Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 124815 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tiendas, Nellie Marie
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2004
T39630
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djoko Sutjahjono
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2004
T39632
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Thomasayu
"Dalam upaya pengentasan kaum miskin, ada beberapa karakteristik yang dianggap dominan. Sifat karakteristik-karakteristik tersebut saling berkaitan. Tugas akhir ini mempelajari keterkaitan sifat-sifat tersebut melalul interaksi, menggunakan metode analisis berdasarkan model Log-linier. Data yang digunakan adalah data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 1990 (Susenas'90) untuk wilayah Propinsi Jawa Barat. Hubungan antar beberapa karakteristik rumah tangga miskin dan tidak miskin di wilayah desa dan kota, yaitu sumber penghasilan utama rumah tangga, status pekerjaan, jumlah anggota rumah tangga, tingkat pendidikan tertinggi kepala rumah tangga dan jenis kelamin kepata rumah tangga, dianalisis berdasarkan beberapa model Log-Itnier. Hasil penelitian interaksi antar karakteristik-karakteristik yang diperoleh, menunjukkan adanya perbedaan antara rumah tangga miskin dan tidak miskin, baik di desa maupun di kota. Status kemiskinan hampir selalu nyata berinteraksi dengan sumber penghasilan utama, status pekerjaan dan tingkat pendidikan tertinggi, baik di desa maupun di kota. Pada rumah tangga di kota, tingkat pendidikan tampaknya confounded dengan status kemiskinan. Sifat-sifat yang tampak sebagai interaksi tersebut, diharapkan dapat membantu pemerintah maupun badan-badan lain dalam menetapkan kebijaksanaan di dalarn usaha-usaha pengentasan kaum miskin. Dalam pengertian bahwa perlunya diambil kebijaksanaan yang tepat, misalnya program wajib belajar 9 tahun sebagai salah satu usaha pengentasan kemiskinan harus memperhatikan sumber penghasilan keluarga, sebab ketidak ikut sertaan kaum miskin dalam program tersebut adalah karena tenaga mereka diperlukan untuk bekerja memenuhi kebutuhan hidupnya."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1994
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Rasyid Saleh
"Melihat realita yang berlangsung sekarang ini di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, baik di lingkungan internal organisasi birokrasi, maupun di lingkungan eksternal -lingkungan sosial, politik, dan budaya masyarakat- belum terlihat adanya tanda-tanda kesiapan ke arah perubahan sejalan dengan semangat dan jiwa UU Nomor 22/99.
Secara nasional, pemikiran, sikap, tindakan, dan bahkan "jargon-jargon" rerlormasi total terus beriangsung di lingkungan ekstemal birokrasi, namun di lingkungan internal belum ada tanda-tanda dimulainya perubahan dan belum terdorong untuk bergegas mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan sekaligus sebagai tuntutan yang harus dipenuhi. Isyarat terpenting untuk diwujudkan dalam mengaktualisasikan dan mengartikulasikan perubahan secara nasional, demokratis, transparan, efisien, mandiri, berdaya, adil, serta berkemampuan dan bertanggung jawab, juga belum menampakkan gejala ke arah pergeseran nilai dan implementasinya di kedua lingkungan birokrasi tersebut.
Tantangan utama yang menghadang Pemerintah daerah Kabupaten Maros dalam melaksanakan UU Nomor 22/99 adalah tuntutan penyesuaian (daya adaptasi) yang tinggi sesuai dengan kebutuhan nyata birokrasi dan masyarakat berdasarkan kondisi saat ini dan di masa yang akan datang. Kebutuhan-kebutuhan mendesak yang menuntut pemecahan di masa datang tersebut adalah: perubahan penampilan dan penerapan kekuasaan, kewenangan yang rasional dan obyektif termasuk pemantapan dan penentuan sejumlah kewenangan, penetapan besaran organisasi, penyederhanaan sistem dan prosedur, pergeseran kultur birokrasi, kemampuan dan integritas birokrat, sumber-sumber keuanganfpendapatan, dukungan sarana dan prasarana, peluang keikutsertaan seluruh komponen lokal, dan lain-lain. Pokok permasalahan dalam menghadapi penerapan UU Nomor 22/99 adalah perwujudan perubahan yang menuntut daya penyesuaian sejalan dengan jiwa dan kehendak sistem birokrasi yang bare sehingga tujuan otonomi daerah dapat tercapai.
