Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2287 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Allison, Anne
California: University of California Press, 2000
306.709 52 ALL p (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ajeng Priendarningtyas
"Makalah ini membahas mengenai budaya populer Jepang, yakni manga sebagai bentuk keberhasilan soft power Jepang. Penelitian dalam pembahasan ini menggunakan konsep budaya populer oleh Hidetoshi Kato dan konsep soft power oleh Joseph S. Nye Jr, serta difokuskan pada penggunaan metode kualitatif dengan teknik deskriptif analisis. Perhatian dari masyarakat Jepang terhadap budaya populer dapat dimanfaatkan menjadi sumber ‘soft power’, salah satunya keberhasilan komik Doraemon yang berkembang pesat baik di Indonesia maupun di seluruh dunia. Penelitian ini bertujuan memberikan penjelasan akan keberhasilan soft power Jepang dalam pengaruh perkembangan komik Jepang pada era globalisasi saat ini, serta memberikan gambaran akan peranan penting dalam mendukung dan menyokong perkembangan komik Jepang hingga ke seluruh penjuru dunia.

This thesis discusses about pop culture in Japan, which is called manga as a form of soft power as an achievement for Japan. This research uses the concept of pop culture by Hidetoshi Kato and the concept of soft power by Joseph S. Nye Jr. in addition; this research focuses on qualitative method with descriptive analysis technique. Concern from Japanese people towards the popular culture can be used as a source for 'soft power', one of the most successful works is Doraemon a comic that expands rapidly in Indonesia and worldwide. This research aims to give explaination of Japan's soft power achievment in comic the expansion in globalization era, in particular to illustrate how important it is to give support and reinforcement in comic expansion through out the world."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Fallahdani
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang pandangan fans pria single di wilayah JABODETABEK terhadap AKB48 sebagai produk budaya populer Jepang yang masuk ke Indonesia. Penelitian ini dikhususkan bagi pria single berusia 25 ndash; 35 tahun. Teori yang digunakan dalam penilitian ini adalah teori-teori yang berkaitan dengan budaya populer, idol dan fanatisme. Hasil penelitian menunjukkan bahwa didalam pandangan fans pria single terhadap AKB48 terdapat kesamaan pada kriteria pasangan idaman mayoritas responden dengan kriteria sosok Idol dan tampilan fisik serta kepribadian anggota AKB48 sebagai acuan atau tolak ukur dalam memilih pasangan. Selanjutnya, penelitian ini menemukan bahwa adanya kecenderungan kearah sifat fanatis pada mayoritas fans pria Single di wilayah JABODETABEK.

ABSTRACT
This study is focused on the views of single male fans in JABODETABEK area towards AKB48 as Japan popular culture product that succeed to penetrate Indonesia. This study devoted to single male fans age 25 ndash 35 years old. This study are using theories that have relation with popular culture, idol and fanaticism. The result of this research shows there are similarity between ideal partner criteria of the majority of respondents with idol criteria in the views of single male fans towards AKB48, and also AKB48 members physical figure and characteristics as benchmark for them when choosing a partner. This study also found that there is tendency towards the fanatic trait of the majority single male fans in JABODETABEK area."
2016
S66827
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mimandita Atsari
"ABSTRAK
Artikel ini membahas bagaimana budaya otaku sebagai sebuah budaya populer visual Jepang dikonsumsi oleh kaum muda di Jakarta. Budaya ini juga direproduksi melalui identifikasi diri mereka. Studi ini menggunakan kerangka berpikir industri budaya oleh Adorno dan Horkheimer. Peneliti berargumen bahwa budaya otaku anime, manga, dan video games bekerja sebagai mass consumption dengan menawarkan fungsi image creation atau fantasi akan dunia. Hal ini mendukung bekerjanya industri budaya sebagaimana digambarkan oleh Adorno dan Horkheimer. Temuan data menunjukkan bahwa budaya otaku, di satu sisi mendukung prinsip bekerjanya industri budaya, namun di sisi lain memunculkan kapasitas agensi melalui tiga tahap pengidentifikasian otaku dan reproduksi narasi dari para penggemarnya. Ditemukan pula bahwa budaya otaku mampu menjadi budaya populer yang bersifat transnasional karena memenuhi kebutuhan sosial kaum muda yang berbeda latar belakang kebangsaan. Budaya otaku menjadi suatu hal yang dekat dalam kehidupan sebagian kaum muda yang menemani mereka menuju kedewasaan.

