur yang timbul akibat percampuran budaya dan situasi sosial politik sehingga mempengaruhi bentuk mesjid."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2007
S48359
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: {s.n.], [date of publication not identified]
725 BEN
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
D. Rusdianto Erawan
"Ajaran Islam tidak mengajarkan cara membuat mesjid secara fisik, sehingga bentuk bangunan mesjid di dunia berbeda satu sama lain tergantung budaya masyarakat yang mendukungnya. Di Jakarta bangunan mesjid yang masih dapat dilihat secara fisik, semuanya berasal dari masa kolonial, sehingga arsitektur kolonial, menurut penelitian terdahulu, turut mewarnai bangunan mesjid secara fisik. Masyarakat yang bermukim di Jakarta sejak dahulu sangat majemuk, sehingga selain budaya tradisional dan kolonial kemungkinan ada unsur budaya lain yang masuk, terutama budaya yang berkembang disekitar mesjid. Selain itu, pada awal abad ke-20 berkembang pula arsitektur indis dan arsitektur bergaya kubisme, maka penelitian ini dimaksudkan untuk melihat seberapa besar unsur-unsur budaya di atas dalam mempengaruhi bentuk mesjid secara fisik, baik arsitektur maupun ornamental. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan mengklasifikasi bentuk komponen yang ada pada mesjid-mesjid yang diteliti. Tahap selanjutnya adalah membandingkan bentuk komponen tersebut dengan bentuk yang sama, yang terdapat pada mesjid lain atau bangunan lain, yang memiliki kesamaan akar budaya dan umur. Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan sumber data Mesjid Al-Makmur, Cikini dan Mesjid Hidayatullah, Karet, dapat ditarik kesimpulan bahwa mesjid-mesjid pada awal abad ke-20, secara arsitektural dan ornamental dipengaruhi oleh unsur- budaya tradisional, kolonial, lingkungan sekitar, Arab, dan Cina. Mesjid-mesjid tersebut tidak memiliki ornamen yang kaya. Selain itu mesjid-mesjid tersebut memperlihatkan unsur budaya indis dan arsitektur kubisme yang berkembang pesat pada saat itu."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1999
S11882
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Anisa Putri
"Dalam membangun masjid, Islam tidak memiliki aturan mengikat mengenai bentuk masjid karena prinsip utama dalam masjid adalah fungsi (function) (Omer, 2010). Hal tersebut ditunjukan dalam arsitektur Masjid Nabawi (622 M) yang dibangun sederhana sesuai fungsi yang dibutuhkan, tapi di saat yang sama, Masjid Nabawi berperan sebagai ruang publik kota Madinah sehingga masjid sejatinya merupakan tempat beribadah sekaligus pusat komunitas. Namun, perkembangan zaman kemudian mendorong aspek fungsi tidak lagi menjadi hal utama dalam membangun masjid, seperti masjid di era Imperium Ottoman yang menekankan aspek forma. Transformasi tersebut berdampak pada peran masjid menjadi alat birokrasi pemerintah. Fenomena tersebut menunjukan relasi antara aspek fungsi dengan realisasi peran masjid di dalam komunitas muslim yang dipengaruhi oleh praktek kuasa setempat, sehingga arsitektur masjid berpotensi sebagai indikator dalam melihat praktek kuasa. Indonesia di tahun 1950-1965, di bawah pimpinan Sukarno, membangun dua masjid yang signifikan dalam sejarah perkembangan masjid Indonesia, yakni Masjid Istiqlal dan Masjid Salman, yang keduanya menggunakan langgam arsitektur modern yang menekankan aspek fungsi dalam proses perancangannya. Skripsi ini bertujuan untuk melihat bagaimana aspek fungsi dijawantahkan dalam kedua masjid tersebut dan bagaimana hubungannya dengan praktek kuasa Sukarno dan peran masjid sebagai ruang publik."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vici Luciana
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai arsitektur dan ragam hias pada bangunan-bangunan di dalam Komp1eks Mesjid Sumenep serta pengaruh asing dan lokal yang terlihat pada bangunan-bangunan tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh budaya asing dan lokal serta until mengidentifikasikan unsur-unsur budaya asing (Eropa, Cina dan Madura) pada bangunan-bangunan di kompleks Mesjid Jamik Sumenep.
metode yang diqunakan dalam penelitian ini meliputi tiga tahap yaitu tahap pengumpulan data berupa data k epustakaan dan lapangan serta wawancara. Tahap selanjutnya adalah tahap pengolahan data, dalam tahap ini dilakukan pemerian yang lebih mendetil terhadap unsur_unsur bangunan dan diklasifikasikan menjadi dua yaitu arsitektural dan ornamental. Tahap terakhir adalah tahap penafsiran data dalam tahap ini dilakukan tahap ana1isis untuk mengetahui pengaruh budaya yang tampak pada bancr.tnan. Dalarn tahap ini dilakukan perbandingan antara komponen bangunan dan hiasan yang diteliti dengan komponen dan hiasan bangunan yang terkena pengaruh Eropa, Cina dan Madura.
Hasil penelitian ini memperlihatkan adanya pengaruh Eropa, Cina, Timur Tengah dan Madura pada unsur arsitektural dan ornamental bangunan-bangunan di dalam kompleks Mesjid Jamik Sumenep. Pengaruh arsitektur Eropa lebih dominan dibandingkan dengan pengaruh Cina danMadura. hal ini ,nenunjukkan bahwa kekuasaan belanda di Sumenep pada waktu itu cukup kuat. Selain hArus arsitektur Mesjid: jamik Sumenep juga menunjukkan ciri-ciri. umum Arsitektur mesjid di Indonesia.