Apa yang terjadi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan selama ini adalah penerapan kekuasaan dan pengelolaan kewenangan yang sentralistis: kendali . pelaksanaan sejumlah urusan organisasi birokrasi dilakukan secara seragam, sistem dan prosedur interaksi yang rumit (complicated) antar-instansi/unit organisasi atau dengan masyarakat sehingga berakibat pada tidak efektifnya organisasi dan tidak efisiennya penyelenggaraan pemerintahan, dan pada gilirannya, organisasi pemerintahan tidak mampu mencapai tujuannya.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif-analitik. dengan metode ini, penulis ingin membuat satu deskripsi analisis, yaitu membuat gambaran yang sistematis berdasarkan fakta, sifat serta hubungan antara fenomena-fenomena yang terjadi pada sistem birokrasi yang dijalankan selama ini."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T7686
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Said D.
"ABSTRAK
Sulawesi Tenggara adalah salah satu provinsi yang ke-25 di Indonesia. Provinsi ini terletak di Pulau Sulawesi bagian Tenggara yang melepaskan diri dari Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara berdasarkan Peraturan Pemerintah Pusat No. 2 tahun 1964 disahkan dengan Undang-undang No. 13 tahun 1964. Peresmiannya dilaksanakan pada tanggal 27 April 1964.
Pada tahun 1952 Sulawesi Tenggara masih berstatus sebagai Kabupaten (Dati II) yang berada dalam wilayah Pemerintahan Propinsi Sulawesi Selatan-Tenggara (Sulselra). Ketika itu Kabupaten Sulawesi Tenggara berkedudukan di Bau-Bau meliputi empat wilayah kewedanaan -- Kewedanaan Buton, Kendari, Muna, dan Kolaka. Pada tahun 1960 Kabupaten Sulawesi Tenggara dimekarkan menjadi empat Daerah Tingkat II --yakni masing-masing kewedanaan ditingkatkan statusnya menjadi kabupaten.
Daerah Sulawesi Tenggara dihuni oleh empat kelompok etnik asli Buton, Muna, Tolaki, dan Moronene. Bugis-Makassar adalah etnik pendatang terbanyak jumlahnya dan telah lama menetap di daerah ini. Keberadaan etnik Bugis-Makassar di daerah ini sejak masa kerajaan-kerajaan tradisional, sehingga sudah sulit memisahkan antara mereka dengan etnik asli.
Sulawesi Tenggara ketika bergabung dengan Sulawesi Selatan dianggap sebagai daerah belakang yang kurang di perhatikan. Pembangunan terbengkalai, sehingga ketinggalan dibanding dengan daerah lainnya. Bahkan oleh pemerintah Sulawesi Selatan dijadikan sebagai daerah pembuangan untuk menghukum orang-orang yang tidak loyal kepada kebijakan pemerintah.
Kondisi Sulawesi Tenggara yang demikian itu juga didorong oleh permasalahan yang dihadapi Pemerintah pada tahun 1950-an berkembangnya isyu otonomi daerah dan ketidak berhasilan pembangunan menjadi tema sentral yang bergema di daerah. Bahkan permasalahan tersebut menjadi alasan bagi luar Jawa mendesak Pemerintah Pusat untuk menuntaskan otonomi daerah. Kesempatan ini dimanfaatkan pula oleh masyarakat Sulawesi Timur untuk mengajukan usul kepada Pemerintah Pusat agar Sulawesi Timur yang meliputi bekas Kewedanaan Buton, Muna, Kendari, Kolaka, Bungku/Mori dan Luwuk Banggai menjadi satu provinsi.
Untuk menanggapi permasalahan tersebut Pemerintah Pusat mangeluarkan kebijakan untuk mengadakan pemekaran provinsi di Indonesia yang berlangsung antara tahun 1950-1960. Namun pemekaran provinsi selama kurun waktu itu belum termasuk dengan permohonan masyarakat Sulawesi Timur. Tidak ditanggapinya keinginan masyarakat Sulawesi Timur mendorong masyarakat daerah tersebut yang berada di Makassar (sekarang Ujung Pandang) ikut mempelopori demonstrasi-demonstrasi mengajukan tuntutan kepada Pemerintah Pusat.