ABSTRACT
This article discusses how otaku culture as a Japanese visual popular culture is consumed by youths in Jakarta. This culture is also reproduced through self identification. It is argued that otaku culture anime, manga, and video games works to generate mass consumption by offering an image creation or fantasy function. This supports how culture industry works as explained by Adorno and Horkheimer. It is found that otaku culture, on one side supports the principal function of culture industry, but on the other creates a capacity of agency through three stages of otaku identification and reproduction of narratives by its fans. It is also found that otaku culture can become a transnational popular culture for its function that mediates social needs of particular youths with different national backgrounds. Otaku culture becomes a close matter in the lives of particular youths that accompanies them as they grow into adulthood."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Yiu Cen
"Komunitas penggemar budaya populer Jepang adalah salah satu komunitas fandom yang aktif dalam memproduksi produk budaya baru berdasarkan interpretasi mereka mengenai budaya Jepang. Di Indonesia, kebutuhan untuk berinteraksi dan berekspresi sebagai penggemar menyebabkan terselenggaranya konvensi atau festival bertema budaya populer Jepang yang dikenal dengan sebutan “event Jejepangan”. Mangga Dua Square, sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta, telah konsisten memberikan ruang berekspresi untuk komunitas penggemar budaya populer Jepang sejak tahun 2015, dan banyak komunitas “event Jejepangan” yang lahir di sana. Pada tahun 2022, Mangga Dua Square memberikan nama Mangdu J-Pop Zone untuk menyebut konvensi budaya populer Jepangnya. Seluruh pengumuman event, poster publikasi, dan interaksi secara daring antara komunitas dan penyelenggara event dilakukan melalui akun media sosial Instagram @mangdujpopzone. Tugas akhir ini membahas bagaimana praktik pemberian ruang untuk berekspresi bagi komunitas “event Jejepangan” dilakukan oleh penyelenggara konvensi budaya populer Jepang Mangdu J-Pop Zone dan bagaimana persepsi komunitas “event Jejepangan” terhadap praktik pemberian ruang ekspresi tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang dilakukan dengan dua metode, yaitu observasi media sosial dan wawancara dengan komunitas “event Jejepangan”. Penelitian ini menemukan bahwa terjalin hubungan mutualisme antara Mangdu J-Pop Zone dan komunitas “event Jejepangan”. Mangga Dua Square menyediakan ruang berekspresi untuk komunitas melalui Mangdu J-Pop Zone dan komunitas mempromosikan dan mengonsumsi produk yang ada di Mangga Dua Square.

