Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1466 dokumen yang sesuai dengan query
cover
New York: Alfred A. Knopf, 1966
913.031 HAN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bell Arminus Tyas Mardiko
"This study is determine the story engraved on Candi Kesiman Tengah?s relief and explain the style of depiction and position of the reliefs. The repeated Relief depictions in each side associated with the concept of Vastupurusamandala that often used in the construction of a temple. The purpose of this research is find out religiousity and religious concepts which is existing within the Majapahit. Results of this study is to know the myths or stories in relief that is connected with its
positioning, and some other relief function which shows the position the gods at the temple which is used by the religionist as a medium in carrying out their religious activities.

Penelitian ini untuk mengetahui cerita yang dipahatkan pada relief Candi Kesiman Tengah serta menjelaskan gaya penggambaran dan keletakan relief. Penggambaran relief yang berulang di setiap sisinya dikaitkan dengan konsep vastupurusamandala yang sering digunakan dalam pembangunan sebuah candi. Tujuan dari penelitian ini adalah mengungkapkan nafas keagamaan serta konsep keagamaan yang
berkembang di lingkungan Majapahit. Hasil dari penelitian ini adalah dengan mengetahui mitos atau cerita pada relief dan dihubungkan dengan keletakannya maka terdapat fungsi relief lainnya yaitu menunjukkan keletakan para dewa pada sebuah candi yang digunakan sebagai media kaum agamawan dalam melaksanakan kegiatan keagamaan."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2015
S60577
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Swanson, Earl H.
Idaho: Pocatello, 1962.
978 SWA f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
New York: Oxford University Press, 2016
930.1 ARC
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ceram, C.W., 1915-1972
New York: Knopf, 1966
930 CER g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Johnson, Marilyn, Author
New York: an imprint of Harper Collins Publishers, 2014
930.1 JOH l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Akbar
"Sudah sejak lama diketahui bahwa Jakarta dan sekitarnya banyak terdapat temuan prasejarah seperti tembikar, terakota, beliung persegi, batu serpihan, batu asahan, gelang batu, manik-manik, alat logam, cetakan logam, dan lain-lain. Temuan-temuan tersebut berasal dari penduduk yang umumnya diperoleh di sawah atau ladang mereka. Berdasarkan informasi penduduk itulah maka lokasi temuan dapat diketahui. DMS DKI Jakarta dan PUSLITARKENAS kemudian melakukan penelitian berupa survei dan ekskavasi. Namun, tidak semua lokasi temuan telah diteliti baik berupa survei maupun ekskavasi. Bahkan sebagian besar temuan hasil penelitian arkeologi tersebut, kini tidak dapat dilacak lagi keberadaannya.
Atas dasar itulah, penelitian ini berusaha memilah lokasi-lokasi temuan prasejarah di wilayah ini. Lokasi-lokasi temuan dibagi ke dalam dua kategori yaitu situs permukiman dan bukan situs permukiman. Hasil pemilahan menunjukkan hanya 7 dari 39 lokasi temuan yang dapat dikategorikan sebagai situs permukiman. Kemudian, dari 7 situs permukiman tersebut hanya 4 situs yang temuannya dapat dilacak kembali keberadaannya, yaitu situs Kelapa Dua, Pejaten, Kampung Kramat, dan Buni.
Hasil analisis menunjukkan bentuk-bentuk tembikar yang ada adalah periuk, tempayan, cawan, cawan berkaki, piring, pasu, dan kendi. Teknik pembentukannya adalah teknik tangan, sambung, tatap pelandas, dan roda pemutar. Tahap penyelesaian akhir menggunakan pengupaman, pemberian slip warna merah, dan memberikan hiasan. Hiasan dihasilkan dengan teknik gores, tatap pukul, tekan, gabungan antara teknik tekan dan gores. Hiasan yang dihasilkan adalah garis sejajar, garis tak beraturan, garis silang, tumpal, jala, anyaman, duri ikan, lingkaran memusat, kerang, gabungan garis lengkung dan titik-titik. Mengenai persebarannya terlihat bahwa Kelapa Dua memiliki variasi yang paling sedikit, baik dalam hal bentuk, teknik pembuatan, teknik penyelesaian, teknik bias, dan hiasan. Pejaten dan Kampung Kramat memiliki variasi yang terbanyak. Tembikar dari Kelapa Dua berasal dari masa Bercocok Tanam atau lebih tua dari situs lainnya.
