Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 99146 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Syafvan Rizki
"Teleconference sebagai cara yang digunakan untuk melindungi saksi pada saat memberikan keterangan di persidangan telah diatur dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Teleconference juga bisa dikategorikan sebagai manifestasi bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada saksi pada kasus-kasus tertentu sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006. Akan tetapi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) bahwa semua bentuk perlindungan yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) baru dapat diberikan setelah adanya persetujuan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Sementara dalam Pasal 9 ayat (3) jo. Pasal 9 ayat (1), bahwa pemeriksaan saksi melalui teleconference baru dapat dilakukan setelah mendapat izin dari hakim. Skripsi ini menganalisis siapa sesungguhnya yang berwenang dalam menentukan apakah seorang saksi diperiksa melalui teleconference atau tidak, khususnya pada Persidangan Tindak Pidana Terorisme Atas Nama Terdakwa Abu Bakar bin Abud Ba?asyir Alias Abu Bakar Ba?asyir Nomor Register Perkara 148/Pid.B/2011/PN.JKT.Sel. Penelitian dalam skripsi ini menggunakan metode kepustakaan dengan metode pendekatan perudang-undangan dan pendekatan kasus.

Abstract
Teleconferencing as an option for protecting the witness when he or she gives his or her testimony on a trial has been regulated in article 9 paragraph (3) of Law No. 13/2006 about The Protection of Witness and Victim. Teleconferencing as a form of protection that may provided for witness in certain cases refers to article 5, paragraph (1) of Law No.13/2006. However, as article 5 paragraph (2) has determined that all forms of protection refers to article 5 paragraph (1) allowed only after the approval of Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) (The Body of Witness and Victim Protection). Although article 9 paragraph (3) jo. Article 9 paragraph (1) that the interrogation of witness via teleconference may be done only after receiving permission from the judge. This thesis mainly discussed about the authority to determine whether a witness examined via teleconference or not, especially on the trial of a terrorism crime in the name of offender Abu Bakar bin Abud Ba'asyir alias Abu Bakar Ba'asyir Case Number 148/Pid.B /2011/PN. JKT.Sel. This thesis is using the normative method research in statue approach and case approach."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S266
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siwi Arum Yunanda Sari
"Tugas akhir ini membahas bagaimana dan faktor apa saja yang belum dipenuhi dalam proses pemberian pembebasan bersyarat pada kasus tindak kejahatan terorisme yang dilakukan oleh Abu Bakar Baasyir (ABB) sehingga berkontribusi pada belum diberikannya pembebasan bersyarat kepada narapidana ABB dengan membandingkan syarat-syarat yang mempengaruhi pembebasan bersyarat di negara lain. Pembebasan bersyarat akan diberikan kepada narapidana apabila memenuhi syarat pembebasan bersyarat dan kelengkapan dokumen yang diatur Permenkumham Nomor 3 Tahun 2018. Hasil penelitian menemukan bahwa narapidana terorisme Abu Bakar Baasyir hanya memenuhi beberapa syarat hukum, yaitu telah menjalani hukuman pidana dua pertiga masa hukuman dan berkelakuan baik selama menjalani hukuman. Sebagian syarat-syarat tidak dipenuhi oleh narapidana terorisme Abu Bakar Baasyir, termasuk syarat non-hukum/politik yang melibatkan dokumen-dokumen berupa surat pernyataan, seperti kebersediaan untuk membantu membongkar tindak pidana, tidak akan melarikan diri, tidak melakukan perbuatan melanggar hukum, serta ikrar kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan syarat lainnya. Tidak terpenuhinya sebagian besar syarat terutama persyaratan non-hukum/politik menyebabkan tidak diberikannya pembebasan bersyarat kepada narapidana terorisme Abu Bakar Baasyir.

This study discusses how and what factors that haven't been fulfilled in the process of granting parole to a terrorist prisoner named Abu Bakar Baasyir that contributed to the parole revocation by comparing the conditions that has affect on parole in other countries. Parole will be granted to inmates if they have fulfilled the conditions for parole and necessary documents stated in Permenkumham Number 3 of 2018. The study found that the terrorist prisoner Abu Bakar Baasyir only fulfilled several legal conditions, i.e. serving a two-thirds of the sentence and showed well-behaved behavior while serving the sentence. Most of the conditions were not fulfilled by terrorist prisoner Abu Bakar Baasyir including non-legal/political conditions involving documents in the form of statements, i.e. the willingness to help expose a criminal act, not run away, not to commit unlawful acts, and pledges loyalty to the Negara Kesatuan Republik Indonesia, and other conditions. The failure to fulfill most of these conditions, especially the non-legal/political conditions is affecting the process of granting parole to terrorist prisoner Abu Bakar Baasyir. As a result, the parole of Abu Bakar Baasyir has not been granted."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia , 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Permata Sari
"Salah satu alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP adalah keterangan saksi. Dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa keterangan saksi tersebut baru bernilai sebagai alat bukti bila dinyatakan di depan sidang pengadilan. Saat ini terdapat teknologi teleconference yang digunakan sebagai sarana dalam memberikan keterangan saksi. Teleconference ini bukan hanya diterapkan di Indonesia namun juga telah diterapkan di negara common law sytem. Namun pada kenyataannya banyak pihak yang menggap kesaksian melalui teleconference tidak bernilai sebagai alat bukti keterangan saksi melainkan hanya bernilai sebagai keterangan biasa saja. Hal ini disebabkan karena tidak ada pengaturannya dalam KUHAP.
Oleh karena itu terdapat permasalahan, yaitu dapatkah media teleconference digunakan dalam melakukan pemeriksaan keterangan saksi di depan sidang pengadilan menurut hukum acara pidana Indonesia? Bagaimanakah kekuatan pembuktian dari keterangan saksi yang diberikan melalui teleconference baik menurut KUHAP maupun menurut sistem Civil Law dan Common law? Bagaimanakah upaya pembentuk undang-undang mengakomodir penggunaan teleconference di dalam beberapa peraturan perundang-undangan?
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dapat tidaknya teleconference digunakan dalam melakukan pemeriksaan keterangan saksi di sidang pengadilan menurut hukum acara pidana Indonesia, mengetahui nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi melalui teleconference baik menurut KUHAP maupun menurut sistem Civil Law dan Common law serta mengetahui upaya pembentuk undang-undang dalam mengakomodir penggunaan teleconference di dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Penelitian ini berdasarkan studi kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif. Tipologi penelitian bersifat deskriptif. Berdasarkan analisis yang dilakukan, teleconference dapat digunakan untuk melakukan pemeriksaan keterangan saksi di depan sidang pengadilan. Sementara itu kekuatan pembuktiannya sama-sama bernilai bebas baik menurut KUHAP maupun sistem common law dan pembentuk undang-undang telah berupaya mengakomodir penggunaan teleconference di dalam pembentukan beberapa peraturan perundang-undangan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S22032
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Hariri, Mohd Haqkam
Kuala Lumpur: Jabatan Kebudayaan dan Kesenian Negara, 2010
927.780 92 MOH h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2004
S22195
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Abu Bakar Abdurrazak
Jakarta: IIMAN, 2003
920.71 ABU m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Murad, Musthafa
Jakarta: Zaman, 2007
953.020 92 MUR k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>