Pada tanggal 17 Pebruari 1957 di Makassar tokoh masyarakat, mahasiswa, pemuda, dan pelajar asal Sulawesi Timur ---Baton, Muna, Kendari, Kolaka, Bungku/Mori dan Luwuk/Banggai -- yang menetap di kota Makassar mengadakan Rapat di Gedung SMEP Negeri (sekarang SMA Negeri I ) Jalan Bawakaraeng No. 39 Makassar. Tujuan rapat itu adalah untuk memberikan tanggapan atas demonstrasi-demonstrasi yang diprakarsai oleh mahasiswa asal Sulawesi Timur yang berlangsung pada awal bulan Pebruari 1957.
Ternyata kehendak pemuda, pelajar dan mahasiswa itu mendapat dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat Sulawesi Timur. Dalam rapat itu sekaligus membentuk Panitia Penuntut Provinsi Sulawesi Timur (PPPST) yang diketuai Ngitung dilengkapi dengan wakil ketua, sekretaris dan anggota. Pembentukan panitia ini bertujuan agar perjuangan penuntutan itu terorganisasi dan secara terus-menerus mendesak Pemerintah serta mengiapkan bahan-bahan yang berkaitan dengan data-data yang dibutuhkan Pemerintah Pusat tentang Sulawesi Timur.
Keinginan masyarakat Sulawesi Timur, ternyata tidak direstui oleh Pemerintah Sulawesi Selatan dan Kodam XIV Hasanuddin di Makassar. Penolakan itu disebabkan bahwa daerah Sulawesi Timur belum layak untuk dijadikan satu provinsi, terutama dalam jumlah penduduk dan sumber daya manusianya. Juga dari segi keamanan daerah ini rawan karena menjadi pusat gerilya DI/TIl Pimpinan Abdul Kahar Mudzakar.
Ketidak relaan Sulawesi Selatan terhadap keinginan masyarakat Sulawesi. Timur, pada akhirnya mengundang timbulnya konflik kepentingan. Konflik semakin serius ketika kalangan masyarakat Sulawesi Timur timbul Juga sekat-sekat social yang bersumber dari kepentingan politik dan etnik. Sehingga konflik yang terjadi tidak hanya mengacu pada konflik eksteren, tetapi Juga konflik interen.
Setelah melalui perjuangan selama 14 tahun, akhirnya keinginan itu direalisasikan pada tahun 1964. Namun yang direstui adalah Provinsi Sulawesi Tenggara wilayahnya meliputi Kabupaten Sulawesi Tenggara -- Kewedanaan Buton, Muna, Kendari, dan Kolaka. Tidak termasuk Bungku/Mori dan Luwuk/Banggai, kedua wilayah ini masuk dalam Pemerintahan Provinsi Sulawesi Tengah.
Sejak berdirinya Provinsi Sulawesi Tenggara, ternyata tidak dapat mengakhiri konflik lama, tetapi justeru menjadi semakin berlanjut. Konflik-konflik kepentingan susul menyusul terjadi yang bersumber dari kepentingan masing-masing etnik. Hingga sekarang permasalahan tesebut sering muncul ke atas permukaan, terutama penentuan dalam pengisian jabatan dan posisi penting dibidang pemerintahan selalu rnengundang pro dan kontra, karena masing-masing etnik mempertahankan keinginannya untuk menempatkan orang-orang yang berasal dari daerahnya.
"
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Uyan Wiryadi
"Salah satu permasalahan yang mengemuka pasca runtuhnya kekuasaan pemerintahan Presiden Suharto adalah masalah penyelenggaraan pemerintahan daerah. Persoalan ini sebenarnya sudah berkembang sedemikian rupa pada pemerintahan Soekarno. Karena itu, reformasi penyelenggaraan pemerintahan daerah setelah runtuhnya rezim Suharto menjadi salah satu agenda reformasi yang harus diupayakan.
Kondisi tahun 1950-an sebenarnya awal gejolak politik nasional dewasa itu. Misalnya terdapat sejumiah pemberontakan daerah yang menuntut kemerdekaan, seperti Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan. Selain itu masih terdapat pemberontakan kecil yang antara lain terjadi di Jawa Barat di awal 1960-an yang terkait dengan isu etnis Cina. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam periode tersebut merupakan permasalahan politik yang pelik dari kedua pemerintahan tersebut.