Hasil analisis menunjukkan tidak ada perbedaan yang mutlak antara tingkat porositas dan daya serap air baik terhadap tembikar tipis maupun yang tebaI. Hal tersebut tergantung dari penyelesaian akhir yang dilakukan. Kemudian, komposisi kimia tembikar dari keempat situs adalah sama, yaitu silikat, aluminium, kalsium, magnesium, dan besi dengan kadar yang relatif tidak berbeda. Bahan campurannya pun, yaitu lempung dan pasir berukuran relatif sama. Masyarakat tampaknya telah mempunyai standar tertentu dalam memilih bahan baku dan campurannya.
Sebagian besar situs yaitu Kelapa Dua, Pejaten, Kampung Kramat, Condet, Tanjung Barat, dan Serpong terletak pads satuan Kipas Gunung Api Bogor. Jenis-jenis mineral tanah di satuan ini dan jenis-jenis mineral tembikar dan situs-situs memperlihatkan cukup banyak persamaan. Sungai-sungai yang mengalir dikeenam situs menghasilkan endapan pasir atau lempung. Proses pengendapan ini membuat situs-situs itu mengandung sumber daya bahan untuk membuat tembikar. Tampaknya tembikar dari situs-situs tersebut menggunakan bahan baku yang diambil dari wilayahnya sendiri dan tembikar yang dihasilkan merupakan produksi lokal.
Bentuk atau tipe beliung persegi di wilayah ini ada 3 tipe. Bahan beliung persegi terdiri dari batuan Cheri, Metalimestane, Dacite, Horn fels, Jasper, Siltstone, dan Silisifiedwaod. Berdasarkan peta geologi, Kelapa Dua mengandung sumber bahan haku Cheri, Silisifedwaad, dan Siltstone, Sedangkan Pejaten, Kampung Kramat, dan Buni tidak mengandung batuan untuk pembuatan beliung persegi. Beliung persegi yang terbuat dari Chart, Silistfiedwood, dan Siltstone kemungkinan berasal dari Kelapa Dua. Sedangkan, yang terbuat dari batuan lainnya kemungkinan berasal dari luar wilayah ini. Beliung persegi yang terdapat di Kelapa Dua, Pejaten, dan Kampung Kramat sebagian besar menunjukkan bekas-bekas pemakaian untuk keperluan praktis yakni pengerjaan kayu seperti membuat ukiran kayo. Beliung persegi dari Buni semuanya. masih utuh dan mungkin digunakan untuk alat upacara serta digunakan sebagai hekal kubur.
Artefak logam berasal dari Pejaten, Kampung Kramat, dan Buni. Sedangkan, Kelapa Dua tidak mengandung artefak logam. Hasil analisis menunjukkan terdapat artefak besi dan perunggu di Pejaten serta terak logam di Kampung Kramat dan Buni. Di Pejaten dan Kampung Kramat terdapat temuan yang mengindikaslkan aktivitas pembuatan alat logam. Namun, berdasarkan keadaan geologi, wilayah ini tidak mengandung bahan baku untuk pembuatan alat logam.
Mengenai hubungan antara situs dan keadaan lingkungan alamnya terlihat bahwa iklim di wilayah ini relatif nyaman. Situs-situs umumnya terletak pada satuan morfologi yang banyak mengandung rempah-rempah gunung api dan membuat tanah menjadi subur. Sehingga, berbagai Penis flora dan fauna yang dibutuhkan manusia, dapat hidup dan berkembang dengan baik di wilayah ini.
Berdasarkan temuan dan keadaan lingkungan alamnya, situs-situs di wilayah ini terdiri atas 3 tipe. Tipe 1 yaitu Kelapa Dua dari masa Bercocok Tanam dan terdapat di bagian pedalaman Aktivitas di sites ini adalah perbengkelan beliung persegi tahap awal sampai akhir. Beliung persegi tersebut kemudian didisiribusikan ke situs lain yang berada di utara Kelapa Dua. Pejaten, Kampung Kramat, Condet, Tanjung Barat, dan Serpong tergolong Tipe 2 dari masa Barcacok Tanam dan terus berlanjut sampai Perundagian. Situs-situs itu terdapat di bagian tengah wilayah penelitian ini. Aktivitas yang terjadi di sini adalah perbengkelan beliung persegi tahap pembentukan dan penyelesaian akhir serta perbengkelan logam. Situs Tipe 3 yaitu Buni dari masa Perundagian dan terdapat di dekat pantai. Aktivitas yang terjadi di sini adalah sebagai tempat pertemuan atau interaksi antara masyarakat yang tinggal di sites ini dengan masyarakat lain dari luar situs.