The Japanese popular culture fan community is one of fandom communities that is active in producing new cultural products based on their interpretations of Japanese culture. In case of Indonesia, they organize Japanese popular culture-themed conventions or festivals known as "event Jejepangan" (Japanese culture events) to interact and express themselves as fans. Mangga Dua Square, a shopping mall in Jakarta, has consistently been providing a space for the Japanese popular culture fan community to express themselves as fans since 2015, and many "event Jejepangan" communities have been born there. In 2022, Mangga Dua Squaregave the name Mangdu J-Pop Zone to refer to its Japanese popular culture convention. All publications of the event announcement, posters, and online interactions between the community and event’s organizer are done through Instagram account, @mangdujpopzone. This research discusses how the practice of providing space for expression for the "event Jejepangan" community is carried out by the organizers of the Mangdu J-Pop Zone Japanese popular culture convention. Furthermore, it also tries to find how the "event Jejepangan" community perceives such practices by the event organizer. This qualitative research uses social media observation and interviews with the "event Jejepangan" community as methods. The findings show a mutual relationship between Mangdu J-Pop Zone and the "event Jejepangan" community. Mangga Dua Square offers an expression space for the community through Mangdu J-Pop Zone and in return, the community promotes and consumes products in Mangga Dua Square."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Deviyanis Rahayu
"Pada tahun 1980-an, Jepang mengalami suatu peningkatan dalam bidang ekonomi. Fase ini disebut dengan bubble economy. Bubble economy merupakan salah satu fase yang terjadi dalam ekonomi Jepang, ketika itu seluruh harga aset di Jepang mengalami kenaikan harga yang drastis. Akibat dari hal ini adalah produksi dalam negeri Jepang meningkat tajam khususnya di bidang mode. Para perancang aktif membuat pakaian sehingga muncul suatu gejala mode baru yang disebut dengan Shibukaji. Shibukaji merupakan gaya berpakaian anak-anak muda Jepang yang sederhana dan kasual. Namun dibalik kesederhanaan itu ternyata baju-baju tersebut merupakan baju bermerk terkenal dan berharga mahal. Shibukaji seakan-akan menjadi suatu simbol atau lambang bahwa mayoritas anak-anak muda di kota-kota besar di Jepang kala itu sudah mencapai suatu kemapanan dalam hidup akibat peningkatan bubble economy yang terjadi pada tahun 1980-an. Anak-anak muda yang bergaya Shibukaji ini berkumpul di pusat kota Shibuya dan membentuk suatu kelompok yang dinamakan Shibukaji-zoku.Selain menjadi representasi dari anak muda perkotaan, ternyata Shibukaji-zoku juga merupakan gambaran anak-anak jalanan yang nakal dan tanda dari kesenjangan sosial yang terjadi di kalangan anak muda pada saat itu. Hanya anak muda yang mapan secara finansial yang mampu bergabung dalam Shibukaji-zoku.

In the 1980's, Japan had an increase in their economy. This phase was called the Bubble Economy. Bubble Economy is a phase that occurs in the Japanese economy, when the entire asset’s prices in Japan experienced a drastic price increases. This caused the level of production in Japan to increase drastically, especially in fashion. Stylists were active in making clothing which caused a new fashion to be born called "Shibukaji". "Shibukaji" is a simple and casual style of fashion used by teenagers. But behind the simplicity of the fashion, the clothing comes with a high value trademark which are expensive. "Shibukaji" becomes a symbol that the majority of the young generation of the big cities in Japan in the 1980's were already rich at that time which was caused by the Bubble Economy. Young people using the shibukaji style assemble at the central city of shibuya and established a group called shibukaji-zoku. Other than being the representative of the city's young generation, it is in fact also become a representation of the bad vandals and sign of the social discrepancy inside the circle of the young generation which happened at that time. Only the wealthy could join in the shibukaji-zoku.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Mimandita Atsari
"Artikel ini membahas bagaimana budaya otaku sebagai sebuah budaya populer visual Jepang dikonsumsi oleh kaum muda di Jakarta. Budaya ini juga direproduksi melalui identifikasi diri mereka. Studi ini menggunakan kerangka berpikir industri budaya oleh Adorno dan Horkheimer. Peneliti berargumen bahwa budaya otaku anime, manga, dan video games bekerja sebagai mass consumption dengan menawarkan fungsi image creation atau fantasi akan dunia. Hal ini mendukung bekerjanya industri budaya sebagaimana digambarkan oleh Adorno dan Horkheimer. Temuan data menunjukkan bahwa budaya otaku, di satu sisi mendukung prinsip bekerjanya industri budaya, namun di sisi lain memunculkan kapasitas agensi melalui tiga tahap pengidentifikasian otaku dan reproduksi narasi dari para penggemarnya. Ditemukan pula bahwa budaya otaku mampu menjadi budaya populer yang bersifat transnasional karena memenuhi kebutuhan sosial kaum muda yang berbeda latar belakang kebangsaan. Budaya otaku menjadi suatu hal yang dekat dalam kehidupan sebagian kaum muda yang menemani mereka menuju kedewasaan.