Upaya untuk memperbaiki kondisi pemerintahan daerah era Suharto dimulai dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Secara teoritis undang-undang tersebut menganut model efisiensi struktural (Structural Efficiency Model) yang menekankan pada efisiensi penyelenggaraan pemerintah berupa uniformitas dan pengendalian sebagai pintu intervensi pemerintah dan pengendalian sebagai pintu intervensi pemerintah pusat. Berdasarkan kriterium ini, pemerintah pusat memangkas jumlah susunan daerah otonom, pembatasan peran dan partisipasi lembaga perwakilan rakyat. Selain itu juga ditandai oleh keengganan Pusat untuk menyerahkan wewenang dan diskresi yang lebih besar kepada daerah otonom. Cenderung mengutamakan dekonsentrasi daripada desentralisasi. Paradoks di antara efisiensi yang memerlukan wilayah daerah otonom yang luas agar tersedia sumber daya yang memadai dengan kekhawatiran separatisme jika daerah otonom terlalu luas.
Ekses dalam pengaturan pemerintahan daerah seperti tercermin dalam Undang-undang No. 5/1974 tersebut pasca pemerintahan Suharto mendapat reaksi untuk segera diubah. Karena itu muncul gagasan untuk reformasi pemerintahan daerah."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15437
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Susilo
"Lahirnya UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999 merupakan tonggak sejarah bagi sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, yaitu terjadinya perubahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi. Perubahan ini mengharuskan dilimpahkannya kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, termasuk dialihkannya aset dan dokumen, personil, dan pembiayaan.
Jika dilihat dari pengalihan ini, pengalihan personil (Pegawai Negeri Sipil ke sektor-sektor pemerintah di daerah) merupakan persoalan yang sangat rumit dan sangat menentukan dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah selanjutnya. Oleh karena itu persoalan pelimpahan kewenangan (terutama kewenangan yang menyangkut sumber daya dan atau desentralisasi fiskal) dan pengalihan PNS diangkat menjadi persoalan utama tesis ini.
Pada kenyataannya dalam pelaksanaan pelimpahan kewenangan (dalam artian desentralisasi fiskal) tetap dikendalikan oleh Pemerintah Pusat, dengan tujuan agar pemerintah pusat dapat mengontrol dan menjaga keseimbangan antara besarnya kewenangan (dalam artian desentralisasi politis dan fungsi) yang dilimpahkan kepada pemerintah di Daerah dengan penerapan kebijakan fiskal (dalam hal ini kebijakan DAU).
Dari penelitian menunjukkan, bahwa terdapat hubungan yang positip searah dan kuat antara kebijakan Transfer DAU dengan Pengalihan PNS dari Pemerintah Pusat ke Daerah. Hal ini dapat terlihat dari besaran-besaran koefsien korelasi yang berkisar mendekati angka 1 (satu) dari perhitungan hubungan kedua variabel yaitu variabel jumlah transfer DAU dengan Gaji/pensiun PNS pada seluruh propinsi di Indonesia. Dari penelitian ini juga didapati banyak masalah yang timbul dari penerapan kebijakan tersebut, serta dapat memacu timbulnya konflik yang berkepanjangan. Permasalahan itu muncul, baik diakibatkan dari penerapan Kebijakan Pelimpahan Kewenangan maupun dari kebijakan Transfer DAU, dimana sangat mempengaruhi terhadap Pengalihan PNS dari Pemerintah Pusat ke Daerah.
Studi tentang pelaksanaan desentralisasi ini, telah menghasilkan banyak kajian, akan tetapi pengkajian secara khusus mengenai Hubungan antara Transfer Dana Alokasi Umum (DAU) dengan Pengalihan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Dari Pemerintah Pusat Ke Daerah masih sangat jarang.
Dari penelitian ini, penulis mengharapkan dapat memberi sumbangan (walaupun kecil artinya) bagi pemikiran tentang hubungan antara Transfer DAU dengan Pelimpahan PNS dari Pemerintah Pusat ke Daerah, sebagai bagian dari pelaksanaan kebijakan desentralisasi, yang merupakan bagian dari kajian ilmu keuangan publik. Dan dari penelitian dasar ini diharapkan dapat memacu rekan-rekan yang lain untuk mengkaji lebih dalam ke penelitian selanjutnya.
Penelitian ini mempergunakan metode kuantitatif dengan cara mengumpulkan data historis dengan mengklasifikasikan data-data yang telah dipublikasikan, serta mengadakan wawancara, dan studi literatur atau dokumentasi. Adanya wawancara dengan pejabat atau pelaksana pemerintahan, merupakan bagian dari validasi terhadap analisa yang penulis sajikan, dengan mendasarkan pada kajian teori, kebijakan, dan peraturanperaturan yang ada mengenai Hubungan Antara Transfer DAU dengan Pengalihan PNS dari Pemerintah Pusat ke Daerah.