Situs-situs permukiman prasejarah di wilayah ini menunjukkan suatu model bahwa pada awalnya permukiman ditempatkan pads suatu daerah yang mengandung bahan bake untuk membuat artefak. Kriteria itu hares dipenuhi, meskipun daerah yang mengandung bahan baku tersebut terietak di pedalaman_ Pada masa berilcutnya penempatan situs lebih mempertimbangkan faktor kemudahan berinteraksi dengan daerah luar. Sehingga, masyarakat pada masa itu lebih memilih daerah pantai, walaupun daerah ini miskin sumber bahan bake pembuatan artefak. Namun, suatu hal yang tidak berubah adalah perilaku masyarakat untuk tetap memilih daerah yang dekat aliran sungai."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T546
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Muhammad Said
"Latar Belakang. Peninggalan arkeologi sebagai salah satu bagian dari sumberdaya budaya, khususnya di Indonesia pada saat ini secara kuantitas semakin bertambah jumlahnya, hal tersebut disebabkan oleh semakin banyaknya penemuan situs baru, baik yang ditemukan oleh para peneliti maupun yang merupakan laporan hasil penemuan dari masyarakat yang menemukan tinggalan arkeologis yang terdapat di sekitar tempat tinggalnya. Peningkatan jumlah tersebut merupakan suatu gejala positif yang menandakan bahwa masyarakat umum telah mulai mengenal tentang peninggalan arkeologi, namun masih disayangkan bahwa pengenalan tersebut masih belum mencapai taraf yang tergolong "peduli".
Sumberdaya budaya yang merupakan warisan leluhur bangsa adalah aset nasional yang dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat secara umum, baik untuk kepentingan ideologis, akademis maupun untuk kepentingan yang bersifat ekonomis (Cleere, 1989:5-1O). Sehubungan dengan hal tersebut maka sumberdaya budaya, khususnya sumberdaya budaya materi yang merupakan obyek kajian disiplin ilmu arkeologi, yang selanjutnya disebut sebagai sumberdaya arkeologi perlu mendapat penanganan (dikelola) secara tepat, sesuai dengan jenis dan kondisi keberadaannya. Hal tersebut dimaksudkan agar aset tersebut dapat tetap teriindungi dan terjaga kelestariannya. Dengan dilestarikannya sumberdaya arkeologi yang masih bertahan hingga saat ini, berarti akan membuka peluang yang lebar untuk tetap memiliki aset budaya bangsa yang mengandung nilai penting bagi sejarah, kebudayaan, dan Ilmu pengetahuan sebagai produk kebanggaan Bangsa Indonesia pada masa lalu.
Berkenaan dengan pengelolaan sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, diperlukan bentuk dan jenis pengelolaan yang merujuk langsung pada kepentingan perlindungan dan pelestarian terhadap sumberdaya arkeologi. Hal tersebut sangat dibutuhkan untuk tetap mempertahankan keberadaan situs yang merupakan sumber Jaya utama bagi kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, serta kepentingan penelitian bagi disiplin ilmu arkeologi pada khususnya. Selain itu, dengan tetap lestarinya peninggalan budaya tersebut?"
