Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 69673 dokumen yang sesuai dengan query
cover
I Ketut Ardhana
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005
959.86 KET p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Wins Senor
"Tesis ini membahas proses penataan administrasi pemerintah Hindia Belanda di Mamasa dan mengulas perubahan sebagai akibat pengaruh dari penerapan sistem administrasi kolonial yang berawal dari ekspansi militer pada 1906 sampai pada berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda pada 1942. Perubahan yang terjadi di Mamasa pada masa kolonial tidak dapat disederhanakan ke dalam pandangan dimana pemerintah kolonial sebagai penggerak yang menggiring masyarakat Mamasa yang pasif. Namun Sebaliknya, melalui ikatan kekerabatan yang telah terbentuk sebelumnya, elite-elite lokal yang tersingkirkan dari wilayah kekuasaan mereka pasca reorganisasi administratif mampu untuk bereaksi melalui perlawanan dan mampu mengantisipasi tekanan pemerintah kolonial Belanda. Gerakan perlawanan itu tidak hanya berdampak pada kondisi keamanan di Mamasa tetapi juga memaksa pemerintah Belanda untuk mengatur ulang keputusan resmi mengenai penataan yang telah ditetapkan sebelumnya sekaligus melakukan penataan ulang cabang pemerintahan di afdeling Mandar, terutama Mamasa. Hadirnya pemerintah Belanda di Mamasa yang membawa pengaruh zending memicu transformasi sosial masyarakat yang sebelumnya menganut kepercayaan lokal kemudian ikut ke dalam pengaruh zending. 

This thesis discusses the process of structuring the administration of the Dutch East Indies government in Mamasa and reviews changes as a result of the influence of the application of the colonial administrative system that began with military expansion in 1906 until the end of Dutch colonial rule in 1942. The changes in Mamasa in the colonial period cannot be simplified to in the view that the colonial government was the driving force that led the passive Mamasa community. However, on the contrary, through the previously formed kinship ties, local elites who were removed from their territories after administrative reorganization were able to react through resistance and were able to anticipate the pressure of the Dutch colonial government. The resistance movement not only had an impact on the security conditions in Mamasa but also forced the Dutch government to rearrange the official decision on the arrangements that had been set beforehand while at the same time reorganizing the branches of government in Mandar, especially Mamasa. The presence of the Dutch government in Mamasa which brought zending influences triggered a social transformation of the community which previously adhered to local beliefs and then joined the influence of zending."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tika Ramadhini
"Pertanian pangan merupakan prioritas utama Pemerintah Orde Baru dalam pembangunan. Pada masa Orde Baru, dibuat banyak program untuk meningkatkan hasil produksi pangan, terutama beras. Pengaturan mengenai beras dibuat khusus dan diatur dalam badan-badan penting negara. Peraturan mengenai peningkatan produksi beras dilaksanakan dalam program intensifikasi pertanian yang menjadi bagian dari Bimbingan Massal (BIMAS) dan Pembangunan Lima Tahun (PELITA). Intensifikasi tidak hanya dilaksanakan di Jawa, namun juga di daerah lainnya, termasuk Nusa Tenggara Timur. Di masa jaya pembangunan pertanian Indonesia, Gubernur Ben Mboi di Nusa Tenggara Timur membuat operasi pencukupan pangan yang dinamakan Operasi Nusa Makmur. Operasi ini mengatur masalah pangan, dengan fokus utama untuk meningkatkan produksi beras di Nusa Tenggara Timur. Skripsi ini mencoba membahas mengenai bagaimana kebijakan perberasan pada masa Orde Baru dijalankan di Nusa Tenggara Timur.

Food agriculture is the main priority of New Order government on achieving the goal of development. In New Order era, a lot of plan to increase food production was made, especially to increase rice production. Rice is specially treated and managed in important departments of the state. One of rice management plans is agriculture intensification, which also a part of Bimbingan Massal (BIMAS) and Pembangunan Lima Tahun (PELITA). Intensification is not only conducted in Java, but also in other areas, including East Nusa Tenggara. On the glory days of Indonesia agriculture development, Governor Ben Mboi in East Nusa Tenggara made a plan to overcome food shortage named Operasi Nusa Makmur. This plan was made for food magament, with increasing rice production as the main focus. This thesis is about how the rice policy in New Order Era implemented in East Nusa Tenggara."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S47690
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Furi Listiani
"ABSTRAK
Indonesia merupakan negeri rawan bencana dengan jumlah kejadian tertinggi yaitu bencana hidrometeorologi banjir. Sistem penanggulangan bencana yang kurang baik dapat mengakibatkan keterlambatan, tidak meratanya pendistribusian bantuan dan biaya yang tinggi. Lamanya pengambilan keputusan dalam mengalokasikan bantuan dan tidak tepatnya memperkirakan biaya yang diperlukan dalam masa darurat menjadi kendala dalam kecepatan pemenuhan kebutuhan bagi korban. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merancang sebuah model optimasi untuk memperkirakan biaya yang harus disiapkan untuk pengadaan barang bantuan dan biaya pengerahan personil. Model dibagi menjadi tiga yaitu Model 1, Model 2 dan Model 3. Model 1 menghasilkan variabel keputusan instansi yang dibutuhkan untuk memberikan barang bantuan, jumlah barang yang dikirim dari instansi ke posko pendistribusian, jumlah barang yang dikirim dari posko pendistribusian ke posko pengungsian dan kendaraan yang dikerahkan untuk menyalurkan bantuan. Model 2 menghasilkan variabel keputusan instansi yang dibutuhkan untuk memberikan barang bantuan dan jumlah personil yang dibutuhkan untuk setiap posko. Model 3 menghasilkan total biaya dari Model 1 dan Model 2. Studi kasus banjir bandang Bima dipelajari dan digunakan untuk mengumpulkan data. Hasil dari perancangan model adalah biaya yang optimum dan untuk memenuhi kebutuhan pada masa darurat bencana. Metode yang digunakan adalah perancangan model matematika dengan multi-objective optimization dengan mixed integer linear programming dengan bantuan pengolahan menggunakan Lingo 11.0.