Pada tahap akhir, penulis mendiskusikan dan melakukan konfirmasi kepada dosen pembimbing, untuk mendapatkan pengarahan yang lebih terfokus dalam penulisan ini.
Dalam analisis, ditemukan adanya hubungan yang positip searah dan kuat dari penerapan UU No 22 dan No 25 tahun 1999, yaitu Hubungan Antara Transfer DAU dengan Pengalihan PNS dari Pemerintah Pusat ke Daerah , serta mempunyai implikasi yang besar dalam penerapan pengeluaran keuangan di Daerah. Akibat berantai dari kebijakan tersebut, akan meningkatkan kesejahteraan serta meningkatkan pelayanan kepada publik di daerah.
Adanya implikasi dari hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa hubungan antara transfer DAU dengan pengalihan PNS, masih memiliki banyak kelemahan yang harus diperbaiki, terutama dalam penerapan formula DAU, agar tidak terjadi kesenjangan (gap) yang berarti, serta dapat menyesuaikan dalam penentuan kebutuhan PNS dan kualitas PNS di Daerah. Dengan demikian akan mengarah pada tujuan dari kebijakan tersebut yaitu memberikan peningkatan pelayanan kepada publik."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T12581
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsu Rizal
"Penetapan 26 dari sekitar 300 Daerah Tingkat II sebagai Percontohan Otonomi Daerah merupakan tahapan awal dari serangkaian tahapan dalam melaksanakan Otonomi Daerah dengan Titik Berat pada Daerah Tingkat II di Indonesia. Namun, karena pertimbangan tertentu, tidak semua Daerah Tingkat II dapat melaksanakannya. Dengan demikian, Daerah-daerah Tingkat II di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu: yang sudah dan yang belum melaksanakan oonomi daerah.
Perbedaan Daerah Tingkat II dalam melaksanakan oonomi daerah tersebut akan berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas Camat sebagai bawahan langsung dari Bupati kepala Daerah Tingkat II. Oleh karena itu, bobot tugas Camat akan berbeda. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan bobot tugas Camat secara empires pada Daerah Tingkat II yang belum dan sudah melaksanakan otonomi daerah, dalam hal ini Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung dan Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung.
Penelitian dilakukan tidak hanya melalui studi kepustakaan, tetapi juga melalui studi lapangan. Hal ini dimaksudkan untuk memahami perbedaan bobot tugas Camat yang sesungguhnya terjadi di Daerah Tingkat II yang belum dan sudah melaksanakan otonomi daerah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan bobot tugas Camat di kedua Daerah Tingkat II signifikan, khususnya dalam hal pelaksanaan asas desentralisasi. Bobot tugas desentralisasi Camat di Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung lebih banyak dibandingkan dengan bobot tugas Camat di Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung. Berkenaan dengan pelaksanakan asas dekonsentrasi, bobot tugas Camat relatif sama, sekalipun volume dan jenis kegiatannya agak berbeda. Namun, pertambahan urusan di tingkat kecamatan tidak diimbangi oleh perubahan kelembagaan, personil, perlengkapan, dan pembiayaan yang diperlukan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bobot tugas Camat di Daerah Tingkat II yang telah melaksanakan otonomi daerah lebih besar daripada bobot tugas Camat di Daerah Tingkat II yang belum melaksanakan otonomi daerah. Oleh karena itu, untuk mengimbangi pertambahan bobot tugas tersebut, perlu perubahan dalam kelembagaan, personil, perlengkapan, dan pembiayaan di tingkat Kecamatan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sad Dian Utomo
"Selama 40 tahun terakhir, kecamatan mengalami perubahan seiring perubahan kebijakan mengenai pemerintahan daerah. Perubahan kebijakan makro ini memerlukan penyesuaian pada tingkat organisasi dan operasional. Namun belum direspon baik oleh Pemerintah Pusat, dan gamang dalam memosisikan kecamatan, dengan tidak jelasnya bentuk organisasi kecamatan, camat diberi tugas urusan pemerintahan umum yang merupakan kewenangan kepala wilayah, dan tidak ada pedoman pengukuran kinerja kecamatan. Timbul masalah konseptual, yaitu bagaimana memosisikan kecamatan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, apakah bagian unit kewilayahan yang diperluas perannya melalui desentralisasi dalam kota (Norton, 1994); unit yang menjalankan fungsi tertentu dalam rangka dekonsentrasi (Leemans, 1970); ataukah dipandang tidak relevan lagi dalam pengelolaan kota terpadu (Smith, 1985)? Hal ini dirumuskan dalam pertanyaan penelitian, yaitu: bagaimana dinamika kelembagaan kecamatan, mengapa itu terjadi, dan bagaimana kelembagaan kecamatan diposisikan. Penelitian ini menggunakan teori desentralisasi, pemerintahan daerah, pemerintahan wilayah, dan kelembagaan sebagai panduan. Penelitian ini menggunakan pendekatan konstruktifis dengan teknik kualitatif melalui studi kasus di Kecamatan Cikulur, Tulakan, Jatiuwung dan Bubutan. Hasil penelitian memperlihatkan dinamika kelembagaan kecamatan lebih banyak disebabkan faktor eksogen daripada endogen. Selanjutnya, dilakukan reposisi kelembagaan kecamatan dalam tiga model, yaitu model kelembagaan kecamatan kawasan perkotaan, perdesaan dan hybrid.