Dengan demikian arsitektur bangunan-bangunan di dalam kompleks Mesjid Jamik Sumenep memperlihatkan adanya percampuran kebudayaan asing (Eropa, Cina dan Timur Tengah) dan lokal (Madura).

"
1995
S12033
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Choesnah Idarti
"Mesjid adalah per ujudan ruang kegiatan spiritual ibadat agama Islam. Tempat mendekatkan diri kepada Tuhan dan tempat menjalin hubungan antar manusia. Masyarakat kota yang cenderung sekular menyebabkan tersisihnya peran mesjid sebagai pusat aktivitas umat terutama pada mesjid yang dibangun di teneah kota dalam hngk-ungan perkantoran, Mesjid kontemporer ini cenderung mendapat apresiasi simbol dan identitas diri yang lebih besar daripada perhatian masyarakat untuk membina kegiatan kemanusiaan di dalamnya. EkspIorasi terhadap dimensi spiritual dalam ruang mesjid merupakan obyek perancangan yang akan terus berkembang. Sifat universal dari ruang berdimensi spiritual temyata dapat diwujudkan tanpa mengurangi nilai dimensi vertikal ibadat Islam dalam Mesjid Menara Niaga."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1997
S48131
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sekar Jati Ningrum
"Elemen estetis seringkali hanya dianggap sebagai pajangan atau hiasan ruang semata, tanpa menyadari polensi lain dan penerapan elemen estetis ini pada penataan ruang luar maupun ruang dalam. Sejauh manakah peran elemen estetis dalam meningkatkan kualitas visual dan fungsional dari sebuah ruang? Bagaimanakah prinsip-prinsip elemen estetis yang harus diterapkan agar elemen estetis tersebut dapat berfungsi secara efektif dan optimal? Bagaimana hubungan elemen estetis dengan penataan ruang luar dan penataan ruang dalam pada sebuah karya arsitektur? Peletakan elemen estetis yang seperti apakah yang dianggap tepat dan dapat mempeikaya kualitas ruang?
Penerapan elemen estetis memiliki tujuan yang positif, yaitu untuk menghasilkan segala hal yang balk, indah dan menyenangkan untuk ditanggapi dan dirasakan oleh indera manusia. Unsur keindahan yang hadir dalam warna, cahaya, pola & tekstur mempengaruhi persepsi dan emosi terhadap bobot visual, proporsi serta dimensi ruang Selain kebutuhan akan ruang, manusia juga membutuhkan seni sebagai eksprsi dalam kehidupannya. Seni dapat menjadi stimulus aktif dan pasif bagi manusia. Sebagai stimulus aktif, elemen estetis menjadi acuan skala dan acuan arah serta focal point yang bersifat eye-catching. Sedangkan sebagai stimulus pasif, elemen estetis berfungsi sebagai dekorasi ruang yang menjadi simbol dari suaiu kegiatan yang berlangsung di dalam ruang tersebut, menjadi pemacu semangat beraktivitas, membenkan karakter/identitas serta prestige kepada sebuah ruang.
Ruang hams memiliki unsur estelis atau keindahan. Pendekatan secara estetis ini penting karena dalam proses pemahaman terhadap ruang, kontak pertama manusia dengan ruang sekitamya adalah melalui pengalaman visual. Elemen estetis ini juga berkaitan erat dengan kualitas kenyamanan dalam beraktivitas. Nleskipun penilaiannya bersifat subyektif, tetapi perancangan elemen estetis harus memenuhi kaidah perancangan dan peletakan. Prinsip perancangannya harus rnemiliki tema yang jelas dan tidak monoton. Sedangkan peletakannya harus selaras dengan skala, proporsi dan komposisi ruang, serta harus dapat dilihat & dinikmati dari semua angle."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2002
S48285
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syafwandi
"ABSTRAK
Lokasi dan situasi Kabupaten Daerah Tingkat II Kudus terletak diantara 110_ 36 dan 110`50 Bujur Timur serta 6_ 51 dan 7_16 lintang Selatan, atau sekitar 50 km sebelah Timur Semarang .Dengan ketinggian 55 m dari permukaan air laut serta luas sekitar 422,21 km2. Kota Kudus secara geografis mempunyai batas yakni : - di sebelah Utara Kabupaten Dati II Jepara dan Kabupaten Dati II Pati.- di sebelah TimurKabupaten Dati II Pati.- di sebelah Selatan Kabupaten Dati II Grobogan dan Dati II Pati.- di sebelah Barat : Kabupaten Dati II Demak dan Kabupaten Dati II Jepara. Daerah Kudus bahagian Selatan merupakan dataran rendah dengan persawahan, bagian Utara adalah dataran tinggi ( pegunungan Muria ), sedangkan daerah Tengah merupakan dataran. Kota Kudus dibelah oleh Sungai Gelis yang mengalir ke Selatan dan membagi kota dua bahagian yaitu Kudus Kulon bagian kota yang terletak di sebelah Batay Sungai, dan Kudus Wetan bagian kota yang terletak di sebelah Timur Sungai_

"
1984
S13402
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>