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T14591
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhila Arifin Aziz
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nainunis Aulia Izza
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai konsepsi religi yang melatari perbedaan bentuk kepurbakalaan di kaki, lereng, dan puncak Gunung Wajak. Kepurbakalaan utama yang dibahas pada tesis ini antara lain adalah candi-candi di kaki Gunung Wajak, yaitu Candi Gayatri, Candi Sanggrahan, Candi Mirigambar, dan Candi Ampel. Selanjutnya adalah gua-gua di lereng Gunung Wajak, yaitu Gua Tritis, Gua Selomangleng Tulungagung, dan Gua Pasir serta Candi Dadi yang ada di Puncak Gunung Wajak. Selain 8 kepurbakalaan yang telah disebutkan, guna melakukan analisis konteks dan memertajam analisis, maka pembahasan juga dilakukan pada kepurbakalaan lain di sekitar Gunung Wajak. Kepurbakalan di kaki, lereng, dan puncak Gunung Wajak seluruhnya adalah bangunan suci yang digunakan pada masa Kerajaan Majapahit abad ke-14 dan 15 dan sebagian dibangun pada kronologi yang panjang, yaitu sejak masa Kerajaan Ka?iri Abad ke-12 dan 13 sampai Kerajaan Majapahit. Untuk itu dalam tesis ini turut dibahas mengenai keadaan politik dan keagamaan pada masa Kerajaan Ka?iri dan Majapahit serta menyinggung mengenai keadaan politik dan keagamaan masa Kerajaan Singhas?ri. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori religi dari Spiro, khususnya yang berkaitan dengan praktek religi Spiro, 1977: 85-120 . Kepurbakalan di kaki, lereng, dan puncak Gunung Wajak memiliki kemiripan dengan kepurbakalaan sejenis di gunung-gunung lain. Untuk memecahkan masalah konsepsi religi, maka dalam penelitian ini turut dibahas kepurbakalaan di Gunung Arjuno dan Ringgit, Gunung Lawu,Gunung Penanggungan,Gunung Wilis, Gunung Klothok, Gunung Pegat, dan Gunung Kelud serta kepurbakalaan di gunung peninggalan masa klasik tua. Kepurbakalaan yang ada di gunung lain ini digunakan sebagai pembanding karakteristik bentuk dan peletakkan kepurbakalaan di Gunung Wajak. Pembahasan mengenai konsep religi yang melatari perbedaan bentuk bangunan di Gunung Wajak menghasilkan 3 poin. Pertama, kepurbakalaan di kaki gunung wajak berbentuk candi didasari oleh aspek kebutuhan dan fungsinya sebagai bangunan suci yang bersifat publik. Kedua, kepurbakalaan di lereng Gunung Wajak seluruhnya berbentuk gua karena sesuai dengan kebutuhan dan fungsinya sebagai bangunan pendukung praktek religi yang bersifat semi publik. Ketiga, Candi Dadi di puncak Gunung Wajak memiliki bentuk sedemikian rupa didasarkan pada kebutuhan masyarakat penggunanya dan fungsinya sebagai tempat pelaksanaan puncak praktek religi yang bersifat eksklusif. Kata kunci:Candi, Gua, Gunung Wajak, Ka?iri, Majapahit.

ABSTRACT
This thesis discusses the religious conception that became a backdrop to the different shapes of archaeological remains on the foot, slope, and peak of Wajak Mountain. The main archaeological remains looked closely in this theses include such temples located on the foot of Wajak Mountain as Gayatri, Sanggrahan, Mirigambar, and Ampel Temples, caves situated on the slope of the mountain that consist of Tritis, Selomangleng Tulungagung, and Pasir caves, and a temple on the crest of the mountain, Dadi Temple. In order to do some contextual analysis and deepen it, the thesis attempts to discuss other archaeological remains discovered around Wajak Mountain.The archaeological remains on the foot, slope, and peak of Wajak Mountain are sacred structures that were in operation during the era of Majapahit Kingdom 14th to 15th centuries CE some of which were built before Majapahit era, dating back to Ka iri Kingdom 12th to 13th centures CE up to the brink of Majapahit rule. Therefore, this thesis incorporates the discussion on the state of political and religious affairs during the periods of Ka iri and Majapahit Kingdoms and touches upon some aspect of the politico religious affairs during the reign of Singhas ri Kingdom. The theory employed in this research is the theory of religion mdash especially the part that scrutinizes religious practices put forward by Spiro Spiro, 1977 85 120 .The archaeological remains on the foot, slope, and peak of Wajak Mountain share some similarities with those discovered on other mountains. To make sense of the said religious conception, this thesis also discusses the archaeological remains on the mountains of Arjuno and Ringgit, Lawu, Penanggungan, Wilis, Klothok, Pegat, and Kelud, as well as archaeological remains on the mountains of classical period. The archaeological remains on other mountains are juxtaposed with those on Wajak Mountain in order to understand the religious conception that influenced the shaping and positioning of the remains on Wajak Mountain.The analysis of religious conception that formed the backbone of such various shapes of sacred structures on Wajak Mountain tells three important points. First of all, the archaeological remains in the forms of temples on the foot of the mountain were once built on the basis of the people rsquo s needs and functioned as sacred structures that were meant for public use. Second, the archaeological remains in the forms of caves on the slope of the mountain were built to function as complementary structures to accommodate religious practices. These caves were set to be semi public. Third, located on the peak of the mountain, Dadi Temple took its form to accommodate the religious practices and function as the place where the highest and exclusive religious practices were held. Keywords Cave, Ka iri, Majapahit, Temple, Wajak Mountain."
2017
T48905
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>