ABSTRACT
Indonesia is a disaster prone country with the highest number of incidents of flood hydrometeorology disaster. The lack of design in the disaster management system can lead to delays, uneven distribution and high costs. The length of decision making in allocating aid and inappropriately estimating the cost required in the emergency period becomes an obstacle in the speed of meeting the needs of the victims. The purpose of this study was to design an optimization model to estimate the amount of costs to be prepared for procurement of relief goods and personnel deployment costs. The model is divided into three namely Model 1, Model 2 and Model 3. Model 1 produces the decision variable which agency is needed to deliver the relief goods, the quantity of goods sent from the agency to the distribution post, the quantity of goods sent from the distribution post to the evacuation post and the vehicle which are deployed to distribute aid. Model 2 produces the agency decision variables needed to deliver the relief items, the number of personnel needed for each post. Model 3 generates the total cost of Model 1 and Model 2. Bima flood case studies were studied and used to collect data. The result of model design is the optimum cost and to meet the needs during the emergency period. The method used is the design of mathematical model with multi objective optimization with mixed integer linear programming with the help of processing using Lingo 11.0."
2017
S67958
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abd. Rahman
"Disertasi ini membahas mengenai Penataan Maluku Utara pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda yang berdampak pada berakhirnya Kerajaan Loloda di Pesisir Pantai Barat Laut Halmahera. Lingkup temporal kajian disertasi ini dimulai dari 1817 sampai pada berakhirnya masa pemerintahan Kerajaan Loloda di Halmahera Utara pada 1915. Pada 1817 Belanda kembali mengambil alih kekuasaan atas seluruh Kawasan Laut dan Kepulauan Maluku dari kekuasaan Pemerintahan Kolonial Inggeris. Segera setelah itu, Pemerintah Kolonial Belanda, langsung membuat tiga kontrak pertama dengan para raja dan sultan serta penguasa-penguasa pribumi lainnya di Maluku Utara, terutama dengan Ternate, Tidore, dan Bacan. Tiga kontrak pertama itu adalah Kontrak 1817, 1822, dan 1824 yang melibatkan raja dan penguasa Loloda di dalamnya. Ketiga kontrak pertama itu dijadikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sebagai dasar pembuatan kontrak-kontrak politik selanjutnya untuk menata Maluku Utara. Setelah dikaji secara mendalam, nampak terlihat bahwa substansi setiap kontrak tersebut hampir semuanya hanya menguntungkan pihak Pemerintah Kolonial Belanda.
Terdapat empat aspek utama yang ditata oleh Belanda dalam setiap kontrak yang disepakatinya dengan para raja dan Sultan di Maluku Utara itu, yakni: 1) wilayah; 2) politik pemerintahan; 3) ekonomi dan perdagngan; dan 4) sosial budaya dan keagamaan. Selama dalam masa kekuasaannya di Maluku Utara Pemerintah Kolonial Belanda telah melakukan sebanyak tiga kali penataan wilayah pemerintahan termasuk daerah-daerah di sepanjang Pesisir Pantai Barat Halmahera yang dikuasai Kerajaan Loloda. Periodisasi penataan pemerintahan atas Maluku Utara yang dimaksud adalah: pertama, periode 1817—1865; kedua, periode 1866—1897; dan yang ketiga, periode 1898—1908. Dalam penataan kedua dan ketiga, Pemerintah Kolonial Belanda melakukan pengambilalihan dominasi Raja Loloda, Sultan Ternate, dan penguasa pribumi Maluku Utara lainnya atas hak kepemilikan dan pengelolaan potensi ekonomi sumber daya alam khususnya lahan hutan, pertanian, dan perkebunan yang menghasilkan komoditi perdagangan menguntungkan bagi para Pengusaha Kolonial Belanda. Dampak yang ditimbulkan oleh Penataan Maluku Utara oleh Pemerintah Kolonial Belanda dalam bidang politik dan ekonomi menimbulkan penentangan penduduk Loloda dengan tindakan perlawanan pimpinan Kapitan Sikuru pada 9 Februari 1909. Perlawanan itu timbul karena faktor pemungutan pajak, pengerahan tenaga kerja, dan persoalan konversi agama sebagai konsekuensi dari penataan Maluku Utara. Setelah Pemerintah Kolonial Belanda berhasil menumpas perlawanan itu, Kerajaan Loloda kemudian dibubarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda seiring dengan meninggalnya Raja Loloda terakhir, Kolano Syamsuddin Syah (1906—1909) pada 1915. Peristiwa pembubaran itu menyebabkan Kerajaan Loloda mengalami kemerosotan entitas politik dan degradasi kedaulatan, yang berujung pada berakhirnya kerajaan tersebut di pesisir pantai barat laut Halmahera.

