Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 150904 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Margaretha Paulus
Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2006
111.1 PAU p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Okvi Elyana
"Pembicaraan mengenai komunitas dalam pemikiran Jean-Luc Nancy sesungguhnya adalah suatu upaya untuk membangkitkan kembali nilai-nilai persaudaraan di dalam masyarakat. Oleh karena itu komunitas yang ideal adalah Ada-Dalam-Kebersamaan. Kondisi ini tidak mensyaratkan manusia untuk menjadi sama, melainkan untuk menciptakan pemahaman bahwa setiap manusia memiliki perbedaan yang tidak dapat diatasi, bahkan dengan menciptakan persamaan. Komunitas justru hadir dari kesadaran akan perbedaan yang menjadi landasan untuk saling menghormati manusia yang senantiasa hidup bersama. Ada-Dalam- Kebersamaan tidak pernah mencapai titik akhir karena yang dibutuhkan adalah proses untuk selalu berada di Dalam kebersamaan. Maka sesungguhnya komunitas di dalam pemikiran Nancy memiliki dimensi utopia yang tidak mungkin terwujud karena selalu bergerak ke tempat-tempat berbeda. Namun ketidakmungkinan ini justru menciptakan kemungkinan agar senantiasa berada dalam proses mendekatinya. Hal ini karena ketika sesuatu dapat diwujudkan,maka ia bukanlah sebuah utopia.

In his discourse about community, Jean-Luc Nancy elucidating an effort to reviving the notion of fraternity in society. Therefore the ideal form of community is the state of Being-In-Common. This condition does not require every person to be the same, but rather to bring an understanding that each person has his own differences which is ceaselessly incomprehensible for one another, thus cannot be solved with an idea about sameness. By this perceptive, community takes place in the very awareness of this understanding about difference as a value-ground for each person to be able to live together. Being-In-Common would never come to an end because its main idea stands in the never-ending process of it, that is to always be In common. Hence community in Nancy's thought will always be in an utopian dimension since it can never be finally achieved. But this impossibility to reach the final purpose is exactly the thing that opens up the possibility for an endless attempt to pursue it. For when something has completely achieved, then it is no more can be called as utopia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S42802
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Pretty Kusumaningrum
"Teori keadilan memiliki dua tantangan serius yang tidak terselesaikan. Pertama, untuk menghasilkan keputusan yang rasional tanpa bertentangan dengan nilai-nilai moral yang tertanam dalam hati nurani. Kedua, adanya pluralitas nilai dan identitas dalam masyarakat sosial seringkali menjadi penyebab utama isu ketidakadilan seperti diskriminasi, kekerasan, dan pelanggaran HAM. Amartya Sen menawarkan solusi terhadap kedua permasalahan tersebut dalam argumen-argumen yang dibangun berdasarkan kritiknya terhadap Utilitarianisme, Intuisionisme, dan terutama Kontraktarianisme John Rawls. Dengan menggunakan pendekatan kapabilitas, demokrasi, dan imparsialitas terbuka untuk menciptakan ruang diskusi masyarakat bernalar, ketidakadilan niscaya dapat dikurangi.

The theory of justice has always been faced with two problematic challenges. First, to make reasonable judgments that are not in conflict between rationality and moral values provided in sense of justice. Second, the ontological fact of plurality of values and identities in society is often seen as major cause of injustice issues, such as discrimination and human rights violations. Amartya Sen proposes the solutions to both problems in arguments build from his critics to Utilitarianism, Intuisionism, and especially, Rawlsian contractarianism. By using capability approach, democracy, and open impartiality to improve reasoned public discussion, the problem of injustice will eventually be reduce.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S57060
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldair Zerista Hutama
"Dalam eksistensialisme Sartre, rasa takut kurang mendapat penjelasan yang mendalam, sehingga sulit untuk dapat melihat pengaruhnya dalam eksistensi seorang subjek. Rasa takut sesungguhnya adalah salah satu rasa mendasar yang dimiliki oleh manusia. Rasa takut sudah terstruktur di dalam diri seorang manusia. Ia mempengaruhi hal-hal yang dilakukan oleh subjek bahkan sejak subjek masih dalam tahap kesadaran pra-reflektif. Rasa muak akan membawa subjek menyadari bahwa sesungguhnya ia memiliki kebebasan dan dapat menentukan eksistensi dirinya sendiri. Dari sana, kesadaran pra-reflektif berubah menjadi kesadaran reflektif. Kebebasan adalah kutukan karena ia selalu diiringi dengan tanggung jawab yang berat padahal tidak pernah ada kepastian akan hasil yang nantinya didapat. Hal itulah yang membuat manusia mengalami rasa cemas. Rasa cemas ini kemudian membawa manusia melihat konsekuensi-konsekuensi yang mungkin dari pilihan yang ada bagi si subjek. Disinilah kemudian rasa takut mempengaruhi subjek dalam mengambil pilihan eksistensialisnya. Apakah subjek akan memilih pilihan yang aman baginya, ataukah ia berani melawan ketakutannya dan bertransendenis menjadi diri yang baru.