Local government has changed sub-district status over 40 years. This macro policy alters operations and organization. The Central Government must improve, and placing the sub-district is giddy. The sub-district head manages regional government and does not assess performance. Then a conceptual problem arises: how to position the sub-district in local government administration—as part of a local government unit whose role is expanded through decentralization within cities (Norton, 1994), as a unit that performs specific functions in deconcentration (Leemans, 1970), or as a unit no longer relevant in integrated city management (Smith, 1985). This is formulated in research questions, namely: how are the dynamics of sub-district institutions in the administration of local government, why does it happen, and how are sub-district institutions positioned? Rebuilding sub-district institutions needs knowing their dynamics and causes. Decentralization, local self-governance, local state government, institutional theory, and institutional dynamics drive this research. Four sub-districts—Cikulur, Tulakan, Jatiuwung, and Bubutan—are studied using constructivist case studies. The research found that exogenous factors caused the sub-district institutional dynamics more than endogenous ones. Three models—urban, rural, and hybrid—reposition sub-district institutions."
Jakarta: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pramudya Ajeng Safitri
"Jawa Barat sebagai provinsi dengan jumlah anak terbesar, tingkat kemiskinan tinggi dan alokasi anggaran pengentasan kemiskinan tinggi, memerlukan pengukuran dan analisa kemiskinan anak yang lebih komprehensif. Ini akan membantu pembuat kebijakan memastikan bahwa anak miskin mendapatkan manfaat dari anggaran yang diberikan.
Tujuan penelitian adalah menghitung dan menganalisis indeks kemiskinan multidimensi anak di kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat dan menguji apakah belanja pemerintah daerah di bidang pendidikan, kesehatan dan pekerjaan umum berpengaruh terhadap penurunan indeks kemiskinan multidimensi anak. Perhitungan kemiskinan multidimensi anak dengan Multidimensional Poverty Indeks (MPI) metode Alkire Foster dengan unit analisis individu anak. Alat analisis yang digunakan adalah regresi data panel antara MPI dengan alokasi anggaran belanja pemerintah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa MPI anak semakin menurun dari 2012 ke 2014, dengan pola semakin tinggi ke Jawa Barat bagian selatan, indeks tertinggi di Kabupaten Tasikmalaya, Garut dan Cianjur. Belanja kesehatan dan pekerjaan umum berpengaruh signifikan terhadap indeks kemiskinan multidimensi anak.

West Java with the largest number of children high poverty rates and high budget allocation for poverty reduction requires more comprehensive measurement and analysis of child poverty This will help policy makers ensure that poor children take a benefit from the given budget.
The research objective is to calculate and analyze the child multidimensional poverty index of the district city of West Java and tested whether local government spending on education health and infrastructure affect the decline of child multidimensional poverty index. Using the Multidimensional Poverty Index MPI Alkire Foster method and child as unit analysis regression panel data between MPI with government budget allocation used as analysis tool.
The results showed that child MPI decreased from 2012 to 2014 with higher index to the south of West Java Tasikmalaya Garut and Cianjur district are the highest Health and infrastructure budgets significantly decrease the child MPI.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2016
T45452
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>