This article discusses how otaku culture as a Japanese visual popular culture is consumed by youths in Jakarta. This culture is also reproduced through self identification. It is argued that otaku culture anime, manga, and video games works to generate mass consumption by offering an image creation or fantasy function. This supports how culture industry works as explained by Adorno and Horkheimer. It is found that otaku culture, on one side supports the principal function of culture industry, but on the other creates a capacity of agency through three stages of otaku identification and reproduction of narratives by its fans. It is also found that otaku culture can become a transnational popular culture for its function that mediates social needs of particular youths with different national backgrounds. Otaku culture becomes a close matter in the lives of particular youths that accompanies them as they grow into adulthood.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Oki Trianto
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas simulacra dalam band-band visual kei Jepang. Pembahasan menggunakan teori simulacra oleh Jean Baudrillard. Penelitian ini difokuskan pada band-band visual kei tahun 2000-an. Menggunakan metode deskriptif analisis dan studi dokumen. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana simulacra yang terjadi dalam bandband visual kei Jepang pada tahun 2000-an. Temuan dari penelitian ini adalah terjadi simulacra pada band-band visual kei Jepang tahun 2000-an dan menghasilkan Image atau citra baru melalui empat tahap simulacra. Keterbatasan dari penelitian ini adalah banyaknya jumlah band-band visual kei Jepang pada tahun 2000-an.

ABSTRACT
This research discusses simulacra in Japanese visual kei bands. The main theory used in this research is simulacra theory by Jean Baudrillard. This research focused on visual kei bands in the 2000s, using descriptive analysis and document study methods. The purpose of this research is to explain how simulacra occurred in Japanese visual kei bands in the 2000s. The findings of this research were simulacra occured in Japanese visual kei band in the 2000s
and produced new image through four stages of simulacra. The limitation of this research is the large number of Japanese visual kei bands in the 2000s."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Marsyaulina
"ABSTRAK
Manusia sejak dahulu telah melakukan antropomorfisme kepada objek di sekitarnya sebagai cara untuk lebih mengenal serta untuk lebih bersiaga akan datangnya bahaya. Seiring berjalannya waktu, kecenderungan manusia untuk memberikan karakteristik pada objek yang bukan manusia dipakai sebagai salah satu cara untuk mempromosikan suatu objek agar lebih mudah diterima oleh manusia. Gotouchi-kyara merupakan salah satu fenomena budaya populer Jepang yang merupakan maskot dengan sifat antropomorfis. Dewasa ini gotouchi-kyara semakin populer di kalangan masyarakat hingga beberapa di antaranya sering muncul di media televisi, salah satunya ialah Funasshi yang merupakan gotouchi-kyara tak resmi kota Funabashi. Sifat Funasshi yang berbeda dengan gotouchi-kyara lainnya, yaitu berbicara dan bertingkah laku lincah, merupakan sifat antropomorfis yang kemudian akan diteliti lebih lanjut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatam semiotika C.S. Peirce. Hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah sifat antropomorfis Funasshi yang memberikan nilai positif kepada penonton yang melihatnya membuat Funasshi semakin populer di kalangan masyarakat Jepang.

ABSTRACT
Long time ago, human has been using anthropomorphism as a way to familiarize themselves with unknown objects around them and also to be more aware of dangers that may come. As time goes by, human rsquo;s tendency to give human traits to non-human objects has became a way to promote that particular object in order to be easily accepted by customer. Gotouchi-kyara, an anthropomorfic costume character, is one of Japan rsquo;s popular culture phenomenons. Lately gotouchi-kyara become very popular in Japan and they start to appear at television, and one of them is Funasshi, a gotouchi-kyara from Funabashi city. This study focuses on Funasshi rsquo;s anthropomorphized behaviors that are quite distinctive than the other gotouchi-kyara as it likes to talk, and moving around vigorously. This study is conducted with qualitative method and uses C.S. Peirce rsquo;s semiotic approach. The result from this study shows that Funasshi rsquo;s anthropomorphic behaviors that give positive vibe to the viewers have made Funasshi becoming more popular in Japan."
2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Reischauer, Edwin O.
Boston: Houghton Mifflin , 1978
915.2 REI j (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>