The focus of this study is to prove the effect of fear for the existence of the subject, which is not well explained in Sartre’s existensialism. As a matter of fact, fear is one of human basic feeling, it is an undeniable structure as a human. Feareffected subjects act even in pra-reflective conciousness stage. Nausea will bring subject to realizing, that in fact, he has a freedom and he can choose freely, what kind of existence that he want to create for his own self. At that stage, prareflective conciousness will change into reflective conciousnes and subject could realize their freedom. But freedom it self is a curse because there's a great responsibility adheres our acts whereas there’s never been any certainity about the consequnces. This condition trap human in anxiety feeling. Anxiety will bring subject to see the consequences that probably will appear from all the choice that they can take. At this stage, fear will effecting subject in taking his existential choice. Will the subject going to choose the savest choiceor fight his fear and doing transcended and becoming a new self."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S47773
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paul Suparno
Yogyakarta: Kanisius, 1997
100 PAU f
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Kanisius, 1993
100 MAN
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Bertens, K. [Kees]
Jakarta: Gramedia, 1981
100 BER f
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Toety Heraty Noerhadi Rooseno, 1933-
"Bahwa manusia dan budaya tak dapat dipisahkan adalah suatu kenyataan universil yang tak perlu langsung dimasalahkan. Tetapi bila kita dalam budaya mutakhir melihat derap pembangunan disertai arus pengalihan teknologi, kemudian dihadapkan pada pola-pola dan gaya hidup konsumtif, maka sudah saatnya kiranya untuk memperhatikan masalah manusia dalam budaya, sebagai suatu subyek menghadapi obyek-obyek dalam lingkungannya.
Di sinilah letak sumbangan suatu orientasi filsafat yang sebagai orientasi teoretis dapat memberi suatu kerangka referensi untuk meneliti fenomena budaya dalam lingkungan kita, khususnya di mana di satu fihak pengalihan teknologi menjadi sumber daya utama bagi pembangunan. Di lain fihak manusia harus meningkatkan daya seleksi terhadap pengalihan teknologi ini.
Dalam sistematik filsafat, maka bidang filsafat tentang manusia mengetengahkan kodrat manusia adalah pada subyektivitas, sebagai suatu subyek atau aku di satu fihak. Di lain fihak pula pada kehidupan budayanya, sehingga semakin menariklah untuk memasalahkan bersama kedua kodrat manusia, akte dalam budaya ini.
Suatu pembedaan budaya dalam tahap ontologis, fungsional dan mitis menyertai pembedaan aku ontologis, fungsional, dan mitis pula yang menampilkan bersama berbagai hakekat dan dimensi aku pada umumnya.
Aku ontologis mendasari dimensi aku yang mengambil jarak dari obyek, meneliti, dan kemudian cenderung untuk menguasai, bersikap intrumentil-teknologis. Teknologi sebagai penerapan sistematis akal-budi kolektif manusia memang ingin mencapai pcnguasaan yang lebih besar atas alam dan atas semua proses manusiawi. Aku ontologis merupakan dimensi aku yang mutlak untuk suatu aku teknologis dalam ruang lingkup budaya.
Aku ontologis mengambil jarak dari lingkungan secara absolut tetapi pada filsafat Rene Descartes dan Maine de Biran keduanya, akan nyata bahwa aku ontologis yang semula dianggap bersifat terpisah murni dan mandiri, menunjuk pada unsur lain, ialah unsur nonaku. Rupanya aku ontologis menampilkan selalu aspek fungsional, subyek selalu menunjuk kehadiran hal yang lain, subyek ataupun obyek lain.
Filsafat analitik menanggapi filsafat sebagai kumpulan pernyataan-pernyataan bahasa, dan aku pula merupakan suatu kata dalam bahasa, dikenal sebagai salah satu kata deiktik. Kata aku sebagai kata deiktik ternyata merupakan suatu pusat orientasi bagi kata-kata lainnya. Pernyataan bahasa yang bertolak dari obyek-obyek menunjuk selalu pada suatu pusat referensi, suatu subyek atau aku.
Aku ontologis yang ternyata nyaris bersifat ontologis murni, menampilkan bahwa subyek menunjuk pada obyek, sebaliknya filsafat analitik dari obyek menunjuk pada subyek; dua gerak bertentangan ini saling menunjang mengetengahkan aspek fungsional pada aku.
Aku fungsional melihat dirinya dalam relasi dengan obyek, dan relasi ini yang semakin menjadi realita. Teknologi dan teknokrasi cenderung untuk melihat manusia melebur menurut fungsi mereka dalam relasi ini: pengaturan yang efisien menguasai kehidupan manusia demi kelancaran sistem-sistem kolektif--relasionil. Ini pun ciri suatu teknologi modern: aku fungsional menjadi aku operasional."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1979
D243
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggono Wisnudjati
"Permasalahan tentang siapakah aku yang sebenarnya merupakan permasalahan pokok di dalam filsafat manusia. Permasalahan ini belum memiliki jawaban yang tuntas dan menyeluruh. Hal ini disebabkan oleh karena manusia dapat dilihat dari berbagai macam segi _ Salah satunya adalah dari segi jiwa dan tubuhnya. Plato merupakan salah satu filsuf yang berefleksi tentang manusia dari segi jiwa dan tubuhnya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
S15996
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Peursen, Cornelis Anthonie van, 1920-
Jakarta: Gramedia, 1980
101 PEU ft
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>