This dissertation discusses the structuring of North Maluku during the Dutch Colonial Government which had an impact on the end of the Loloda Kingdom on the West Coast of Halmahera. The temporal scope of this dissertation study began from 1817 until the end of the reign of the Kingdom of Loloda in North Halmahera in 1915. In 1817 the Dutch again took power over the entire Sea Zone and the Maluku Islands from the British Colonial Government. Soon after, the Dutch Colonial Government immediately made the first three contracts with kings and sultans and other indigenous rulers in North Maluku, especially with Ternate, Tidore, and Bacan. The first three contracts were Contracts 1817, 1822 and 1824 involving the king and the ruler of Loloda in them. The three contracts were made by the Dutch Government as the basis for making further contracts to organize North Maluku. After being studied in-depth, it seems that the substance of each contract is almost all of which only benefits the Dutch East Indies Colonial Government.
There are four main aspects arranged by the Dutch in each contract that he agreed with the Sultan of North Maluku, namely: 1) territory, 2) government politics, 3) economy and trade, and 4) social culture, and religion. During his reign in North Maluku, the Dutch East Indies Colonial Government had conducted three times the arrangement of government areas including areas along the Western Coast of Halmahera which were controlled by the Kingdom of Loloda. The period of governance arrangement in North Maluku is: first, the period 1817-1865; second, the period 1866-1897; and the third, the period 1898-1908. In the second and third arrangements, the Dutch Colonial Government seized the domination of King Loloda, Sultan of Ternate, and other indigenous rulers of North Maluku over ownership rights and management of the economic potential of natural resources, especially forest land, agriculture, and plantations which produced profitable trading commodities for the Dutch Businessman. The impact caused by the North Maluku Colonial Arrangement by the Dutch Colonial Government in the political and economic fields caused opposition to the population of Loloda with the Kapitan Sikuru leadership on 9 February 1909. The resistance arose because of tax collection, labor mobilization, and the problem of religious conversion as a consequence of the arrangement of North Maluku. After the Dutch Colonial Government succeeded in quelling the resistance, the Loloda Kingdom was later dissolved by the Dutch Colonial Government along with the death of the last King Loloda, Kolano Syamsuddin Syah (1906-1909) in 1915. The dissolution incident caused the Loloda Kingdom to experience a decline in political entities and the degradation of sovereignty, which led to the end of the kingdom on the Northwest Coast of Halmahera."
2019
D2775
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"It is necessary to formulate spatial policy and strategy in cross-border area in east Nusa Tenggara, in order to manage resources and capability to increase the quality of life,to conserve the function of environment,and to achieve security....."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Seperti telah dipaparkan di depan, tujuan studi ini adalah untuk dentifikasikan azas-azas penataan yang berlaku dan hidup dalam ma akat orang Sawu di Mahara. Studi ini berusaha melalui penelaahan adap berbagai segi hidup dari orang-orang Sawu di Mahara memahan::i mereka dari sudut pandangan para partisipan kebudayaan itu sendi Daerah tempat penelitian, yaitu tanah Mahara, adalah suatu daeyang relative rpencil, namun dianggap mewakili masyarakat Sawu"
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1978
D1805
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Apa yang dimaksudkan dengan orang dan kebudayaan Sawu adalah kelompok penduduk serta lingkungan kebudayaan dari orang-orang yang mendiami dua pulau di Propinsi Nusa Tenggara Timur, yaitu pulau Sawu dan phlau Raijua. Sebelum terjadi perubahan administrasi pemerintahan, maka kebudayaan Sawu tersebut termasuk suatu lingkungan kebudayaan yang dapat digolongkan sebagai suatu lapangan penelitian ethnologis yang cukup homogin namun juga mengandung keanekaragaman budaya ( Josselin de Jong, 1977 ) Di dalam lingkungan kebudayaan tersebut tersebar sejumlah kelpmpok bahasa. Bahasa Sawu termasuk ke dalam salah satu dari kelompok bahasa di wilayah ini, yaitu kelompok bahasa Sumba-Bima. C Esser, 1933 = 9b )"
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1978
D1049
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Suharto
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>